Putih untuk musim dingin, merah
muda untuk musim semi, biru cerah untuk musim panas, dan oranye untuk musim
gugur. Warna-warna tersebut seakan sudah melekat kesannya pada setiap musim
yang mereka wakili, tapi untuk musim yang satu ini, aku rasa belum ada warna
apapun padanya.
Dari beranda rumahku, ketika
waktu menunjukan pukul tiga sore, dan orang-orang di Masjid tengah menanti
tibanya ba’da Ashar, aku hanya melakukan hal yang kurang lebihnya sia-sia,
menatap langit yang tak berwarna. Kulitku mengembun, bagai daun pisang
pembungkus lontong yang baru keluar dari kukusan. Bukan karena kukusan
tentunya, tapi sepertinya udara disini pun sudah hampir mirip dengan yang di
dalam kukusan. Angin yang berhembus panas dan gersang. Aku bahkan tak percaya
kalau diantara partikel yang menyusun angin itu masih ada oksigen, ia hanya
membawa debu yang berserakan dimana-mana. Wajar sepertinya, mengingat pohon
terakhir yang terdekat dari rumah ini adalah yang di dekat lapangan sana,
sekitar dua ratus meter dari sini.
Dalam hati aku mengujar sepatah
doa: Ingin rasanya aku lepas dari cengkraman kota ini. Tapi tetap sulit untuk
meninggalkan tempat dimana aku menghabiskan setiap detik hidupku sejak dulu. Banyak
noktah kenanganku yang tercecer di kota ini. Dan menghadapi kenyataan dengan
menyaksikan noktah-noktah itu terhapus perlahan juga bukan opsi yang
menyenangkan. Diantara keduanya, aku tak sanggup memilih. Selainpun aku
meninggalkan semua noktah itu disini, mereka pasti akan meninggalkanku juga,
dan tempat ini suatu hari akan benar-benar asing bagiku.
Dahulu, musim yang kira-kira
dinaungi oleh bulan April sampai Oktober ini memiliki warna. Ketika tepat lurus
dari halaman rumahku, berselang beberapa petak tanah kosong milik warga,
berdiri pepohonan yang ratusan tahun usianya. Dan asal kalian tahu, ketika itu
musim ini tak hanya memiliki satu warna tapi semuanya. Birunya langit musim
panas, Merah mudanya kekembangan yang merekah, hijau-hijau segar daun-daun yang
bersemi, oranye cerah langit sorenya, cahaya matahari yang kemasan dan putih
bersih awan-awan yang berarak ringan melintasi horizon yang sedemikian luas
benar benar tanpa beban, tanpa sedikitpun noda keabuan yang menandakan suram.
Udara disini tak seperti di dalam
kukusan, tapi lebih, lebih sejuk dari yang di dalam lemari pendingin atau
ruangan ber-AC bahkan. Matahari yang bersinar terik menghangatkan dinginnya
udara sejuk tersebut sehingga suhunya jadi benar-benar nyaman. Pagi harinya
bising dan semarak. Bukan oleh suara-suara benturan logam, gesekan roda gerigi
mesin, atau desingan kendaraan bermotor, melainkan oleh kicau burung, kokok
ayam dan suara-suara indah lainnya. Bahkan di siang hari, ketika semua anak
yang bermain di luar diminta pulang untuk tidur siang, dan angin yang
sepoi-sepoi membuai setiap orang untuk menikmatinya dengan tenang, desir angin
bahkan terdengar nyanyiannya. Indah tanpa harus dengan musik genre apapun.
Seiring dengan pertumbuhanku,
bergugurannya banyak waktuku yang lalu, banyak pula yang mesti direnggut pergi
dariku. Aku masih beruntung mereka bukan orang yang kusayangi, tapi sialnya
mereka adalah substansi hidup yang aku cintai. Dimensi waktuku yang lalulah
yang pergi seketika dari sini, membuatku tidak kuasa lagi untuk sekedar
melongoknya kembali di kemudian hari.
