Trending Topics

.

.

Thursday, February 09, 2012

Romeo-Juliet

Sekisah Romansa Tentang Dunia Pendidikan Indonesia

Yooo.. saya kembali. Kali ini dengan berita yang kurang enak untuk didengar dan agak tabu untuk diperbincangkan, tapi semua akan kita kupas setajam, silet#plakk—kalo hasil kupasannya aja setajam silet, yang buat ngupas setajam apa?-- =____=

Oke, mari kita mulai. Disini, saya akan sedikit banyak curcol lagi. Maaf untuk Indonesiaku yang telah menaungiku sejak dulu sampai kini tapi dengan tak tahu dirinya aku malah lagi-lagi membongkar aibmu disini, memamerkan coreng di wajahmu pada dunia yang selama ini selalu mulus kau tutupi tanpa cela. Sebenarnya, kau hanya sebuah objek indah yang selalu disalahgunakan. Entah sejak zaman kolonial dulu bahkan sampai kini, ketika para penduduk kursi-kursi di parlemen adalah orang-orangmu sendiri. 


Indonesia, andaikata kau dapat urusi dirimu sendiri, tanpa pihak lain di atas sana yang menggenggam tampuk kendali atas dirimu, aku yakin kita sudah sejaya mereka yang dulu menggerogotimu dari dalam, para imigran sampah yang datang hanya sebagai parasit yang menginang padamu. Sekarang, lebih pahitnya lagi, ketika para imigran tak tahu diri itu telah angkat kaki, rakyatmu sendiri yang menjadi parasit bagimu. Tak semuanya, masih ada aku dan banyak orang lain yang andai kami punya kuasa ingin betul kami lepaskan dirimu dari jerat-jerat parasitisme nyamuk-nyamuk sial itu. Tapi sayangnya, kami hanya rakyat. Meski secara konstitusional kami punya kedudukan yang tinggi sebagai salah satu syarat bagimu untuk tetap berdiri sebagai sebuah negara, nyatanya apabila kami dipercerai berai begini, kami hanya bisa mengelus dada ketika kami lihat kau tersiksa.

Itulah mengapa selama ini gelar ‘Negara Demokratis’ yang kau sandang fikirku hanya sekedar testimoni belaka. Pada prakteknya, kita masih jauh dari apa yang kita bayangkan mengenai bentuk dan sistem demokratis yang kita impikan. Suara rakyat saat ini terbungkam oleh politik uang. Parlemen yang ada tak cukup mewakili aspirasi rakyat luas karena mereka hanya bagian dari satu golongan rakyat. Saya disini memang seolah hanya mengkritik tanpa solusi. Saya hanya menyampaikan apa yang ada di fikiran saya, selama pasal 28 belum dihapuskan, saya rasa ini masih belum melanggar hukum. Ini memangtak bersolusi, karena jikapun saya tahu solusinya, saat ini juga saya akan berlari ke gedung parlemen, atau jika perlu ke istana presiden untuk mengemukakan sebuah sistem yang bisa membenahi semua kekacrutan negara ini secara total dan instan. Tapi sayangnya itu mustahil. Selama ini solusi yang muncul hanya solusi yang melahirkan permasalahan baru, solusi yang menguntungkan salah satu kelompok dan merugikan yang lain, atau mungkin solusi yang terlampau sempurna dan hanya bisa terwujud di awang-awang saja.

Sebenarnya, kejayaan sebuah negara itu berawal dari sebuah sistem ajaib yang mendewa yang saat ini kami sebut pendidikan. Sistem itu dengan ajaibnya menyihir sekelompok barbar menjadi seduyunan kaum borjuis berdasi. Sistem itu yang membuat otak manusia bekerja, membuat manusia berpola fikir dan beradab. Membuat hingga kini berbagai kebudayaan hingga peradaban telah tercipta. Tapi di lain sisi, pendidikan juga yang telah membuat manusia mulai menggunakan otak mereka untuk mendapatkan apa yang mereka mau, sekalipun itu akan mengorbankan hak orang lain. Jadi intinya, mungkin pendidikan juga yang membuat banyak kekacauan di dunia ini. Tapi, beruntungnya meski seringkali goyah dan limbung, moral manusia masih berusaha tegap berdiri pada porosnya sehingga sampai kini tapal batas antara baik dan buruk masih bisa terlihat.

