Trending Topics

.

.

Sunday, March 15, 2015

Sepele



Hati-hati guys, saya bukan seorang ahli bahasa. Oleh karena itu, yang akan saya tulis tentang sepele sebagai sebuah kata kali ini bukanlah sajian yang cukup memuaskan jika anda berekspektasi soal itu. Tapi sebagai seorang manusia yang memiliki alam pikir dan senantiasa dituntut untuk menggunakannya, saya punya pendapat. Jadilah saya berpikir, maka saya ada, dan saya menulis untuk mempertahankan eksistensi dan pikiran saya. Kedepannya membuat film? Mana tahu, tapi ya boleh lah.

Saya baru mendapat ilham hari ini soal sepele. Bukan ilham sepele, tapi memang ia bersangkut paut dengan kesepelean. Sekarang remeh meremehkan adalah kebiasaan, atau justru kecenderungan yang amat lekat dengan kita semua. Saya pun cukup sulit untuk melepaskan diri dari kebiasaan yang korosif terhadap nurani ini. Oleh karenanya, banyak sekali yang di cap sepele dengan mudah, dikesampingkan, lagi dan lagi, hingga ketika sadar, sebentang jalan di depan putus sudah karena semua pindah ke samping dan kita harus meniti orientasi dari nol lagi. 

Saya pikir, sepele adalah anggapan. Kita manusia, tak sempurna, tapi ideal dengan plus minus, baik soal ekspektasi terhadap hal diluar, maupun pedalaman sendiri.Itulah sebabnya saya tak ingin mengatakan bahwa tulisan ini mengajarkan untuk tidak berpikir sepele soal apapun. Bagaimanapun manusia memiliki kecenderungan untuk itu. Dengan banyaknya tuntutan dan sempitnya waktu, kita seringkali secara sadar maupun tidak menyusun skala prioritas. Meskipun terlalu vulgar jika dikatakan sepele, menempatkan sesuatu sebagai prioritas kan berarti mengentengkan yang lain, bukan begitu? Hal tersebut akan menjadi sepele ketika dipandang enteng dengan berlebih.

Bagi saya, dalam kata sepele ada motivasi. Karena mengentengkan, itu berarti hal sepele adalah hal yang patutnya mudah bagi kita. Dari sana perasaan merasa tak pantas seharusnya muncul ketika kita memfonis demikian tanpa mencobanya terlebih dahulu. Dari sepele, ia berubah jadi sombong.

Saya sering kali berurusan dengan hal yang orang bilang sepele karena menganggapnya anti umum dan keren. Sekaligus juga difonis ibu saya mengidap penyakit gemar menyepelekan akut, turunan langsung dari ayah saya. Dan hal ini benar adanya, terbukti 120% ketika saya hidup terpisah sekarang. Menyepelekan sesuatu yang ketika di rumah urusannya hanya sampai omelan ibu saya lalu selesai, saat ini saya sadari menghambat saya maju dalam banyak hal yang sedianya bisa diusahakan.

Saya menyepelekan kerapihan ruangan diluar zona nyaman saya, dan ini adalah kebiasaan sejak zaman dahulu kala yang tiap hari diperjuangkan ibu saya untuk berubah. Sekarang saya sadar itu merupakan refleksi saya terhadap lingkungan sekitar. Awalnya mana sangka? Ketika saya tidur saya menggaransi tempat tidur saya harus dalam keadaan rapi, tanpa debu, dan nyaman, tapi membiarkan buku buku berserakan disekitarnya, setrikaan menumpuk tak tersentuh, dan zona lain samasekali tak sedap dipandang mata. Di lingkungan sosial saya juga ternyata serupa. Menjaga teman baik dengan posesivitas cukup tinggi. Jika tidak terlalu cocok dengan saya lebih baik saya sendiri. Tapi membiarkan orang yang rumahnya saya lewati setiap hari tanpa tegur sapa (meskipun awalnya karena saya punya pengalaman buruk soal ini, ketika mencoba menegur tapi tak direspon) berpikir lebih buruk tentang saya lebih dari yang sedianya. Berdiam diri mengesampingkan suatu kelompok pengembangan sampai akhirnya mereka telah berlari jauh sekali mendahului saya. Dan banyak hal lainnya. Hingga saya selalu saja berada dalam lingkaran yang kecil.
Setelah ini, membereskan kamar keseluruhan mungkin cukup mudah, tapi tak demikian dengan lingkungan sosial. Langkah pasti saya Cuma satu: meminimalisir penyepelean. Saya harap Tuhan dengan segala maha kebaikannya berkenan lagi untuk menjadikan saya individu yang lebih baik dengan ini. 