Latar tempat elok sarat warna dari
kisah-kisah semasa kecilku digilas rata dengan tanah. Sebagai gantinya, para
petinggi di pemerintahan sana, bekerja sama dengan kontraktor dan pihak asing mencanangkan
bentuk baru dari penjajahan yang mereka juluki sebagai pembangunan.
Pabrik-pabrik raksasa pun berdiri, dikiranya industrialisasi mungkin, tapi
bagiku ini tak lebih dari percobaan membunuh negeri sendiri.
Aku pernah dengar cerita soal
laba-laba betina yang mencari mangsa untuk tempat anak-anaknya dierami hingga
menetas. Ia mencari serangga lain, tak jarang yang lebih besar darinya untuk
disuntikan dengan telur-telurnya. Telur-telur itu akan menjadi parasit pada
tubuh serangga yang sedianya masih hidup itu. Bakal calon serangga pembunuh itu
menggerogoti tubuh serangga inangnya perlahan, hingga ia benar benar mati dan
laba-laba kecil itupun bisa lantas merobeknya dan pergi. Mengerikan bukan? Dan
akan jauh lebih mengerikan lagi jika kalian menyadari kenyataan bahwa
sesungguhnya negara kita ini adalah si serangga inang tadi. Lama kelamaan kita bukan
tidak mungkin akan terjajah lagi. Industrialisasi oleh pihak asing ialah
telur-telur itu, para iblis-iblis kecil yang tengah menggerogoti kita perlahan
lahan, bahkan tanpa kita sadari. Hingga kini kita telah mulai kehilangan banyak
hal yang kita punya. Alam asri yang menggersang dan warna-warna semarak pada
musim ini yang semakin memudar.
Hijau-nya pepohonan telah
terenggut, tergantikan oleh substansi-substansi metal yang muram. Bangunan-bangunan
raksasa yang menjulang tinggi telah mempersempit langit yang sedianya luas tak
bertepi. Asap keabuan yang mengepul semakin memudarkan warna langit yang
mestinya biru cerah jadi kusam. Komponen alam lainnya yang semestinya memadu
selaras dengan semuanya kini hilang dengan sendirinya.
Ba’da Ashar berkumandang, diiringi
dentangan metal dan suara desing mesin serta percikan kembang api dari kegiatan
pengelasan logam yang tak tahu waktu. Tapi inilah musik yang dijanjikan
pemerintah untuk mengganti apa yang telah mereka renggut dari kami. Musik yang
tak berhenti sepanjang malam atau sepanjang hari, terus mengiringi ritme hidup
kami yang semakin rancak oleh futurisasi yang mereka bawa.
Tak salah lagi, dimensi waktu
yang lalu memang sudah terlempar terlalu jauh dari titik tempatku berada
disini. Dan merupakan sebuah kemustahilan bagiku untuk mendapatkannya kembali.
Bagaimanapun ini duniaku, dunia yang sekarang yang dinaungi musim tanpa warna.
Sulit untuk membawa warna-warna itu kembali ke asalnya disini, oleh karenanya
aku memilih untuk hanya berdiam diri. Selama ingatanku masih kugenggam kurasa
warna-warna itu masih bisa kukenali, warna yang membuatku mengenang. Tapi
nanti, jikalau entah karena apa ingatan-ingatan itu lantas pergi, aku tak tahu
lagi apa yang akan terjadi. Mungkin segalanya akan tetap monokrom seperti ini,
baik yang dihadapan mataku, atau jauh di dasar angan dan pikiranku di dalam
sana, dimana noktah-noktah yang menyusun secuil dari latar kisah masa kecilku
masih dapat kutemui, hingga saat ini.
Semenjak membuat cerpen kilat untuk lomba
kemarin, saya mendadak jadi hobi membuat cerpen tanpa tahapam konflik yang
kentara seperti ini. Temanya juga tak jauh dari kekecewaan-kekecewaan saya
terhadap berbagai hal di sekitar saya, sebenarnya agak melankolis dan justru
lebih mirip seperti sebuah testimoni yang persuasif. Tapi ya sudahlah, anggap
saja ini cerpen oke? –Yuanita WP-