Cerpen yang juga dibuat dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja, selamat menikmati~
Di belakang rumah,
mengalir sebentang sungai rakyat. Mengapa kusebut begitu? Karena nyatanya,
sekotor apapun sungai itu, rakyat sepinggiran sungai masih tetap bergantung
padanya. Mungkin karena itu juga air disebut sebagai “sumber kehidupan”. Entah
itu sebatas untuk pengairan kebun atau sarana MCK. Dulunya, pemandangan di
belakang rumahku bak latar desa-desa elok di FTV. Sebelum bertemu langsung
dengan sungai, sehamparan kebun bertaburkan berbagai jenis sayuran terbentang
luas di depannya. Dari mulai bayam, kangkung, terung, labu, sampai yang kecil
seperti kemangi. Di tepian sungai, rimbun bambu tumbuh lebat seolah memagari
sungai agar anak-anak tak sembarangan menceburkan diri lalu ditemukan mati
mengambang.
Pagi hari sebelum
berangkat sekolah, biasanya aku menjemput ibuku yang berangkat mencuci di
sungai sedari habis Subuh. Sekedar untuk membawakan seember kecil cucian atau
papan gilesannya memang, tapi aku selalu melakukannya dengan senang hati karena
kesegaran udara paginya yang tak tertandingi, dan matahari bulat dengan
cahayanya yang hangat yang menyembul perlahan dari balik rimbun pohon-pohon
besar berusia ratusan tahun di depan sana. Jalan yang kulewati dari sungai
bukanlah jalan aspal yang lebar, melainkan sebuah pematang yang membelah
hamparan kebun ragam sayuran, yang sempit, panjang, dan berundak-undak.
Rumah yang kutempati ini
sudah beberapa kali direnovasi sejak hari itu. Bentuk awalnya sangat sederhana,
dengan hanya memiliki beberapa ruangan inti, berdinding bata merah, tanpa
eternit, dan berlantaikan tanah. Di awal kepindahan kami kesini malah kami
sempat harus bertahan beberapa bulan tanpa listrik yang memadai. Tapi untunglah
semuanya sudah jauh membaik sekarang. Rumah kami telah berdiri dalam kondisi
yang cukup nyaman saat ini. Meskipun pada kenyataannya definisi dari perubahan
amat beragam macamnya. Perubahan tak selalu mendeskripsikan suatu predikat
baik, bisa juga buruk. Tak selalu merupakan kemajuan, bisa juga kemunduran,
atau setidaknya kemajuan, tapi pasti ada hal yang harus dikorbankan untuk itu.
Bertahun berselang
setelah latar waktu yang kupaparkan tadi, aku masih meninggali rumah ini
bersama keluargaku. Rumah yang bukan lagi berdindingkan bata merah dan
berlantaikan tanah, tapi bentuk dasarnya tak terlalu banyak berubah. Lain
halnya dengan apa yang ada di luar rumah, semuanya berubah, sangat banyak
berubah malah.
Kebun sayuran warga yang
ada di belakang rumah —yang membatasi rumahku dengan aliran sungai— kini telah
ditumbuhi komoditi lain. Tumbuhan yang sempat memancing beberapa kerusuhan,
menumbuh suburkan aksi premanisme dan pencaloan, tumbuhan keras yang tumbuh
pesat; perumahan. Lahan yang semula ditumbuhi pepohonan berdiameter hingga tiga
depa orang dewasa itu kini digunduli dan dibuat petak-petak rumah ekonomis yang
harganya disesuaikan dengan daya beli masyarakat menengah kebawah tapi
kualitasnya juga sangat menengah kebawah. Udara pagi hari yang segar sudah
tidak ada lagi. Setiap pagi, pasti ada saja orang yang membakar sampah, dan
asap beracunnya pun mengepul kemana-mana. Lahan bermain anak-anak kini terbabat
habis sudah. Padahal mulanya kami bermain dengan bebas dan nyaman dibawah
pepohonan tua yang rindang.
