Hikayat 604.800Detik
"Sebentangan perjalanan hidup saya selama seminggu terakhir yang penuh gejolak"
"Sebentangan perjalanan hidup saya selama seminggu terakhir yang penuh gejolak"
Part One: Yaumul Fasli-nya Seorang Pelajar
Yooo, semuanyaaaa!!!
Selamat sore, pagi, siang, malam, tengah malam, atau kapanpun anda baca tulisan ini*hehe*. Ah, lama tak jumpa dengan saya, berhubung saya memang sibuk betul akhir-akhir ini, dan aspek lain yang mempengaruhi mungkin sedang tak ada ide untuk menulis juga keogahan-keogahan lainnya yang pastinya banyak segala rupa#plakk. Oke, jika kemarin sedang tak ada ide, kali ini saya kualat karena tiba-tiba idenya numpuk seabrek-abrek di kepala saya. Bukan tiba-tiba jatuh dari langit juga sih, tapi karena memang begitu banyak hal yang saya alami akhir-akhir ini, dan ide-ide itu datangnya dari sana.
Selamat sore, pagi, siang, malam, tengah malam, atau kapanpun anda baca tulisan ini*hehe*. Ah, lama tak jumpa dengan saya, berhubung saya memang sibuk betul akhir-akhir ini, dan aspek lain yang mempengaruhi mungkin sedang tak ada ide untuk menulis juga keogahan-keogahan lainnya yang pastinya banyak segala rupa#plakk. Oke, jika kemarin sedang tak ada ide, kali ini saya kualat karena tiba-tiba idenya numpuk seabrek-abrek di kepala saya. Bukan tiba-tiba jatuh dari langit juga sih, tapi karena memang begitu banyak hal yang saya alami akhir-akhir ini, dan ide-ide itu datangnya dari sana.
Mau tahu apa saja, mari baca lebih jauh lagi...
Yap diawali dengan hari pertama dalam hitungan minggu
ala Indonesia yang ngaco yakni pada Senin kelabu, dimana terjadilah sebuah
momen yang bernama BAGI RAPORT *BLEDARBLEDARRR* halah, sok mendramatisir sekali
ini orang =__= Tapi, yaiyyyaalahh… Man,
sejak dahulu kala, sejak SD mungkin tepatnya-karena waktu dulu di TK saya gak
ada ranking-rangkingan- bagi raport
adalah sebuah momen prestisius yang begitu bermakna untuk saya, terutama
setelah saya terjebak dalam jejaringan emas beraliran listrik dua juta volt yang disebut peringkat kelas.
Rasanya yaah.. kurang lebih seperti kecanduan narkoba. Kala kebutuhan akan
pengakuan itu terpenuhi, kala prestasi yang kita raih tak mengecewakan, atau
bahkan sesuai dengan yang diharapkan, rasanya seperti melambung diatas
segulungan tinggi ombak pujian yang kalian terima. Tapi sungguhlah bencana kala
suatu waktu, entah karena apa tiba-tiba prestasimu melorot. Rasanya jika sudah
begitu tak ubahnya seperti sakau. Keringat dingin pasti tak terelakkan lagi
karena saat itu kita serasa keruntuhan tembok setinggi gunung. Ya, kalian tentu
tahu kan rasanya kecewa, dan dikarenakan oleh raihan apa yang pernah kau capai
sebelumnya harapan-harapan yang jika difikir-fikir kadang cukup tak berperasaan
ini terus datang dan memenuhi kapasitas pundakmu, menarik jarum penunjuknya ke
angka berat termaksimal yang mampu kau tampung-bahkan melebihinya tanpa
perasaan dan menekan hingga pundakmu melebur bersama waktu perlahan-lahan.
Intinya, semanis apapun, itu tetap TEKANAN.
Pengurutan raihan nilai atau yang akrab kita sapa ranking itu bisa membuahkan suatu
kebahagiaan dan kebanggaan memang, tapi tak jarang juga menimbulkan dedampakan
negatif lain dari mulai praktik diskriminasi terselubung-atau nama kerennya pilih kasih-, permusuhan, perpecahan
menjadi beberapa golongan yang tak saling sepaham, bahkan aksi penyulutan api
dendam. Uwidiihhh… hobi memang saya ini soal mendramatisir, tapi bagaimanapun,
selebay apapun kedengarannya, nyatanya di dunia kita yang indah ini, hal yang
semacam itu ada.
