#backsound: It's all about you Pearl, the girl who have birthday~
GUE BUKAN PEARL, ENAK AJA LU!#bubar
Oke, mungkin saya memang sedang tak ubahnya seorang Pearl, bedanya ia memang gundah karena Bapaknya si Tuan Crab itu terlalu koret buat bikinin dia pesta yang wah, padahal mereka kan kaya. Hmm.. yah, yang saya dengar kalo di barat, terutama Amerika emang gitu ya, jadi di usia segini mereka justru kebut-kebutan nimbun popularitas, dan being the kece-est among others. Ada sedikit aja cacat mereka yang ketauan sama temen populernya mereka bakal dibuang jauh-jauh dari peradaban orang populer. Dan itu berarti selamat datang di dunia pecundang. kejam =_=
Tapi bukan itu yang membuat saya pribadi tak bahagia akhir-akhir ini. Entah kenapa kayaknya ada aja gitu yang ngganggu momen manis saya#apadah. Dari berantem sama guru fisika gara gara saya dikasih peer empat nomer cuma ngerjain satu nomer, sampe di PEHAPE-in liburan, dan tentunya peer yang sekian banyak saya biarkan mengonggok di sudut kesadaran saya. Jadi intinya, hampir tak saya pedulikan. Lagi-lagi semua ini berakar pada sebuah masalah, masalah perjodohan yang tak sejalan dengan hati, masalah cinta yang terlarang, masalah takdir yang terikat, masalah nasib yang tak memihak.
Jadi gini, saya mencintai seorang pria tampan, baik, nan rendah hati sejak kelas 3 SD.
Saya sering menemukannya dengan rambut cokelat hitamnya, juga kemeja kotak-kotak dan celana panjangnya sedang menunggangi sepeda. Masa-masa indah kami terasa mengalir dengan debit yang begitu cepat, namun meninggalkan begitu banyak kenangan dari setiap jengkal waktu yang kami lalui bersama. Saya tumbuh bersama lelaki itu, mengenalnya dengan senang hati, dan mungkin memang karena Tuhan sudah takdirkan jika suatu ketika kami akan saling mencintai, saya benar-benar mencintainya. Saya dengan tanpa pernah terpaksa selalu mencoba mengerti dirinya, yang ternyata begitu seru untuk dimengerti. Pribadinya berwawasan, menyukai banyak hal, memiliki banyak labirin berliku, namun saya begitu menikmati bagaimana saya terlarut dalam permainan labirinnya. Tersesat dalam dirinya dan terbuai dengan kemahirannya mendongeng, menceritakan kisah dari berbagai masa yang tak pernah gagal membuat saya terpana dengan mulut menganga. Ia menerima saya apa adanya, tanpa mempermasalahkan dimana baik dan buruknya individu abal nan bobrok yang tergila-gila padanya ini. Tetap menemani dan menjelaskan pada saya dengan segenap kesabaran dan ketulusan ketika saya dituntut mengerti bagian dari pemikirannya yang disesaki perhitungan angka. Hingga akhirnya saya berhasil mengerti meski masih butuh sedikit usaha. Ia membuat saya mendalami dunia lewat konteks yang cukup berbeda dari sebelumnya. Ia mengajari saya untuk melihat dunia secara realistis, menyadari betapa seharusnya kita bersyukur atas apa yang kita dapati detik ini tanpa mengada-ada soal apapun yang tak terlihat, apalagi pakai sok tahu dan menghitungnya. Dia mengatakan pada saya bahwa tak semua satuan di dunia ini bisa dipastikan dengan angka. Para arkeolog pun sesungguhnya hanya gemar mengira-ngira, karena sesungguhnya tak ada angka yang bisa menentukan standar pasti soal hidup ini. Mengajak saya untuk mensyukuri pernah terlahir dan menjadi bagian dari kehidupan zaman ini yang mungkin akan dipelajari di zaman selanjutnya, dan membuat saya menikmati bagaimana menelaah dimensi waktu dalam ceritera yang ia kisahkan pada saya. Kalian tahu ia siapa? Untuk kali ini saya tak akan menginisialkan, memanggil dengan julukan sandi atau apa.
"Karena mencintaimu bukanlah sesuatu yang sepantasnya ditutupi, mencintaimu adalah sebuah kehormatan dan mengagumimu adalah sebuah kebahagiaan, IPS..."
