Dua tahun ini isunya
meredup ternyata tak cukup mengukuhkan hukum yang mengalahkan teorinya untuk
kembali teraplikasi. Theorema Punggung yang konyol sekaligus krusial,
menggelikan sekaligus dekat, dan sepele, tapi cukup memusingkan.
Mungkin sekitar dua tahun
yang lalu itulah saat yang saya maksud. Ketika dalam blog yang masih sama baik
pemilik, tampilan, maupun substansinya ini, saya memublikasikan sebuah post
mengenai Theorema Punggung yang pertama, judulnya Still Keep Staring at Your Back. Ketika itu, bentuknya
mungkin masih sekedar proposal penelitian, atau mungkin sebuah hipotesa yang
sedikit berada lebih tinggi tingkatannya. Yang jelas, Theorema Punggung saat
itu masih hanya Theorema, tapi sekarang saya mulai menemukan jalan di mana ia
memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk dapat terkukuhkan menjadi sebuah
Hukum.
Penelitian yang secara
metodologis hanya membutuhkan kesaksian-kesaksian dari narasumber, kepekaan
afektif, dan penalaran untuk dapat menarik kesimpulan ini telah membuka mata
saya bahwa Theorema ini benar-benar terbukti sebagai salah satu fenomena yang
cukup umum dalam kehidupan. Jika anda bertanya-tanya, sejauh mana penelitian
ini dapat dipertanggung jawabkan, mungkin jawabannya ada pada diri anda
sendiri. Nanti, setelah saya selesai menjelaskan rinci definisinya, anda akan
menemukan sendiri jawabannya.
Karena pada kenyataannya
pun keakuratan Teorema ini telah teruji, dua kali, pada diri saya sendiri.
Still Staring at Your Back adalah yang pertama, dan Theorema Punggung adalah kali keduanya.
A adalah simbol yang mewakili dua variabel utama yang saya temui dalam
persamaan-persamaan pada Teorema ini.
Dan saya rasa cukup bagi
saya untuk menyatakan keabsahannya setelah dua kali merasakan berada pada
kedudukan yang berbeda dalam Theorema ini.
***
Pada suatu pagi yang
berkabut, bulir-bulir embun masih menggelayut di pucuk-pucuk jemari tetumbuhan
yang masih tertunduk malu, ada kisah yang tertafsir oleh mata-mata kami yang
terlampau peka atau justru iseng dibalik gestur beberapa ekor ayam di
pekarangan. Dalam gambaran tersebut, seekor ayam jantan memunggungi seekor ayam
betina ketika ia tengah memandangi lekat ayam betina elok yang berada jauh di
depannya. Seperti itulah Teorema Punggung bekerja. Melibatkan orang-orang yang
tak saling melakukan bentuk interaksi lain selain saling menyakiti.
Setelah menemukan
Teorema ini, kadang saya bertanya-tanya, kalau Tuhan memang memiliki maksud
dari setiap yang diciptakan-Nya di dunia ini, apa maksud sesungguhnya dibalik
keadaan saling menyakiti ini? Keadaan yang mirip dengan domino effect ini tak
ubahnya seperti rantai yang saling menusuk. Bisa jadi, dalam sebuah rantai
panjang teorema ini, terlibat sekian banyak orang dengan posisi yang sama dan
berulang dimana orang paling depan tak melihat apa-apa, tapi dengan kejamnya,
tanpa sadar menusuk orang di belakangnya, terus seperti itu sampai di tempat
paling belakang adalah orang yang paling tersiksa karena ditusuk tanpa pernah
memiliki kesempatan menusuk, meski menusuk pun sebenarnya bukan keinginan salah
seorang pun dari mereka. Jika begini, bukankah dua orang yang saling
memunggungi, atau saling menusuk sekalipun, lebih baik dibandingkan mata rantai
yang akan selalu menarik tumbal-tumbal untuk turut terjalin didalamnya semacam
ini?
