Sekali waktu aku merasa
era dalam hidupku telah berganti dengan yang baru. Kini semuanya seperti tengah
berganti lagi, tapi alih-alih dengan periode asing yang tak pernah kukecap
sebelumnya, periode baru ini amat lekat denganku. Seakan baru kemarin, dan
terulang lagi.
Aku, mulai menggunakan
kata aku lagi. Di waktu kebelakang yang cukup dekat, aku cukup memandang
ungkapan ini tabu, tapi tidak lagi dengan sekarang. Sebagaimana Sejarah, ada
yang mengatakan kalau ia hanyalah siklus yang berputar-putar tanpa pernah
bergerak maju, orang lain mengatakan kalau ia maju, tapi spiral, berputar,
mengalami posisi yang sama berkali-kali dalam kala waktu, bentuk, serta kesan
yang terus mengalami perkembangan ke arah depan, sementara sisanya mengatakan kalau
sejarah itu linier, lurus, maju kedepan, tanpa berhenti, tanpa pengulangan,
cepat, dan menuntut sama kejamnya dengan waktu.
Aku lebih setuju yang
kedua, aku mengalaminya.
Cukup dengan implisitme,
karena aku tengah lelah. Aku membaca sebuah novel dengan tema berat, dengan pergolakan
intrik yang menggoncang mental, tapi aku mengerti karenanya, bagaimana setiap
kehidupan memiliki korelasi antara satu dengan yang lain. Aku mendengarkan
lagu-lagu cengeng di radio, mencermati lirik-liriknya, betapa banyak orang yang
terluka, sakit, dan merana karena sebuah abstraksi yang diagung-agungkan, apa
yang dinamakan cinta selama ini. Meski demikian, ia tetap saja istimewa,
menjadi topik tercantik, teranggun, dan teristimewa sepanjang masa. Merah,
berkilauan, serta tinggi tak tergapai.
Suatu ketika, di rumahku
yang akan terus, tetap, dan selalu menjadi rumahku sejauh apapun aku berada
dari sana, aku pernah menangisi bagaimana takdir pernah berada pada sudut
paling radikal, paling kejam dalam pandanganku. Perihal cinta romantis aku
hanya pernah merasakannya sekali, indah memang, tapi menyakitkan, dan selama
bertahun-tahun aku terpaku disana, sampai memakan waktu lebih dari seperempat
usiaku kini. Tapi ia tak menyisakan apa-apa.
Aku bertanya, apakah
cinta hanya untuk orang-orang dengan cahaya, bukan seorang yang terperangkap
dalam gulita sepertiku? Jika memang ia tak akan pernah datang untuk kedua
kalinya, aku rela hidup tanpa apa yang dalam ilmu pasti dinamakan cinta
romantis itu. Aku punya cinta, aku tahu rasanya, orang tuaku mengajarkannya
dengan sangat baik padaku. Bukan masalah jika selepas menyelesaikan sarjanaku
nanti, aku terus berjuang demi pendidikan yang lebih tinggi, mengadakan
penelitian, menulis buku, bekerja untuk UNESCO, memiliki cukup tabungan untuk
membangun villa di pegunungan sebagaimana orang tuaku dan aku pernah bermimpi,
mengunjunginya sesekali, tinggal di rumah kami yang bersejarah, dan berbahagia.
Aku yakin aku bahagia, tanpa hal selain itu. Tanpa pernah merasa lagi pedih
yang indah seperti apa yang masih kualami hingga kini.
Sayangnya, tekad itu
hanya buah kegundahan tak bertepi yang menghakimiku seorang diri. Selepasnya,
karena aku orang yang mudah bahagia, aku melupakannya. Aku menjalani hidupku
seperti biasa, menemukan hal-hal menyenangkan untuk dinikmati, tertawa,
melupakan segalanya termasuk soal pedih-perih cinta dan rencana hidup bahagiaku
yang penuh keputus asaan terhadapnya dengan anggapan bahwa hidup ini berjalan
lambat, sangat lambat, sampai aku terus menerus bahagia dan tanpa sadar telah sampai
pada saat yang kutakuti itu, tanpa harus membalut luka yang sejatinya tak
pernah ada.
Kini, tinggal menunggu
beberapa hari sampai hari dimana aku mengaku aku telah terpaku soal hatiku
terhadapmu berulang untuk kelima kalinya. Perasaan itu memang sudah tak sedalam
dulu, tapi aku tak pernah berhenti berharap. Kadang kala, dalam waktu
belakangan ini, aku justru lebih merasakan rasa sakitnya dibanding
keindahan-keindahan yang pernah membuatku melupa dahulu. Tapi apakah benar
dalam rumah tangga orang-orang yang bertahan lebih dari setengah abad, cinta
tak pernah hilang dari untaian hari demi hari mereka yang panjang? Setiap ada
pasang selalu ada surut, tapi air laut akan selalu ada, merindu akan cahaya
bulan diatasnya bahkan ketika ia tengah tak muncul samasekali. Laut percaya
kau, Tuan Bulan, masih disana, sesekali menoleh hanya demi membuat Laut tak
begitu terluka, sementara kau masih enggan melepas mimpi-mimpimu tentang
Matahari.
Aku tahu kau begitu
baik, karenanyalah keyakinanmu selama ini bahwa kau tak perlu menyakiti diri
sendiri demi berbaik hati kepadaku adalah benar. Aku mencintaimu, sekian lama
mematok perasaan ini padamu, menjatuhkan jangkar pada dangkalanmu, bukan untuk
membuatmu terluka. Aku merindu akan takdir yang menempatkan kita berada dalam singgasana
yang setara untuk sama-sama bahagia, meski rindu itu tak kunjung terbalas
hingga tahun yang kelima.
Tuan Bulan, laut memang
kelam, samudra hanya genangan dingin yang menyeret pelaut-pelaut ke
kematiannya. Suatu malam
ketika aku tengah menantikan purnamamu, seorang pelaut datang kepadaku. Ia
melihat bagaimana aku memiliki banyak luka. Ia begitu baik, ia tak pernah
khawatir jika suatu saat aku hanya akan menjadi ombak yang akan menggulung
kesediaannya dengan pengkhianatan. Ia berikrar dihadapanku untuk menaklukanku,
membahagiakanku dan melihatku bahagia bahkan di malam-malam tanpa bulan.
Aku terpaku
dalam diam, dinginku tak pernah tersentuh oleh tangan sehangat ini sebelumnya.
Aku masih merindu akan dirimu, melukai diriku sendiri, menikmati sekedar cahaya
temarammu sebagai candu, tapi di saat yang sama pelaut itu datang menawarkanku
untuk ia kenalkan pada candunya, apa yang ia sebut happiness.
Aku tak
kenal kebahagiaan, kecuali keindahan sebuah ironi yang membuatku bahagia.
Ajarkan aku kemana aku
harus melangkah, Tuan Bulan.
Meski aku tak ingin kau
tahu kisah soal pelaut ini, karena setelahnya, kau pasti memintaku untuk
mencoba rasa dari bahagia yang tak akan pernah kudapatkan darimu bersamanya.
-Oleh Laut-
No comments:
Post a Comment