Dalam lingkup dunia intelektual yang luar biasa luas, suatu hal difonis sepele mungkin akibat pandangan umum. Tapi lihatlah posmo dan tema-tema unik dalam aliran ini. Semua hal yang sepele, terlihat kecil, tipis, kurus, lunglai, dan mudah koyak ternyata menyimpan faedah besar, informasi tingkat tinggi dan refleksi yang membuka cakrawala baru. Sesuatu tak hanya bisa dilihat dari satu sisi, dan semua hal sepele punya banyak sisi sebagaimana yang tidak.

Tadi saya menonton Begin Japanologi, semacam acara dokumenter etnohistori seputar fragmen-fragmen di masyarakat Jepang. Bahasan mereka apakah politik, pengaruh budaya pemerintahan edo terhadap gaya memerintah eksekutif negara saat ini, kelestarian kesenian adiluhung, isu gender, atau tema berat lainnya? Bukan, tema mereka sangat simpel. Mereka membahas ramen, onsen, mochi, rumput laut, makanan cepat saji lokal, dan bahkan rice cooker! Terlepas dari kampanye budaya Jepang yang memang sangat posmo, sudut pandang acara ini cukup menarik untuk bisa membuat kita di Indonesia berefleksi. Tidakkah para sarjana akan lebih suka bekerja untuk kajian-kajian ringan tapi berkualitas seperti ini daripada beramah tamah di bank atau duduk di kantoran dengan rutinitas minim improvisasi? Terlebih untuk konsep ini, lahan Indonesia masih sangat virgin. Lihatlah ketika duo trans mempelopori acara-acara wisata dan dampaknya hingga hari ini. Para backpacker, traveller, mountainer, dan petualang baru lahir. Bukankah acara dokumenter etnohistori bisa menjadi katalisator bagi dunia ilmiah kita?

Karena rakyat adalah fonis pertanggung jawaban sebuah kerja intelektual, memperkenalkan produk kerja akademik yang meski ringan, berdampak luas dan memiliki kontinuitas saya kira lebih besar artinya daripada kajian rumit cemerlang yang meraih penghargaan intenasional tapi teronggok menjadi wacana tanpa eksekusi.
Jadi buat semuanya, juga saya sendiri, ketika kita bingung soal ide, tema, dan gagasan suatu kerja ilmiah, mari buka mata dan tinggalkan dulu kebiasaan menyepelekan. Kualitas itu ada di pemahaman terhadap teori dan kemampuan aplikasi, yang semuanya ada di dalam proses dan bisa dilatih.

MARI MENCOBA
13-3-2015

MENULIS




Konon, sebagaimana yang dikatakan semua mahasiswa sepuh di jurusanku, Pram, sang kiri, sang Indonesia tunggal yang berkali-kali dikandidatkan jadi peraih nobel sastra itu, dalam suatu situasi yang entah bagaimana, dalam sadar atau mabuknya, pernah berkata yang kira kira maknanya, seorang akan hilang jika tidak menulis. Beberapa bulan terakhir, di sisa lowong satu buku batas maksimal kuota pinjam di perpus fakultas, kerap kali kuisikan novel Pram. Dan benar, dirinya, dalam sosok seorang aneh bernama Minke, dengan pergaulan dan segala diskusinya dengan teman-teman dan guru-guru kehidupannya: Nyai Ontorosoh, Komer, Jean Marais, dan dirinya sendiri, menyajikan epik yang sesekali berkesimpulan bahwa seseorang akan bisa bersisa di tengah arus perputaran zaman hanya dengan menulis. 

