Konon,
sebagaimana yang dikatakan semua mahasiswa sepuh di jurusanku, Pram, sang kiri,
sang Indonesia tunggal yang berkali-kali dikandidatkan jadi peraih nobel sastra
itu, dalam suatu situasi yang entah bagaimana, dalam sadar atau mabuknya,
pernah berkata yang kira kira maknanya, seorang akan hilang jika tidak menulis.
Beberapa bulan terakhir, di sisa lowong satu buku batas maksimal kuota pinjam
di perpus fakultas, kerap kali kuisikan novel Pram. Dan benar, dirinya, dalam
sosok seorang aneh bernama Minke, dengan pergaulan dan segala diskusinya dengan
teman-teman dan guru-guru kehidupannya: Nyai Ontorosoh, Komer, Jean Marais, dan
dirinya sendiri, menyajikan epik yang sesekali berkesimpulan bahwa seseorang
akan bisa bersisa di tengah arus perputaran zaman hanya dengan menulis.
Semacam
sebuah pembaruan besar, karena sebelumnya, Descartes mengatakan hanya perlu
berpikir untuk ada. Dengan campur tangan zaman, kemajuan ini itu dan perubahan
segala macam, berabad setelahnya, Pram bilang harus menulis. Barangkali berabad
lagi harus membuat film.
Maka
dari itu, sebelum semakin rumit prasyarat sekedar pelepasan ganjalan batin ini,
aku ingin mencukupkan diri malam ini dengan menulis. Semasa penuh tekanan di
SMA, menulis adalah obat hati. Sederhananya, mungkin sekedar dalam bentuk yang
orang bilang diary. Tak tahulah apa kata itu berhubungan lebih dekat dengan
kegiatan harian atau susu-persusuan. Yang jelas begitulah yang kukenal selama
ini. Tapi tulisan harian yang secara tulus berusaha meringankan beban hati,
mendokumentasikan juga menggali tanya dan gundah tak terjawab, merekam
situasi-situasi lokal yang sejaman akan sangat berharga, jauh daripada sekedar
curahan hati yang biasa dibayangkan tertulis dalam sebuah diary. Dulunya
kupikir ini bentuk baru. Akulah sang revolusioner dalam diary-mendiary. Tapi
tulisan Minke, Max Tollenaar, yang dia
kirim ke kantor Nijman, yang bercerita baik soal Nyai, Robert, maupun Truno,
tak lain juga pengamatan dan refleksinya terhadap kejadian di kesehariannya
kan?
Sekarang,
ketika otak dan segala perangkat alat gerak ini bisa fokus difungsikan hanya
untuk membaca, berpikir, dan menulis, luput perhatianku pada obat hati yang
selalu setia itu. Jika dalam tekanan sedemikian rupa untuk mengerjakan tugas
ini itu yang tak kumengerti dan kukehendaki samasekali waktu itu aku bisa
selalu sempat untuk menumpahkan kegelisahan dalam tulisan, mengapa tidak untuk
masa-masa indah ini? Barangkali segala yang berubah membuat struktur dalam
kehidupan, berkenaan soal kesenangan dan penghiburan juga berubah. Ini yang aku
takutkan selalu dari sesuatu yang berubah. Aku harus mengerti dan menaklukannya
lagi.
Pandanganku
sekilas menyapu koleksi buku-buku yang kupuja semasa SMA. Ketika oasis begitu
kering soal baca-membaca yang topiknya kusukai. Tapi buku-buku itu kini
berjajar di rak tanpa menjadi lebih istimewa dari yang lain. Tak ada buku penuh
angka kecuali statistik dalam pemaparan sejarah ekonomi. Semua bukuku hampir
soshum. Ladang subur, mahligai perak, istana yang kuimpi dalam perjuangan di
ambang batas kesanggupan kala itu. Mengapa saat ini mereka perlu
terstratifikasi?
Ada
yang menyenangkan serupa novel, ketika aku sedang suka. Tapi kadang kala novel
pun punya tuturan-tuturan membosankan yang menggelayuti kelopak mata dengan
bidadari. Buku berat berada jauh di ujung, pada sudut yang hampir tak
tersentuh. Berupa pemanis dan buah dari ambisi lapar mata di tanggal muda,
dengan harapan, tanpa jajan, di tanggal tua aku bisa bahagia dan cukup dengan
makan buku itu. Aku beruntung, Cuma dikehendaki membaca, berpikir dan menulis,
tapi ternyata dalam dunia yang sebegini damai, hobiku itu juga terpilah-pilah.
Paling, lebih dan biasa, meski masih soal suka.
Kuharap
aku makin pandai meluangkan waktu, lagi pandai pula mengatur uang. Dua
kemampuan manajerial yang belum lagi kumiliki detik ini. Dengan sedikit
kegiatan saja, tubuh ini rasanya begitu lelah sampai bergerak pada pola-pola
yang tak seperti selama ini kumengerti. Aku kira seperti selama ini, aku belum
pernah bisa memecah konsentrasi. Tapi kuharap kedepannya semakin bisa. Aku
punya banyak ingin yang membutuhkannya.
Kuharap
bisa menulis lebih banyak lagi, meski hanya diary, hanya refleksi atas
kehidupan sehari-hari. Aku butuh menyelami pedalaman diriku sendiri.
10
Maret 2015
No comments:
Post a Comment