Sekisah Romansa Tentang
Dunia Pendidikan Indonesia
Yooo.. saya kembali.
Kali ini dengan berita yang kurang enak untuk didengar dan agak tabu untuk
diperbincangkan, tapi semua akan kita kupas setajam, silet#plakk—kalo hasil kupasannya aja setajam silet,
yang buat ngupas setajam apa?-- =____=
Oke, mari kita mulai.
Disini, saya akan sedikit banyak curcol lagi. Maaf untuk Indonesiaku yang telah
menaungiku sejak dulu sampai kini tapi dengan tak tahu dirinya aku malah
lagi-lagi membongkar aibmu disini, memamerkan coreng di wajahmu pada dunia yang
selama ini selalu mulus kau tutupi tanpa cela. Sebenarnya, kau hanya sebuah
objek indah yang selalu disalahgunakan. Entah sejak zaman kolonial dulu bahkan
sampai kini, ketika para penduduk kursi-kursi di parlemen adalah orang-orangmu
sendiri.
Indonesia, andaikata kau dapat urusi dirimu sendiri, tanpa pihak lain di atas sana yang menggenggam tampuk kendali atas dirimu, aku yakin kita sudah sejaya mereka yang dulu menggerogotimu dari dalam, para imigran sampah yang datang hanya sebagai parasit yang menginang padamu. Sekarang, lebih pahitnya lagi, ketika para imigran tak tahu diri itu telah angkat kaki, rakyatmu sendiri yang menjadi parasit bagimu. Tak semuanya, masih ada aku dan banyak orang lain yang andai kami punya kuasa ingin betul kami lepaskan dirimu dari jerat-jerat parasitisme nyamuk-nyamuk sial itu. Tapi sayangnya, kami hanya rakyat. Meski secara konstitusional kami punya kedudukan yang tinggi sebagai salah satu syarat bagimu untuk tetap berdiri sebagai sebuah negara, nyatanya apabila kami dipercerai berai begini, kami hanya bisa mengelus dada ketika kami lihat kau tersiksa.
Indonesia, andaikata kau dapat urusi dirimu sendiri, tanpa pihak lain di atas sana yang menggenggam tampuk kendali atas dirimu, aku yakin kita sudah sejaya mereka yang dulu menggerogotimu dari dalam, para imigran sampah yang datang hanya sebagai parasit yang menginang padamu. Sekarang, lebih pahitnya lagi, ketika para imigran tak tahu diri itu telah angkat kaki, rakyatmu sendiri yang menjadi parasit bagimu. Tak semuanya, masih ada aku dan banyak orang lain yang andai kami punya kuasa ingin betul kami lepaskan dirimu dari jerat-jerat parasitisme nyamuk-nyamuk sial itu. Tapi sayangnya, kami hanya rakyat. Meski secara konstitusional kami punya kedudukan yang tinggi sebagai salah satu syarat bagimu untuk tetap berdiri sebagai sebuah negara, nyatanya apabila kami dipercerai berai begini, kami hanya bisa mengelus dada ketika kami lihat kau tersiksa.
Itulah mengapa selama
ini gelar ‘Negara Demokratis’ yang kau sandang fikirku hanya sekedar testimoni
belaka. Pada prakteknya, kita masih jauh dari apa yang kita bayangkan mengenai
bentuk dan sistem demokratis yang kita impikan. Suara rakyat saat ini
terbungkam oleh politik uang. Parlemen yang ada tak cukup mewakili aspirasi
rakyat luas karena mereka hanya bagian dari satu golongan rakyat. Saya disini
memang seolah hanya mengkritik tanpa solusi. Saya hanya menyampaikan apa yang
ada di fikiran saya, selama pasal 28 belum dihapuskan, saya rasa ini masih
belum melanggar hukum. Ini memangtak bersolusi, karena jikapun saya tahu
solusinya, saat ini juga saya akan berlari ke gedung parlemen, atau jika perlu
ke istana presiden untuk mengemukakan sebuah sistem yang bisa membenahi semua
kekacrutan negara ini secara total dan instan. Tapi sayangnya itu mustahil.
