Tulisan ini mungkin akan jadi terlalu subjektif, tapi
okelah, toh cuma opini.
Bulan Mei akhirnya tiba lagi. Bulan ini worth so much
buat saya pribadi. Tapi di luar event-event pribadi, Mei juga menyimpan banyak
event besar yang penting. Salah satunya buat saya sih Mayday, yang baru selang
beberapa hari kemarin ini.
Tiap 1 Mei, dunia secara khusus memberikan hari
peringatan untuk salah satu kelas sosial terbesar yang menyusun hirarki
masyarakat dunia, untuk buruh. Sebetulnya buruh juga kelas baru. Dalam setiap
sistem di setiap masa, memang selalu ada wong cilik. Tapi ketika sistem yang
berlaku masih feodal misalnya, wong ciliknya tidak sama dengan buruh. Mereka
lebih bekerja atas kerelaan, atau mungkin juga keterpaksaan, yang jelas mereka
tunduk pada seorang penguasa dengan jalinan hubungan yang tidak seimbang.
Seorang patron bertanggung jawab atas keamanan wilayahnya, tapi berhak menarik
apapun dari penduduknya yang terikat dengannya. Hubungan mereka juga kerap
dikaitkan dengan konsep spiritual yang jauh lebih tinggi, makrokosmos dan
mikrokosmos, katanya. Buruh juga tidak sama dengan budak. Golongan ini muncul
setelah perbudakan sudah tidak lagi menjadi trend. Budak mungkin juga
dipekerjakan di perkebunan seorang tuan, tapi sistemnya adalah kepemilikan dan
ia berkedudukan sebagai aset, sehingga si tuan bebas meminta budaknya untuk melakukan
apapun. Lagi-lagi, dalam hubungan budak dan tuan, transaksi yang terjadi tidak
seimbang.
Buruh muncul ketika industri membesar. Revolusi
Industri abad 18 telah membuat tenaga kerja yang dibutuhkan demi meningkatkan
produksi membengkak. Dalam keadaan yang seperti ini, menurut saya, kedudukan
buruh memiliki posisi penting. Buruh merupakan salah satu faktor produksi. Ia
sejajar dengan modal dan bahan baku, tapi ada yang membuat buruh tidak bisa
lagi disamakan dengan budak atau diperbendakan. Orientasi pemikiran orang-orang
kala itu sudah mulai menyadari kebebasan. Ide-ide yang menjadi bibit-bibit hak
asasi manusia telah mulai banyak dipikirkan. Hanya butuh beberapa dekade bagi
revolusi Prancis, sang dekrit penghormatan terhadap kesetaraan kedudukan manusia,
untuk dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, pentingnya kedudukan tenaga manusia
untuk produksi menurut saya membuat hak-hak mereka tak lagi bisa diabaikan
sebagaimana budak.
Buruh menerima upah atas apa yang dikerjakannya.
Profesi ini menjangkit berbagai bidang, dari mulai mesin, pertukangan,
perkebunan, manufaktur, dan lain sebagainya. Yang membedakan buruh dengan
pengerajin atau petani adalah mereka merupakan komponen dari organisme ekonomi
yang jauh lebih besar, lain dengan pengerajin atau petani yang bekerja secara
independen. Karena merupakan komponen dari organisme ekonomi yang jauh lebih
besar, buruh tak bergerak sebebas pengerajin ataupun petani, dan sekalipun yang
dikerjakan adalah sama, ia juga harus terikat peraturan-peraturan serta diatur
oleh birokrasi internal organisme ekonomi tadi. Oleh karena itu, pekerjaan
buruh cenderung merupakan kegiatan yang lingkupnya tidak terlalu luas dan
berulang-ulang. Maksud dari tidak terlalu luas disini adalah ia hanya menangani
satu babakan produksi, seperti misal finishing, untuk produk massal, bukan
seperti pengerajin yang menangani semua proses tapi produksinya eksklusif.
Itu kiranya yang saya pahami soal konsep buruh, tapi
ada cerita yang lebih panjang lagi soal kasus buruh secara khusus. Saya lahir
dan besar di Cikarang, yang dengan buruh sejak orde baru seolah sepasang yang
ditakdirkan berbagi kasih selamanya. Dalam sejarah mayor soal pembukaan
investasi swasta oleh pemerintah orde baru yang kemudian menghasilkan wilayah
industri terbesar di Asia Tenggara ini, sejarah keluarga saya menginduk. Kota
ini dan industrialisasinyalah yang mempertemukan orang tua saya.
Kalau ditanya atas dasar apa saya menulis ini, saya
bisa bilang, dasarnya banyak. Orang tua saya, sepupu, bulik, om, bude, pakde,
tetangga, orang tua teman-teman saya, sampai teman-teman saya sekarang semuanya
buruh. Saya tumbuh dengan gaji kedua orang tua saya, dalam rumah hasil jerih
payah mereka, bersenang-senang dalam tamasya perusahaan setiap tahunnya, dan
disokong beasiswa perusahaan sejak SD. Pada dekade 90-an, banyak sekali
perusahaan baru dibuka. Mereka membutuhkan sangat banyak tenaga kerja.
