Trending Topics

.

.

Monday, November 18, 2013

Masihlah Kisah Cinta yang Sama

Guyes, sekali lagi hidup ini membuat saya terpana sekaligus senyum-senyum sendiri. Banyak sekali misteri yang ada di dalamnya, terkadang apa yang sebenarnya misteri itu meliputi hal-hal sederhana yang banyak tak kita sadari. Tapi inilah kenyataannya, sadar atau tidak, dengan campur tangan kita atau bukan, kehidupan adalah sebuah mekanisme ajaib yang nyata.



Suatu ketika di salah satu kelas, saya pernah di troll oleh seorang teman baru saya. Dia yang ketika itu duduk di sebelah saya bertanya saya suka sejarah apa. Saya bilang, saya suka Kolonialisme Barat, apapun yang kaitannya sama ekspansi kekuasaan Barat kesini deh, terutama sejarah Jakarta. Lalu dia melanjutkan, "Ayo coba kolonialisme sama imperialisme bedanya apa?" Dan disanalah saya kalah. Entah kenapa saya bisa kehilangan poin waktu itu. Bagaimana mungkin saya jatuh oleh pertanyaan yang demikian mendasar. Oke saya memang habis merehatkan otak saya untuk beberapa bulan, tapi saya pernah baca beberapa buku menarik, dan sepantasnya saya tak melupakan substansinya. Tapi sudahlah, tuan yang pernah menjatuhkan saya. Sekarang saya sudah lebih banyak membaca. Saya mungkin speechles soal sejarah militer dan persenjataan, tapi saya janji nggak akan kalah soal sejarah kolonial lagi. Saya angkat topi soal knowledgemu yang luar biasa, dan itu tantangan yang luar biasa juga buat saya.

Tadi di kelas paling istimewa sesemester, Pengantar Sejarah Indonesia, nostalgia tiba-tiba menculik saya untuk secara ragawi tidak lenyap dari kursi paling depan yang segaris lurus dengan meja dosen, tapi lenyap secara konsentrasi karena seketika layar proyektor menampilkan judul presentasi, saya kembali ke hari-hari Rabu semasa kelas satu SMP, sekitar jam 10, setelah olahraga yang disambung istirahat; kelas sejarah Bu Nanik Purwati.

Beliau sempat kami juluki Bu Rocker karena suaranya yang khas sekali. Jikalau sudah berurusan dengan sampah dan kedisiplinan di dalam kelas Beliau amat garang. Entah kenapa, saya yang sebenarnya amat urakan, sebodoan, dan susah sekali untuk bisa terikat baik dengan aturan ini kebanyakan justru memiliki guru-guru favorit semacam ini ya? Saya juga kurang tahu sampai sekarang. Yang saya mengerti cuma galak atau tidak itu bukan soal asal saya sudah lebih dulu suka. Dan saya cinta sekali dengan pembawaan beliau.

Professor kami bilang, apa yang diajarkan di sekolah selama ini, yang bahannya mengacu pada Sejarah Nasional Indonesia yang tak lepas dari pesanan politis ORBA, sejarahnya punya banyak kesalahan. Aru Palaka sang Kaisar Sulawesi di cap pengkhianat sebagai konsekuensi dari mengangkat Hasanuddin sebagai pahlawan. Simpelnya, beliau katakan sebagai "Gagalnya Historiografi Indonesia" yang terkenal itu. Sebagai antitesis, ketika diskusi selepas kuliah ini salah seorang teman saya mengeluarkan steatment yang cukup keras, "Berarti Institusi Keguruan itu penuh kebohongan dong Pak."

Tapi Professor tak lantas mengiyakan. Dan itu jawaban yang cukup melegakan. Katanya, "Kita nggak bisa bilang demikian, Mas. Memang mereka mempelajari apa yang akan mereka ajarkan di sekolah, tapi saya yakin anda-anda sekalian disini pasti memiliki guru sejarah yang hebat. Saya pun punya guru sejarah yang hebat."