Di Indonesia sendiri, pendidikan sudah kita kenal sejak dahulu kala. Meski sifatnya tidak formal dan hanya berupa petuah-petuah dari orang tua, itu sudah cukup membawa bangsa kita berdiri sebagai wilayah yang makmur dalam lingkupnya dan menjadi tuan rumah di tanah sendiri. Lalu, pendidikan formal. Jika yang nonformal bahkan sudah ada sejak zaman nenek moyangku seorang pelaut, pendidikan formalnya atau akrab kita sapa sekolah ini baru ditulari oleh negara penjajah di era kolonialisme. Jika sebelum ini, mungkin ada sistem pendidikan semi formal seperti latihan perang, mengaji, dan lain sebagainya, tapi baru pada masa kolonial ini kita mengecap pendidikan mengenai berbagai aspek dalam kehidupan yang dipelajari secara menjurus dalam satu lingkup yang disebut sekolah itu tadi. Sekolah ini kita kenal bermula dari berdirinya sekolah-sekolah Belanda disini. Lalu, orang Belanda yang salah satu dari merekanya sadar bahwa selama ini telah terlalu banyak menyedot dari Indonesia tanpa pernah memberikan sesuatu apapun kini masih dengan kelicikannya berfikir untuk sedikit membalas budi dengan sebuah program yang dinamai Politik Etis. Nah, dari situlah sekolah-sekolah negeri di Indonesia ini mulai berdiri.

Pada awal kehadirannya, sebuah barang baru bernama sekolah ini cukup populer dan banyak menuai sukses. Ia banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh hebat dan terkenal yang sedikit demi sedikit mulai mengancam kesinambungan aksi(sedot menyedot sumber daya)nya Belanda. Padahal awalnya, ini hanya dimaksudkan untuk mencari pegawai kantor rendahan yang bisa dibayar murah. Tapi lagi-lagi, hangat-hangat tahi ayam. Semakin kesini, pendidikan yang dulunya mendewa, menjadi primadona dan dianggap sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah negara kini mengasap. Semakin lebar kesempatan untuk sekolah terbuka, semakin sedikit yang niat betul soal sekolah. Boleh di cek, sebarlah angket mengenai sebab seorang murid berangkat ke sekolah dewasa ini. Atau, setidaknya tanyai sajalah lima atau enam orang yang kalian temui mengenai apa motivasi mereka ke sekolah. Jawaban yang umum, untuk dapat uang jajan, agar tidak dipaksa menikah, daripada harus lelah-lelah bekerja, entahlah, atau yang paling masuk akal adalah untuk dapat nilai lalu dapat ijazah, lalu ijazahnya bisa digunakan untuk mencari pekerjaan yang bagus. Sulit dewasa ini menemukan siswa-siswa dengan motivasi tinggi, dengan tekad untuk berbuat sesuatu yang berarti untuk negeri ini. Mereka atau, harus kusebut kami, terlanjur dididik bebas dan individualis. Negara hanyalah soal sebongkah tanah yang kami diami, selepas itu kami tak punya ikatan apa-apa lagi. Karena mahalnya pendidikan dan aksi selap-selip dana yang berkedok pendidikan gratis ini membuat banyak orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah mahal agar anak-anak mereka mendapat pekerjaan bagus dan bayaran besar nantinya. Tolak ukur sukses semuanya telah berorientasi pada hal-hal yang bersifat materil. Mungkin hampir sulit ditemui yang namanya pengabdian dan apresiasi di Indonesia saat ini.

