Trending Topics

.

.

Wednesday, May 06, 2015

MYDAY


Tulisan ini mungkin akan jadi terlalu subjektif, tapi okelah, toh cuma opini.
Bulan Mei akhirnya tiba lagi. Bulan ini worth so much buat saya pribadi. Tapi di luar event-event pribadi, Mei juga menyimpan banyak event besar yang penting. Salah satunya buat saya sih Mayday, yang baru selang beberapa hari kemarin ini.

Tiap 1 Mei, dunia secara khusus memberikan hari peringatan untuk salah satu kelas sosial terbesar yang menyusun hirarki masyarakat dunia, untuk buruh. Sebetulnya buruh juga kelas baru. Dalam setiap sistem di setiap masa, memang selalu ada wong cilik. Tapi ketika sistem yang berlaku masih feodal misalnya, wong ciliknya tidak sama dengan buruh. Mereka lebih bekerja atas kerelaan, atau mungkin juga keterpaksaan, yang jelas mereka tunduk pada seorang penguasa dengan jalinan hubungan yang tidak seimbang. Seorang patron bertanggung jawab atas keamanan wilayahnya, tapi berhak menarik apapun dari penduduknya yang terikat dengannya. Hubungan mereka juga kerap dikaitkan dengan konsep spiritual yang jauh lebih tinggi, makrokosmos dan mikrokosmos, katanya. Buruh juga tidak sama dengan budak. Golongan ini muncul setelah perbudakan sudah tidak lagi menjadi trend. Budak mungkin juga dipekerjakan di perkebunan seorang tuan, tapi sistemnya adalah kepemilikan dan ia berkedudukan sebagai aset, sehingga si tuan bebas meminta budaknya untuk melakukan apapun. Lagi-lagi, dalam hubungan budak dan tuan, transaksi yang terjadi tidak seimbang.

Buruh muncul ketika industri membesar. Revolusi Industri abad 18 telah membuat tenaga kerja yang dibutuhkan demi meningkatkan produksi membengkak. Dalam keadaan yang seperti ini, menurut saya, kedudukan buruh memiliki posisi penting. Buruh merupakan salah satu faktor produksi. Ia sejajar dengan modal dan bahan baku, tapi ada yang membuat buruh tidak bisa lagi disamakan dengan budak atau diperbendakan. Orientasi pemikiran orang-orang kala itu sudah mulai menyadari kebebasan. Ide-ide yang menjadi bibit-bibit hak asasi manusia telah mulai banyak dipikirkan. Hanya butuh beberapa dekade bagi revolusi Prancis, sang dekrit penghormatan terhadap kesetaraan kedudukan manusia, untuk dikumandangkan. Bersamaan dengan itu, pentingnya kedudukan tenaga manusia untuk produksi menurut saya membuat hak-hak mereka tak lagi bisa diabaikan sebagaimana budak.

Buruh menerima upah atas apa yang dikerjakannya. Profesi ini menjangkit berbagai bidang, dari mulai mesin, pertukangan, perkebunan, manufaktur, dan lain sebagainya. Yang membedakan buruh dengan pengerajin atau petani adalah mereka merupakan komponen dari organisme ekonomi yang jauh lebih besar, lain dengan pengerajin atau petani yang bekerja secara independen. Karena merupakan komponen dari organisme ekonomi yang jauh lebih besar, buruh tak bergerak sebebas pengerajin ataupun petani, dan sekalipun yang dikerjakan adalah sama, ia juga harus terikat peraturan-peraturan serta diatur oleh birokrasi internal organisme ekonomi tadi. Oleh karena itu, pekerjaan buruh cenderung merupakan kegiatan yang lingkupnya tidak terlalu luas dan berulang-ulang. Maksud dari tidak terlalu luas disini adalah ia hanya menangani satu babakan produksi, seperti misal finishing, untuk produk massal, bukan seperti pengerajin yang menangani semua proses tapi produksinya eksklusif.

Itu kiranya yang saya pahami soal konsep buruh, tapi ada cerita yang lebih panjang lagi soal kasus buruh secara khusus. Saya lahir dan besar di Cikarang, yang dengan buruh sejak orde baru seolah sepasang yang ditakdirkan berbagi kasih selamanya. Dalam sejarah mayor soal pembukaan investasi swasta oleh pemerintah orde baru yang kemudian menghasilkan wilayah industri terbesar di Asia Tenggara ini, sejarah keluarga saya menginduk. Kota ini dan industrialisasinyalah yang mempertemukan orang tua saya.