Tapi tepat di awal tahun ini, semuanya berubah. Ternyata delapan bulan sebelumnya adalah masa-masa indah terakhir yang bisa saya nikmati dengan pria-ku tercinta. Karena tepat pada saat itu, sebuah sistem yang bernaungkan hukum tak tertulis, sebuah kekejaman diskriminatif, menghancurkan impian saya. Sistem itu mengharuskan saya untuk bersama dengan lelaki lain yang tak saya cintai. Mendekati saya benci malah. Dia pria yang menyebalkan. Gayanya congkak, dengan rambut hitamnya dan softlens karena matanya minus tapi dia anggap ia tidak akan keren jika memakai kacamata. Kulitnya putih porselen, badannya tegap, dan itu membuat dia digilai wanita lainnya. Sudah begitu, kemampuan matematisnya yang jauh diatas rata rata dan gayanya yang sok cool dan irit bicara. Ia anggap orang-orang banyak bicara hanya tong-tong kosong yang nyaring bunyinya, padahal kan tak tentu yang bunyi itu tong! Dan hukum sialan itu memaksa saya untuk tinggal selama dua semester bersamanya! BAYANGKAN! Tanpa IPS dan malah bersama pria setan itu. Dia dan orang-orang sejenisnya yang ada di sekitar saya membuat saya terlihat sebagai seonggok raga bodoh tanpa isi otak. Bagaimana mungkin saya harus menyetting ulang sistem kerja otak saya yang sudah terlanjur dibuat indah oleh IPS hanya karena si IPA sial itu. Perhitungan matematis yang konseptual dan sederhana saja agak sulit masuk ke otak saya, bagaimana mungkin saya dapat menjumlahkan dan mengalikan huruf-huruf? Dari yang IPS ajarkan, konseptual pada dirinya yang penuh angka itu, tak ada yang negatif, jika negatif berarti rugi dan tak perlu dilanjutkan lagi, juga tak ada huruf huruf inisial para penemu dan inovator dalam science yang harus dijumlahkan dan dikalikan. Yang sepatutnya dihitung hanya berupa angka, bukan huruf, itu konsep yang aku punya. Entah aku harus bertahan berapa lama lagi, sejujur-jujurnya aku tak kuat. Orang-orang dalam lingkup yang sekarang selalu memandangku dengan tatapan diskriminatif yang merendah seolah mereka hanya sedang berbicara dengan seekor kerbau. Mungkin memang otakku tak seperti otak kalian yang biasa disebut brilian itu. Mungkin aku memang sebodoh-bodohnya individu yang harus berada ditengah kalian. Tapi asal kalian tahu, terutama kau Pria congkak, aku cukup sakit hati, karena IPS-ku tak pernah mengatakan aku demikian. Aku juga tak pernah berusaha menarik diri dari kelompok. Selama aku rasa raga dan mentalku masih kuat aku menahan rasa sakit ini sekuatku, dan mencoba berbaur. Tertawa seolah IPS-ku sedang menceritakan bagaimana mimik kecewa pasukan Nazi yang digempur salju Russia. Setidaknya aku berusaha, tapi pria congkak bernama IPA itu tak pernah berhenti mengintimidasiku dengan tatapan menghinanya, tak pernah sekali saja menghargai usahaku yang masih mau mencoba menerimanya.
Oke, itu hanya sebuah perumpamaan. Dua pria tadi, si charming IPS dan si congkak IPA. Sialnya saya yang sudah terbiasa hidup bahagia dengan IPS harus bersua dengan IPA selama beberapa lama ini dan samasekali tanpa IPS. Mungkin rasanya hampir mirip dengan yaah, kalian dipisahkan saja dengan seseorang yang kalian cintai dan dipaksa untuk berlaku manis dihadapan orang lain yang kalian benci. Aaah sial! manamungkin saya bisa tahan. Jelas, saya berkali-kali pulang kerumah, menangis, dan menyesali nasib, kenapa saya harus terdampar di neraka ini. Neraka yang dipenuhi rumus-rumus tanpa IPS. Tanpa sumber kebahagiaan dan pencerahan saya.
Kejamnya, sistem pendidikan yang memilah dua jurusan ini melahirkan unsur diskriminatif. Unsur diskriminatif yang sudah merupakan rahasia umum, padahal negeri kita samasekali tak pernah mengecap sistem monarki. Sebagaimana sistem pendidikan kita yang menganggap bahwa mahluk dengan kemampuan matematis tinggi adalah mereka yang patut disebut pintar, Jurusan ilmu alam atau IPA dianggap diisi oleh anak-anak semacam itu. Sungguh sebuah fonis yang dangkal. Memang, dunia sosial tak serumit ilmu alam, tak ada rumus yang patut dihafal, tak ada persamaan yang patut dihitung. Kita hanya diharuskan untuk memiliki kecintaan, menikmati bagaimana konsep masuk ke otak dengan mudahnya, mengerti berbagai pengeritan yang membuka lebar-lebar wawasan, dan memandang dunia dari sudut yang menyenangkan. Lingkungan, bukan hanya luang lingkup abstrak yang berisikan hitungan.
