Trending Topics

.

.

Thursday, September 27, 2012

Perubahan dan Waktu



Cerpen yang juga dibuat dengan tjara saksama dan dalam tempo jang sesingkat-singkatnja, selamat menikmati~

Di belakang rumah, mengalir sebentang sungai rakyat. Mengapa kusebut begitu? Karena nyatanya, sekotor apapun sungai itu, rakyat sepinggiran sungai masih tetap bergantung padanya. Mungkin karena itu juga air disebut sebagai “sumber kehidupan”. Entah itu sebatas untuk pengairan kebun atau sarana MCK. Dulunya, pemandangan di belakang rumahku bak latar desa-desa elok di FTV. Sebelum bertemu langsung dengan sungai, sehamparan kebun bertaburkan berbagai jenis sayuran terbentang luas di depannya. Dari mulai bayam, kangkung, terung, labu, sampai yang kecil seperti kemangi. Di tepian sungai, rimbun bambu tumbuh lebat seolah memagari sungai agar anak-anak tak sembarangan menceburkan diri lalu ditemukan mati mengambang.

Pagi hari sebelum berangkat sekolah, biasanya aku menjemput ibuku yang berangkat mencuci di sungai sedari habis Subuh. Sekedar untuk membawakan seember kecil cucian atau papan gilesannya memang, tapi aku selalu melakukannya dengan senang hati karena kesegaran udara paginya yang tak tertandingi, dan matahari bulat dengan cahayanya yang hangat yang menyembul perlahan dari balik rimbun pohon-pohon besar berusia ratusan tahun di depan sana. Jalan yang kulewati dari sungai bukanlah jalan aspal yang lebar, melainkan sebuah pematang yang membelah hamparan kebun ragam sayuran, yang sempit, panjang, dan berundak-undak.

Rumah yang kutempati ini sudah beberapa kali direnovasi sejak hari itu. Bentuk awalnya sangat sederhana, dengan hanya memiliki beberapa ruangan inti, berdinding bata merah, tanpa eternit, dan berlantaikan tanah. Di awal kepindahan kami kesini malah kami sempat harus bertahan beberapa bulan tanpa listrik yang memadai. Tapi untunglah semuanya sudah jauh membaik sekarang. Rumah kami telah berdiri dalam kondisi yang cukup nyaman saat ini. Meskipun pada kenyataannya definisi dari perubahan amat beragam macamnya. Perubahan tak selalu mendeskripsikan suatu predikat baik, bisa juga buruk. Tak selalu merupakan kemajuan, bisa juga kemunduran, atau setidaknya kemajuan, tapi pasti ada hal yang harus dikorbankan untuk itu.

Bertahun berselang setelah latar waktu yang kupaparkan tadi, aku masih meninggali rumah ini bersama keluargaku. Rumah yang bukan lagi berdindingkan bata merah dan berlantaikan tanah, tapi bentuk dasarnya tak terlalu banyak berubah. Lain halnya dengan apa yang ada di luar rumah, semuanya berubah, sangat banyak berubah malah.

Kebun sayuran warga yang ada di belakang rumah —yang membatasi rumahku dengan aliran sungai— kini telah ditumbuhi komoditi lain. Tumbuhan yang sempat memancing beberapa kerusuhan, menumbuh suburkan aksi premanisme dan pencaloan, tumbuhan keras yang tumbuh pesat; perumahan. Lahan yang semula ditumbuhi pepohonan berdiameter hingga tiga depa orang dewasa itu kini digunduli dan dibuat petak-petak rumah ekonomis yang harganya disesuaikan dengan daya beli masyarakat menengah kebawah tapi kualitasnya juga sangat menengah kebawah. Udara pagi hari yang segar sudah tidak ada lagi. Setiap pagi, pasti ada saja orang yang membakar sampah, dan asap beracunnya pun mengepul kemana-mana. Lahan bermain anak-anak kini terbabat habis sudah. Padahal mulanya kami bermain dengan bebas dan nyaman dibawah pepohonan tua yang rindang.

