Trending Topics

.

.

Friday, February 20, 2015

Jauh dari Rumah



Rumah bagi saya hari ini adalah segalanya. Pernah dengar ungkapan ‘sesuatu akan terasa berharga ketika berada jauh dari kita’? Mungkin bisa dikira itu yang terjadi, tapi untuk kasus saya, saya telah lama menyadarinya.

Ketika SD, saya banyak main. Terutama di kelas-kelas tua masa itu, hampir setiap pulang sekolah dan di hari libur, saya selalu mangkir dari rumah. Waktu itu baru pertama kali saya tahu soal dunia yang begitu luas diluar rumah, yang ternyata cukup menyenangkan dan bisa dijelajah bersama teman-teman. Di masa-masa itu untuk pertama kalinya saya bepergian secara mandiri, hanya bersama teman-teman saja, tapi kami berpetualang ke setiap sudut kota. Kami menelusuri lorong-lorong kecil perkampungan kumuh, berjalan kaki berkeliling kompleks elit, mencoba semua makanan yang harus dicoba meski tukangnya harus diburu sedemikian hingga: susu raos, baso chuanki, dan sate seribu tiga tusuk. Itu juga masa dimana saya tahu hampir semua bekal yang saya butuh tahu untuk menjadi tour guide paket eksplor Cikarang ketika SMP. Saya tahu dimana orang jual manik-manik dan renda nun jauh di jantung pasar yang bau pesing; saya tahu sisi pasar mana yang jual beras dan yang jual ikan; saya tahu jalan tikus tercepat menuju satu-satunya toko buku di tempat kami; dan saya orang yang bergerak dibalik kunjungan massal ke perpustakaan kabupaten di kalangan teman smp saya yang para anak kota itu. Semua tahu dan pengetahuan itu didapat tak lain dari tour guide yang jauh lebih berpengalaman yang memandu saya dalam petualangan semasa SD. Teman-teman saya yang sehari-hari memang main di pasar, bersepeda keliling penjuru kota, akrab dengan fasilitas publik macam perpustakaan yang dari luar nampak horror itu dan hapal tempat dimana kita bisa menemukan jajanan-jajanan legendaris.

Tapi ajaibnya, entah mengapa, jiwa petualang saya hanya liar di masa itu. Di masa dimana saya sering dilarang bepergian oleh ibu saya. Mungkin karena terlalu sering, mungkin juga karena petualangan itu mengharuskan saya menyebrang dari mulai jalan raya sampai jalur kereta, terutama setelah saya sempat kecelakaan di kelas lima. Seringkali saya tak terima, menangis minta dibolehkan keluar. Tapi sekarang, di hari dimana saya telah beribu kilometer jauhnya berada di luar rumah, saya lebih ingin berada di dalamnya.
Sudah akan menjelang dua tahun saya berada di kota ini, tinggal sementara demi studi. Sungguh syukur saya sangat mencintai studi saya, jadi bersusah hati demikian rupa pun tertahankan karenanya. Jika tidak, tapi jangan sampai ya Allah, mungkin akan sangat lain ceritanya. Demikianpun saya memprioritaskan apa yang saya pelajari disini, keadaan tak selalu baik. Satu-satunya pelipur lara ketika gamang melanda dari penjuru arah semasa jauh dari keluarga adalah para teman seperjuangan. Namun teman adalah teman, mereka datang silih berganti, menghibur lara lagi berurusan sendiri-sendiri, tak selalu termiliki. 

Saya cinta segalanya soal rumah, dan sadar betul akan itu, mungkin sejak SMP. Ketika itu, saya mungkin masih haus soal dunia luar, memperjuangkan banyak hal di luar dan sedikit menganulir kenyamanan rumah di sisi hati sampai saya menyadarinya di SMA, bahwa pasca dua tahun ini, jauh atau dekat rantau memanggil dan kemungkinan besar saya tak lagi tinggal sepanjang hari di rumah ini. Rasanya pilu, bak dikejar-kejar waktu.
Saya cinta bangunan ini dan segala isinya, saya rindu. 

Ini baru lain kota lain provinsi, ada kalanya saya bermimpi soal studi di lain negeri. Namun sanggupkan jika adanya seperti ini? Bukan hanya dalam jarak kilometer, zona waktu pun berjam-jam bedanya. Ah, kenapa dunia ini begitu luas.

Tapi bagaimanapun adanya, saya tetap bermimpi, karena itu juga yang diinginkan orang tua saya, kobar api abadi dalam obor semangat saya. Sungguh murah hati mereka membebaskan pilihan saya, mengorbankan gamang dan mempercayakan masa depan di tangan saya sendiri. Saya harus mempertanggungjawabkannya. Pegangan saya, ada Allah yang Maha Pengasih yang senantiasa mengasihi kami dengan segala rahmatNya dan menjaga keluarga saya selagi saya jauh dari mereka.

Saya sanggup. Karena sejauh apapun saya pergi, saya menanti satu hal yang pasti indahnya: pulang ke rumah.

20 Februari 2015

No comments:

Post a Comment