Kualifikasi yang diprasyaratkan hampir cukup mudah, setidaknya tak sesulit
sekarang. Atas daya tarik itu, dari kampung-kampung nun jauh di pelosok Indonesia,
orang-orang berdatangan ke kota ini untuk menjemput peruntungannya
masing-masing. Kebanyakan dari mereka berakhir sebagai buruh, dan menjadi
komponen dari kehidupan kota ini hingga sekarang, 20 tahunan setelah itu.
Untuk soal nasib, mereka banyak mengalami perubahan.
Dulu di masa-masa awal lowongan massal dibuka dan mereka dipekerjakan, apa yang
mereka dapatkan tidak seperti sekarang. Ada kalanya buruh hanya dibayar harian,
atau mingguan, yang berarti hari libur tidak masuk hitungan yang di upah. Padahal,
apakah mereka tidak makan ketika libur? Tunjangan kesehatan atau tunjangan ini
itu lainnya juga masih nihil. Dari cerita orang tua saya, ketika ibu saya masih
bekerja dan saya yang masih bayi sakit-sakitan, tiap minggu mereka terima gaji,
gaji itu hampir pasti harus disetor ke rumah sakit yang ada diseberangnya untuk
membeli beberapa obat dan perawatan ini itu buat tubuh saya yang tak kenal
kompromi waktu itu.
Buruh dari generasi berbeda juga mengalami masalah
yang berbeda. Ketika yang dibutuhkan bukan lagi tenaga untuk mengisi kursi
kosong, melainkan untuk menggantikan kursi yang ditinggalkan, lowongan yang ada
tak sebesar masa-masa awal. Meski selalu ada pabrik yang buka entah itu
betul-betul baru atau cabang baru, angkatan kerja yang melamar selalu
membeludak. Akhirnya muncullah sistem yang dihalalkan oleh Megawati, Outsourcing, yang umumnya disebut buruh
kontrak. Soal itu, kerabat saya banyak yang mengalami. Mereka melamar lewat
sebuah yayasan, untuk masa kerja beberapa tahun, umumnya hanya satu atau dua,
dan mirisnya disertai uang pangkal. Uang pangkal itu bukan hanya ongkos
administrasi, tapi juga semacam uang skip
antrian. Saya tidak tahu pastinya, tapi banyak cerita seperti itu yang saya
dapatkan. Si yayasan selalu membuat skenario bahwa pendaftar penuh, harus antri
sekian lama, dan jika mau cepat harus membayar sekian. Padahal gaji selama
beberapa bulan nantinya juga akan dipotong sampai jumlah yang ditentukan
sebagai upah jasa yayasan penyalur tadi. Waktu itu, sekitar 2003-2008 UMR belum
setinggi sekarang. Dan bayangkanlah apa jadinya jika gaji mereka dipangkas
sedemikian rupa.
Entah pastinya, tapi mulai sekitar 2005 kesini,
keadaan buruh mulai membaik. Yang awalnya hanya jamsostek, kemudian ditambah
askes, UMR naik, dan keluh kesah buruh semakin bebas disuarakan. Tapi keadaan
ini tak terjadi merata bagi semua perusahaan. Buruh kontrak biasanya tak
dilengkapi dengan berbagai tunjangan. Memang ada, diantara itu,
perusahaan-perusahaan otomotif yang progresif hingga memiliki program mengirim
karyawan untuk pencanggihan skill ke
negara induk. Perusahaan otomotif biasanya juga merupakan yang kaya akan bonus
selain perusahaan tambang, karena omzet mereka memang luar biasa. Diantara itu,
ada perusahaan yang biasa-biasa saja, yang concern
soal hak-hak buruh, tapi penuh dengan syarat.
Akhir-akhir ini, dari lingkungan proletar yang pahit
manis, saya bergeser ke lingkungan lain. Begitu jadi mahasiswa, otomatis saya
juga bertemu rekan-rekan sepekerjaan. Tapi entah karena apa, banyak dari mereka
yang berkomentar miring soal buruh, dekat-dekat hari buruh ini maupun diluar
momen tiap kali kami menyinggung persoalan buruh. Dosen saya dalam suatu kuliah
juga pernah bersatir soal demo buruh yang menakut-nakuti investor. Teman saya
pernah bilang, kalau mereka mau gaji tinggi, kenapa tidak berpendidikan tinggi.
Yang lain bilang, demo kesejahteraan, tapi naik ninja. Dan masih banyak lainnya yang serupa. Demo buruh 1 Mei yang
tadinya saya lihat sebagai aksi heroik memperjuangkan hak sesama, ternyata
dilihat dengan sangat berbeda oleh orang lain.
Bapak saya pernah cerita, kalau buruh sekarang memang
betul enak, baru masuk, tapi gajinya langsung seperti yang sudah 20 tahun.