Laju pembangunan memang tak dapat di dihentikan sepakem apapun remnya. Kian hari, warga dari usia produktif yang berurbanisasi dan mengadu nasib di kota satelit seperti tempatku ini semakin membludak saja. Lahan strategis di tengah kota tentu sudah hampir habis dan tidak ekonomis lagi untuk memenuhi kebutuhan papan mereka, jadilah kebun-kebun kosong dan tabungan para tuan tanah di perkampungan pinggir-pinggir kota macam ini yang jadi bidikan para kontraktor.
Memang, angkutan umum menuju kesini yang semula sulit diakses kini jadi agak mudah. Infrastruktur seperti jalan dan jembatan banyak yang diperbaiki. Tapi tetap saja, kemacetan yang semula langka bak spesies tinggalan zaman purba kini bisa ditemui dengan mudah, setiap detik, setiap waktu. Lahan yang semulanya sawah juga banyak yang dijadikan perumahan dikarenakan permintaan pasar yang begitu tinggi. Jadilah kini harga beras juga ikutan melambung tinggi. Jika sudah begini dapat dipastikan, selamanya, pengulangan prestasi swasembada pangan akan hanya jadi wacana.

Aku memang tak lahir disini, tapi di bongkahan tanah ini aku menghabiskan 13 tahun dari 16 tahun keseluruhan usiaku sampai detik ini. Jika ditanya soal seberapa banyak tempat ini berubah, aku punya sepaparan jawaban yang akan membuat kalian tercengang, jauh dari ini. Hanya satu hal yang bisa disimpulkan; Boleh jadi ada undang-undang, program pemerintah, atau apapun sejenisnya, tetapi kelajuan waktu selalu dinamis tanpa pernah bisa terhenti, mengikutinya pula pergantian era dan revolusi zaman, maka dari itu  perubahan-perubahan adalah hal yang tak terhindarkan, dan ketahuilah, tak ubahnya norma hukum, sifatnya memaksa.

Perubahan memang kerap dimaknai sebagai kemajuan, tapi untuk mencapai suatu kemajuan, pasti harus ada yang dikorbankan. Maka dari itu, dari setiap kemudahan yang diperoleh dari adanya sebuah kemajuan, akan ada juga yang hilang. Bukan hanya soal alam, lingkungan, atau yang lainnya, tapi juga soal diriku sendiri.
Beberapa tahun lalu, ketika rimbun pohon hijau berusia ratusan tahun masih banyak tumbuh disini, aku masih sangat kecil. Tinggiku masih setengah dari daun pintu yang hampir kusundul saat ini. Dan layaknya anak kecil lainnya, aku masih sangat manja, cengeng, dan tak bisa apa-apa. Kini usiaku sudah banyak bertambah sejak saat itu, tapi ketika menyadari bahwa waktu yang sudah kulalui di belakangku telah segini panjangnya, aku banyak menyesalinya. Bahkan dengan gilanya berpikiran untuk tak ingin jadi dewasa. Bagaimanapun, usia-usiaku yang sekarang adalah masa transisi yang sulit. Aku seorang remaja yang masih sangat kekanakan, yang sekaligus sedang dilatih keras untuk menjadi dewasa.

