Bahagia rasanya bisa melihat dashboard blogger lagi~ Yeah it
have been so long since our last meeting. Maklumi ya blogku sayang dan kalian
semua pembaca yang budiman, saya baru saja menyelesaikan sebuah step mahafinal buat
seseorang yang menempuh pendidikan wajib 12 tahun#sebenernya 11 sih hehe~.
Apalagi kalau bukan UN SMA 2013 yang teknis dan soalnya sama-sama cespleng.
Rasanya lelah sudah kalau di detik yang membahagiakan ini
saya masih membahas tentang UN, oleh karena itu saya tak akan memfokuskannya
kesana lagi saat ini. Tulisan ini lebih mengenai review pengembaraan saya di
negeri asing selama satu setengah tahunan belakangan ini.
Bulan Februari, masih masuk hitungan awal tahun 2012, nggak
kerasa udah setahun lebih waktu berlalu setelah hari itu, dimana kekecewaan
saya memuncak, emosi saya labil berat, dan saya merasa benar-benar dikhianati.
Waktu itu kalo nggak salah hari Rabu, dimana besoknya adalah kali terakhirnya
di SMA bagi saya untuk mengerjakan soal Geografi, salah satu mata pelajaran
favorit saya yang shit-nya justru
disandingkan dengan fiSHITka, karena
bukan tidak pasti lagi saya bakalan masuk penjurusan tanpa nego ke kelas IPA.
Dan bukannya belajar, saya malah menulis postingan Romeo-Juliet; Sekisah Romansa tentang Dunia Pendidikan Indonesia
dengan berlinangan air mata. Yeah bung, itu salah satu postingan yang saya
tulis dengan paling sepenuh hati, karena kesepenuh hatian saya dalam menulis,
jujur, hanya muncul ketika sisi melankolis saya juga muncul#dor.
Andai kata seisi dunia ini mengenal saya sebenarnya, bakal
ada tujuh ratus juta orang kena serangan jantung ketika tahu kalo saya, Yuanita
Wahyu Pratiwi, yang selama ini dikenal sebagai seorang tukang meracau dalam
debat meski kerap tak didengarkan orang, seorang nasionalis sejati, seorang
History Freak, seorang siswi yang ketika kelas 5 SD hapal semua suku yang ada
di Indonesia, alat musik, rumah adat, tarian daerah, mata uang dan ibukota
negara, dan masih banyak lagi#maklumbacaannyaRPUL, seorang yang pernah dalam
suatu forum debat dikasih nilai 27 dari 30 sama seorang S3 Filsafat Pancasila,
seorang penggila IPS dan pembenci serta luar biasa tak berkualitas dalam hitung
menghitung ini MASUK JURUSAN IPA.
Sejak bagi raport kelas satu semester dua selesai, saya secara
resmi memasuki gerbang IPA yang bagi saya tak ubahnya negeri yang luar biasa
asing. Di awal perjalanan saya terseok luar biasa, hampir sekarat, dehidrasi,
dan menggelepar-gelepar tak berdaya karena saya dituntut beradaptasi terhadap
atmosfer lingkungan yang pada hakikatnya memang 180 derajat berbeda dengan
atmosfer lingkungan kondusif dimana saya sejatinya dapat tumbuh dengan normal,
bahagia, dan sehat walafiat. Keseret-seret? Of course.
Frustasi? Absolutely.
Kalo bukan karena mengingat tanggung jawab saya sebagai yang mengambil pilihan
untuk masuk program Akselerasi 2 tahun yang menyebabkan tanpa saya ketahui
sebelumnya saya bakal masuk IPA, saya mungkin akan lari dari kenyataan.
Akhirnya demi orang-orang disekitar saya, harga diri saya, dan masa depan saya,
saya bertahan diatas segala kepayahan itu sampai hari dimana saya sebenarnya
bisa dengan bahagia mengerjakan soal sosiologi dan geografi tapi justru dibuat
pusing dan dipaksa bermain peluang dengan soal kimia dan biologi. Sekelumit
pengembaraan yang berat, sangat bahkan, tapi, yaah… semua pahit manisnya
terlihat cukup indah dari sisi ini, ternyata setelah saya telusuri lagi
kebelakang, banyak yang saya dapatkan dari pengembaraan saya di negeri asing
ini.
Dulu saya anak IPS sejati, dan sekarang pun, setelah satu
tahun lebih tak lagi bersua dengannya, saya masih anak IPS sejati. Periode
pengembaraan penuh perjuangan saya di kelas IPA justru membuat saya tahu
seberapa besar cinta saya buat IPS sebenarnya, dan tentunya bukan jumlah yang
diragukan lagi ketika setelah sekat tebal yang panjang ini saya lalui, saya
masih mencintainya dengan sepenuh hati. Momen bersua lagi dengan IPS juga
terasa jauh lebih manis dibandingkan mungkin jika hal ini tak pernah terjadi.
Ketika saya masih jadi anak IPS yang belum nyasar ke IPA
dulu, saya terbiasa dengan atmosfer podium atas. Saya jujur, terbiasa menjadi salah satu
dari deretan siswa berprestasi baik. Meskipun pada kenyataannya sejak kecil
saya memang bukan anak yang rajin belajar. Saya bisa dapat nilai-nilai baik pada
mata pelajaran mata pelajaran tertentu karena saya mempelajarinya tanpa
sengaja, sebagian bahkan sudah seperti hobi, dan selama ini yang demikian tak
masuk hitungan belajar. Tak ayal, nilai-nilai di mata pelajaran mata pelajaran
tersebut pun mendongkrak rata-rata nilai saya. Padahal jika dilihat satu-satu
pun, nilai hitung-hitungan saya tetap hanya pas-pasan. Bagaimanapun, berada
dalam urutan atas, membuat saya kerap dijadikan patokan bagi orang lain.
