Sudah berulang kali aku
mengujar bahwasanya…
"Nafas seorang seniman hanya
sebatas apresiasi." –yuanita wp-
Itu saja. Kalian tahu?
Para seniman ialah orang-orang kuat. Jikalau kalian menelisik lebih dalam
kehidupan para pelaku seni, kalian akan tahu seberapa hebatnya mereka. Diluar
kehebatan mereka dalam melukis, menari, atau berteater. Mereka hebat karena,
yaah kalian tahu, negeri kita bukan negeri yang menghormati seni. Adat
orang-orang kita sekarang ini boleh dikatakan memalingkan wajah, menutup rapat
mata dan telinga dari kehadiran para seniman-seniman kita. Tapi ditengah
gempuran itu, masih banyak seniman kita yang hidup bahagia. Kenapa? Karena
mereka tak perlu uang banyak, tak perlu berbelanja ke luar negeri, plesiran di
pantai negeri tetangga atau mengunjungi obyek wisata kelas dunia untuk dapat
berbahagia. Sungguh, bilamana seseorang telah jatuh cinta secara mutlak pada
dunia seni, segala macam kesenangan apapun bisa dia dapatkan, dan dengan sangat
rendah hati, ia akan mencukupkan diri soal materi. Karena uang, tak tentu jadi
sumber kebahagiaan. Uang cukup menjadi tali yang menyambung hidup mereka,
menguapkan rasa lapar mereka ketika mereka lelah bekerja, selepas itu, bekerja
lagi dan hati pun akan bahagia. Tapi adakalanya, kebahagiaan itu mati. Kala
nafas seorang seniman benar-benar terenggut, ketika ia tak mendapat samasekali
apa yang dinamakan apresiasi.
Soal seni, orang-orang
negeri ini, dengan adat konsumtif khas negara sewaan bagi perusahaan dari
negara maju, tak begitu peduli. Beberapa diantaranya pelik dengan urusan
ekonomi. Kebanyakan penggemar seni adalah kaum muda, atau yang serta merta
sudah benar tua. Kaum tuanya dibagi jadi dua, mereka yang kaya, yang sukses dan
bisa menikmati seni ‘pure’ yang mahal harganya, yang bisa memuaskan diri akan
dahaga pertunjukan yang ‘pure’ dan berkelas. Lalu ada juga mereka yang tak kaya
harta, tapi kaya karya. Seniman yang sudah besar namanya, yang masih terus
berkarya dan menikmati hidup bahagia mereka yang dibanjiri apresiasi, pernyataan
kekaguman, dan murid yang ingin berguru. Sedang kaum mudanya dibagi tiga.
Mereka yang bukan orang kaya, tetapi justru sangat konsumtif. Sehingga alih-alih
berhasil menjuruskan konsumtifisme mereka ke tujuan yang bagus, mereka yang tak
terlalu bermodal malah tercekoki dan akhirnya candu terhadap seni-seni kacangan
para plagiator.
Sedang yang cukup bermodal, juga masih dengan sikap konsumtif mereka candu terhadap hiburan kelas atas, produk seni yang dijajakan seniman-seniman luar negeri. Lalu apa yang dihasilkan? Tentu saja nasionalisme tipis yang semakin terkikis, menghayal seandainya mereka terlahir di negeri-negeri para seniman idola mereka, dan menjatuhkan martabat negeri sendiri dengan memandangnya rendah, beranggapan bahwa seniman negeri kita miskin kreasi dan hanya bisa menjadi sesosok plagiator. Sedang golongan satunya, yang paling minoritas diantara yang lainnya, seniman-seniman muda yang miskin apresiasi. Yang tak kaya, yang meski begitu dengan saldo saku mereka yang hanya pas-pasan tetap berusaha menggempur semangat juang mereka untuk terus berkarya. Seniman muda yang akan menjadi bibit bagi berlangsungnya kebun seni negeri kita, seniman muda yang masih sangat ringkih, riskan, dan mudah sekali mati ketika benar-benar tak ada apresiasi mereka dapati.
Sedang yang cukup bermodal, juga masih dengan sikap konsumtif mereka candu terhadap hiburan kelas atas, produk seni yang dijajakan seniman-seniman luar negeri. Lalu apa yang dihasilkan? Tentu saja nasionalisme tipis yang semakin terkikis, menghayal seandainya mereka terlahir di negeri-negeri para seniman idola mereka, dan menjatuhkan martabat negeri sendiri dengan memandangnya rendah, beranggapan bahwa seniman negeri kita miskin kreasi dan hanya bisa menjadi sesosok plagiator. Sedang golongan satunya, yang paling minoritas diantara yang lainnya, seniman-seniman muda yang miskin apresiasi. Yang tak kaya, yang meski begitu dengan saldo saku mereka yang hanya pas-pasan tetap berusaha menggempur semangat juang mereka untuk terus berkarya. Seniman muda yang akan menjadi bibit bagi berlangsungnya kebun seni negeri kita, seniman muda yang masih sangat ringkih, riskan, dan mudah sekali mati ketika benar-benar tak ada apresiasi mereka dapati.