Setiap mengingat bagaimana sosok kecilku pernah berlarian di tempat-tempat sekitar rumahku yang sekarang sudah tidak ada, hatiku mencelos. Detik itu juga aku menyadari bahwa sosok kecil itupun kini sudah tidak ada. Jika kebetulan ada malaikat yang menghampiriku dan menawariku satu permintaan untuk diwujudkan, aku ingin aku punya ingatan yang kuat, yang cukup untuk menyimpan semua kenangan-kenanganku di waktu yang lalu tanpa terlewat sedikitpun, karena kesemuanya sungguhlah berharga.
Perubahan, ya, sifatnya memang memaksa. Aku masih ingat ketika pertama kali ibuku membiasakanku untuk dirumah sendirian saat ditinggal ke warung, atau di hari pertama masuk sekolah. Semuanya menuntutku untuk berubah, yang tadinya tidak berani menjadi berani, yang tadinya tidak disiplin menjadi disiplin. Namun di usiaku yang sekarang, bukan hanya perubahan seperti itu yang harus kuhadapi. Melainkan banyak perubahan-perubahan lainnya yang tentunya setingkat dengan levelku yang saat ini.

Sekarang, di setiap pagi seperti ini aku harus berangkat sendiri. Menyusuri jalan setapak hingga ke jalan besar lalu naik angkot tanpa pernah diantar lagi. Padahal, cara berangkat sekolah yang seperti ini terkadang memaksaku untuk berlari karena macet, atau bahkan bertaruh dengan waktu mendekati ditutupnya gerbang sekolah. Meski berat dan terkadang aku iri pada kawanku yang perjalanan dari rumah ke sekolahnya dijamin akomodasi pribadi, aku berusaha meyakinkan diriku bahwa apa yang aku lakukan sekarang bisa membuatku menjadi lebih baik di waktu mendatang.

Dari dalam angkot, matahari yang baru muncul dari sebelah timur tak henti mengiringi perjalananku seolah sedang mengawasiku dengan intens dari tempat yang jauh di atas sana. Sama halnya dengan yang terjadi pada rumahku dan sekitarnya, di sepanjang perjalanan dari rumah ke sekolah juga banyak sekali yang berubah dibanding dulu saat aku masih menyusuri jalan-jalan ini dengan sepeda motor yang bermuatan empat orang—aku sekeluarga—, dan aku duduk di depan.

Ini baru tahun 2012, sudah 13 tahun sejak kepindahanku di tahun 1999 memang, tapi waktu setelah ini masih panjang. Dan di waktu-waktu kedepan aku masih ingin melakukan banyak hal. Bukan ingin mencegah perubahan meski aku sebenarnya menginginkannya. Toh percuma, perubahan tetap tak bisa dihentikan. Berbanding lurus dengan guliran waktu, perubahan akan datang dengan sedikit paksaan.

“Ayo cepat! Gerbangnya hampir ditutup!” seseorang menepuk pundakku seturunnya aku dari angkot. Memecah lamunanku yang sudah teruntai sejauh perjalanan berangkat sekolahku.

“Ah, iya!” kesadaranku langsung kebali seluruhnya begitu melihat petugas keamanan sekolah telah mengambil posisi untuk menutup gerbang. Aku berusaha bergerak secekatan mungkin. Berharap Tuhan memperlambat sedikit waktu-Nya, atau mencerahkan hati mereka untuk mau memberiku toleransi sekali lagi. Aku berjanji akan berusaha datang lebih pagi lagi setelah ini.

Aku, salah satu bagian dari perputaran roda kehidupan yang tengah berotasi dengan cepat. Rotasi yang begitu cepat yang akan membawa lebih banyak lagi perubahan. Bahkan, dalam satu tahun kedepan aku yang samasekali tidak mandiri ini dituntut untuk mengalami perubahan yang lebih ekstrim lagi. Entah akan seperti apa nanti jadinya, aku akan kemana pun aku belum tahu. Tapi yang jelas, jika memikirkan masa lalu menimbulkan kerinduan yang pedih dan memperkirakan masa depan memancing kegelisahan muncul, bukankah lebih baik menikmati waktu-waktu sekarang sebaik-baiknya? Bagaimanapun, kisah yang  kita ciptakan di waktu sekarang adalah apa yang kita perkiraan di saat yang lalu dan apa yang akan kita rindukan, suatu saat nanti.


Yuanita Wahyu P
XI.CI.1

No comments:

Post a Comment