Semacam sebuah pembaruan besar, karena sebelumnya, Descartes mengatakan hanya perlu berpikir untuk ada. Dengan campur tangan zaman, kemajuan ini itu dan perubahan segala macam, berabad setelahnya, Pram bilang harus menulis. Barangkali berabad lagi harus membuat film. 

Maka dari itu, sebelum semakin rumit prasyarat sekedar pelepasan ganjalan batin ini, aku ingin mencukupkan diri malam ini dengan menulis. Semasa penuh tekanan di SMA, menulis adalah obat hati. Sederhananya, mungkin sekedar dalam bentuk yang orang bilang diary. Tak tahulah apa kata itu berhubungan lebih dekat dengan kegiatan harian atau susu-persusuan. Yang jelas begitulah yang kukenal selama ini. Tapi tulisan harian yang secara tulus berusaha meringankan beban hati, mendokumentasikan juga menggali tanya dan gundah tak terjawab, merekam situasi-situasi lokal yang sejaman akan sangat berharga, jauh daripada sekedar curahan hati yang biasa dibayangkan tertulis dalam sebuah diary. Dulunya kupikir ini bentuk baru. Akulah sang revolusioner dalam diary-mendiary. Tapi tulisan Minke, Max Tollenaar,  yang dia kirim ke kantor Nijman, yang bercerita baik soal Nyai, Robert, maupun Truno, tak lain juga pengamatan dan refleksinya terhadap kejadian di kesehariannya kan?

Sekarang, ketika otak dan segala perangkat alat gerak ini bisa fokus difungsikan hanya untuk membaca, berpikir, dan menulis, luput perhatianku pada obat hati yang selalu setia itu. Jika dalam tekanan sedemikian rupa untuk mengerjakan tugas ini itu yang tak kumengerti dan kukehendaki samasekali waktu itu aku bisa selalu sempat untuk menumpahkan kegelisahan dalam tulisan, mengapa tidak untuk masa-masa indah ini? Barangkali segala yang berubah membuat struktur dalam kehidupan, berkenaan soal kesenangan dan penghiburan juga berubah. Ini yang aku takutkan selalu dari sesuatu yang berubah. Aku harus mengerti dan menaklukannya lagi. 

Pandanganku sekilas menyapu koleksi buku-buku yang kupuja semasa SMA. Ketika oasis begitu kering soal baca-membaca yang topiknya kusukai. Tapi buku-buku itu kini berjajar di rak tanpa menjadi lebih istimewa dari yang lain. Tak ada buku penuh angka kecuali statistik dalam pemaparan sejarah ekonomi. Semua bukuku hampir soshum. Ladang subur, mahligai perak, istana yang kuimpi dalam perjuangan di ambang batas kesanggupan kala itu. Mengapa saat ini mereka perlu terstratifikasi?

Ada yang menyenangkan serupa novel, ketika aku sedang suka. Tapi kadang kala novel pun punya tuturan-tuturan membosankan yang menggelayuti kelopak mata dengan bidadari. Buku berat berada jauh di ujung, pada sudut yang hampir tak tersentuh. Berupa pemanis dan buah dari ambisi lapar mata di tanggal muda, dengan harapan, tanpa jajan, di tanggal tua aku bisa bahagia dan cukup dengan makan buku itu. Aku beruntung, Cuma dikehendaki membaca, berpikir dan menulis, tapi ternyata dalam dunia yang sebegini damai, hobiku itu juga terpilah-pilah. Paling, lebih dan biasa, meski masih soal suka.

Kuharap aku makin pandai meluangkan waktu, lagi pandai pula mengatur uang. Dua kemampuan manajerial yang belum lagi kumiliki detik ini. Dengan sedikit kegiatan saja, tubuh ini rasanya begitu lelah sampai bergerak pada pola-pola yang tak seperti selama ini kumengerti. Aku kira seperti selama ini, aku belum pernah bisa memecah konsentrasi. Tapi kuharap kedepannya semakin bisa. Aku punya banyak ingin yang membutuhkannya. 

Kuharap bisa menulis lebih banyak lagi, meski hanya diary, hanya refleksi atas kehidupan sehari-hari. Aku butuh menyelami pedalaman diriku sendiri.


10 Maret 2015