Trending Topics

.

.

Saturday, June 08, 2013

Sejarah dan Saya, Saya dan Sejarah

Biar saya jelaskan disini, saya bukan orang yang pandai berbasa-basi tapi saya suka budaya basa-basinya Indonesia. Budaya ini menjelaskan secara implisit bahwasanya penduduk dari negeri ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kesopanan, menghormati siapapun yang berinteraksi dengan mereka, dan memiliki tutur kata dan laku yang halus. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, derasnya arus globalisasi, dan semakin maraknya internalisasi nilai asing yang berbanding lurus dengan degradasi moral bangsa, kata “basa-basi” itu sendiri mulai bergeser makna. Basa-basi murni yang mengandung nilai-nilai luhur kini mengental eksistensinya menjadi “kebanyakan basa-basi” atau bahkan memudar samasekali menjadi “nggak tau sopan santun”. Entah bagaimana caranya agar nilai luhurnya kembali pada asalnya, mungkin itu peer buat saya dalam beberapa waktu kedepan, seiring dengan langkah pasti saya untuk menjajaki salah satu bidang keilmuan yang tak asing buat saya, lebih jauh lagi.

Saya mengidentifikasi beberapa hal mendasar dari kepribadian saya selama ini. Diantaranya adalah saya suka mengenang dan merancang. Kedua hal tersebut sama-sama melibatkan imajinasi yang tak lain adalah salah satu kemutakhiran yang dimiliki oleh bongkahan otak bagian kanan, tapi sadarkah kalian bahwasanya kedua hal itu berada pada dimensi yang berbeda? Yeah, mengenang untuk waktu yang lalu, dan merancang untuk waktu yang akan datang. Dan dengan banyak pertimbangan akhirnya untuk menjalani hidup saya beberapa waktu kedepannya, saya lebih memilih untuk mengenang dari pada merancang.

Imajinasi adalah nafas yang telah menyambung nyawa saya untuk sekian lama. Ia adalah hiburan paling mutakhir, dunia tanpa kendali, tempat melarikan diri paling aman, dan tempat kita, masing-masing manusia, memlikinya persis satu, dimana letak segala kendali ada pada diri yang menuaninya. Dengan bantuan imajinasi, kita bisa membawa kembali, merasakan kita didekap oleh atmosfer yang lalu, atau bahkan dibawa melayang oleh spekulasi tentang yang akan datang. Tapi karakteristik imajinasi terhadap kedua hal tersebut berbeda. Masa lalu adalah hal yang pasti dan terbukti, sementara masa depan hanya spekulasi. Tak ubahnya gaya arsitektur, bangunan masa lalu berdiri diatas banyak tiang dan konstruksi maha kokoh yang sanggup bertahan berabad-abad, sedangkan bangunan masa depan melayang diatas kemutakhiran teknologi dan futurisme yang bahkan hanya berlandaskan pada hitungan rumit dalam teori yang masih dalam pengembangan atau bahkan belum ditemukan samasekali.

Sci-fi, atau science fiction, meski berbau science dan tampak meyakinkan, tetaplah hanya imajinasi yang bisa saja terjadi atau tidak samasekali. Yang ada di waktu yang akan datang adalah misteri. Jikapun kita mengusahakan, kendali tetap berada bukan pada kita. Oleh karenanya, masa depan menurut saya sepenuhnya adalah abstrak. Imajinasi berupa rancangan yang saya gemari hanya sekedar siasat untuk menghibur diri, menyampaikan ide gila tanpa cibiran siapapun, dan melegakan dahaga kreatifitas saya. Saya merancang hari ini, besok, dan besok lagi, bukan semuanya untuk terjadi atau benar-benar terwujud, tapi justru karena saya suka merancang, entah itu akan terrealisasikan atau tidak. Ketika benar-benar terwujud, tentu saya bahagia, tapi sekalinya tidak pun saya sudah cukup senang dengan merancangnya.

Lain halnya dengan masa lalu. Jika di dimensi waktu yang akan datang ada Sci-fi, di waktu yang lalu tak ada History fiction. Jikalau memang ada, secara gamblang itu akan dikategorikan sebagai fiksi tanpa menyeret terlebih dahulu kata “History”, seperti misal Legenda yang memiliki kemiripan dengannya, tapi jelas dikategorikan berbeda karena sejarah memang hanya soal fakta. Melihatnya sebagai fakta, mungkin membuatnya terlihat sekaku eksakta, tapi steatment “Sejarah sebagai seni” segera mematahkannya. Mengapa? Dikutip dari guru sejarah saya di SMA, bahwa sejarah memang hanya soal fakta, tapi dalam penulisan dilibatkan interpretasi dan jiwa kreatif sang penulis sehingga ia menjadi fakta yang elok untuk diketahui, fakta dalam seni.

Dari penafsiran saya terhadap dua sudut pandang diatas mengenai merancang dan mengenang, memang pas rasanya jika saya memilih jalan tempat saya berada sekarang. Saya lebih serius untuk mengenang dibanding merancang. Merancang bisa jadi potensi yang cukup menjual, tapi sayangnya saya tak memiliki konstruksi cukup kuat untuk berada disana. Memilih untuk mengenang dan memilih Sejarah sebagai tujuan, bukan berarti menghilangkan aspek dimensi waktu yang akan datang dari pikiran saya karena pada dasarnya sejarah itu sendiri terdiri dari tiga dimensi, masa lalu, saat ini, dan masa yang akan datang.

Yang membuat saya mencintai bidang keilmuan ini bukan hanya soal apa yang ia berikan pada saya, tapi juga apa yang secara implisit melekat padanya. Saya suka idealisme para akademisi Sejarah, saya suka kegigihan mereka dalam melawan arus dan mencari kebenaran. Dan adalah suatu harapan besar buat saya untuk menjadi salah satu dari mereka suatu saat nanti, mengenang dan belajar banyak dari masa lalu untuk kemudian merancang masa depan yang lebih baik dari sekedar futurisasi yang tak sinergis dengan idealisme hakiki sebuah bangsa. Ketika saya sampai pada saat itu nanti, saya akan mendapati kecenderungan untuk mengenang dan merancang yang saya miliki dapat berjalan beriringan, koheren dengan langkah saya untuk mengabdi pada bangsa ini.




No comments:

Post a Comment