Di samping itu, sistem pendidikan di negeri ini juga semestinya dibenahi. Lihat negara-negara di Eropa seperti Finlandia yang membuat sistem pilihan mata pelajaran pada ujian kelulusan siswanya. Atau pendidikan menengah atas yang sudah berorientasikan profesi seperti di Australia. Di Indonesia, terutama ini saya rasakan betul saat duduk di bangku SMA, kami para siswa-siswi Indonesia dididik menjadi generasi bimbang yang otaknya habis terperas untuk banyak hal yang tak pernah ditekuni sepenuh hati. Kita dilatih untuk membuang buang waktu. Coba fikirkan, delapan belas mata pelajaran yang dipelajari secara teori sehari-harinya diujikan setiap ujian akhir semester. Di Australia saja, maksimal hanya enam pelajaran yang dipelajari oleh seorang siswa highschoolnya. Sedang disini jumlah itu adalah jumlah pelajaran kami saat masih kelas satu SD.
Lalu, yang menjadi purpose dari segala ocehan saya dalam segmen ini adalah tentang pemisahan kelas berdasarkan jurusan IPA dan IPS. Ini tentu sudah tak asing lagi karena sistem ini memang sudah diterapkan sejak zaman dahulu kala. Jadi, jikalau saya mengeluh tentang ini mungkin ini adalah keluhan yang sudah kesejuta kalinya. Well, pemisahan jurusan ini dimaksudkan supaya kita dapat berfikir lebih maju kedepan mengenai apa yang akan kita lakukan saat masa sekolah kita yang hanya tinggal 2 tahun lagi itu selesai. Entah bagaimana sistem aslinya, yang jelas dari penerapannya yang saya alami sekarang, pemisahan jurusan ini sarat unsur diskriminasi dan pembunuhan karakter. Pertama, pemisahan jurusan IPA dan IPS ini didasari oleh tingkat kecerdasan. Ini dimaksudkan baik sebenarnya, dikarenakan dalam jurusan studi IPA mata pelajaran yang dipelajari merupakan dewi durga-nya mata pelajaran yang dikenal luas dan ditakuti sebagai pelajaran yang rumitnya tingkat dewa akan lebih mudah dipelajari oleh mereka yang tingkat kecerdasannya cukup tinggi. Tingkat kecerdasan mereka dianggap dapat mengatasi segala rumus dan hitungan rumit dalam segerombolan mata pelajaran yang ada di dalam jurusan studi itu. Sementara bagi yang IPS, dikarenakan pelajaran yang dipelajari tak terlalu rumit, masih ber-basic menghapal dan penerapan langsung dalam kehidupan sehari-hari, dan cukup lenggang berurusan dengan rumus dan hitungan rumit, mereka yang tingkat kecerdasannya tak masuk daftar urutan di IPA dimasukkan ke kategori ini. Niatnya memang untuk MEMPERMUDAH tapi.. ayolah, jangan menarik kesimpulan sebelum mencoba berfikir dari berlainan sisi.

Oke, soal tingkat kecerdasan itu memang bisa diterima tapi, tidakkah mereka para kreator sistem ini berfikir soal unsur ajaib lain selain tingkat kecerdasan yang dapat memengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar? Tidakkah mereka pernah mendengar soal minat, niat, tekad, dan semangat? Itu adalah unsur unsur lain yang bahkan lebih kuat kedudukannya dibanding sekedar tingkat kecerdasan. Seorang pencinta fisika dengan IQ yang tidak memungkinkan dirinya untuk masuk IPA bisa saja menguasai Fisika lebih daripada mereka yang duduk di program IPA. Itu karena adanya tekad, minat, niat, dan semangat itu tadi. Yang namanya sudah minat, ditambah dengan tekad dan niat yang sungguh-sungguh akan melahirkan semangat yang betul betul kuat. Sekalipun ia akan menuai kegagalan satu dua kali kala mecoba, itu tak akan menyurutkan apapun. Tingkat kecerdasan seseorang kan juga berorientasi pada apa yang diminatinya. Bisa jadi, seseorang dengan tingkat kecerdasan tinggi yang sebetulnya minatnya ada pada musik dipaksa masuk IPA. Itukan berarti membunuh insting seni yang ada dalam dirinya. Jikalau sistem pendidikan kita membiarkan ia dengan bebas memilih apa yang ia inginkan, mungkin kita tak perlu membunuh bakat dan karakter seorang pemusik hebat dalam dirinya.

