2015: Resolusi VS
Kontemplasi
Di hari-hari pertama 2015
ini saya sering ditanya, gak sama meme, gak sama manusia: Resolusi yang belum
tercapai di 2014 apa? Terus saya jawab: Gak ada.
Mungkin terdengar sedikit
sombong. Seolah manusia ini selalu mampu menjemput apa yang sudah ditargetkannya.
Tapi lain dari sana, maksud saya sebenarnya terletak di sisi yang 180 derajat
berbeda darinya. Saya hampir tak pernah beresolusi, atau paling tidak sudah
meninggalkan kebiasaan ini sangat lama.
Dari dulu, pikiran saya
seolah disetting untuk tak terbiasa melihat kedepan. Pernah suatu ketika di
hari-hari chuunibyou saya, saya meniru-niru kebiasaan hatsumoude akibat kebanyakan lihat manga shojo produk majalah komik
dan baca Kira-kira. Waktu itu, sekitar SMP awal, seolah keren, melihat matahari
terbit dan mengharap sesuatu pada bergantinya waktu. Sebenarnya bukan harapan
yang tinggi akan keajaiban, lebih kepada merasa telah menjadi suatu bagian dari
literatur-literatur mellow yang telah saya baca tadi. Haha
Makin tua, orang biasanya
makin realistis, dan begitupun saya. Tapi mengingat bagaimana saya pernah
berada dalam chuunibyou, pernah berada dalam masa yang amat mengagung-agungkan
mimpi dan harapan (sebagaimana anime-anime shojo yang saya tonton) bahkan ketika
teman-teman sebaya saya kebanyakan pun belum mengalaminya, kini saya melompat
jauh menjadi seorang tua yang penggerutu, bukan lagi remaja yang matanya
berlinang-linang saking antusiasnya terhadap mimpi dan harapan.
Sebenarnya, punya mimpi,
atau apa itu namanya, karena sekarang definisinya seperti sudah berubah di mata
saya, bukan hal yang salah. Di dunia ini ada berbagai jenis orang. Ada yang
hidup dalam angan-angan tanpa pernah menapak ke tanah (sebagaimana yang saya
pernah lakukan dulu), ada yang hidup dengan visi dan misi yang memetakan jalan
hidupnya seolah dirinya seorang rennaisans sejati yang percaya bahwa manusia
bisa membaca dunia dan tak ada yang namanya keruntuhan kepercayaan ini di era
pemikiran abad 19-20, dan ada juga yang tak melakukan keduanya, seperti saya
sekarang.
Persisnya, pemikiran
semacam ini mungkin merasuki saya ketika SMA. Waktu pertama masuk, alam pikiran
saya masih dikuasai oleh khayal-khayal luar biasa: lanjut menulis novel, punya
ekskul yang keren, buat blog dan punya fans (?), bahkan mengenal seseorang yang
mungkin akan merubah hidup saya dan membawa keindahan yang lebih dan lebih
kedalamnya. Ah, shojo sekali! Tapi apa yang terjadi? Saya menjadi keren tanpa
melakukan hal yang ada dalam bayangan saya sebelumnya, yang saya kira merupakan
satu-satunya jalan untuk menjadi diri yang keren sebagaimana yang saya selalu
bayangkan sebelum memulai kehidupan yang baru itu. Ibarat kata mimpi jadi
Aurora, saya malah jadi Jean de Arc. Saya tak bertemu siapapun yang membuat
hidup saya lebih indah (dalam konteks yang saya tuju), pangeran berkuda putih
atau apa, melainkan berada di kelas yang seluruhnya perempuan, dan bersebelahan
dengan kelas penyamun, gudang lelaki yang di jam istirahat, jam kosong, maupun
setelah bel pulang sekolah sama saja: jadi warnet dadakan. Ohman -_-
Menjelang tahun kedua
saya malah masuk IPA, dan disini saya jadi Jean de Arc. Kehidupan chuunibyo
alay ala Aurora mengapung jauh di angkasa. Tiap hari saya bertarung dengan PR
sains yang kian menggila, 2 bulan sekali bertaruh nyawa di medan UTS, dan 4
bulan sekali menerima eksekusi di padang UAS. Di masa-masa sulit ini, ketika di
waktu luang pun saya tak lagi ingat main, melainkan justru menikmati membaca bacaan-bacaan
yang tak saya dapatkan di kelas IPA, saya lupa pada cita-cita gemerlapan.