Kalau ditanya atas dasar apa saya menulis ini, saya bisa bilang, dasarnya banyak. Orang tua saya, sepupu, bulik, om, bude, pakde, tetangga, orang tua teman-teman saya, sampai teman-teman saya sekarang semuanya buruh. Saya tumbuh dengan gaji kedua orang tua saya, dalam rumah hasil jerih payah mereka, bersenang-senang dalam tamasya perusahaan setiap tahunnya, dan disokong beasiswa perusahaan sejak SD. Pada dekade 90-an, banyak sekali perusahaan baru dibuka. Mereka membutuhkan sangat banyak tenaga kerja. Kualifikasi yang diprasyaratkan hampir cukup mudah, setidaknya tak sesulit sekarang. Atas daya tarik itu, dari kampung-kampung nun jauh di pelosok Indonesia, orang-orang berdatangan ke kota ini untuk menjemput peruntungannya masing-masing. Kebanyakan dari mereka berakhir sebagai buruh, dan menjadi komponen dari kehidupan kota ini hingga sekarang, 20 tahunan setelah itu.

Untuk soal nasib, mereka banyak mengalami perubahan. Dulu di masa-masa awal lowongan massal dibuka dan mereka dipekerjakan, apa yang mereka dapatkan tidak seperti sekarang. Ada kalanya buruh hanya dibayar harian, atau mingguan, yang berarti hari libur tidak masuk hitungan yang di upah. Padahal, apakah mereka tidak makan ketika libur? Tunjangan kesehatan atau tunjangan ini itu lainnya juga masih nihil. Dari cerita orang tua saya, ketika ibu saya masih bekerja dan saya yang masih bayi sakit-sakitan, tiap minggu mereka terima gaji, gaji itu hampir pasti harus disetor ke rumah sakit yang ada diseberangnya untuk membeli beberapa obat dan perawatan ini itu buat tubuh saya yang tak kenal kompromi waktu itu.

Buruh dari generasi berbeda juga mengalami masalah yang berbeda. Ketika yang dibutuhkan bukan lagi tenaga untuk mengisi kursi kosong, melainkan untuk menggantikan kursi yang ditinggalkan, lowongan yang ada tak sebesar masa-masa awal. Meski selalu ada pabrik yang buka entah itu betul-betul baru atau cabang baru, angkatan kerja yang melamar selalu membeludak. Akhirnya muncullah sistem yang dihalalkan oleh Megawati, Outsourcing, yang umumnya disebut buruh kontrak. Soal itu, kerabat saya banyak yang mengalami. Mereka melamar lewat sebuah yayasan, untuk masa kerja beberapa tahun, umumnya hanya satu atau dua, dan mirisnya disertai uang pangkal. Uang pangkal itu bukan hanya ongkos administrasi, tapi juga semacam uang skip antrian. Saya tidak tahu pastinya, tapi banyak cerita seperti itu yang saya dapatkan. Si yayasan selalu membuat skenario bahwa pendaftar penuh, harus antri sekian lama, dan jika mau cepat harus membayar sekian. Padahal gaji selama beberapa bulan nantinya juga akan dipotong sampai jumlah yang ditentukan sebagai upah jasa yayasan penyalur tadi. Waktu itu, sekitar 2003-2008 UMR belum setinggi sekarang. Dan bayangkanlah apa jadinya jika gaji mereka dipangkas sedemikian rupa.

Entah pastinya, tapi mulai sekitar 2005 kesini, keadaan buruh mulai membaik. Yang awalnya hanya jamsostek, kemudian ditambah askes, UMR naik, dan keluh kesah buruh semakin bebas disuarakan. Tapi keadaan ini tak terjadi merata bagi semua perusahaan. Buruh kontrak biasanya tak dilengkapi dengan berbagai tunjangan. Memang ada, diantara itu, perusahaan-perusahaan otomotif yang progresif hingga memiliki program mengirim karyawan untuk pencanggihan skill ke negara induk. Perusahaan otomotif biasanya juga merupakan yang kaya akan bonus selain perusahaan tambang, karena omzet mereka memang luar biasa. Diantara itu, ada perusahaan yang biasa-biasa saja, yang concern soal hak-hak buruh, tapi penuh dengan syarat.

Akhir-akhir ini, dari lingkungan proletar yang pahit manis, saya bergeser ke lingkungan lain. Begitu jadi mahasiswa, otomatis saya juga bertemu rekan-rekan sepekerjaan. Tapi entah karena apa, banyak dari mereka yang berkomentar miring soal buruh, dekat-dekat hari buruh ini maupun diluar momen tiap kali kami menyinggung persoalan buruh. Dosen saya dalam suatu kuliah juga pernah bersatir soal demo buruh yang menakut-nakuti investor. Teman saya pernah bilang, kalau mereka mau gaji tinggi, kenapa tidak berpendidikan tinggi. Yang lain bilang, demo kesejahteraan, tapi naik ninja. Dan masih banyak lainnya yang serupa. Demo buruh 1 Mei yang tadinya saya lihat sebagai aksi heroik memperjuangkan hak sesama, ternyata dilihat dengan sangat berbeda oleh orang lain.