Ini juga saya alami kiranya. Hari ini, hari di musim hujan dimana presipitasi harusnya marak terjadi tapi malah cerah benderang begini, saya harus mengerjakan soal ulangan geografi untuk yang terakhir kali setelah hari minggu dan sore plus setengah malam saya yang kemarin saya dedikasikan untuk mereview kembali apa yang selama ini saya pelajari soal geografi dan mengingatnya. Saya lupakan, bahkan buang jauh-jauh soal fisika yang nyatanya ikut mendampingi sang geografi di hari ulangan esok paginya. Semuanya karena saya boleh dibilang terlanjur jautuh hati pada bidang studi yang satu ini. Dan itu bergulir hampir seumur dengan adik saya, sejak saya duduk di kelas tiga SD.

Saat itu, seorang saya yang masih belum membuka mata menemukan sebuah jendela baru. Lewat sebuah sampul belakang buku yang saya masih simpan baik hingga detik ini. Hari itu adalah hari pertama saya tahu tentang sebuah mata pelajaran lain yang ternyata ada untuk kita pelajari, IPS. Saya mendapat buku bersampul biru bergambar banyak foto-foto dari kegiatan manusia sehari-hari. ‘Menarik’, pikir saya kala itu. Dan akhirnya, didorong oleh rasa penasaran yang tengah meninggi saya baca sampul belakangnya. Kiranya disana tertulis begini:

IPS adalah salah satu mata pelajaran baru yang kita pelajari di kelas tiga ini. Belajar IPS sangat menyenangkan. IPS bisa membawa kita seolah berpetualang ke masa lalu, IPS bisa membawa kita seolah terbang keliling dunia, IPS juga memberitahu kita tentang hal-hal menarik yang kita bisa temui pada apa yang kita lakukan sehari-hari.

Itulah untuk kali pertamanya saya jatuh cinta. Benar adanya seperti yang tertulis pada sampul belakang buku itu, mempelajari IPS betul terasa seperti berkeliling dunia atau berpetualang ke masa lalu. Buku IPS itu yang membawa saya berkeliling dunia dalam fikiran saya, membuat saya berfikir seolah dunia yang begitu luas itu bisa saya genggam di dalam tangan saya. Membuat saya mencintai betul negara saya ini, membuat saya mengenal banyak orang hebat dibalik perjuangan untuk memerdekakan negara ini, dan membuat saya mengagumi mereka.

Tapi, bak Romeo dan Juliet, ternyata kini kami tak lagi diperkenankan untuk bersua. Habis sudah masaku untuk menelusuri sekepal dunia dalam fikiranku itu bersamanya. Kini, nyatanya sistem di sekolahku memaksaku masuk ke jurusan IPA. Aku sungguh berharap aku tak akan terjebak disini bersama rumus rumus yang melilit kepalaku ini selamanya. Aku pasti akan merindu akan kalian, sayap sayapku. Sesekali nanti, aku akan baca buku-buku sejarah, geografi, dan sosial-politikku yang akan ada di meja belajarku selamanya, dan kala itu tolong ajak aku berkeliling dunia lagi. Kita lihat seberapa tinggi Eiffel dan Big Ben, seberapa miring Pissa, seberapa tua Colosseum, kita rasakan seberapa panas Sahara di siang hari dan seberapa dingin Gobi di malam hari, kita tapaki seberapa tinggi Himalaya, dan kita telusuri seberapa dalam Palung Mariana. Kita kecap seberapa asin laut Kaspia, kita telusuri seberapa luas samudera Hindia, seberapa dalam samudra Pasifik, dan seberapa dingin Atlantik Utara ketika Titanic tengelam. Kita menyelinap untuk tonton Opera di Vienna kala Austria-Hungaria masih bersatu, dan jangan lupa untuk makan di restoran Wurst di Prussia. Kita longok perang dingin yang hancurkan Nazi itu, dan ah, aku ingin sekali saja menghadiri persidangan Hitler saat ia didakwa, ah, hei.. aku juga ingin tahu kabar Pluto setelah jabatan planetnya dicabut..!