Selama ini solusi yang muncul hanya solusi yang melahirkan permasalahan baru,
solusi yang menguntungkan salah satu kelompok dan merugikan yang lain, atau
mungkin solusi yang terlampau sempurna dan hanya bisa terwujud di awang-awang
saja.
Sebenarnya, kejayaan
sebuah negara itu berawal dari sebuah sistem ajaib yang mendewa yang saat ini
kami sebut pendidikan. Sistem itu dengan ajaibnya menyihir sekelompok barbar
menjadi seduyunan kaum borjuis berdasi. Sistem itu yang membuat otak manusia
bekerja, membuat manusia berpola fikir dan beradab. Membuat hingga kini
berbagai kebudayaan hingga peradaban telah tercipta. Tapi di lain sisi,
pendidikan juga yang telah membuat manusia mulai menggunakan otak mereka untuk
mendapatkan apa yang mereka mau, sekalipun itu akan mengorbankan hak orang
lain. Jadi intinya, mungkin pendidikan juga yang membuat banyak kekacauan di
dunia ini. Tapi, beruntungnya meski seringkali goyah dan limbung, moral manusia
masih berusaha tegap berdiri pada porosnya sehingga sampai kini tapal batas
antara baik dan buruk masih bisa terlihat.
Di Indonesia sendiri,
pendidikan sudah kita kenal sejak dahulu kala. Meski sifatnya tidak formal dan
hanya berupa petuah-petuah dari orang tua, itu sudah cukup membawa bangsa kita
berdiri sebagai wilayah yang makmur dalam lingkupnya dan menjadi tuan rumah di
tanah sendiri. Lalu, pendidikan formal. Jika yang nonformal bahkan sudah ada
sejak zaman nenek moyangku seorang pelaut, pendidikan formalnya atau akrab kita
sapa sekolah ini baru ditulari oleh negara penjajah di era kolonialisme. Jika
sebelum ini, mungkin ada sistem pendidikan semi formal seperti latihan perang,
mengaji, dan lain sebagainya, tapi baru pada masa kolonial ini kita mengecap
pendidikan mengenai berbagai aspek dalam kehidupan yang dipelajari secara
menjurus dalam satu lingkup yang disebut sekolah itu tadi. Sekolah ini kita
kenal bermula dari berdirinya sekolah-sekolah Belanda disini. Lalu, orang
Belanda yang salah satu dari merekanya sadar bahwa selama ini telah terlalu
banyak menyedot dari Indonesia tanpa pernah memberikan sesuatu apapun kini
masih dengan kelicikannya berfikir untuk sedikit membalas budi dengan sebuah
program yang dinamai Politik Etis. Nah, dari situlah sekolah-sekolah negeri di
Indonesia ini mulai berdiri.
Pada awal kehadirannya,
sebuah barang baru bernama sekolah ini cukup populer dan banyak menuai sukses.
Ia banyak sekali melahirkan tokoh-tokoh hebat dan terkenal yang sedikit demi
sedikit mulai mengancam kesinambungan aksi(sedot menyedot sumber daya)nya
Belanda. Padahal awalnya, ini hanya dimaksudkan untuk mencari pegawai kantor
rendahan yang bisa dibayar murah. Tapi lagi-lagi, hangat-hangat tahi ayam.
Semakin kesini, pendidikan yang dulunya mendewa, menjadi primadona dan dianggap
sebagai tolak ukur kesuksesan sebuah negara kini mengasap. Semakin lebar
kesempatan untuk sekolah terbuka, semakin sedikit yang niat betul soal sekolah.
Boleh di cek, sebarlah angket mengenai sebab seorang murid berangkat ke sekolah
dewasa ini. Atau, setidaknya tanyai sajalah lima atau enam orang yang kalian
temui mengenai apa motivasi mereka ke sekolah. Jawaban yang umum, untuk dapat
uang jajan, agar tidak dipaksa menikah, daripada harus lelah-lelah bekerja,
entahlah, atau yang paling masuk akal adalah untuk dapat nilai lalu dapat
ijazah, lalu ijazahnya bisa digunakan untuk mencari pekerjaan yang bagus. Sulit
dewasa ini menemukan siswa-siswa dengan motivasi tinggi, dengan tekad untuk
berbuat sesuatu yang berarti untuk negeri ini. Mereka atau, harus kusebut kami,
terlanjur dididik bebas dan individualis. Negara hanyalah soal sebongkah tanah
yang kami diami, selepas itu kami tak punya ikatan apa-apa lagi. Karena
mahalnya pendidikan dan aksi selap-selip dana yang berkedok pendidikan gratis
ini membuat banyak orang tua menyekolahkan anaknya di sekolah mahal agar
anak-anak mereka mendapat pekerjaan bagus dan bayaran besar nantinya. Tolak
ukur sukses semuanya telah berorientasi pada hal-hal yang bersifat materil.