Seketika dalam pikiran saya, dunia tak terkonsep untuk bergerak dengan cara
kerja seperti itu. Apa iya, hanya dengan bercita-cita, bermimpi indah dan
tertidur untuk seribu tahun, seorang pangeran berkuda putih akan benar-benar
menyelamatkanmu dengan bertaruh nyawa dalam segala lapis bahaya? MENGHADANG
BAHAYA UNTUK MENYELAMATKANMU SEMENTARA KAU TIDUR DENGAN NYENYAKNYA?! Dongeng,
man. Kita tidak hidup dalam dongeng.
Demikian pun jadinya jika
kita bermimpi sekolah sampai ke luar negeri kalau setiap hari kerjanya hanya
merangkai khayalan.
Effort, Struggle, atau entah
apa, tapi poin semacam itu hilang dari konsep diatas. Oleh karenanya saya
memulai untuk berdiri dengan konsep baru.
Sebenarnya ini bukan
konsep yang saya persiapkan, melainkan tumbuh seiring dengan waktu dan
pengalaman. Ketika sekarang, tugas-tugas saya semuanya menyenangkan: membaca,
membuat review, menyatakan pendapat, merangkai kisah, bercerita, mendengarkan
cerita dosen yang luar biasa, membuka cakrawala-demi cakrawala yang saya tak
tahu dan selalu antusias terhadapnya, pun membutuhkan tak sedikit energi dan
masih membuat saya lelah, betapa hebatnya kekuatan di masa lalu itu. Kekuatan
ketika saya lelah atas segala macam hantaman atas ketidak mampuan, tapi saya
betul-betul menganggap hal-hal sebagaimana yang saya lakukan sekarang seratus
persen mata air surgawi: ringan, menyenangkan, menyegarkan, membebaskan diri
dari segala beban, dan tentu tanpa energi samasekali.
Ketika berada dalam waktu
yang sulit, impian Aurora seolah sangat mahal dan tak tersentuh oleh tangan
hina yang direndung kemalangan ini. Setitikpun saya tak berani untuk bermimpi
memenangkan diri atas kemalangan ini dan seketika berada diatas. Semua orang
berusaha, bahkan mereka yang tak malang pun berusaha, apalah arti harapan semacam
itu bagi orang seperti saya. Akhirnya saya mengambil jalan tengah. Apapun akan
saya lakukan untuk bisa lepas dari sini, mengakhiri kemalangan ini, dan apapun
yang terjadi setelahnya, itu urusan nanti, yang penting saya lepas dulu dari
sini. Dan benar, tujuan itu yang mengantarkan saya pada diri saya yang
sekarang.
See, bukan lagi
angan-angan tapi target, dan lain impian jangka panjang, ini jangkanya sangat
pendek.
Pandangan yang
menyelamatkan saya ini yang saya lakukan sampai sekarang.
Kalau angan-angan
menyenangkan hati tanpa arti dan kalau resolusi demikian menuntut diri, tujuan
terserah pada kita. Sebenarnya agar tak terlalu terlihat bertekanan, saya akan
menjelaskan definisinya. Tujuan ini lebih kepada melakukan yang terbaik yang
bisa dilakukan untuk saat ini, memilih setiap pilihan hidup dengan tenang, dan
konsekuen. Karena kemudian saya percaya kalau dalam hidup ini segalanya
seimbang. Kemalangan dan keberuntungan adalah sisi kanan dan kiri dari sama
dengan. Ketika masuk IPA buat saya adalah kemalangan, saya justru memiliki
kemampuan untuk menikmati membaca sedemikian hebat, dan memiliki etos
sedemikian tinggi untuk bangkit dan segera beranjak dari tempat itu. Jujur,
sampai saat ini, ketika apa yang saya lakukan telah lebih menyenangkan, saya
belum pernah mencapai titik sehebat itu lagi. Kalau kita menyesali apa yang
kita dapati hari ini, ketika kita di hari yang lalu memilih pilihan yang lain
dari ini dan tak akan sampai pada keadaan yang seperti ini pun, siapa yang jamin
kalau itu akan lebih indah. Mungkin point terakhirnya adalah, ya, tentu:
bersyukur.