Otomatis, aspek lain dari diri saya pun menjadi acuan. Dan akhirnya atas
dorongan dari orang tua saya, dan perasaan nyaman yang kemudian mulai saya
rasakan ketika saya berhasil berdiri sedikit lebih tinggi diatas orang lain pun
membuat saya candu. Dan tanpa sadar, saya jadi sedikit lebih berniat mempertahankan
posisi tersebut.
Jadi
penghuni podium nggak membuat saya menutup diri dari pergaulan dan pilih-pilih
soal teman. Salah seorang kawan saya bahkan pernah bilang kalo saya ini mirip
spons untuk urusan berteman, hanya menyerap olehan-olehan yang terkadang bahkan
seperti berniat menciderai saya. Saya justru sering dikhianati dan dimonopoli
daripada sebaliknya. Kenapa? Karena ada dua sisi dalam diri saya, seorang yang
hanya bermain dan tak pernah belajar, dan yang mengejar yang terbaik yang ia
bisa di bidang yang ia sukai, dan mulai juga bidang lain untuk mendukungnya.
Kadang satu sama lain sangat tidak koheren untuk dapat muncul dalam satu sosok.
Dan itulah mengapa tampang saya memang bukan tampang orang pinter sama sekali,
sejak dulu, apalagi sekarang.
Semakin besar saya tumbuh semakin pula saya candu terhadap
podium juara. Saya terus haus akan prestasi dan terus mencoba untuk
meningkatkan kualitas potensi dalam diri saya. Karenanya, lama kelamaan sisi
tukang main saya semakin menjauh hingga ketika saya jadi A, saya bukan B, dan
ketika saya B, saya samasekali bukan A. Dan parahnya, kian kesini si A semakin
resesif, hingga meski hanya dalam konteks mata pelajaran yang saya sukai saja,
saya semakin menjadi pengejar kesempurnaan.
Sayangnya, semua hal itu ada masanya, bukan hanya pergantian
posisi di kursi pemerintahan, melainkan juga pada hidup saya. Saya masuk IPA,
dan inilah masa transisinya. Hampir keseluruhan dari pelajaran yang saya
jadikan pijakan utama terenggut paksa, sisanya, granat dan ranjau darat yang
dapat senantiasa memudarkan eksistensi saya. Kesempurnaan, podium atas, dan
prestise yang selama ini saya dapatkan mendadak hanya jadi isapan jempol
belaka, impian yang tiada pernah berbekas isinya. Sisi lemah saya semakin jadi
bagian yang disorot, oleh karenanya, saya samasekali tak punya harapan lagi.
Jatuhlah saya pada titik terbawah.
Ketika saya masih di SD dulu dan masih memegang track record
yang baik, saya pernah menggumam asal mengenai bagaimana rasanya menjadi orang
yang berada pada posisi bawah. Setiap hari dimarahi guru, dihukum karena tak
mengerjakan PR, dan masih banyak lagi. Dan sepertinya, beberapa tahun
setelahnya, saya kualat atas serapahan itu. Voila, jadilah saya benar-benar
merasakan apa yang selama ini saya pertanyakan dalam benak saya.
Tapi jangan kira sepenuhnya saya hanya memendam kecewa, ada
yang saya syukuri juga kok dari berada jauh dari podium ini. Berada hampir dua tahun di kelas IPA
memanusiakan diri saya. Membeberkan kenyataan bahwa
manusia itu terdiri dari dua hal, baik dan buruk. Jadi mereka yang selalu
bertahan di podium mungkin keliatan sempurna, tapi sebenernya nggak juga.
Berkat empat kali empat bulan di kelas IPA saya tau rasanya nggak ngerjain PR
dan dimarahin guru tapi malah balik marah-marah, saya tau rasanya bengong
melongo nggak ngerti apa yang ada di papan tulis, saya ngerti rasanya berjuang
mati-matian demi sekedar KKM, bahkan menjadikan remedial sebagai hobi. Hal ini
jelas memperkaya sudut pandang saya. Sebagai mana Hitler yang menemukan ambisi
barunya ketika ia berada dalam titik terbawah hidupnya, saya pun demikian.
Andaikata saya nggak pernah masuk ke kelas IPA, saya mungkin nggak akan pernah
merasa sebegininya tersiksa dengan sistem pendidikan Indonesia, jadilah mungkin
nggak akan pernah ada tekad untuk memperbaiki sistem yang bobrok ini dari dalam
diri saya. Jiwa nasionalis saya nggak akan bangkit sekokoh ini jika bukan
karena tempaan siang malam dari para rumus-rumus itu.
Bagaimanapun saya mensyukuri apa yang saya dapat saat ini.
Jalan yang saya pilih tidaklah salah, karena menurut saya tak ada jalan yang
benar-benar salah. Kadang kala ada jalan yang amat menyiksa, tapi memberikan
peluang begitu besar untuk bangkit, ada juga jalan tenang yang menjebak untuk
tak bisa lari kemana-mana, ada lagi jalan yang sempurna yang membuat seseorang
yang menelusurinya lupa diri. Dalam setiap persimpangan, semua jalan adalah
alur cerita baru lengkap dengan klimaks dan penyelesaian masalahnya, pahit dan
manis selama kita hidup akan selalu ada, jadi saya kira seseorang yang cukup
dewasa pola pikirnya akan bisa menerima yang demikian. Alur cerita itu akan
berjalan sebagaimana kita menanggapinya, dan yang patut kita lakukan hanya
berusaha dan berdoa, tak lupa juga menikmati dan mensyukurinya, karena sekecil
apapun usaha kita, Tuhan pasti menghargainya.
No comments:
Post a Comment