Oh, nampaknya hidupku akan semakin sulit dengan tiadanya lagi kalian semua di sisiku. Padahal, ketika rumus-rumus itu menyiksaku selama ini, kalianlah yang menghiburku. Kini, eksistensi rumus-rumus itu menguat ketika kalian harus pergi dari sisiku. Semoga saja Tuhan berikan aku jalan dan kemudahan agar nilai matematika, fisika, dan kimiaku tak seburuk yang lalu-lalu. Hahaha..

Jangan khawatir, meski aku dan IPS bak Romeo dan Juliet, aku tak segan untuk membelot, dan menjemput kalian wahai Juliet-Julietku jika kita hendak bercengkrama sewaktu-waktu. Kalian cinta pertamaku, dan bagaimanapun, pertamakalinya ada mata pelajaran yang aku benci adalah si rumus-rumus itu. Saat aku duduk di kelas 7 SMP, untuk pertamakalinya aku mengantuk dan hampir tertidur di jam pelajaran sepanjang sejarah hidupku, dan saat itu adalah pelajaran Fisika. Nilai IPA di SKHUN SD-ku hanya 8,75 padahal pada bidang studi Bahasa Indonesia aku bisa meraih nilai 9,60. Sedang lebih mirisnya, nilai matematika di SKHUN SMP-ku hanya 7,25. Entah akan berapa nilaiku nanti jadinya, apalagi aku tak akan pernah lagi mendapat nilai hampir sempurna dalam mata pelajaran IPS yang biasanya berperan penuh menunjang nilai mata pelajaran eksakta-ku yang minim bak pakaian para penari ular.

Ini hanya sebuah penjara, yang harus kulalui persis kala aku bermain monopoli. Nanti akan tiba gilirannya aku bebas, lalu akan kembali pada kalian Juliet-Julietku. Lalu aku berjanji, aku akan memperjuangkan tentang eksistensi kalian, agar kalian dan para pecinta kalian sepertiku tak disebelahmatakan, karena aku takut jikalau bukan aku yang berjuang soal ini, nantinya akan semakin banyak kisah-kisah Romeo dan Juliet lain dalam dunia Pendidikan kita yang menunggu uluran tangan para reformator yang rela mengabdi padanya.


Aku selalu menunggu hari dimana aku bebas dan dapat bersua lagi dengan kalian, cinta pertamaku..


2 comments:

  1. Wedew, keren! Nggak nyesel deh saya menjadikan anda salah satu dari daftar author favorite saya muahahahaha :D

    Eh, wan menurut anda saya ini orang IPA atau IPS? Bingung ._.
    saya suka IPS, tapi saya ngga bisa memungkiri bahwa cinta pertama saya adalah matematika #eeeh, ya, walaupun sekarang nilai mtk saya kayak bikini *buagghh

    ReplyDelete
  2. muahahhaha... ashek, masuk daftar! :3
    err.. gimana ya, yang jelas anda orang seni#plakk
    tapi feby mendingan, cocok dua-duanya kayaknya, gak kaya saya yang ngotot dan samasekali tak fleksible ini =3=

    nilai mtk faby kayak bikini gimana nilai gua feb..
    kayak bikini bottom kali#plakbuaghhjegger

    ReplyDelete