Bahkan saya bersyukur
saya pernah masuk IPA, karena jika tidak, bukan mungkin saya akan berada di
tempat ini, hari ini. Dan hari-hari menyenangkan yang saya alami kemudian membuat
saya semakin menyadarinya.
Jadi bagi orang yang
lebih suka hidup dalam aturannya sendiri ini, daripada beresolusi, akan jauh
lebih menyenangkan berkontemplasi.
Resolusi bagi banyak
orang juga artinya baik sih. Menuntut diri kan juga berarti membawa diri untuk
cepat-cepat melangkah pada kemajuan. Tapi yang saya tidak begitu suka, di
dalamnya sering kali ada kata target.
Well, kata-kata ini sangat penuh tekanan dan tuntutan meskipun pengertiannya
lagi-lagi kembali kepada individu masing-masing.
Buat apa menuntut diri sendiri ketika orang lain telah ada untuk menuntut banyak dari kita?Berikanlah diri ini ruang untuk sedikit bebas berkembang, bagaimanapun yang ia inginkan. Yang terpenting adalah berusaha dengan baik dan bakal menjadi sebuah kejutan ketika kita melihat kebelakang, ada sebuah jarak besar yang telah kita buat dengan ini, tanpa tuntutan, tanpa tekanan!
Tahun lalu, saya juga menulis
hal serupa, Cuma ringkasan akhir tahun dan doa untuk tahun kedepannya, tanpa
menyebutkan suatu resolusi yang spesifik, tapi hari ini, bagaimanapun saya tetap
beranjak dari diri saya yang tahun lalu.
Tahun ini, dari tahun
kedua saya naik ke tahun ketiga, dan lantas, punya ade angkatan. Bukan sesuatu
yang terlalu luar biasa sih, tapi ya, siwaramudya yang membuka awal semester
ini, yang telah masak-masak kami rangkai sejak awal semester sebelumnya, jadi
catatan luar biasa di tahun ini. Kalo buat anak sejarah, ini momen penting lah.
Angkatan jadi satunya ya disini. Setelah momen ini, bakal terbentuk sebuah
kesatuan dan tereliminasi beberapa yang tak sejalan. Selain itu, momen ini juga
membawa dua bendera besar yang masing-masing bertuliskan tanggung jawab dan
menjadi dewasa. Dua kata yang berjuta-juta kali diucapkan orang, berkali-kali
pula diucapkan oleh kakak angkatan yang kami mintai saran. Lucunya, disini
nggak semua yang kita kira nggak ada artinya itu nggak ada artinya, dan yang
kita kira berarti itu betul betul berarti.
Di tahun ini, saya juga
resmi telah menembus 4 penjuru jogja sebagai pembonceng. Mulai dari bolak-balik
survey Kaliurang di awal tahun, ngebolang motoran ke Gunung Kidul semester
lalu, ke Magelang, dan ke Pantai Depok semester ini. Hebat banget ya, dan poin
terhebatnya adalah sebagai pembonceng. Sabar banget yang pada pernah saya
bonceng haha. Lagian, salahin Jogja yang angkutan umumnya gak pro-rakyat, yang
bukan habitat sempurna bagi angkot-mania seperti saya.
Ini juga tahun tanpa
kelas sang profesor. Omaigad, awalnya kuliah begitu hampa sampai-sampai kuliah
umumnya diserbu massa. Tapi ya, nanti juga ketemu lagi, lagipula sebagai DPA
yang membawahi saya, kami punya jadwal wajib menghadap beliau tiap semesternya.
