Rumah
bagi saya hari ini adalah segalanya. Pernah dengar ungkapan ‘sesuatu akan
terasa berharga ketika berada jauh dari kita’? Mungkin bisa dikira itu yang
terjadi, tapi untuk kasus saya, saya telah lama menyadarinya.
Ketika
SD, saya banyak main. Terutama di kelas-kelas tua masa itu, hampir setiap
pulang sekolah dan di hari libur, saya selalu mangkir dari rumah. Waktu itu
baru pertama kali saya tahu soal dunia yang begitu luas diluar rumah, yang
ternyata cukup menyenangkan dan bisa dijelajah bersama teman-teman. Di
masa-masa itu untuk pertama kalinya saya bepergian secara mandiri, hanya
bersama teman-teman saja, tapi kami berpetualang ke setiap sudut kota. Kami
menelusuri lorong-lorong kecil perkampungan kumuh, berjalan kaki berkeliling
kompleks elit, mencoba semua makanan yang harus dicoba meski tukangnya harus
diburu sedemikian hingga: susu raos, baso chuanki, dan sate seribu tiga tusuk.
Itu juga masa dimana saya tahu hampir semua bekal yang saya butuh tahu untuk
menjadi tour guide paket eksplor Cikarang ketika SMP. Saya tahu dimana orang
jual manik-manik dan renda nun jauh di jantung pasar yang bau pesing; saya tahu
sisi pasar mana yang jual beras dan yang jual ikan; saya tahu jalan tikus
tercepat menuju satu-satunya toko buku di tempat kami; dan saya orang yang bergerak
dibalik kunjungan massal ke perpustakaan kabupaten di kalangan teman smp saya
yang para anak kota itu. Semua tahu dan pengetahuan itu didapat tak lain dari
tour guide yang jauh lebih berpengalaman yang memandu saya dalam petualangan
semasa SD. Teman-teman saya yang sehari-hari memang main di pasar, bersepeda
keliling penjuru kota, akrab dengan fasilitas publik macam perpustakaan yang
dari luar nampak horror itu dan hapal tempat dimana kita bisa menemukan
jajanan-jajanan legendaris.
Tapi
ajaibnya, entah mengapa, jiwa petualang saya hanya liar di masa itu. Di masa
dimana saya sering dilarang bepergian oleh ibu saya. Mungkin karena terlalu
sering, mungkin juga karena petualangan itu mengharuskan saya menyebrang dari
mulai jalan raya sampai jalur kereta, terutama setelah saya sempat kecelakaan
di kelas lima. Seringkali saya tak terima, menangis minta dibolehkan keluar.
Tapi sekarang, di hari dimana saya telah beribu kilometer jauhnya berada di
luar rumah, saya lebih ingin berada di dalamnya.
Sudah
akan menjelang dua tahun saya berada di kota ini, tinggal sementara demi studi.
Sungguh syukur saya sangat mencintai studi saya, jadi bersusah hati demikian
rupa pun tertahankan karenanya. Jika tidak, tapi jangan sampai ya Allah,
mungkin akan sangat lain ceritanya. Demikianpun saya memprioritaskan apa yang
saya pelajari disini, keadaan tak selalu baik. Satu-satunya pelipur lara ketika
gamang melanda dari penjuru arah semasa jauh dari keluarga adalah para teman
seperjuangan. Namun teman adalah teman, mereka datang silih berganti, menghibur
lara lagi berurusan sendiri-sendiri, tak selalu termiliki.
Saya
cinta segalanya soal rumah, dan sadar betul akan itu, mungkin sejak SMP. Ketika
itu, saya mungkin masih haus soal dunia luar, memperjuangkan banyak hal di luar
dan sedikit menganulir kenyamanan rumah di sisi hati sampai saya menyadarinya
di SMA, bahwa pasca dua tahun ini, jauh atau dekat rantau memanggil dan kemungkinan
besar saya tak lagi tinggal sepanjang hari di rumah ini. Rasanya pilu, bak
dikejar-kejar waktu.
Saya
cinta bangunan ini dan segala isinya, saya rindu.
Ini
baru lain kota lain provinsi, ada kalanya saya bermimpi soal studi di lain
negeri. Namun sanggupkan jika adanya seperti ini? Bukan hanya dalam jarak
kilometer, zona waktu pun berjam-jam bedanya. Ah, kenapa dunia ini begitu luas.
Tapi
bagaimanapun adanya, saya tetap bermimpi, karena itu juga yang diinginkan orang
tua saya, kobar api abadi dalam obor semangat saya. Sungguh murah hati mereka
membebaskan pilihan saya, mengorbankan gamang dan mempercayakan masa depan di
tangan saya sendiri. Saya harus mempertanggungjawabkannya. Pegangan saya, ada
Allah yang Maha Pengasih yang senantiasa mengasihi kami dengan segala rahmatNya
dan menjaga keluarga saya selagi saya jauh dari mereka.
Saya
sanggup. Karena sejauh apapun saya pergi, saya menanti satu hal yang pasti
indahnya: pulang ke rumah.
20 Februari 2015