Trending Topics

.

.

Friday, January 31, 2014

Penentuan: Sejengkal lebih dalam tentang menembus batas ke Universitas

Besok career day di sekolah saya, dimana mestinya saya aktif sebagai salah satu anggota, menghadiri setiap rapatnya, menyatakan pendapat dan sebagainya, tapi ternyata saya tak banyak bertindak. Kadang kala keputusan untuk diam dalam satu saja perkara kecil akan membuatmu terdiam untuk waktu yang lama. Lagipula ada banyak lagi kisah dibaliknya. Sudahlah.

Saya tak punya tips macam-macam. Lagipula tips-tips mengenai masa-masa penentuan ini hanya banyak dikeluarkan oleh lembaga lembaga bimbel sebagai produk komersial mereka. Lembaga-lembaga yang apabila dilihat dari konsep luhur pendidikan, nyatanya amat sangat tidak mendidik. Mereka mengajarkan rumus-rumus mudah untuk menyiasati soal tertentu, membuat anak-anak korban mereka memeras otak untuk waktu yang berlebihan dari kapasitas mereka demi menghapal cara menjawab tanpa tahu akar dari masalah sebenarnya yang dihadapkan pada mereka. Lembaga-lembaga tersebut, di mata saya, kadang nampak tak lebih dari sekedar pelumas mahal untuk melumuri diri demi melewati sebuah celah yang benar-benar sempit bernama UN dengan lebih mudah.

Tak ubahnya juga dengan UN itu sendiri. Ideal memang mustahil, tapi masih ada manusia yang mengalahkan kepentingan orang banyak demi segelintir individu dan gologan tertentu. Hal itu yang rasanya masih membuat tangan-tangan aktivis semakin erat mengepal. Dengan UN, otomatis, pendidikan hanya soal nilai. Tak peduli ada 60-40% atau apalah itu, 40% tersebut bukanlah ruang yang diberikan oleh oknum pendidik untuk turut bicara mengenai kelulusan anak didiknya, melainkan celah untuk menyumpal nilai demi memenuhi standar. Terserah soal sekolah-sekolah elit dengan guru-guru mumpuni dan murid-murid bergizi baik, tapi jika dibandingkan dengan keseluruhan sekolah yang pasaknya tertanam di bumi negeri ini, mereka hanya minor yang selalu tersoroti oleh cahaya pesona ibu kota, samasekali bukan cerminan dari semuanya. Yang lain hanya sekolah sederhana di desa-desa, atau paling banyak, sekolah yang dari luar terlihat baik, tapi dalamnya bobrok luar biasa.

Bagaimana tidak? Gedung sekolah tersebut bertingkat-tingkat, bahkan beberapa dilengkapi pendingin ruangan, perangkat multimedia dan sebagainya. Tapi kualitas pendidikannya masih jauh dari standar yang diminta oleh sistem UN. Bangunannya boleh jadi mentereng, tapi kondisi sosial di sekitarnyalah yang mestinya terperi sebagai cerminan dari isi sekolah yang sebenarnya. Masyarakat menengah yang mati-matian memenuhi tuntutan modernisasi gaya hidup tanpa modernisasi pola pikir. Alhasil, dari sekolah luar ibu kota yang dibilang berkualitas baik tersebut, para siswa yang di kelilingi gadget itu tak pernah punya ruang untuk memilih masa depan dan terdampar di arus yang seragam. Arus seragam ini boleh jadi akan menimbulkan dampak besar bagi regenerasi negeri ini. Kedepannya bhinekka tunggal ika yang dipuja hanya beribu-ribu burung garuda dengan mata kosong yang sama sama menjunjung perisai, mencengkeram pita, terbang ke arah yang sama, tanpa mengetahui alasan yang ada dibalik arah yang mereka pilih.

Tapi sudahlah, sistem sudah ada. Tulisan ini dan orang seperti saya hanya ikan perairan hangat yang terseret arus dingin lalu membeku. Satu akan terkubur oleh seribu sebagaimana susu setitik yang lenyap di nila sebelanga. Revolusi akan dipenuhi pengorbanan, dan perubahan selain revolusi hanya akan menelan waktu sangat-sangat lama. Yang ada sekarang adalah masalah yang sebenarnya yang harus segera diselesaikan. Sampai level kita bisa naik, kita bisa berada pada posisi sedikit lebih diatas agar cukup bisa didengar.