Lagipula rekruitmen buruh sekarang tak seasal dulu. Perusahaan tempat bapak
saya kerja sekarang malah membidik lulusan dari beberapa SMK yang
kualifikasinya sudah dipercaya. Tapi diantara itu, sekali lagi ini tidak
merata. Masih banyak buruh hari ini yang merasakan rasanya jadi buruh 20 tahun
lalu. Masih banyak yang terperangkap dalam jaring yayasan outsourcing yang
parasit. Dari sana, buat saya pribadi tuntutan mereka masih punya alasan.
Lagipula dalam sebuah organisasi, kesediaan mereka didorong oleh rasa
solidaritas sesama yang lebih dari sekedar motif pribadi. Wajar kalau setiap 1
Mei, jalan-jalan yang dipakai demo masih sama penuhnya.
Lagipula bukan semua orang punya hak untuk
mengemukakan pendapat? Bukankah mahasiswa juga sering turun ke jalan? Dengan
pengelihatan yang tak seberapa dalam, apa pantas kalau kita membatasi apa yang
seharusnya dimiliki buruh hanya dalam beberapa kata? Mungkin banyak buruh yang
sudah bisa menyekolahkan tinggi anak-anaknya, membeli Ninja, atau bahkan mobil. Tapi lebih dari sekedar UMR yang
diharapkan naik seiring dengan harga BBM, apa hak kita buat melarang golongan
ini mendapat fasilitas yang lebih humanis seperti 2 hari libur, rekreasi, cuti
hamil, atau tunjangan pendidikan? Lagipula selain sebagai wadah berbagi
solidaritas, federasi buruh bisa dibilang mandul. Tetap ada oknum-oknum besar
yang bermain diatasnya, ada orang-orang yang ditugaskan untuk mengontrol
mereka, dan radikalisme tak akan dibiarkan berbunga-bunga. Undang-undang juga
pada akhirnya menyerahkan diri di tangan masing-masing perusahaan. Ditengah
lingkungan seperti ini modal di atas menggerakan mereka, bahkan lebih dari itu,
mengontrol, orang-orang yang sekedar ‘komponen’ ini.
Buat saya pribadi, buruh hanya sebagian dari
masyarakat, yang dengan perannya tersendiri turut membuat dunia berdinamika.
Yang masih menjadi ganjalan, kenapa orang-orang beranggapan mereka harus
mendapatkan sesuatu yang berbeda dari buruh, kenapa mereka membatasi apa yang
seharusnya didapatkan buruh meski tanpa kewenangan untuk itu. Kalau buruh
memperjuangkan kenaikan UMR demi kesejahteraan, demi kehidupan generasi penerus
mereka yang lebih baik, apakah itu salah? Apakah pendidikan tinggi hanya untuk
anak-anak guru? Atau justru pendidikan yang membuat orang-orang menjadi angkuh?
Apapun pekerjaannya, bukankah semuanya harus dimulai
dari titik rendah? Bukankah penghargaan akan datang bersamaan dengan semakin
kayanya pengalaman?
Meski sama-sama masyarakat minor, buruh sepertinya
belum dihormati sebagaimana petani. Kita tak diajarkan untuk berterimakasih
pada buruh sebagaimana anak-anak TK berterimakasih pada petani setiap mau makan.
Apa karena buruh di sini Cuma sekedar pesuruh, bukan agen transfer teknologi
sebagaimana yang semestinya? Tapi siapakah yang sebetulnya membuat kita menjadi
bangsa penjual mentah yang konsumeris? Siapa yang mengundang investor asing
yang pelit ilmu dan kemana perginya investor lokal yang progresif? Apakah
semuanya salah buruh?
Apakah memang demikian berat untuk mengizinkan buruh
mendapatkan posisinya sebagaimana mestinya? Haruskah pegawai negeri bergaji
lebih tinggi atas dasar pendidikannya, ketika buruh harus diaduk-aduk pola
hidupnya oleh pekerjaan 3 shift yang tidak ringan? Kalau sekarang Cikarang
makin tidak terkontrol, itulah hasil pola hidup yang selama ini dikatakan sudah
cukup untuk buruh. Betapapun Jogja mulai ditumbuhi hotel-hotel, ia selalu diperhatikan
baik oleh organisasi mahasiswa, masyarakat, seniman, dan lainnya. Cikarang
tidak punya semua itu. Jalanan rusak semakin rusak, perpustakaan dan taman kota
tak tersentuh, janji pemerintah hanya akan jadi janji, buruh terlalu sibuk
untuk menagihnya. Lembur demi mengejar cicilan ini itu dan menyekolahkan
anak-anak jauh lebih penting dibanding mengurusi pemerintah dan
preman-premannya.
Saya bermimpi suatu hari 1 Mei bukan lagi ajang turun
ke jalan buat buruh. 1 Mei mungkin bisa jadi hari festival besar-besaran buat
sebuah masyarakat industri. 1 Mei mungkin bisa digunakan perusahaan-perusahaan
untuk ‘memanusiakan’ pekerjanya. 1 Mei mungkin bisa jadi hari yang tak hanya
dirayakan buruh, tapi juga semua orang atas jasa buruh dalam lini-lini lekat
yang jarang mereka sadari.
No comments:
Post a Comment