Dalam
banyak kesempatan, aku tak bisa membedakan betul antara tak bisa berbuat apa-apa
dan memilih untuk diam. Keduanya diam, tapi berbeda secara tendensi. Ketika
memang tak bisa, bergerak pun tak ada gunanya, tapi berbeda dengan yang kedua.
Saat ini aku yakin aku berada di kondisi kedua, tapi aku merasa tak ubahnya tak
bisa melakukan apa-apa.
Di
era ini, ada banyak lapisan komunikasi. Kesemuanya memiliki ikatan yang berbeda
eratnya. Jika dulu semua orang saling menyapa dengan lisannya masing-masing,
sekarang komunikasi semacam itu jadi mewah. Ada beberapa anak yang kaku jika
bicara dengan orang tuanya, ada yang pintar tapi diam saja di kelas, ada yang
pendiam juga bahkan di tengah-tengah lingkungan sejawatnya. Handphone, ponsel,
smartphone, atau apapun istilah dan fiturnya, selalu setia berteman dengan
kesendirian orang-orang yang wajahnya bersinar dalam gelap. Mereka teman hidup
orang saat ini. Topeng tercanggih yang memungkinkanmu memasang segala muka,
segala ekspresi tanpa harus mempertanggungjawabkannya. Maksudku, ketika kau
tersenyum, tertawa, menggila, sendirian pun kau aman dari cela ketika kau punya
mereka, sesuatu yang menyinari wajahmu dalam kegelapan.
Suatu
ketika, hampir semua orang telah masuk ke dunia tanpa musim. Segalanya bergerak
cepat dan mengalir. Penuh dengan keluh kesah, harap, dan serapah sembarang
manusia. Meski terlihat kotor dan tak bernorma, dunia semacam ini, menurutku,
dunia yang menampilkan banyak kejujuran. Di alam paralel ini sekalian kata tak
terucap dengan lisan terlontarkan, sekalian rasa tak terjamah ekspresi
tertuangkan, semuanya dalam sederet kata, sepenggal tayangan, atau hanya beberapa
gambar.
Aku
tak begitu cinta teknologi. Bagiku ia hanya anak zaman. Ia hanya kendaraan
beroda empat yang harus kita naiki jika ingin lewat jalan tol, sedang aku lebih
suka jalan kaki, berlama-lama dan memutar jauh mengikuti lekuk kehidupan yang
alam sediakan. Tapi kadang aku tak sanggup melalui beberapa hal. Meski berkata
demikian, aku tak ubahnya sekalian orang, yang jadi mangsa dari anak zaman.
Suatu ketika, aku memutuskan dengan segera—tanpa berpikir terlalu mendalam— kalau
dalam kasus ini, aku hanya bisa naik kendaraan roda empat. Demikianlah aku
disini.
Jika
aku berjalan kaki, mungkin aku bisa bertemu, menyapamu, atau mungkin
menawarkanmu berbagi payung ditengah gerimis yang mulai menghujam. Sekali waktu
di kesempatan yang selanjutnya atau yang selanjutnya lagi, mungkin aku bisa mengatakan
sesuatu: mengatakan padamu entah itu soal rasaku atau kata-kata menyerahku, mengatakan
padamu apakah setelah kita sampai di persimpangan jalan di dekat rumahku kau
boleh mengantarku sampai gerbang dan membawa payungku untuk kau pinjam dan kau
kembalikan lagi di pertemuan yang berikutnya, atau sekedar selamat tinggal lalu
meninggalkanmu bersama payung itu, berlari ke simpang yang lain tanpa menoleh
lagi, dan menjauh selamanya, sembari membiarkan air hujan membasuh segalanya.
Beribu
sayang aku berada disini, di dalam kendaraan roda empat: mobil yang aman dan
nyaman. Dengan segala daya yang sesungguhnya ada, aku membiarkan segala rupa
dinding dan batas melintang antara aku dan sosokmu di trotoar: udara,
wewangian, kaca jendela yang mengembun, debu yang luruh, rinai hujan, angin,
mendung, dan kilatan cahaya, kendaraan lain, tawa tangis orang lain, dan
dedaunan basah. Aku mengatakan sesuatu dari dalam kaca, sesuatu yang mungkin
—atau hampir pasti— tak akan bisa kau dengar. Untuk tahun kesekian dan kesekian
kalinya, aku telah berbisik sampai berteriak gamblang. Setahun aku telah berperjalanan
hingga kembali ke titik ini, di mana aku melihatmu, mengatakan sesuatu padamu,
dari dalam mobil untuk sampai ke sosokmu di trotoar, menembus segala partikel,
tapi tak hingga. Entah bagaimana dengan tahun selanjutnya tapi, aku ingin jadi
anak anak lagi, yang bisa tanpa mobil memakan ceri di kuemu, menumpuk kado di
meja, lalu mengucapkan selamat ulang tahun dan meminta bingkisanku sebelum
akhirnya pulang ke rumah dengan bahagia.