 Pada bulan-bulan genting seperti ini, kalian para pejuang UN harusnya sudah sadar mengenai apa yang akan kalian hadapi kedepannya. Saya bukan orang dalam kemendiknas atau cenahyang yang bisa meramalkan segalanya, apa yang saya sampaikan sepenuhnya hanya berdasarkan pengalaman saya. UN saya mungkin lebih berat dari anda sekalian. Sekolah saya, sebenarnya terbiasa untuk curang. Kecurangan itu dilakukan beberapa tahun sebelum saya, oleh pendidik, para pahlawan tanpa tanda jasa kami yang sekali lagi harus mempertaruhkan keselamatan diri demi membela kami yang dihakimi oleh sistem. Pemberitahuan di auditorium mengenai ketidak bisaan dilakukannya lagi bentuk kecurangan seperti itu di tahun saya dan permintaan maaf dari mereka terdengar seperti pengumuman bahwa keesokan harinya pemilik dari ratusan kepala di auditorium itu akan dikirim berperang tanpa kepastian untuk kembali dengan selamat. Akhirnya dengan dibebani ketakutan dan mimpi buruk setiap malam, kami turun berperang. Melawan kantuk, malas, dan kecenderungan memberontak yang lumrahnya dimiliki oleh anak-anak seusia kami dan memilih untuk menurut sembari berharap jiwa yang terkekang ini tidak akan terus menerus berada pada kondisi seperti ini untuk waktu yang lama, bermimpi bahwa besok ketika matahari terbit kita sudah bebas dari segalanya.

Di tahun-tahun sebelumnya, anak-anak dari sekolah yang sama dengan kami bisa lulus dengan mudah, tanpa harus berusaha lebih berat dari bangun lebih pagi untuk menjemput kunci jawaban yang dibagikan cuma cuma, yang menghadiahkan secara cuma-cuma pula angka-angka indah di ijazah mereka. Aku sempat berpikir, tidakkah mereka merasa bersalah atas kelulusan mereka ketika mendengar tentang kami? Toh kami sama-sama diajar oleh orang-orang yang sama, di kelas-kelas yang sama, dengan fasilitas dan rentan waktu yang juga sama. Tapi siapa juga yang mau pusing-pusing memikirkan tentang Ujian Nasional tahun berikutnya. Sudah lulus berarti sudah selesai urusan, apapun yang orang katakan tentang kelulusan itu. Bahwasanya saya belum pernah mendengar kasus pertanggung jawaban kelulusan dan kelulusan yang dicabut, adalah bukti bahwa sistem yang berlaku adalah kerjakan, selesaikan, dan lupakan. Sekali kata lulus dikantongi maka proses hanyalah omong kosong.
Beberapa anak yang kiranya mampu mengundang guru privat, atau mengikuti bimbel mahal. Yang lain memilih menggantungkan nasib sepenuhnya pada program-program minim sekolahan. Dari keseluruhan anak-anak di gedung bimbel itu, ada yang datang satu dua kali, dikuasai oleh rasa malas, ketergangguan, dan pemikiran pendek bahwa hari esok bukanlah urusan untuk dipikir hari ini. Beberapa yang lainnya memilih untuk rajin, tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan orang tua dari penyisihan sebagian yang tidak kecil dari hasil jerih payah mereka bekerja. Beberapa sisanya, rajin bukan karena dorongan orang tua, tapi memang bernafsu mengejar nilai, mereka orang-orang terbaik dalam sistem.
Diluar kelompok-kelompok tersebut ada kelompok penggerutu dimana saya berada. Memilih untuk tak mengikuti arus tanpa benar-benar terdiam. Belajar adalah hal yang bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja. Usaha tidak akan pernah sia-sia dan ilmu serta potensi diri adalah apa yang mestinya diperjuangkan lebih daripada nilai. Kau boleh lulus dengan angka yang hampir menggantung nyawamu di tiang keputus asaan, tapi kau punya pemikiran kritis, kau sanggup melangkah melawan arus dan meluruskan kepincangan ini, kau punya potensi lebih di lain sisi, tak masalah. Karena dunia ini tak terkotak-kotakkan oleh sudut, tapi bundar oleh relativitas. Kau tak akan membentur tembok yang mendakwamu benar-benar salah selama itu bukan pengadilan Tuhan. Jadi lakukanlah apa yang menurutmu paling benar.

