Suatu
hari di Rengas Dengklok, Ir. Soekarno menjawab pertanyaan salah seorang dari
golongan muda yang mendesaknya untuk memproklamirkan kemerdekaan Indonesia pada
hari itu. Dan jawaban beliau seperti ini:
“Tidak
sekarang, tapi kami sudah menemukan tanggal yang pas yaitu besok, tanggal tujuh
belas. Tujuh belas adalah angka yang baik, pada malam 17 Ramadhan kita umat
Islam memperingati Nuzulul Quran, kita juga mendirikan shalat wajib tujuh belas
rakaat dalam sehari. Maka dari itu, bangsa kita akan merdeka pada tanggal yang
baik itu pula."
Yah,
bukan hanya buat Bung Karno, Umat Islam, atau Bangsa Indonesia saja. Disamping
mereka, teruntuk angka tujuh belas, bisa dibilang banyak yang menganggapnya
lebih dari yang lain.
Dan
adalah sebuah kabar bahagia, bahwa seminggu yang lalu, saya tepat memperoleh
angka tujuh belas dalam sebentangan hidup saya sejak 1996 yang lalu. Kini
seorang Yuanita Wahyu Pratiwi, seorang yang masih beranggapan bahwa dirinya
hanyalah seorang bocah, yang tak menyadari betapa cepat usia menggulung waktu
demi waktunya, sudah menginjak pada usia itu.
Meski
kerap kali batas termuda untuk bekerja adalah 18 tahun, tapi tujuh belas tahun
sudah diakui sebagai usia dimana seseorang mulai memperoleh kedewasaannya dalam
bentuk kartu tanda penduduk. Kedewasaan juga berarti konsistensi kan? Oleh
karenanya mulai saat ini saya tak boleh gonta-ganti tanda tangan lagi#plakk.
Tujuh
belas tahun, hmm… apa artinya? Oh, banyak man. Baaanyaak sekali~
Terlebih lagi ketika saya memperoleh beberapa cuplikan masa lalu belasan tahun yang lalu yang beberapa masih saya simpan baik dibalik jalinan rumit serabut otak kanan saya. Rasanya, waktu jadi amat mahal, terlebih yang lalu, karena pahitnya, tapi ini kenyataan, bahwa ada banyak dari yang lalu yang sudah tak bisa saya ulangi dalam hidup saya ini.
Terlebih lagi ketika saya memperoleh beberapa cuplikan masa lalu belasan tahun yang lalu yang beberapa masih saya simpan baik dibalik jalinan rumit serabut otak kanan saya. Rasanya, waktu jadi amat mahal, terlebih yang lalu, karena pahitnya, tapi ini kenyataan, bahwa ada banyak dari yang lalu yang sudah tak bisa saya ulangi dalam hidup saya ini.
Kadang
ada sebuah peristiwa, atau perkataan seseorang yang begitu mengena dalam benak
saya, sehingga ketika kembali saya mengingatnya, saya seolah berada pada ruang
dan waktu dimana saya mendengarkannya atau mengalaminya dahulu sekali. Dan
inilah yang namanya mesin waktu paling mutakhir sepanjang masa; pikiran
manusia. Sayangnya, mesin waktu ini terlampau eksklusif, karena setiap orang
memiliki persis hanya satu dan tak bisa saling menggunakan milik yang lain.
Itulah mengapa siapapun tak akan bisa mengajak siapapun yang lain untuk
mengunjungi masa lalunya. Selain mesin waktu ini, memang masih ada peralatan
lain, tapi sekedar anyaman kata-kata atau bahkan gambar yang saya buat
sekalipun, tak akan mendeskripsikan seapik bagaimana pikiran saya mengulangnya.
Haah,
waktu, mengenang, dan sejarah hidup, mereka terkadang mengkombinasikan rasa
sesak yang luar biasa dalam benak saya bahkan lebih dari ketika asma hampir
memutus napas saya. Entah kenapa, pedih, pedih melihat apa yang kita merasa
miliki selama ini ternyata tak pernah kita miliki sebenarnya. Mereka, masa-masa
indah, hal yang menyenangkan, sahabat baik, seluruhnya milik Tuhan. Mereka
hanya diinstruksikan untuk mengajari siapa yang mereka datangi. Mengajari entah
itu kebaikan, keindahan, atau kepahitan sekalipun. Karena ketika kita lahir
sampai di jenjang manapun kita berada saat ini, kita terus belajar, dengan atau
tanpa kita sadari.