Apa yang membuat
terciptanya golongan-golongan itu? Entahlah, tak ada yang tahu. Yang jelas, itu
semua bak sesosok momok, paradigma, lebih dari sekedar teori atau hukum, hampir
sebuah kutukan. Kita tak punya masa depan menjajaki persaingan global yang semakin
hari semakin sengit. Kita tak pernah punya tameng, bukan untuk perang militer, itu
sudah bukan zamannya lagi. Ini soal perang ekonomi, perang kultural, perang
moral. Dan soal perang-perang itu, kita tak akan bisa mengimpor tameng dari
negara manapun, semahal apapun harga yang mampu kita bayar.
Jika masih tetap
seperti ini sistemnya, menetapkan kurikulum berbasis akademik yang memeras otak
anak bangsa, dengan hanya satu jam pelajaran seni dalam satu minggu, diantara
berbelas-belas jam eksakta, kita hanya tinggal menunggu waktu menuju
kehancuran. Menunggu waktunya arwah-arwah pejuang kemerdekaan kecewa dan
mengutuk kita karena tak mampu menjaga asa yang mereka titipkan pada kita.
Tak ada gunanya
mengubah orang-orang tua. Mereka sudah terlalu malas mengurus hal yang mereka
fikir bukan urusan mereka. Yang kita punya hanya orang-orang muda. Amunisi kita
yang masih tersisa untuk menghadapi perang tak kasat mata ini hanya seniman
muda yang minoritas tadi. Yang sungguh miskin apresiasi. Apresiasi yang mereka
miliki dari karya hebat mereka hanya segores nilai dari sang guru kesenian,
sedang dari sektor lain sangat minim, nyaris tak ada, dan kerap hanya
menimbulkan rasa berharap yang terlalu besar, kekecewaan. Sedang
amunisi-amunisi itu tak akan pernah siap digunakan jika mereka terus menerus
tibul tenggelam. Jika mereka tak lantas berkarya, karena mereka sibuk belajar
dan melupa akan hobi mereka. Kesenangan yang sesungguhnya bisa lebih dari
sekedar menghasilkan ketika itu dikembangkan dengan baik.
Seni bukan prospek yang
menjanjikan di negeri ini, saat ini bahkan kedepannya. Lihat saja, dunia
hiburan kita dapat dengan mudah dimasuki, dan semakin lama, semakin miskin
legenda. Karena setiap mereka yang masuk kesana dengan mudah, pasti akan keluar
dengan mudah juga, itulah kenapa sesosok legenda dalam industri seni kita
semakin sulit ditemui. Seorang plagiator kacangan, dapat dengan mudahnya masuk,
menembus pasar bajakan dalam negeri, sebatas menjual satu single, sebuah ring
back tone yang mencuri pulsa, tanpa membuat album, diundang ke acara musik yang
dimiliki hampir setiap stasiun tv yang membayar penontonnya bahkan, terkenal
sebentar, kaya mendadak, lalu tenggelam. Hanya sampai disitu kehidupan
orang-orang yang memenuhi industri hiburan kita kini. Sedang seniman betulannya,
miskin apresiasi, tak terkenal berhubung seni yang mereka tekuni tak tentu
makanannya para ‘penonton bayaran’ tadi. Khalayak bawahnya konsumtif teradap
produk kacangan dalam negeri, masyarakat di kelas lebih atasnya konsumtif
terhadap dagangan luar negeri, sementara seniman aslinya tenggelam.
Tak banyak generasi
muda yang kenal baik keroncong, karawitan, gamelan, jaipong. Mereka lebih kenal
budaya urban, band, pop, rock, atau yang sekarang marak boyband, girlband.
Padahal andai dikembangkan, nafas para seniman muda yang terlibat dalam seni
khas kita itu tak akan lagi tersengal-sengal. Soal produk luar negeri,
sebenarnya itu laku keras hanya karena mereka pintar memodifikasi. Kita juga
bisa hei, negeri ini tak hanya punya sedikit orang-orang kreatif. Yang jadi
masalah hanya perilaku kita yang terlanjur konsumtif, hanya fonis kita yang
terlanjur buruk terhadap kesenian asli negara kita yang bahkan tak kita kenal
dengan baik.
“Para seniman bukan hanya
orang-orang hebat yang dikagumi banyak orang, bukan hanya orang-orang kaya yang
menjual mahal hasil karya mereka, bukan hanya pekerja seni dengan nama besar
yang dipuja sepanjang masa, tetapi seniman
adalah orang yang sudah berhasil mengekspresikan jiwa mereka lewat suatu hal
yang mereka kehendaki dan sukai. Dari makna asli kata seni yang
berarti ekspresi jiwa.” –yuanita wp-
Maksud saya menulis
tulisan ini, adalah karena saya merasakan betapa mahalnya apresiasi bagi para
seniman kecil. Betapa hak kami tak terlindungi, betapa rentannya kami menjadi
korban plagiatisme, betapa karya kami tak dihargai. Saya tidak main-main
mengenai apa yang saya katakan. Kita tidak lagi punya harapan apabila terus
mengabaikan hal ini. Karena dengan begini, semakin hari, semakin banyak
jiwa-jiwa seni yang bunuh diri. Dan pada akhirnya kita hanya akan menjadi
bangsa konsumtif yang tak berbudaya.
"Sebuah kemonokroman sesungguhnya
bukan cacat, melainkan ruang yang lebih luas untuk menentukan warna dari
berbagai persepsi, tanpa perlu menghapus atau mengulangi, seharusnya."
More dissapointed,
Yuanita WP
No comments:
Post a Comment