Mungkin karena saya lebih cenderung orang sosial, jadi saya berfikiran begini. Berfikiran agak diskriminatif terhadap para Scientist. Tapi sungguh science itu, imajinasi rumit yang terlalu jauh. Mungkin ya, otak saya terlalu bebal untuk dapat mencerna rumus-rumus itu, mungkin iya saya tak punya kemahiran apa-apa yang memantaskan diri saya untuk berbicara begini didepan para penguasa ilmu alam, tapi yang saya ketahui saya mencintai IPS, dan itu membuat saya dapat berfikir jauh lebih bebas, menelaah apa yang memang ada, dan menikmatinya. Berbicara banyak soal hubungan antar manusia, sistem-sistem yang berkenaan dengan kekuasaan, pemerintahan, politik. Juga mempelajari banyak pengalaman dari masa lalu, mengagumi orang-orang hebat yang pernah membawa perubahan, dan menatap keseluruhan bumi ini dengan takjub karena misteri yang ada padanya tak pernah habis dikuak. Ilmu semacam itu memberikan saya udara yang segar untuk bernafas, ruang yang terbuka lebar untuk beraspirasi dan berkarya.
Sebenarnya salah jika kita memandang kelas-kelas program IPA dengan harkat yang lebih tinggi dibanding yang lain. Karena, tujuan konseptual sistem itu adalah untuk memilah siswa sesuai dengan minat, bakat, dan potensinya. Meski sesungguhnya kedua kategori itu masih terlalu umum untuk dapat disebut jurusan. Orang IPA memang terlihat pintar, tetapi itu bukan segalanya. Janganlah lantas menganggap orang-orang dari kategori lain dengan rendah. Orang IPA belum tentu bisa bersosialisasi sebaik IPS, mereka belum tentu tahu seluk beluk berdirinya negara ini, mereka belum tentu bisa menghargai jasa pahlawan sedalam para IPS melakukannya. Memalukan, tapi terkadang itu fakta. Kecintaan terhadap dunia imajinatif yang terlalu jauh itu terkadang membuat mereka asyik dengan dunianya dan menarik diri dari lingkungan dimana seharusnya mereka merasakan makna kehidupan yang sesungguhnya. Berubah menjadi sosok yang idealis dan individualis karena tak memiliki tenggang rasa yang cukup terhadap sesama. Sosok-sosok yang meski pandai tak ada gunanya bagi negeri kita kedepannya, karena bisa saja, mereka dapatkan beasiswa di luar negeri dengan mudahnya, dididik dengan baik disana, diberi pekerjaan dan dijanjikan imbalan yang memuaskan lalu seenaknya menjual kewarganegaraan dan lupa daratan. Menganggap negerinya sendiri hanya sebatas bongkahan tanah yang pernah mereka singgahi untuk beberapa lama. Itu fakta.
Oleh karena itu, saya sarankan, bagi teman-teman kelas sepuluh yang sedang menggundahkan soal jurusan, atau bagi adik-adik di SMP, SD, TK, PlayGroup, bahkan yang baru lahir, yang baca postingan ini#iloy, untuk tidak lagi gundah. Hidup kalian, kalianlah yang menjalani kedepannya, dan mereka yang memberi saran tak akan pernah bisa menggantikan kalian saat kalian lelah dengan sistem yang salah. Saran itu bisa diterima atau ditolak, yang terpenting kalian benar tahu apa yang kalian sukai. Terkadang bisa jadi sebuah keharusan bagi kalian untuk memilih jurusan yang tak kalian senangi, seperti apa yang saya alami. Jika sudah begitu, yaah apa ya? yang saya lakukan sih paling hanya berusaha untuk bertahan. Meski kecewa akan menerpa lebih dari sering, meski hati akan terbiasa untuk tersakiti, meski terkadang merasa hampir mendekati rasa frustasi, dunia yang kalian cintai sesungguhnya tetap pada tempatnya, dalam sekali waktu kalian bisa mengunjunginya, dan itu akan menjadi hiburan juga pencerahan yang sangat membantu.