Tapi
sungguh, memiliki tujuh belas tahun dalam sejarah hidup saya bukan lantas hanya
untuk diratapi. Hal yang patut disyukuri ada lebih banyak. Mereka tak henti
menghiasi jalan setapak sederhana yang ada dalam keremangan yang saya telusuri
selama ini, membuat tilas kaki saya lebih indah untuk ditelusuri kembali. Tak
terhitung berapa kali sudah saya tersenyum, tertawa, atau bahkan terharu
bahagia sepanjang tujuh belas tahun ini, dan saya amat bersyukur karenanya.
Tahun
ini, spesial buat saya. Awesome.
Karena banyak hal baik datang menghampiri saya. Ini adalah tahun dimana
akhirnya saya lepas dari penjajahan pelajaran-pelajaran eksakta sepanjang hidup
saya. Kado terbaiknya, tepat tanggal 27 Mei 2013, sekitar jam setengah enam
sore, saya membuka laman web yang memuat informasi diterimanya saya di sebuah
jurusan dalam salah satu universitas negeri ternama di negeri ini yang saban
hari saya sebut dalam doa saya. Alhamdulillah semuanya tidak sia-sia, kesulitan
yang pernah saya rasakan selama ini memang sudah jalannya menjadi bagian dari
hidup saya, dan buktinya sangat nyata, saya pada akhirnya memang kembali ke
tempat saya.
Soal
ah, entah apa itu namanya, saya juga merasa beruntung. Sepenggalan dua tahun
SMA saya memang sempat saya pikir hampa, tapi kini hal yang lalu seolah kembali
lagi. Perlahan ada sebuah petunjuk yang menghampiri saya, menyeret saya kembali
untuk dapat merasakan apa yang pernah membuat saya jatuh gila dulu. Lima tahun
mungkin hanya soal pasang surut, karena entah kenapa, di detik dimana saya
memiliki kesempatan untuk bebas dari bayangannya ini, detik dimana saya
memiliki kuasa untuk menemukan pencerahan baru dan melupakannya ini, kami
dipertemukan kembali. Takdir?
Entah, saya juga tak bisa menjawabnya saat ini.
Semuanya
dahulu hanya berbunga dalam kesunyian, dengan bunga-bunga kecil yang tak begitu
kentara di kegelapan. Beberapa waktu belakangan, mungkin disini, semuanya
memang dikuasai oleh kegelapan, tapi saya samasekali tak menyangka ketika
sedikit saja cahaya menyeruak, masih berdiri beberapa diantaranya,
kuntum-kuntum yang tengah mengembang, mereka yang sanggup bertahan selama ini.
Dan menemukan mereka rasanya tak ubah kembali bernafaskan harapan, mungkin
suatu saat nanti mata air yang selalu saya pandangi sekalipun dalam gelap itu akan
berkenan mengaliri keajaibannya ke ladang ini.
Menjadi
dewasa hanya impian anak-anak yang tak tahu menahu terhadapnya, dan samasekali
bukan impian saya. Saya selalu nyaman berada di tengah keluarga kecil saya ini,
bahkan samasekali tak terbesit ide sebelumnya untuk tinggal sendiri, berada jauh
dari mereka, dan memulai kehidupan sebagai calon orang dewasa. Kini kedewasaan
itu sendiri juga masih bukan impian, melainkan tantangan. Waktu telah
menkredibelkan diri saya untuk meraihnya, maka inilah waktunya bagi saya untuk
berjuang. Mungkin tidak mudah, tapi saya optimis untuk meraih kesuksesan yang
lebih, berbahagia, dan membuat orang tua saya bangga terhadapnya.
Yuanita
Wahyu Pratiwi, 27 Mei 2013
No comments:
Post a Comment