Bapak saya pernah cerita, kalau buruh sekarang memang betul enak, baru masuk, tapi gajinya langsung seperti yang sudah 20 tahun. Lagipula rekruitmen buruh sekarang tak seasal dulu. Perusahaan tempat bapak saya kerja sekarang malah membidik lulusan dari beberapa SMK yang kualifikasinya sudah dipercaya. Tapi diantara itu, sekali lagi ini tidak merata. Masih banyak buruh hari ini yang merasakan rasanya jadi buruh 20 tahun lalu. Masih banyak yang terperangkap dalam jaring yayasan outsourcing yang parasit. Dari sana, buat saya pribadi tuntutan mereka masih punya alasan. Lagipula dalam sebuah organisasi, kesediaan mereka didorong oleh rasa solidaritas sesama yang lebih dari sekedar motif pribadi. Wajar kalau setiap 1 Mei, jalan-jalan yang dipakai demo masih sama penuhnya.

Lagipula bukan semua orang punya hak untuk mengemukakan pendapat? Bukankah mahasiswa juga sering turun ke jalan? Dengan pengelihatan yang tak seberapa dalam, apa pantas kalau kita membatasi apa yang seharusnya dimiliki buruh hanya dalam beberapa kata? Mungkin banyak buruh yang sudah bisa menyekolahkan tinggi anak-anaknya, membeli Ninja, atau bahkan mobil. Tapi lebih dari sekedar UMR yang diharapkan naik seiring dengan harga BBM, apa hak kita buat melarang golongan ini mendapat fasilitas yang lebih humanis seperti 2 hari libur, rekreasi, cuti hamil, atau tunjangan pendidikan? Lagipula selain sebagai wadah berbagi solidaritas, federasi buruh bisa dibilang mandul. Tetap ada oknum-oknum besar yang bermain diatasnya, ada orang-orang yang ditugaskan untuk mengontrol mereka, dan radikalisme tak akan dibiarkan berbunga-bunga. Undang-undang juga pada akhirnya menyerahkan diri di tangan masing-masing perusahaan. Ditengah lingkungan seperti ini modal di atas menggerakan mereka, bahkan lebih dari itu, mengontrol, orang-orang yang sekedar ‘komponen’ ini.

Buat saya pribadi, buruh hanya sebagian dari masyarakat, yang dengan perannya tersendiri turut membuat dunia berdinamika. Yang masih menjadi ganjalan, kenapa orang-orang beranggapan mereka harus mendapatkan sesuatu yang berbeda dari buruh, kenapa mereka membatasi apa yang seharusnya didapatkan buruh meski tanpa kewenangan untuk itu. Kalau buruh memperjuangkan kenaikan UMR demi kesejahteraan, demi kehidupan generasi penerus mereka yang lebih baik, apakah itu salah? Apakah pendidikan tinggi hanya untuk anak-anak guru? Atau justru pendidikan yang membuat orang-orang menjadi angkuh?

Apapun pekerjaannya, bukankah semuanya harus dimulai dari titik rendah? Bukankah penghargaan akan datang bersamaan dengan semakin kayanya pengalaman?

Meski sama-sama masyarakat minor, buruh sepertinya belum dihormati sebagaimana petani. Kita tak diajarkan untuk berterimakasih pada buruh sebagaimana anak-anak TK berterimakasih pada petani setiap mau makan. Apa karena buruh di sini Cuma sekedar pesuruh, bukan agen transfer teknologi sebagaimana yang semestinya? Tapi siapakah yang sebetulnya membuat kita menjadi bangsa penjual mentah yang konsumeris? Siapa yang mengundang investor asing yang pelit ilmu dan kemana perginya investor lokal yang progresif? Apakah semuanya salah buruh?

Apakah memang demikian berat untuk mengizinkan buruh mendapatkan posisinya sebagaimana mestinya? Haruskah pegawai negeri bergaji lebih tinggi atas dasar pendidikannya, ketika buruh harus diaduk-aduk pola hidupnya oleh pekerjaan 3 shift yang tidak ringan? Kalau sekarang Cikarang makin tidak terkontrol, itulah hasil pola hidup yang selama ini dikatakan sudah cukup untuk buruh. Betapapun Jogja mulai ditumbuhi hotel-hotel, ia selalu diperhatikan baik oleh organisasi mahasiswa, masyarakat, seniman, dan lainnya. Cikarang tidak punya semua itu. Jalanan rusak semakin rusak, perpustakaan dan taman kota tak tersentuh, janji pemerintah hanya akan jadi janji, buruh terlalu sibuk untuk menagihnya. Lembur demi mengejar cicilan ini itu dan menyekolahkan anak-anak jauh lebih penting dibanding mengurusi pemerintah dan preman-premannya.

Saya bermimpi suatu hari 1 Mei bukan lagi ajang turun ke jalan buat buruh. 1 Mei mungkin bisa jadi hari festival besar-besaran buat sebuah masyarakat industri. 1 Mei mungkin bisa digunakan perusahaan-perusahaan untuk ‘memanusiakan’ pekerjanya. 1 Mei mungkin bisa jadi hari yang tak hanya dirayakan buruh, tapi juga semua orang atas jasa buruh dalam lini-lini lekat yang jarang mereka sadari.


No comments:

Post a Comment