Mungkin kalian bertanya mengapa saya tak bisa mengambil jurusan IPS seperti apa yang saya inginkan, mungkin juga tidak.*haha* Tapi saya akan mencoba menjelaskannya disini. Saya, kepincut oleh kata 'belajar dua tahun'nya program akselerasi di sekolah saya, dan akhirnya daftar kesana dan kebetulan diterima dengan nilai psikotes yang lumayan lah, padahal saya tak pernah kira sebelumnya. Nah, ketika itu saya samasekali tak tahu menahu jika serta merta, delapan bulan setelahnya kami akan begitu saja dijebloskan ke IPA. Dan ternyata benar, karena kelas akselerasi itu berisikan anak-anak yang bisa dibilang IQnya diatas rata-rata, jadi kami semua lantas dianggap anak IPA~~
Padahal kan tak ada yang bisa memastikan betul sesungguhnya dimana letak IQ tersebut. Beberapa orang mungkin tak keberatan, dan menjalaninya dengan sukacita, tapi, bagi orang orang seperti saya? Yang lantas menyandang predikat dungu seketika membahas IPA, haha tak menyenangkan.
Oleh karenanyalah, kali ini saya hanya menjalani masa sekolah dengan biasa saja, tak seperti dulu dimana saya bersemangat untuk mengejar nilai sempurna. Toh, usaha mati-matian saya hanya berhasilkan angka empat atau lima di Fisika, plus kepala pening dan ingin muntah. Daripada memaksakan diri dan menghancurkan diri sendiri, saya lebih memilih untuk sepenuhnya membaktikan diri pada pelajaran berbau IPS yang masih dapat saya temui di program IPA ini, semisal PKN dan Sejarah. Juga berusaha untuk menikmati Bahasa dan Sastra meski konsepnya tidaklah senikmati ilmu sosial. Setidaknya, tak menjadi sempurna tetapi bisa memiliki ciri, bahwa meski saya bodoh dalam IPA, saya bisa buktikan jika saya mencintai PKN dan Sejarah dan lebih baik didalamnya.
Mengecap IPS lagi bagaikan mimpi untuk satu setengah tahun ini, jika saya turun ke kelas billingual, yang sedang dalam tahap penjurusan sekarang ini, mungkin saya bisa masuk IPS tapi iuran yang jumlahnya beda hanya akan membuat orang tua saya kecewa pernah membayar mahal tapi tak ada tilasnya. Keluarga saya bukan orang kaya, dan membuang uang sebanyak itu sia-sia rasanya terlalu hina untuk saya.
Saking sebelnya saya sama IPA, saking nggak terimanya saya masuk IPA dan harus pergi jauh dari IPS, sampai detik ini, dimana sudah satu semester saya habiskan sebagai anak IPA, saya nggak pernah tulis kelas saya XI. IPA. CI. 1, karena yaa.. saya emang nggak pernah merasa memilih. saya hanya terjerumus dan penjerumusan itu tak sepatutnya saya banggakan.
Bagi kalian, yaah.. mungkin hanya itu pesan saya. Tentukan baik-baik, dan jangan terpengaruh oleh orang lain karena semuanya adalah tentang diri kalian. Seseorang yang menyarankan dengarkan saja, bisa ditolak, atau diterima. Sedangkan seseorang yang mengharuskan, lawan saja sementara kalian tahu kalian memperjuangkan sesuatu yang benar. Keinginan hati jangan ditutupi, karena ia akan melukai dirinya sendiri jika dipaksa menjalani yang tak ia ingini. Tidak berada pada bidang yang kalian kuasai membuat kalian merasa awam dan tak berguna. Dan rasanya menjadi tak berguna itu menyedihkan.
Jangan mengejar nama, popularitas, gengsi, atau apapun yang hanya sebatas keegoisan diri, karena nantinya kalian justru akan tersiksa sendiri. Popularitas yang menjulang tak akan memberikan kalian jawaban di ulangan atau ijazah dengan cuma-cuma. Lagipula menjadi timbul tenggelam, dan menduduki posisi tersier di kelompok populer tidak akan pernah terasa semenyenangkan menjadi yang pertama di jalanmu, menjadi seorang yang menguasai apa yang orang lain tak kuasai, dan menjadi pribadi yang berbeda. Itu yang kita perlukan. Generasi seperti itulah yang bangsa kita butuhkan untuk memperbaiki keadaan yang semakin bobrok dewasa ini.
Mengerti, dan Cintai lah dirimu sendiri!
-Yuanita WP-
No comments:
Post a Comment