Laju pembangunan memang
tak dapat di dihentikan sepakem apapun remnya. Kian hari, warga dari usia
produktif yang berurbanisasi dan mengadu nasib di kota satelit seperti tempatku
ini semakin membludak saja. Lahan strategis di tengah kota tentu sudah hampir
habis dan tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan papan mereka, jadilah
kebun-kebun kosong dan tabungan para tuan tanah di perkampungan pinggir-pinggir
kota macam ini yang jadi bidikan para kontraktor.
Memang, angkutan umum
menuju kesini yang semula sulit diakses kini jadi agak mudah. Infrastruktur
seperti jalan dan jembatan banyak yang diperbaiki. Tapi tetap saja, kemacetan
yang semula langka bak spesies tinggalan zaman purba kini bisa ditemui dengan
mudah, setiap detik, setiap waktu. Lahan yang semulanya sawah juga banyak yang
dijadikan perumahan dikarenakan permintaan pasar yang begitu tinggi. Jadilah
kini harga beras juga ikutan melambung tinggi. Jika sudah begini dapat
dipastikan, selamanya, pengulangan prestasi swasembada pangan akan hanya jadi
wacana.
Aku memang tak lahir
disini, tapi di bongkahan tanah ini aku menghabiskan 13 tahun dari 16 tahun
keseluruhan usiaku sampai detik ini. Jika ditanya soal seberapa banyak tempat
ini berubah, aku punya sepaparan jawaban yang akan membuat kalian tercengang,
jauh dari ini. Hanya satu hal yang bisa disimpulkan; Boleh jadi ada
undang-undang, program pemerintah, atau apapun sejenisnya, tetapi kelajuan
waktu selalu dinamis tanpa pernah bisa terhenti, mengikutinya pula pergantian
era dan revolusi zaman, maka dari itu
perubahan-perubahan adalah hal yang tak terhindarkan, dan ketahuilah,
tak ubahnya norma hukum, sifatnya memaksa.
Perubahan memang kerap
dimaknai sebagai kemajuan, tapi untuk mencapai suatu kemajuan, pasti harus ada
yang dikorbankan. Maka dari itu, dari setiap kemudahan yang diperoleh dari
adanya sebuah kemajuan, akan ada juga yang hilang. Bukan hanya soal alam,
lingkungan, atau yang lainnya, tapi juga soal diriku sendiri.
Beberapa tahun lalu,
ketika rimbun pohon hijau berusia ratusan tahun masih banyak tumbuh disini, aku
masih sangat kecil. Tinggiku masih setengah dari daun pintu yang hampir
kusundul saat ini. Dan layaknya anak kecil lainnya, aku masih sangat manja,
cengeng, dan tak bisa apa-apa. Kini usiaku sudah banyak bertambah sejak saat
itu, tapi ketika menyadari bahwa waktu yang sudah kulalui di belakangku telah
segini panjangnya, aku banyak menyesalinya. Bahkan dengan gilanya berpikiran
untuk tak ingin jadi dewasa. Bagaimanapun, usia-usiaku yang sekarang adalah
masa transisi yang sulit. Aku seorang remaja yang masih sangat kekanakan, yang
sekaligus sedang dilatih keras untuk menjadi dewasa.
Setiap mengingat
bagaimana sosok kecilku pernah berlarian di tempat-tempat sekitar rumahku yang
sekarang sudah tidak ada, hatiku mencelos. Detik itu juga aku menyadari bahwa
sosok kecil itupun kini sudah tidak ada. Jika kebetulan ada malaikat yang
menghampiriku dan menawariku satu permintaan untuk diwujudkan, aku ingin aku
punya ingatan yang kuat, yang cukup untuk menyimpan semua kenangan-kenanganku
di waktu yang lalu tanpa terlewat sedikitpun, karena kesemuanya sungguhlah berharga.
