Trending Topics

.

.

Sunday, March 15, 2015

MENULIS




Konon, sebagaimana yang dikatakan semua mahasiswa sepuh di jurusanku, Pram, sang kiri, sang Indonesia tunggal yang berkali-kali dikandidatkan jadi peraih nobel sastra itu, dalam suatu situasi yang entah bagaimana, dalam sadar atau mabuknya, pernah berkata yang kira kira maknanya, seorang akan hilang jika tidak menulis. Beberapa bulan terakhir, di sisa lowong satu buku batas maksimal kuota pinjam di perpus fakultas, kerap kali kuisikan novel Pram. Dan benar, dirinya, dalam sosok seorang aneh bernama Minke, dengan pergaulan dan segala diskusinya dengan teman-teman dan guru-guru kehidupannya: Nyai Ontorosoh, Komer, Jean Marais, dan dirinya sendiri, menyajikan epik yang sesekali berkesimpulan bahwa seseorang akan bisa bersisa di tengah arus perputaran zaman hanya dengan menulis. 

Semacam sebuah pembaruan besar, karena sebelumnya, Descartes mengatakan hanya perlu berpikir untuk ada. Dengan campur tangan zaman, kemajuan ini itu dan perubahan segala macam, berabad setelahnya, Pram bilang harus menulis. Barangkali berabad lagi harus membuat film. 

Maka dari itu, sebelum semakin rumit prasyarat sekedar pelepasan ganjalan batin ini, aku ingin mencukupkan diri malam ini dengan menulis. Semasa penuh tekanan di SMA, menulis adalah obat hati. Sederhananya, mungkin sekedar dalam bentuk yang orang bilang diary. Tak tahulah apa kata itu berhubungan lebih dekat dengan kegiatan harian atau susu-persusuan. Yang jelas begitulah yang kukenal selama ini. Tapi tulisan harian yang secara tulus berusaha meringankan beban hati, mendokumentasikan juga menggali tanya dan gundah tak terjawab, merekam situasi-situasi lokal yang sejaman akan sangat berharga, jauh daripada sekedar curahan hati yang biasa dibayangkan tertulis dalam sebuah diary. Dulunya kupikir ini bentuk baru. Akulah sang revolusioner dalam diary-mendiary. Tapi tulisan Minke, Max Tollenaar,  yang dia kirim ke kantor Nijman, yang bercerita baik soal Nyai, Robert, maupun Truno, tak lain juga pengamatan dan refleksinya terhadap kejadian di kesehariannya kan?

Sekarang, ketika otak dan segala perangkat alat gerak ini bisa fokus difungsikan hanya untuk membaca, berpikir, dan menulis, luput perhatianku pada obat hati yang selalu setia itu. Jika dalam tekanan sedemikian rupa untuk mengerjakan tugas ini itu yang tak kumengerti dan kukehendaki samasekali waktu itu aku bisa selalu sempat untuk menumpahkan kegelisahan dalam tulisan, mengapa tidak untuk masa-masa indah ini? Barangkali segala yang berubah membuat struktur dalam kehidupan, berkenaan soal kesenangan dan penghiburan juga berubah. Ini yang aku takutkan selalu dari sesuatu yang berubah. Aku harus mengerti dan menaklukannya lagi. 

Pandanganku sekilas menyapu koleksi buku-buku yang kupuja semasa SMA. Ketika oasis begitu kering soal baca-membaca yang topiknya kusukai. Tapi buku-buku itu kini berjajar di rak tanpa menjadi lebih istimewa dari yang lain. Tak ada buku penuh angka kecuali statistik dalam pemaparan sejarah ekonomi. Semua bukuku hampir soshum. Ladang subur, mahligai perak, istana yang kuimpi dalam perjuangan di ambang batas kesanggupan kala itu. Mengapa saat ini mereka perlu terstratifikasi?

Ada yang menyenangkan serupa novel, ketika aku sedang suka. Tapi kadang kala novel pun punya tuturan-tuturan membosankan yang menggelayuti kelopak mata dengan bidadari. Buku berat berada jauh di ujung, pada sudut yang hampir tak tersentuh. Berupa pemanis dan buah dari ambisi lapar mata di tanggal muda, dengan harapan, tanpa jajan, di tanggal tua aku bisa bahagia dan cukup dengan makan buku itu. Aku beruntung, Cuma dikehendaki membaca, berpikir dan menulis, tapi ternyata dalam dunia yang sebegini damai, hobiku itu juga terpilah-pilah. Paling, lebih dan biasa, meski masih soal suka.

Kuharap aku makin pandai meluangkan waktu, lagi pandai pula mengatur uang. Dua kemampuan manajerial yang belum lagi kumiliki detik ini. Dengan sedikit kegiatan saja, tubuh ini rasanya begitu lelah sampai bergerak pada pola-pola yang tak seperti selama ini kumengerti. Aku kira seperti selama ini, aku belum pernah bisa memecah konsentrasi. Tapi kuharap kedepannya semakin bisa. Aku punya banyak ingin yang membutuhkannya. 

Kuharap bisa menulis lebih banyak lagi, meski hanya diary, hanya refleksi atas kehidupan sehari-hari. Aku butuh menyelami pedalaman diriku sendiri.


10 Maret 2015

No comments:

Post a Comment