Mungkin hampir sulit ditemui yang namanya pengabdian dan apresiasi di Indonesia
saat ini.
Di samping itu, sistem
pendidikan di negeri ini juga semestinya dibenahi. Lihat negara-negara di Eropa
seperti Finlandia yang membuat sistem pilihan mata pelajaran pada ujian
kelulusan siswanya. Atau pendidikan menengah atas yang sudah berorientasikan
profesi seperti di Australia. Di Indonesia, terutama ini saya rasakan betul
saat duduk di bangku SMA, kami para siswa-siswi Indonesia dididik menjadi
generasi bimbang yang otaknya habis terperas untuk banyak hal yang tak pernah
ditekuni sepenuh hati. Kita dilatih untuk membuang buang waktu. Coba fikirkan,
delapan belas mata pelajaran yang dipelajari secara teori sehari-harinya
diujikan setiap ujian akhir semester. Di Australia saja, maksimal hanya enam
pelajaran yang dipelajari oleh seorang siswa highschoolnya. Sedang disini jumlah itu adalah jumlah pelajaran
kami saat masih kelas satu SD.
Lalu, yang menjadi purpose dari segala ocehan saya dalam
segmen ini adalah tentang pemisahan kelas berdasarkan jurusan IPA dan IPS. Ini
tentu sudah tak asing lagi karena sistem ini memang sudah diterapkan sejak
zaman dahulu kala. Jadi, jikalau saya mengeluh tentang ini mungkin ini adalah
keluhan yang sudah kesejuta kalinya. Well, pemisahan jurusan ini dimaksudkan
supaya kita dapat berfikir lebih maju kedepan mengenai apa yang akan kita
lakukan saat masa sekolah kita yang hanya tinggal 2 tahun lagi itu selesai.
Entah bagaimana sistem aslinya, yang jelas dari penerapannya yang saya alami
sekarang, pemisahan jurusan ini sarat unsur diskriminasi dan pembunuhan
karakter. Pertama, pemisahan jurusan IPA dan IPS ini didasari oleh tingkat
kecerdasan. Ini dimaksudkan baik sebenarnya, dikarenakan dalam jurusan studi
IPA mata pelajaran yang dipelajari merupakan dewi durga-nya mata pelajaran yang
dikenal luas dan ditakuti sebagai pelajaran yang rumitnya tingkat dewa akan
lebih mudah dipelajari oleh mereka yang tingkat kecerdasannya cukup tinggi.
Tingkat kecerdasan mereka dianggap dapat mengatasi segala rumus dan hitungan
rumit dalam segerombolan mata pelajaran yang ada di dalam jurusan studi itu.
Sementara bagi yang IPS, dikarenakan pelajaran yang dipelajari tak terlalu
rumit, masih ber-basic menghapal dan penerapan langsung dalam kehidupan
sehari-hari, dan cukup lenggang berurusan dengan rumus dan hitungan rumit,
mereka yang tingkat kecerdasannya tak masuk daftar urutan di IPA dimasukkan ke
kategori ini. Niatnya memang untuk MEMPERMUDAH tapi.. ayolah, jangan menarik
kesimpulan sebelum mencoba berfikir dari berlainan sisi.
Oke, soal tingkat
kecerdasan itu memang bisa diterima tapi, tidakkah mereka para kreator sistem
ini berfikir soal unsur ajaib lain selain tingkat kecerdasan yang dapat
memengaruhi keberhasilan seseorang dalam belajar? Tidakkah mereka pernah
mendengar soal minat, niat, tekad, dan semangat? Itu adalah unsur unsur lain
yang bahkan lebih kuat kedudukannya dibanding sekedar tingkat kecerdasan.
