20, 24, 28,
tercatat sebagai tanggal maha penting di bulan ini buat seorang saya, Yuanita
Wahyu Pratiwi yang lahir tepat di peringatan Hari Kebangkitan Nasional yang
ke-88, tujuh belas tahun yang lalu. Korupsi satu tahun dengan menyelinap
kedalam sebuah koloni akselerasi di sebuah sekolah di regional tempat tinggal
saya membuat saya mencekik leher dengan tambang ujian nasional setahun lebih
cepat. Oleh karenanya, tiga tanggal itu menjadi momen penentuan yang teramat
sangat penting buat saya. Setiap mata ini terbuka dan kesadaran saya kian
terkumpul seirama dengan anggunnya langkah sang surya menuju singgasana
pagi-nya, panik menghampiri, mencuri kesempatan ketika hormon penenang pikiran
dalam tubuh saya baru menjajaki masa produksi.
Ini sulit, sangat
sulit. Berkali lipat dibanding soal matematika di UN kemarin, karena letaknya
amat sangat dekat dengan sebentangan masa depan saya. Entah kenapa, di minggu
pertama nafas tujuh belas tahun saya, saya harus mengalami penentuan yang
sebegini krusialnya. Saya harap usaha saya untuk berjuang di jalan yang luar
biasa berat bagi saya selama dua tahunan ini berbuah manis. Toh saya tak ingin
terlalu banyak, sebuah kunci untuk kembali membuka dunia dimana saya semestinya
berada adalah kado yang paling saya impikan untuk pembuka tahun yang ke tujuh
belas ini.
Tadi siang, ketika
sejenak saya memejamkan mata, sebuah mimpi tiba-tiba datang menghampiri. Saya
sering kali tak ambil pusing dengan hanya menganggap bahwa mimpi hanyalah sisa
pemikiran saat kita terjaga yang terbawa hingga tidur ketika ia tak begitu
bercerita baik, ataupun bermaknakan tidak bagus. Tapi untuk mimpi yang tadi
siang, saya berharap itu benar adanya, benar akan jadi kenyataan beberapa hari
kedepan. Amin.
Pasalnya di mimpi
itu, saya diterima di universitas dan jurusan yang saya impikan lewat jalur
undangan.
Yeah, bung.
Sederhana, tapi itulah impian saya untuk saat ini.
Memikirkan beban
yang akan ditanggung orang tua saya, tak enak hati saya meminta harga tambah
untuk mengambil bimbel. Beberapa pelajaran mungkin bisa saya kejar sendiri
sepahitnya saya tak diterima lewat jalur undangan dan harus mengambil jalan tes
nanti, tapi untuk matematika dan ekonomi, semua yang berurusan dengan angka
entah di IPS atau di IPA, saya tak berdaya. Yang akan saya jadikan pegangan
palingan hanya buku soal.
Susahnya, pada saat
yang sama saya selalu saja sibuk menenangkan diri sambil mempersiapkan mental
sekalinya saya tak mendapatkan apa yang saya inginkan nantinya. Karena mereka
adalah kedua hal yang berlawanan. Saya, bergantung pada peluang demi salah satu
dari hanya beberapa kursi yang diperebutkan sekian banyak orang. Berbagai
prestise dipertaruhkan didalamnya, juga soal kepuasan hati, amanat, dan banyak
hal rumit lainnya. Setiap saya berspekulasi, selalu saja pikiran buruk yang
menghantui, dan itulah yang membuat saya pada akhirnya, sebagaimanapun saya
menutupinya, tetap saja khawatir terhadap individu ini.
Sampai pada tulisan
ini pun, saya tetap tak mau berspekulasi. Itu hanya akan menyakiti saya dan
memperparah kekhawatiran ini. Saya sudah berusaha, oleh karenanya pantas
kiranya saya memohonkan doa untuk terkabulnya impian saya. Amin…
Yuanita Wahyu
Pratiwi, 18 Mei ‘13
No comments:
Post a Comment