Haha~ Tapi tahun ini saya pernah
berbicara langsung (Baca: sedikit lewat mas Uji) sama Prof. Adrian Vickers
saudara saudara~ Eouh, bangga banget gitu doang juga -_- // Biarin. Secara, Adrian
Vickers, dan dia pernah presentasi dengan tema yang sama di Oxford, terus ketika
itu di UGM, di ruang multimedia yang biasanya kami pake kuliah. Saya nanya,
terus dijawab, dengan sangat keren, sekeren presentasinya tentang sejarah
komoditi kerang mutiara di Indonesia Timur waktu itu yang 100% pake bahasa
Indonesia. Aih~ *blush* #dor
Bahagianya, tahun ini
juga saya ada beberapa kemajuan soal bahasa. Meski kelas bahasa Inggris justru
ada di semester satu, itu bukan apa apa kalo yang dipelajari masih sama kaya
yang di kursus-kursus sejak jaman dahulu kala: conversation, grammar, dan
kawan-kawan. Tapi semester genap dibuka dengan BAHASA INGGRIS TERAPAN. Ulala,
berasa sejarah IUP. Waktu itu kami baru lulus semester satu dengan raihan
berupa buku Ricklefs yang bahkan belum sampai tamat dibaca. Banyak diantara
kami yang masih kaget sama tuntutan membaca dan baru hanya menamatkan Pengantar
Ilmu Sejarah-nya pak Kunto. Tapi di mata kuliah ini kami disuruh baca
jurnal-jurnal yang full english. Omaigaad, baca bahasa Indonesia aja masih
mikir bolak balik.
Meski dipenuhi tuntutan
tugas yang setiap minggu pasti ada dan kuliah yang tanpa subtittle, akhirnya,
kami berhasil juga, dan sedikit-sedikit mulai terbiasa sama bahasa yang katanya
internasional ini. Gak Cuma bahasa inggris terapan, matkul historiografi pun
mewarisi sebundel materi yang harus kami baca dan isinya dari mulai bahasa
indonesia konvensional, ejaan 60-an, ejaan 40-an, sampai bahasa inggris juga
saudara saudara. Pokoknya mabok deh. Tapi kalo nggak ada semester dua, mungkin membaca
belom lagi jadi senikmat sekarang hari ini. Tresno
jalaran seko kulino. Bisa karena biasa. Meski awalnya menyiksa,
akhir-akhirnya manis juga. #halah
Di semester tiga hadir
BAHASA BELANDA TIGA. Meneer vakum ngajar, jadi diganti dosen lain, tiga, yang
gaya ngajarnya luar biasa, luar biasa nggak nyante. Awalnya mabok. Yang biasanya
cuma ngartiin yang kalo nggak bisa dibantu, ini jadi menebak struktur kalimat,
vokus ke gramatika, dan lain sebagainya. Kamus saya yang males dibuka pas
semester satu dua, ini langsung jadi keriting. Baik tugas maupun dikelas,
semuanya jadi kesempatan mikir keras. Baca dan ngartiin digilir dengan
disiplin, dan kalo nggak bisa berakhir dengan panas dingin. Tapi berkahnya,
baru di semester ini saya yah, ngerti rengrengannya bahasa belanda lah. Paling
nggak, semester ini saya samasekali nggak pernah ngerjain tugas maupun ulangan
pake google translate *yeay*. Meski dalam beberapa kesempatan, makin tua teks,
makin jumpalitan juga pikiran saya, tapi ya, jujur jujur jujuur banget, baru
kali ini saya ngerti bahasa belanda.
Dan sumpah, matkul
semester ini tuh hampir semuanya exiting. Yang awalnya nyante, akhirnya bikin
senewen semua. Bayangkan, PPS, saudara-saudara. Sebelum UTS kerjaan kita Cuma jalan-jalan,
Arsip Pakualaman, Arsip Kraton, Arsip Daerah. Motoran bareng sama dosennya
juga, coba liat-liat arsip, dan dikasih tau kalo mau ngakses caranya gimana,
dan setelah UTS, kita jalan-jalan lagi, tapi SENDIRI. Seminggu setelah UTS,
kita bawa tema plus judul ke hadapan dosen pengampu matkul dan teman-teman.