Soal masuk ke universitas, saya pun tak mampu bicara banyak. Alhamdulillah, tahun lalu saya diterima melalui jalur yang luar biasa mudah. Saya masuk di pintu pertama yang dibukakan untuk saya tanpa perlu lagi berdesakkan di pintu lain. Tapi diluar passing grade, kekhawatiran, kerumitan sistem, malapetaka human error, dan teror dari konseling, orang tua, atau siapa saja yang kadang kala ketika berbenturan selalu mencoba untuk mengalahkan keinginan kita, fase ini adalah fase paling ajaib yang pernah saya alami sampai detik ke sekian hidup saya ini.
Cerita lama kalau saya adalah orang bodoh yang terdampar di IPA. Lho, bukannya orang selain IPA seringkali dianggap tidak lebih pintar dari mereka kan? Tak salah lagi, sudut pandang yang kolonial seperti ini memang masih tak bisa dilepaskan dari pola pikir orang-orang kita pada umumnya. Bahwa rambut panjang, kulit putih, dan tubuh tinggi semampai adalah cantik, bahwa nilai bagus adalah pintar, dan bahwa-bahwa lainnya yang memaparkan satu ‘bahwa’ yakni pendapat umum adalah kebenaran mulia dan yang lain adalah salah, ialah kesempurnaan dan yang bukan hanya sampah, tak peduli dengan sifat alamiah manusia yang diciptakan samasekali berbeda setiap individunya.
Bagaimanapun juga pahitnya cerita lama itu, tapi cerita itulah yang membuat saya menemukan diri saya yang sekarang. Bukan tidak mungkin saya akan berada sangat jauh dari ini, tanpa mendekap keinginan kuat ini jika dulunya saya tak lebih dahulu bersakit-sakit ria. Teman seperjuangan saya, bermimpi segera bisa eksodus ke negara dengan sistem pendidikan lebih baik dari pada terus menerus tersiksa disini, tapi saya tak sampai hati. Mungkin saya tahu rasanya jadi Eren yang keinginannya untuk jadi Recon Corps ditentang banyak orang. Sebenarnya, sebagai mana milik saya, keinginan itu berdasarkan atas pemikiran yang amat sederhana. Begitu banyak prajurit yang mati oleh para raksasa di luar dinding, jika orang hanya menganggap apa yang mereka lakukan sia-sia, siapa lagi yang akan berada disana untu meregenerasi pasukan yang cepat sekali mengalami penurunan jumlah? Panggilan hati ketika kita sedikit menghaluskan perasaan dalam situasi semacam ini tak bisa dipungkiri. Kalau kami, orang-orang seperti saya yang bertahan hanya diam, akan jatuh korban lain. Akan banyak Saya-Saya lain yang harus merasakan hal yang sama. Jadi untuk apa saya bertahan sejauh ini jika hanya untuk menyelamatkan diri sendiri?

Masuk lewat jalur Undangan atau SNMPTN adalah strategi win-win. Mari lupakan soal kesombongan atas nilai raport kalian yang angkanya berkilauan, dan dengarkan konsep yang saya tawarkan. Masuk lewat jalur ini adalah cara yang paling mudah, murah, dan tak beresiko. Ibaratnya, dengan ini, sistem ini sudah menawarkan keuntungan pada kita, sebelum keuntungan yang sebenarnya yakni apabila kita memenangkan pertarungan strategi ini. Manusia memang terlahir dengan nafsu dan hidup dengan ambisi, tapi menjadi tidak tinggi hati adalah yang harus dilakukan sekarang. Sistem ini sudah menawarkan kemudahan demikian banyak, masa iya kita masih hanya mau mengejar ambisi dengan melupakan keterbatasan kita? Yang terpenting adalah memilih apa yang kita sukai, bukan gengsi. Jadi jujurlah pada diri sendiri dan balaslah keramahan sistem ini. Kalau itu memang jalur tes yang meminta usaha maksimal kalian, kesungguhan kalian, bolehlah kalian meminta ambisi kalian pada mereka. Yang jelas dalam setiap usaha, keterikatan dengan Tuhan juga tak bisa dianulir.

Selamat menikmati. Fase ini akan jadi ajaib. Sulit untuk merasakan sensasi yang sama jadi maksimalkanlah apapun yang kalian usahakan dalam fase ini.

Yuanita WP

No comments:

Post a Comment