Meneruskan kembali masih soal ranking,bagi saya kata itu sudah cukup sering terdengar. Kenangan
dengannya pun beberapa diantaranya cukup manis untuk tidak dilupakan, terutama
proses untuk meraihnya. Tapi sebagai manusia yang secara kodrati masih bergelarkan
pelaku kehidupan dunia, titik terbawah pun pernah suatu ketika saya alami. Dan
rasanya tentu seperti yang telah saya sebutkan tadi. Sebagai manusia normal
yang tak pernah punya titik puas, saya tentu kecewa berat pada diri saya yang
bahkan sudah berjalan tertatih terlalu lama dan memautkan selintas panjang
jarak di hadapan saya darinya. Kecewa pada diri sendiri, merasa bersalah kepada
orang tua-yang pastinya merasa menjadi pihak kedua yang gagal setelah diri
sendiri-, menyiapkan mental untuk membuka lembaran buku raport, dan menelan
ludah ketika ditanyai soal peringkat. Yeah, itu cukup menyakitkan Man, kuakui.
Tapi kini aku tak terlalu mengejar soalnya lagi.
Sebagaimana banyak motivasi yang kudapatkan selama di SMA ini, aku mulai lebih
berkonsentrasi pada proses. Karena di masa ini, bukan lagi waktunya bagiku
untuk beradu gengsi soal berapa batang trofi yang berdiri di meja belajarku. Peringkat
atau apapun kurang lebih hanya merupakan bonus kala kau sudah sampai pada titik
termaksimal usahamu. Lagipula, tak seperti waktu SD, kini jikapun aku dapat
peringkat aku tak akan dapat trofi lagi, hahha… -sejujurnya aku rindu akan itu-.
Dan sesungguhnya, yang namanya peringkat itu yang menentukan tetap manusia, dan
manusia tak sepenuhnya bersih dari keteledoran. Bisa saja satuan nilai yang
seseorang torehkan pada diri kita meleset, yang tahu akan apa yang sesungguhnya
bisa kita capai kan diri kita sendiri. Kita tak selalu bisa hebat pada bidang
yang mereka nilai seberapapun keras itu dipaksakan. Tapi kita pasti punya celah
yang dimana kita bisa menungguli yang lain.
Mungkin kedengarannya aku hanya seperti sedang menghibur diri, tapi beginilah memang caraku memotivasi diriku sendiri. Beginilah caraku memandang hidup. Buatku, hidupku itu ringan dan mengalir, dan aku akan selalu berusaha agar itu berlangsung bahagia, karena sesungguhnya akulah satu-satunya peri yang memiliki sekantung serbuk kebahagiaan untuk hidupku sendiri. Apakah itu akan menyenangkan atau menyedihkan, membahagiakan atau mengecewakan, beruntung atau miris, itu semua ada padaku, dalam genggamanku, juga tentunya tak terlepas dari Tuhan yang selalu bersamaku dan semua orang yang kucintai.
Dengan mengesampingkan soal peringkat itu, bukan berarti juga aku tak akan pernah serius dan bertekad api lagi. Tekad itu tetap ada, karena bagaimanapun, semenjak harapan-harapan ini dipangkukan di pundakku, itu semua tak akan bisa ditarik lagi, tak akan pernah diangkat lagi. Dan itu adalah tanggung jawabku, tuntutan bagiku, tujuan dan motivasiku mengenai apa yang harus kucapai dalam waktu dekat. Sedang untuk yang jangka panjang, yah.. aku punya beberapa dan itu masih akan bertambah seiring dengan semakin banyak implisitisme kebobrokan dunia yang dapat sudah kumengerti.
Begitulah kira-kira kisah mengenai bagi raport saya
yang ingin saya bagi dengan kalian. Secara kronologis dan realisnya tulisan ini
mungkin tak mengandung informasi apa-apa karena hampir semua yang saya jelaskan
disini hanya berupa pendeskripsian implisit dari maknanya sebuah momen bagi
raport untuk diri sayaa. Dan seminggu tak hanya terdiri dari satu hari bukan,
itulah mengapa, jikalau ada kesempatan saya masih ingin membagi kisah-kisah
lain saya yang terjadi di hari-hari selanjutnya selama seminggu ajaib kemarin.
Sampai jumpa di ‘Hikayat Enam Ratus Empat Ribu Delapan Ratus Detik’ yang
selanjutnya~
No comments:
Post a Comment