Ketika itu saya bawa judul apa? Yap, mi instan, dan mau dibawa kemana? Mau dibuat
ngeliat rekonsiliasi Indonesia Jepang gara-gara pabrikan mi instan awal-awal
semuanya hasil patungan sama perusahaan Jepang. Tapi saya masih bloon. Sejak
kapan politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif? Sejak kapan Indonesia masuk
PBB, keluar, dan bahkan masuk lagi? Apakah dengan itu, ajang maaf-maafan
Indonesia dengan Jepang baru terjadi ketika muncul pabrik mi instan? Bagaimana
dengan tol? Omaigad, saya terlalu berpikiran pendek.
Alhasil, setelah konsul
dan konsul, saya dapet pencerahan. Mi instan bukan bukti rekonsiliasi, tapi
sebuah budaya konsumsi baru yang meroket dalam waktu kurang dari dua dasawarsa,
merangsek nasi langsung di urutan kedua. Masalah inilah yang jadi sumber dari
segala sumber masalah bagi PPS saya. Nyari iklan di koran Jogja Library Center
malioboro ketika ongkos trans dan kopata sama sama 4000 jauh dekat *hiks* dan
jajanan malioboro mahal-mahal. Nyari statistik di BPS yang perjalanannya dari
kampus memakan waktu satu jam motoran, ga ada angkutan umum, dan saya gak tau
akan jadi apa kalo nggak punya barengan. Nyari statistik di perpus pusat dalam
kondisi meriang, dan nulis pula dalam kondisi meriang. Untung nyokap bokap
sekeluarga nengokin ditengah-tengah keadaan genting. Saya dikerokin,
diberobatin lagi, sembuh, dan kembali bisa menulis. Dan hasilnya 40an halaman,
masterpiece tulisan sejarah bermetode (meskipun seancur-ancurnya metode
sejarah) pertama saya lahir 1 Januari kemarin. Terharu luar biasa men! Ini pencapaian
terbesar tahun ini.
Tahun yang jadi tahun
politik ini juga membawa saya mengenal dunia baru bernama politik. Baru minor
banget sih, ranah HMJ coy. Tapi yang namanya politik, tetap kejam. Ada sebuah
cerita besar dibalik musyawarah besar tahun ini, dan itu cukup mengejutkan buat
saya yang belom pernah berkecimpung di politik mana-mana, termasuk politik osis
jaman sekolah ini. Tapi untunglah semua beres, dan kami masih menjadi kami yang
sediakala.
Di kosan, gak ada banyak
perubahan selain poster-poster yang mulai ngelotok bersamaan dengan cat yang
mengelupas. Saya gak pindah kos, masih disini. Sebenernya mau aja kalo keadaan
memungkinkan. Tapi mengingat ekonomismenya, dan kebutuhan untuk beradaptasi
kembali di lingkungan yang baru, saya memilih untuk bertahan. Meski sudah cukup betah di kos, dan sekarang
salah seorang besties saya, si Dancho-nya TJ menetap di kota yang sama dan
sering main kesini. Entah kenapa, selain kehidupan di kampus, ini masih mimpi,
dan saya baru bangun ketika pulang lagi ke Cikarang.
Yah, namanya juga rumah
men, 15 tahun lebih saya disana~
Akhir kata, saya bahagia
tahun 2014 ini telah membawa banyak hal bagi saya. Kenikmatan membaca, matkul
abad 16 dan 17-18 yang luar biasa exiting, sedikit-sedikit mulai mengerti
Belanda, masterpiece PPS apapun nanti nilainya, kesempatan exploring banyak
sudut Jogja dari sama bocah kelas sampe sama nyokap bokap adek kemaren, dan
masih banyak lagi.
Semoga tahun 2015 bisa
menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dari sebelumnya.
Oya, Indonesia juga
jangan mau kalah di free trade ASEAN
yaaa~ XD
No comments:
Post a Comment