Seorang pencinta fisika dengan IQ yang tidak memungkinkan dirinya untuk masuk IPA
bisa saja menguasai Fisika lebih daripada mereka yang duduk di program IPA. Itu
karena adanya tekad, minat, niat, dan semangat itu tadi. Yang namanya sudah minat,
ditambah dengan tekad dan niat yang sungguh-sungguh akan melahirkan semangat
yang betul betul kuat. Sekalipun ia akan menuai kegagalan satu dua kali kala
mecoba, itu tak akan menyurutkan apapun. Tingkat kecerdasan seseorang kan juga
berorientasi pada apa yang diminatinya. Bisa jadi, seseorang dengan tingkat
kecerdasan tinggi yang sebetulnya minatnya ada pada musik dipaksa masuk IPA.
Itukan berarti membunuh insting seni yang ada dalam dirinya. Jikalau sistem
pendidikan kita membiarkan ia dengan bebas memilih apa yang ia inginkan,
mungkin kita tak perlu membunuh bakat dan karakter seorang pemusik hebat dalam
dirinya.
Ini juga saya alami
kiranya. Hari ini, hari di musim hujan dimana presipitasi harusnya marak
terjadi tapi malah cerah benderang begini, saya harus mengerjakan soal ulangan
geografi untuk yang terakhir kali setelah hari minggu dan sore plus setengah
malam saya yang kemarin saya dedikasikan untuk mereview kembali apa yang selama
ini saya pelajari soal geografi dan mengingatnya. Saya lupakan, bahkan buang
jauh-jauh soal fisika yang nyatanya ikut mendampingi sang geografi di hari
ulangan esok paginya. Semuanya karena saya boleh dibilang terlanjur jautuh hati
pada bidang studi yang satu ini. Dan itu bergulir hampir seumur dengan adik saya,
sejak saya duduk di kelas tiga SD.
Saat itu, seorang saya
yang masih belum membuka mata menemukan sebuah jendela baru. Lewat sebuah
sampul belakang buku yang saya masih simpan baik hingga detik ini. Hari itu
adalah hari pertama saya tahu tentang sebuah mata pelajaran lain yang ternyata
ada untuk kita pelajari, IPS. Saya mendapat buku bersampul biru bergambar
banyak foto-foto dari kegiatan manusia sehari-hari. ‘Menarik’, pikir saya kala
itu. Dan akhirnya, didorong oleh rasa penasaran yang tengah meninggi saya baca sampul
belakangnya. Kiranya disana tertulis begini:
IPS adalah salah satu mata pelajaran baru yang kita
pelajari di kelas tiga ini. Belajar IPS sangat menyenangkan. IPS bisa membawa
kita seolah berpetualang ke masa lalu, IPS bisa membawa kita seolah terbang keliling
dunia, IPS juga memberitahu kita tentang hal-hal menarik yang kita bisa temui
pada apa yang kita lakukan sehari-hari.
Itulah untuk kali
pertamanya saya jatuh cinta. Benar adanya seperti yang tertulis pada sampul
belakang buku itu, mempelajari IPS betul terasa seperti berkeliling dunia atau
berpetualang ke masa lalu. Buku IPS itu yang membawa saya berkeliling dunia
dalam fikiran saya, membuat saya berfikir seolah dunia yang begitu luas itu
bisa saya genggam di dalam tangan saya. Membuat saya mencintai betul negara
saya ini, membuat saya mengenal banyak orang hebat dibalik perjuangan untuk
memerdekakan negara ini, dan membuat saya mengagumi mereka.