Dalam
Teorema ini, ada tiga posisi dasar. Posisi pertama ialah seseorang yang paling
depan, yang tak tahu apa-apa sekaligus tak tahu kalau ada sesuatu yang tak
pernah ia perbuat yang membuat orang lain tersakiti olehnya. Posisi pertama ini
biasanya sering dialami tanpa disadari. Kedua, posisi tengah sekaligus kunci
dari jalinan rantainya. Mengapa kunci? Karena jika ia mengambil langkah besar
untuk memutuskan berbalik, ia akan memutus rantai setan yang menjerat
orang-orang dalam garis yang sama dengannya. Yang jadi permasalahan mengenai si
tengah ini hanya bagaimana ia akan menempatkan perasaannya dan perasaan
seseorang di belakangnya dalam sebuah skala prioritas yang akan menentukan
kesinambungan rantai tersebut. Yang ketiga, posisi belakang yang paling tak
berdaya. Sebenarnya ketika berada dalam posisi ini pun kita memiliki pilihan,
yakni untuk tetap bertahan atau berlari menghindar dan melupakan segalanya
untuk menemukan kutub magnet baru yang siapa kira bisa saja bersatu baik dengan
kutub kita. Tapi sekali lagi, perlu langkah super berani untuk melepas segala
‘sensasi’ yang pernah dirasa untuk mengambil pilihan-pilihan tersebut. Dan
selama saya mengalami terlibat dalam Teorema ini, tak sekalipun saya pernah
mengambil langkah berani tersebut. Entah kenapa, tapi kemungkinan terhebatnya
adalah saya lebih mencintai ‘sensasi’nya daripada kenyataan bahwa saya berada
dalam posisi yang tak diuntungkan samasekali itu tadi.
***
Kisah dimana
Teorema ini teraplikasi berlanjut ketika kami, tiga variabel ini dipertemukan
di sebuah kota baru. Bagai mimpi, apa yang selama ini hanya wacana dalam
imajinasi yang sudah menghasilkan sekian banyak luka, terlaksana sedikit demi
sedikit secara nyata. Orang pertama yang selama ini hanya memunggungi Orang
kedua dalam seribu macam kesunyian, bersedia menoleh untuk kali pertamanya.
Anda tentu
bisa membayangkan bagaimana besar makna sebuah perhatian, sekecil apapun itu,
bagi seseorang yang sudah menantikannya dengan berdiri susah payah pada sebuah
sudut dingin dengan tubuh penuh luka untuk waktu yang tak sebentar. Tapi justru
pada saat dimana si Orang Kedua itu tengah terlena oleh perasaan bahagianya,
seseorang lain dari belakangnya menawarkan tangan dinginnya untuk mencoba
menyembuhkan luka-lukanya. Si Orang Kedua kemudian mematung dalam sejuta
kebingungan, ia mematung untuk saat yang lama, sampai kini pun ia hanya mampu
diam. Ia takut melangkah terlampau jauh bersama si Tokoh Baru ini, sementara ia
tak bisa menjanjikan lebih untuk apa yang ada di depan mereka. Ibarat segala
kebaikan si Tokoh Baru adalah emas, bagi seorang penggila romantisme dan
sensasi yang idealis ini, respon-respon kecil yang dinantikannya dari Orang
Pertama adalah batu mulia yang langka. Dilema terbesar dalam dinamika hidupnya
kini adalah haruskah ia melepas mimpi besar yang setelah sekian lama akhirnya
mulai tercium wanginya demi sebuah kenyamanan yang masih asing baginya
dibanding pedih dari luka-luka lama yang masih menganga?
Suatu saat
waktu akan menjawabnya, tapi dari hati terdalamku, Orang Kedua dalam dinamika
teorema ini, aku minta maaf kepada yang merasa berada pada posisi yang tak diuntungkan karenaku. Aku tak bisa
mengambil langkah untuk saat ini. Mimpi tentang orang pertama yang berdiri
tanpa mendengar semua ini disana terlalu tinggi harganya untuk kulepas begitu
saja. Sudah cukup luka demi luka yang kutabung selama ini bebas ditukar dengan
sesuatu yang lebih berharga darinya kini bukan? Entah apa yang mengganggumu,
Orang Pertama, apa semua yang kurasakan terhadapmu memang salah? Jika iya
tolong beritahu aku. Agar kau bisa berhenti menyakitiku, agar aku bisa berhenti
menyakiti orang lain.
Tapi boleh
lah kau tahu, andai kata aku tak bersakit-sakit ria untuk bermimpi akan sebuah
kalimat eksekusi menyakitkan darimu.
Aku masih,
berada dalam posisi yang sama, seperti sedia kala.
Teruntuk objek riset saya yang budiman, Marshella Riyanto
dan Rere Harits Ariyanti yang juga merangkap konsultan saya.
Dan sesama yang terlibat dalam Theorema,
dan Rere Harits Ariyanti yang juga merangkap konsultan saya.
Dan sesama yang terlibat dalam Theorema,
Yuanita Wahyu Pratiwi
25 September 2013
25 September 2013
No comments:
Post a Comment