Hari ini terlalu mengejutkan. Haha, sungguh. Tapi, yaah.. sebagai senjata sepertinya aku jauh lebih mengedepankan implisitisme, demi tiadanya pihak yang terluka. Karena yah, itulah... sandi ter-rumit yang pernah ada, implisitisme tak pernah bisa dibaca maknanya, sekalipun ada selarik dua larik makna yang dapat kau telisik di dalamnya, dari mana kau tau itulah nyatanya? Karena implisitisme memiliki suara yang hanya bisa terbaca oleh sang penulis, kertas dan penanya, juga tentunya Yang kuasa mengetahui setiap hal diatas sana.
Dunia ini gelap dan terang, sejauh yang aku ketahui dan percaya sampai detik ini. Semua hal diciptakan berlawanan secara berpasangan, dimana diantara kedua antonim itu, terdapat garis samar yang berkedokkan kata 'relatif'. Kufikir, itulah mengapa sering kali hidup diumpamakan sebagai roda. Padahal dalam nyatanya, mana ada roda dengan hanya dua sisi keliling. Dalam sebuah roda, jelas terdapat atas dan bawah, namun soal samping, serong? itulah relatif.
Kita sering kali memijak pada kata relatif tanpa disadari, bergeser dari posisi semestinya, lalu bergeser kembali ke posisi semula dengan hanya tenang dalam sunyi. Itu hanyalah serangkaian riak-riak kecil. Yang pahit bukan berada disana, karena jika hanya sedikit pahit itu tak akan ketara. Yang jadi prahara adalah ketika ombak-ombak raksasa yang diutus takdir tiba kemudian menggulingkan eksistensi kita. Membawa kita secara dramatis melambung menuju surga atau tenggelam di dasar atlantik dalam waktu yang lama. Atas, dan bawah. Lagi-lagi roda itu bergulir, tak henti mengancam. Karena tak akan ada jaminan kau akan berada pada posisi yang sama selamanya.
Namun agaknya aku kehilangan sensasi itu. Sensasi soal bertahan, terjun, dan melambung. Segalanya kini nampak redup. Ah, rupanya aku benar tersesat. Aku bagaimanapun kini berada di tempat yang bukanlah untukku, dan dipaksa bernafas dengan komposisi zat gas yang berbeda. Dan koposisi asing itu membuat bertubi-tubi tebing nampak melandai dimataku, ombak meriak, gunung membukit. Simpangannya begitu jarang kutemui, jika begini entah bagaimana aku bisa menemukan jalan untuk kembali ke tempatku. Sekali-sekali, kutemukan persimpangan itu namun orang lain telah lebih beruntung memijakinya terlebih dulu. Aku masih terus tersesat di jalan yang tak berliku ini, karena ketika aku tahu hanya ada satu arah yang kini kupunya untuk dituju, aku tak tahu kemana arah itu akan membawaku. Tak akan pernah tahu selama kata 'relatif' masih belum kuasa memuntahkanku dari lambungnya. Aku tenggelam, terlumat.
Tinggal menunggu, karena jalan yang menurun pasti akan naik suatu waktu. Aku masih berharap, menunggu saat dimana pada akhirnya aku menemukan titik balik itu sambil mencoba bertahan. Berharap namaku tak tergerus masa, berharap anganku bukan hanya sisa, berharap pada suatu ketika, akan ada saat dimana aku melihat kepayahan ini sebagai titik balik perjuanganku. Mengenangnya dalam bentuk kisah yang tersemat di serangkaian namaku. Semoga, ya Tuhan.
(c) Hidekazu Himaruya |
Struggling,
Mei, 28th 2012
Yuanita WP
No comments:
Post a Comment