Biar saya jelaskan
disini, saya bukan orang yang pandai berbasa-basi tapi saya suka budaya
basa-basinya Indonesia. Budaya ini menjelaskan secara implisit bahwasanya
penduduk dari negeri ini adalah orang-orang yang menjunjung tinggi kesopanan,
menghormati siapapun yang berinteraksi dengan mereka, dan memiliki tutur kata
dan laku yang halus. Tapi seiring dengan berjalannya waktu, derasnya arus
globalisasi, dan semakin maraknya internalisasi nilai asing yang berbanding
lurus dengan degradasi moral bangsa, kata “basa-basi” itu sendiri mulai
bergeser makna. Basa-basi murni yang mengandung nilai-nilai luhur kini
mengental eksistensinya menjadi “kebanyakan basa-basi” atau bahkan memudar
samasekali menjadi “nggak tau sopan santun”. Entah bagaimana caranya agar nilai
luhurnya kembali pada asalnya, mungkin itu peer buat saya dalam beberapa waktu
kedepan, seiring dengan langkah pasti saya untuk menjajaki salah satu bidang
keilmuan yang tak asing buat saya, lebih jauh lagi.
Saya mengidentifikasi
beberapa hal mendasar dari kepribadian saya selama ini. Diantaranya adalah saya
suka mengenang dan merancang. Kedua hal tersebut sama-sama melibatkan imajinasi
yang tak lain adalah salah satu kemutakhiran yang dimiliki oleh bongkahan otak bagian
kanan, tapi sadarkah kalian bahwasanya kedua hal itu berada pada dimensi yang
berbeda? Yeah, mengenang untuk waktu yang lalu, dan merancang untuk waktu yang
akan datang. Dan dengan banyak pertimbangan akhirnya untuk menjalani hidup saya
beberapa waktu kedepannya, saya lebih memilih untuk mengenang dari pada
merancang.
Imajinasi adalah
nafas yang telah menyambung nyawa saya untuk sekian lama. Ia adalah hiburan
paling mutakhir, dunia tanpa kendali, tempat melarikan diri paling aman, dan
tempat kita, masing-masing manusia, memlikinya persis satu, dimana letak segala
kendali ada pada diri yang menuaninya. Dengan bantuan imajinasi, kita bisa
membawa kembali, merasakan kita didekap oleh atmosfer yang lalu, atau bahkan
dibawa melayang oleh spekulasi tentang yang akan datang. Tapi karakteristik
imajinasi terhadap kedua hal tersebut berbeda. Masa lalu adalah hal yang pasti
dan terbukti, sementara masa depan hanya spekulasi. Tak ubahnya gaya
arsitektur, bangunan masa lalu berdiri diatas banyak tiang dan konstruksi maha
kokoh yang sanggup bertahan berabad-abad, sedangkan bangunan masa depan
melayang diatas kemutakhiran teknologi dan futurisme yang bahkan hanya
berlandaskan pada hitungan rumit dalam teori yang masih dalam pengembangan atau
bahkan belum ditemukan samasekali.
Sci-fi, atau
science fiction, meski berbau science dan tampak meyakinkan, tetaplah hanya
imajinasi yang bisa saja terjadi atau tidak samasekali. Yang ada di waktu yang
akan datang adalah misteri. Jikapun kita mengusahakan, kendali tetap berada bukan
pada kita. Oleh karenanya, masa depan menurut saya sepenuhnya adalah abstrak.
Imajinasi berupa rancangan yang saya gemari hanya sekedar siasat untuk
menghibur diri, menyampaikan ide gila tanpa cibiran siapapun, dan melegakan
dahaga kreatifitas saya. Saya merancang hari ini, besok, dan besok lagi, bukan
semuanya untuk terjadi atau benar-benar terwujud, tapi justru karena saya suka
merancang, entah itu akan terrealisasikan atau tidak. Ketika benar-benar
terwujud, tentu saya bahagia, tapi sekalinya tidak pun saya sudah cukup senang
dengan merancangnya.
Lain halnya dengan
masa lalu. Jika di dimensi waktu yang akan datang ada Sci-fi, di waktu yang
lalu tak ada History fiction. Jikalau memang ada, secara gamblang itu akan
dikategorikan sebagai fiksi tanpa menyeret terlebih dahulu kata “History”,
seperti misal Legenda yang memiliki kemiripan dengannya, tapi jelas
dikategorikan berbeda karena sejarah memang hanya soal fakta. Melihatnya
sebagai fakta, mungkin membuatnya terlihat sekaku eksakta, tapi steatment “Sejarah
sebagai seni” segera mematahkannya. Mengapa? Dikutip dari guru sejarah saya di
SMA, bahwa sejarah memang hanya soal fakta, tapi dalam penulisan dilibatkan
interpretasi dan jiwa kreatif sang penulis sehingga ia menjadi fakta yang elok
untuk diketahui, fakta dalam seni.
Dari penafsiran
saya terhadap dua sudut pandang diatas mengenai merancang dan mengenang, memang
pas rasanya jika saya memilih jalan tempat saya berada sekarang. Saya lebih
serius untuk mengenang dibanding merancang. Merancang bisa jadi potensi yang
cukup menjual, tapi sayangnya saya tak memiliki konstruksi cukup kuat untuk
berada disana. Memilih untuk mengenang dan memilih Sejarah sebagai tujuan,
bukan berarti menghilangkan aspek dimensi waktu yang akan datang dari pikiran
saya karena pada dasarnya sejarah itu sendiri terdiri dari tiga dimensi, masa
lalu, saat ini, dan masa yang akan datang.
No comments:
Post a Comment