Perubahan, ya, sifatnya
memang memaksa. Aku masih ingat ketika pertama kali ibuku membiasakanku untuk
dirumah sendirian saat ditinggal ke warung, atau di hari pertama masuk sekolah.
Semuanya menuntutku untuk berubah, yang tadinya tidak berani menjadi berani,
yang tadinya tidak disiplin menjadi disiplin. Namun di usiaku yang sekarang,
bukan hanya perubahan seperti itu yang harus kuhadapi. Melainkan banyak
perubahan-perubahan lainnya yang tentunya setingkat dengan levelku yang saat
ini.
Sekarang, di setiap pagi
seperti ini aku harus berangkat sendiri. Menyusuri jalan setapak hingga ke
jalan besar lalu naik angkot tanpa pernah diantar lagi. Padahal, cara berangkat
sekolah yang seperti ini terkadang memaksaku untuk berlari karena macet, atau
bahkan bertaruh dengan waktu mendekati ditutupnya gerbang sekolah. Meski berat
dan terkadang aku iri pada kawanku yang perjalanan dari rumah ke sekolahnya
dijamin akomodasi pribadi, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang aku
lakukan sekarang bisa membuatku menjadi lebih baik di waktu mendatang.
Dari dalam angkot,
matahari yang baru muncul dari sebelah timur tak henti mengiringi perjalananku
seolah sedang mengawasiku dengan intens dari tempat yang jauh di atas sana.
Sama halnya dengan yang terjadi pada rumahku dan sekitarnya, di sepanjang
perjalanan dari rumah ke sekolah juga banyak sekali yang berubah dibanding dulu
saat aku masih menyusuri jalan-jalan ini dengan sepeda motor yang bermuatan
empat orang—aku sekeluarga—, dan aku duduk di depan.
Ini baru tahun 2012,
sudah 13 tahun sejak kepindahanku di tahun 1999 memang, tapi waktu setelah ini
masih panjang. Dan di waktu-waktu kedepan aku masih ingin melakukan banyak hal.
Bukan ingin mencegah perubahan meski aku sebenarnya menginginkannya. Toh
percuma, perubahan tetap tak bisa dihentikan. Berbanding lurus dengan guliran
waktu, perubahan akan datang dengan sedikit paksaan.
“Ayo cepat! Gerbangnya
hampir ditutup!” seseorang menepuk pundakku seturunnya aku dari angkot. Memecah
lamunanku yang sudah teruntai sejauh perjalanan berangkat sekolahku.
“Ah, iya!” kesadaranku
langsung kebali seluruhnya begitu melihat petugas keamanan sekolah telah
mengambil posisi untuk menutup gerbang. Aku berusaha bergerak secekatan
mungkin. Berharap Tuhan memperlambat sedikit waktu-Nya, atau mencerahkan hati
mereka untuk mau memberiku toleransi sekali lagi. Aku berjanji akan berusaha
datang lebih pagi lagi setelah ini.
Aku, salah satu bagian
dari perputaran roda kehidupan yang tengah berotasi dengan cepat. Rotasi yang
begitu cepat yang akan membawa lebih banyak lagi perubahan. Bahkan, dalam satu
tahun kedepan aku yang samasekali tidak mandiri ini dituntut untuk mengalami
perubahan yang lebih ekstrim lagi. Entah akan seperti apa nanti jadinya, aku
akan kemana pun aku belum tahu. Tapi yang jelas, jika memikirkan masa lalu
menimbulkan kerinduan yang pedih dan memperkirakan masa depan memancing
kegelisahan muncul, bukankah lebih baik menikmati waktu-waktu sekarang
sebaik-baiknya? Bagaimanapun, kisah yang
kita ciptakan di waktu sekarang adalah apa yang kita perkiraan di saat
yang lalu dan apa yang akan kita rindukan, suatu saat nanti.
Yuanita Wahyu P
XI.CI.1
XI.CI.1
No comments:
Post a Comment