So, Pak, I got it. Sejarah yang diajarkan di sekolah memang bukan sejarah kritis. Orang-orang diatas, para penyusun kurikulum misal, memang memiliki kewajiban untuk tidak mewarisi semakin jauh sebuah langkah yang salah. Memang tak ada sejarah yang objektif, tapi subjektif pun, objektifitas tetap adalah hal yang paling diusahakan seorang sejarawan. Beberapa guru mengajar bak menggunakan tutorial untuk memasang sekrup demi sekrup di sebuah mainan rakitan, tapi guru-guru spesial berimprovisasi dan menginspirasi. Membangun dalam mindset murid-muridnya lebih dari sekedar tujuan melainkan impian. Guru-guru seperti itulah yang beliau maksud saya rasa.


Di buku teks, saya tak menemukan nama Afonso de Albererquerque, tapi Bu Nanik memanggilnya berulang ulang hingga ia terngiang sampai sekarang di benak saya, bersama bayangan seorang Portugis berbaju merah. Di buku tak ada Dr. Nomensen yang Zending, atau Franciscus Xaverius yang Missionaris itu, saya baru menemukannya di buku lain beberapa tahun kemudian, tapi nama itu bisa demikian awet bercokol dalam benak saya. Dan masih banyak nama-nama lain yang berperan dalam dua kali empat puluh lima menit panggung sandiwara beliau yang membentangkan cakrawala sejarah yang demikian luas dari Perang Salib hingga Napoleon kalah dan tercetus Konverensi London. 

buku ajaib ini masih saya bawa sampe Jogja~

Buku tulis tipis saya ini hanya tilas yang terlihat, karena selebihnya Beliau telah melukis dengan indah di benak saya sehingga ketika saya membuka buku tipis ini di hari ini, ketika 5 tahun sudah berlalu sejak Beliau membawakan kisah ini di kelas, buku ini adalah jendela yang menyajikan dunia dengan segala warna-warninya yang indah dan perjalanannya yang menakjubkan dari masa ke masa. Mungkin tilas ajaib ini akan tetap saya bawa ketika suatu saat nanti saya ke Leiden.



ini foto catatan saya pas SMP~

Lima tahun setelah untuk pertama kalinya saya mendengar kisah ini, tadi dosen saya menerangkannya lagi. Bahasannya hampir sama, hanya berbeda di beberapa aspek partikuler saja. Dan ketika itu, perasaan saya berada di dua dimensi waktu berbeda, di sebuah kelas berlabel 7.6 disamping seorang bocah gila Fisika bernama Nurina Nidya, atau di ruang G.302 gedung Zoetmoelder FIB UGM, di sebelah seorang pelawak intelek yang expert Sejarah Jawa. 

Saya tak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, bagaimanapun saya merasakan indahya jatuh cinta lagi, entah untuk yang berapa kali sejak saya pertama kali jatuh cinta pada mata pelajaran ini di kelas tiga SD dulu. Saya pernah berada pada situasi dimana saya merasa sangat tidak menikmati kelas, mati-matian menahan kantuk, memutar otak demi memasukkan materi yang samasekali tidak ramah, dan menjadi salah satu dari yang terbuang, orang-orang yang eksistensinya samasekali tidak berarti, orang-orang di garis tepi yang hanya bisa memancing keluar emosi guru. Setelah masa-masa berat itu, indah sekali rasanya jatuh cinta lagi, menemukan diri saya diterima dan bahagia. Terimakasih atas hidup yang penuh berkat ini Tuhan, apapun yang saya lakukan tak akan pernah melukiskan syukur yang semestinya.


Kadang saya tak sabar untuk mengetahui misteri apa lagi dalam hidup ini yang akan terbongkar dan memancing keluar selengkung senyum saya. Tapi ketika dorongan untuk itu muncul, saya mulai menahan diri. Menyiram api-api gejolak yang mulai muncul dengan air embun pagi hari, dan meyakinkan diri bahwa tak perlu sedemikian buru-buru. Saya hanya perlu menikmati alurnya dan menemukan saya menjadi orang yang bahagia nantinya, jauh lebih bahagia dari sekarang.


18 November 2013

No comments:

Post a Comment