Tapi, bak Romeo dan
Juliet, ternyata kini kami tak lagi diperkenankan untuk bersua. Habis sudah
masaku untuk menelusuri sekepal dunia dalam fikiranku itu bersamanya. Kini,
nyatanya sistem di sekolahku memaksaku masuk ke jurusan IPA. Aku sungguh
berharap aku tak akan terjebak disini bersama rumus rumus yang melilit kepalaku
ini selamanya. Aku pasti akan merindu akan kalian, sayap sayapku. Sesekali
nanti, aku akan baca buku-buku sejarah, geografi, dan sosial-politikku yang
akan ada di meja belajarku selamanya, dan kala itu tolong ajak aku berkeliling
dunia lagi. Kita lihat seberapa tinggi Eiffel dan Big Ben, seberapa miring
Pissa, seberapa tua Colosseum, kita rasakan seberapa panas Sahara di siang hari
dan seberapa dingin Gobi di malam hari, kita tapaki seberapa tinggi Himalaya,
dan kita telusuri seberapa dalam Palung Mariana. Kita kecap seberapa asin laut
Kaspia, kita telusuri seberapa luas samudera Hindia, seberapa dalam samudra
Pasifik, dan seberapa dingin Atlantik Utara ketika Titanic tengelam. Kita
menyelinap untuk tonton Opera di Vienna kala Austria-Hungaria masih bersatu,
dan jangan lupa untuk makan di restoran Wurst di Prussia. Kita longok perang
dingin yang hancurkan Nazi itu, dan ah, aku ingin sekali saja menghadiri
persidangan Hitler saat ia didakwa, ah, hei.. aku juga ingin tahu kabar Pluto
setelah jabatan planetnya dicabut..!
Oh, nampaknya hidupku
akan semakin sulit dengan tiadanya lagi kalian semua di sisiku. Padahal, ketika
rumus-rumus itu menyiksaku selama ini, kalianlah yang menghiburku. Kini, eksistensi
rumus-rumus itu menguat ketika kalian harus pergi dari sisiku. Semoga saja
Tuhan berikan aku jalan dan kemudahan agar nilai matematika, fisika, dan
kimiaku tak seburuk yang lalu-lalu. Hahaha..
Jangan khawatir, meski
aku dan IPS bak Romeo dan Juliet, aku tak segan untuk membelot, dan menjemput
kalian wahai Juliet-Julietku jika kita hendak bercengkrama sewaktu-waktu.
Kalian cinta pertamaku, dan bagaimanapun, pertamakalinya ada mata pelajaran
yang aku benci adalah si rumus-rumus itu. Saat aku duduk di kelas 7 SMP, untuk
pertamakalinya aku mengantuk dan hampir tertidur di jam pelajaran sepanjang
sejarah hidupku, dan saat itu adalah pelajaran Fisika. Nilai IPA di SKHUN SD-ku
hanya 8,75 padahal pada bidang studi Bahasa Indonesia aku bisa meraih nilai
9,60. Sedang lebih mirisnya, nilai matematika di SKHUN SMP-ku hanya 7,25. Entah
akan berapa nilaiku nanti jadinya, apalagi aku tak akan pernah lagi mendapat
nilai hampir sempurna dalam mata pelajaran IPS yang biasanya berperan penuh
menunjang nilai mata pelajaran eksakta-ku yang minim bak pakaian para penari
ular.
Ini hanya sebuah
penjara, yang harus kulalui persis kala aku bermain monopoli. Nanti akan tiba
gilirannya aku bebas, lalu akan kembali pada kalian Juliet-Julietku. Lalu aku
berjanji, aku akan memperjuangkan tentang eksistensi kalian, agar kalian dan
para pecinta kalian sepertiku tak disebelahmatakan, karena aku takut jikalau
bukan aku yang berjuang soal ini, nantinya akan semakin banyak kisah-kisah
Romeo dan Juliet lain dalam dunia Pendidikan kita yang menunggu uluran tangan
para reformator yang rela mengabdi padanya.
Aku selalu menunggu hari dimana aku bebas dan dapat
bersua lagi dengan kalian, cinta pertamaku..
Wedew, keren! Nggak nyesel deh saya menjadikan anda salah satu dari daftar author favorite saya muahahahaha :D
ReplyDeleteEh, wan menurut anda saya ini orang IPA atau IPS? Bingung ._.
saya suka IPS, tapi saya ngga bisa memungkiri bahwa cinta pertama saya adalah matematika #eeeh, ya, walaupun sekarang nilai mtk saya kayak bikini *buagghh
muahahhaha... ashek, masuk daftar! :3
ReplyDeleteerr.. gimana ya, yang jelas anda orang seni#plakk
tapi feby mendingan, cocok dua-duanya kayaknya, gak kaya saya yang ngotot dan samasekali tak fleksible ini =3=
nilai mtk faby kayak bikini gimana nilai gua feb..
kayak bikini bottom kali#plakbuaghhjegger