Trending Topics

.

.

Monday, May 20, 2013

Bitterism

Sebuah devinisi rasa tidak enak oleh lidahh bagian pangkal, dan secara konotatif kerap diartikan sebagai sebuah keadaan yang tidak menyenangkan dalam hal apa saja. Meski ada beberapa pahit yang dicandu sebagian orang seperti pada dark chocolate, kopi, pare, daun pepaya, bahkan jengkol, tetap saja secara umum rasa pahit itu tidak enak. Sebongkah lidah yang pemiliknya menyukai rasa manis ada banyak, tapi tidak demikian dengan pecinta pahit. Mereka yang menerima dan mencintai kepahitan secara keseluruhan hanya mereka yang mampu memfilter dan lantas mereguk kenyamanan dari rasa pahit yang mereka rasakan, seperti misal, para masokis!#dor

Beberapa kelompok humanis sering mengelu-elukan slogan ‘hidup cuma sekali’ dan lantas memaknainya sebagai sebuah lingkup dimensi dimana kita semestinya mencoba apa yang membuat kita penasaran, melakukan apa yang kita sukai, dan hidup aman dengan menjaga jarak sejauh-jauhnya dari unsur yang tidak mengenakan, atau yang dalam hal ini bisa kita definisikan sebagai rasa pahit. Bagi orang yang berpandangan seperti mereka, melulu hidup hanya soal manisnya saja, tapi itu bukan puncak kehidupan saya rasa karena kehidupan berlatarkan dunia, bukan surga. Jika surga adalah tempatnya segala kebaikan, dan neraka adalah sarang dari berbagai bentuk keburukan, dunialah tempat kedua hal tersebut memiliki kedudukan yang sama dan saling berlomba untuk menyebarkan pengaruh mereka. Padahal slogan semacam ini pada akhirnya bisa melahirkan liberalisasi diri yang tak bertanggung jawab.

Ketika ada kelompok yang begitu optimis tentang kebaikan hidup, ada yang lain yang menempati posisi sebagai lawan mereka karena yah, kehidupan itu seimbang, persis rata antara hitam dan putih. Kelompok itu yang pandangan hidupnya selalu melukiskan kesuraman. Waktu mereka dalam hidup yang katanya cuma sekali jadi dipersempit dengan sempitnya pemikiran mereka. Mereka sibuk memprasangkai buruk sistem kehidupan, dan mereka hidup untuk diuji seberapa tinggi ketahanannya menghadapi persoalan. Yang mereka sebut optimis adalah membalut tubuh dengan perban ketika baru dihadapkan dengan sepuluh persen kemungkinan kecelakaan, dan mungkin mengubur diri ketika kemungkinan kecelakaannya mencapai lebih dari lima puluh persen. Dalam kasus ini, saya pernah membaca sebuah buku motivasi. Buku tersebut mendoktrinisasi seseorang untuk bermimpi, tapi mimpi dalam definisi mereka berbeda dengan apa yang saya tangkap selama ini. Mimpi selama ini buat saya adalah sebuah bintang yang kecemerlangannya membuat kita jatuh cinta dan tanpa tekanan, dengan kesediaan terdalam, kesetiaan, dan kepenuhan membuat tanpa sadar kita candu terhadapnya dan selalu menjadikannya sebagai etos kerja, penyemangat dan pembakar tekad. Sedangkan dalam buku itu, mimpi adalah misi yang harus dilengkapi dengan visi-visi rinci sehingga menurut saya justru terdengar seperti sebuah pengaruh yang bertekanan. Mungkin pengertian saya terlalu ideal dan terdengar terlalu ajaib bagi tempat sekejam dunia, tapi saya menyukai dan dapat memetik dampak positif dari pandangan tersebut, meski saya pun tak bisa menyebutnya benar.

Diantara kedua kelompok yang berlawanan, seperti biasa ada kelompok netral yang rentan kadarnya sedikit melebihi kadar kelompok pahit, sampai hampir menyamai kadar kelompok manis. Dari uraian diatas, kelompok tersebut sudah bisa didefinisikan.

Lalu dimanakan sudut pandang saya berada? Entahlah. Yang diatas hanya generalisasi tanpa landasan yang begitu kuat, tak perlu diambil pusing. Saya hanya kerap melihat orang-orang ada dalam kelompok kelompok tersebut. Saya ini sebenarnya berpandangan cukup optimis, dan saya akui itu kerap jadi kekuatan saya. Berpandangan optimis membuat kita merasakan setengah dari kemanisan yang kita impikan. Berpandangan optimis juga bukan berarti memenuhi hidup dengan kesenangan, bukan juga melukai diri sendiri. Tak dalam setiap posisi seseorang berhak beroptimis-ria. Optimis hanya ketika kita sudah merasa pantas karena sudah melakukan usaha yang maksimal. Optimis juga bukan berarti over convident yang bisa mengakibatkan goncangan hebat ketika jatuh. Saya hanya tak ingin kepahitan memenuhi benak saya. Saya tetap ingin bahagia, dan membalut luka saatnya bukanlah sebelum eksekusi, melainkan setelah eksekusi. 

No comments:

Post a Comment