Sebuah devinisi
rasa tidak enak oleh lidahh bagian pangkal, dan secara konotatif kerap
diartikan sebagai sebuah keadaan yang tidak menyenangkan dalam hal apa saja.
Meski ada beberapa pahit yang dicandu sebagian orang seperti pada dark
chocolate, kopi, pare, daun pepaya, bahkan jengkol, tetap saja secara umum rasa
pahit itu tidak enak. Sebongkah lidah yang pemiliknya menyukai rasa manis ada
banyak, tapi tidak demikian dengan pecinta pahit. Mereka yang menerima dan
mencintai kepahitan secara keseluruhan hanya mereka yang mampu memfilter dan
lantas mereguk kenyamanan dari rasa pahit yang mereka rasakan, seperti misal,
para masokis!#dor
Beberapa kelompok
humanis sering mengelu-elukan slogan ‘hidup cuma sekali’ dan lantas memaknainya
sebagai sebuah lingkup dimensi dimana kita semestinya mencoba apa yang membuat
kita penasaran, melakukan apa yang kita sukai, dan hidup aman dengan menjaga
jarak sejauh-jauhnya dari unsur yang tidak mengenakan, atau yang dalam hal ini
bisa kita definisikan sebagai rasa pahit. Bagi orang yang berpandangan seperti
mereka, melulu hidup hanya soal manisnya saja, tapi itu bukan puncak kehidupan
saya rasa karena kehidupan berlatarkan dunia, bukan surga. Jika surga adalah
tempatnya segala kebaikan, dan neraka adalah sarang dari berbagai bentuk
keburukan, dunialah tempat kedua hal tersebut memiliki kedudukan yang sama dan
saling berlomba untuk menyebarkan pengaruh mereka. Padahal slogan semacam ini
pada akhirnya bisa melahirkan liberalisasi diri yang tak bertanggung jawab.
Ketika ada kelompok
yang begitu optimis tentang kebaikan hidup, ada yang lain yang menempati posisi
sebagai lawan mereka karena yah, kehidupan itu seimbang, persis rata antara
hitam dan putih. Kelompok itu yang pandangan hidupnya selalu melukiskan
kesuraman. Waktu mereka dalam hidup yang katanya cuma sekali jadi dipersempit
dengan sempitnya pemikiran mereka. Mereka sibuk memprasangkai buruk sistem
kehidupan, dan mereka hidup untuk diuji seberapa tinggi ketahanannya menghadapi
persoalan. Yang mereka sebut optimis adalah membalut tubuh dengan perban ketika
baru dihadapkan dengan sepuluh persen kemungkinan kecelakaan, dan mungkin
mengubur diri ketika kemungkinan kecelakaannya mencapai lebih dari lima puluh
persen. Dalam kasus ini, saya pernah membaca sebuah buku motivasi. Buku
tersebut mendoktrinisasi seseorang untuk bermimpi, tapi mimpi dalam definisi
mereka berbeda dengan apa yang saya tangkap selama ini. Mimpi selama ini buat
saya adalah sebuah bintang yang kecemerlangannya membuat kita jatuh cinta dan
tanpa tekanan, dengan kesediaan terdalam, kesetiaan, dan kepenuhan membuat
tanpa sadar kita candu terhadapnya dan selalu menjadikannya sebagai etos kerja,
penyemangat dan pembakar tekad. Sedangkan dalam buku itu, mimpi adalah misi
yang harus dilengkapi dengan visi-visi rinci sehingga menurut saya justru
terdengar seperti sebuah pengaruh yang bertekanan. Mungkin pengertian saya
terlalu ideal dan terdengar terlalu ajaib bagi tempat sekejam dunia, tapi saya
menyukai dan dapat memetik dampak positif dari pandangan tersebut, meski saya
pun tak bisa menyebutnya benar.
Diantara kedua
kelompok yang berlawanan, seperti biasa ada kelompok netral yang rentan
kadarnya sedikit melebihi kadar kelompok pahit, sampai hampir menyamai kadar
kelompok manis. Dari uraian diatas, kelompok tersebut sudah bisa didefinisikan.
Lalu dimanakan
sudut pandang saya berada? Entahlah. Yang diatas hanya generalisasi tanpa
landasan yang begitu kuat, tak perlu diambil pusing. Saya hanya kerap melihat
orang-orang ada dalam kelompok kelompok tersebut. Saya ini sebenarnya
berpandangan cukup optimis, dan saya akui itu kerap jadi kekuatan saya.
Berpandangan optimis membuat kita merasakan setengah dari kemanisan yang kita
impikan. Berpandangan optimis juga bukan berarti memenuhi hidup dengan
kesenangan, bukan juga melukai diri sendiri. Tak dalam setiap posisi seseorang
berhak beroptimis-ria. Optimis hanya ketika kita sudah merasa pantas karena
sudah melakukan usaha yang maksimal. Optimis juga bukan berarti over convident yang bisa mengakibatkan
goncangan hebat ketika jatuh. Saya hanya tak ingin kepahitan memenuhi benak
saya. Saya tetap ingin bahagia, dan membalut luka saatnya bukanlah sebelum
eksekusi, melainkan setelah eksekusi.
No comments:
Post a Comment