Menyembunyi kisah kelam disana sini
Dan salah satunya berlakonkan kami
Berlatarkan suatu waktu sebelum saat ini
Kala itu kelam meraja, kelabu menguasa
Tak ada setitikpun bias cahaya
Bagi kami yang terpatri mutlak dalam sangkar emas sarat ironi
Bagi kami yang tak punya daya mereguk manisnya mimpi
Bagai tetangkalan kembang di pekarangan
Kami tumbuh, mekar, lalu menyerbakkan wangi
Namun suatu ketika, dalam waktu dekat yang pasti
Raga-raga kami hanya akan ditukas
Dirangkai, dibeli, lalu dibiarkan layu dan mati
Hingga habis sudah kisah kami
Tanpa tilas yang dapat ditelusuri
Namun datangnya dirimu mengubah gores semu takdir
kami
Meluruskan lengkung-lengkung tak beruntung di telapak tangan kami
Mengeluarkan kami dari kekabutan asap dapur pagi hari
Membawa kami mengenal arti lebih dalam diri kami
Kau bukan turunan surgawi
Tapi jelas kau bawa pergi gelap dari sisi hidup kami
Kau dengan sekian besar asamu, wujudkan angan kami
Kini adanya, berpuluh tahun setelah masamu
Harum perjuanganmu yang mengabadi dalam kisah masih tereguk oleh kami
Masih menyeruak di seluruh penjuru negeri ini
Dan harus kukatakan,
Kini bukan hanya berhembus angin yang penuh tipu dan menyembunyi
Melainkan kini, disini, aku rasakan wangi namamu yang dihembuskannya
Sepanjang masa di bumi,
Selama belum runtuh singgasana ini
Singgasana yang kau bangun untuk kami
Untuk setarakan harga hidup kami
(21/4/12)
Yoooaa~
Apa kabar semuanyaa?~
Apa kabar semuanyaa?~
Kali ini, tentu anda
sekalian sudah dapat mengendus(?) maksud saya mengepos puisi tadi di momen ini.
Oke, izinkan saya sedikit mengingatkan dulu, siapa tahu bukan, anda lupa
tiba-tiba. Hari ini hari Sabtu tepat bertanggalkan 21 April, ada yang ingat ini
hari apa?
Eh, Sabtu?
iya, iya… tadi sudah saya bilang jika sekarang memang hari Sabtu. Selain itulah, ini momen penting lhoo~
iya, iya… tadi sudah saya bilang jika sekarang memang hari Sabtu. Selain itulah, ini momen penting lhoo~
Iya?
Sehari setelah peringatan hari lahir Adolf Hitler?
Aaah, oke, satu petunjuk lagi, ini tak lain adalah tentang Negeri kita sendiri, Bangsa kita sendiri. Bukan bangsa Indo Jerman, ras Arya, atau Nazi.
Sehari setelah peringatan hari lahir Adolf Hitler?
Aaah, oke, satu petunjuk lagi, ini tak lain adalah tentang Negeri kita sendiri, Bangsa kita sendiri. Bukan bangsa Indo Jerman, ras Arya, atau Nazi.
Ah, iya?
Lupa?
Lupa?
Oh, ayolaah…
Ini..
HARI KARTINI!, sekali lagi, HARI KARTINI~
HARI KARTINI!, sekali lagi, HARI KARTINI~
Sudah ingat kan? ^^
Oke, saya terlalu berlebihan. Anda semua mungkin
kurang lebihnya tau, ingat, bahkan memperingati dengan sangat antusias momen
ini. Tak mungkin kan, salah satu lagu wajib nasional terpopuler yang sering
kita lantunkan semasa SD kita lupa begitu saja. Tak mungkin juga bahkan jika kita
sebagai bagian dari bangsa ini, sebagai penyusun ruas-ruas rusuk negara ini,
tak mengenal sesosok Hero yang satu
ini. Yap, terutama saya disini sebagai seorang perempuan, saya menyatakan
teramat kagum pada tekad, kegigihan, dan ide yang luar biasa hebat dari seorang
Kartini yang bahkan hingga kini, berpuluh tahun sudah sejak perjuangannya yang
lalu, masih bisa kita reguk bersama manisnya.
Modernisasi itu pantas
dikaitkan betul dengan isu emansipasi saya kira. Sebagaimana arus modernisasi
yang menderas sekarang ini, saya pikir itupun terjadi karena emansipasi kaum
perempuan kini bukan lagi hal yang semahal dulu. Di negara maju, angka
kelahiran cenderung lebih rendah dibanding angka kematian, begitu kata contoh
dari piramida tua angka pertumbuhan penduduk dalam Geografi. Dan kenapa itu
terjadi, tak lain adalah karena adanya emansipasi tadi. Perempuan dengan bebas
bisa memiliki pekerjaan, dan meraih hak yang sama dengan kaum lelaki dalam
dunia kerja. Tak lagi seperti dulu, perempuan yang bekerja tak lagi diasumsikan
menjadi hal yang tabu, kini dunia kami meluas, melapang, dunia kami bukan lagi
hanya sebatas lingkup dapur selebar dua kali tiga meter yang dipenuhi sesak
oleh kepulan asap.
Ngomong-ngomong soal
emansipasi, sejak tadi saya hanya mengoceh semaunya tanpa membahas dulu
definisi dari variable yang kita bahas disini. Oke, emansipasi. Jadi apa itu
emansipasi? Sebuah harga prestisius yang diperjuangkan segitu ngototnya oleh
Kartini. Itu benar, tapi hanya merupakan penyeketsaan pengertian dari garis
luar, bukan dalam konteks yang mendalam. Saya tak sempat membuka kamus, jadi
saya kemukakan saja apa yang ada di fikiran saya, ya? Menurut saya emansipasi
itu adalah hal yang bukan meninggikan derajat kaum wanita, melainkan
menyetarakannya dengan kaum pria. Setara disini juga bukan berarti sejajar,
karena emansipasi sendiri tak akan mengantarkan kaum wanita untuk menggenggam
tampuk kekuasaan dunia, atau setidaknya berdiri melampaui kaum pria. Melainkan
duduk dalam singgasananya sendiri, yang penuh kebebasan, juga tanggung jawab
dan rasa hormat sebagai mahluk indah yang pada tempatnya memang dikagumi dan
dilindungi. Agak rumit memang, tapi saya harap anda sekalian mengerti.
Dulu, apa yang bangsa
kita tahu soal emansipasi? Jangankan kita yang masih akrab dengan kebudyaan yang
sarat unsur primitifisme, di Barat pun emansipasi sangat minim. Sebagaimana
seorang Lady darah biru di kerajaan-kerajaan Eropa yang tetap harus jadi
sepenurut merpati didepan Lord-nya. Atau, hukum penguburan hidup-hidup bayi
perempuan yang lahir di masa Jahiliah di jazirah Arab. Pada masa-masa itu,
perempuan seakan tak ada harganya, bung. Mungkin mereka memang belum tahu
jikalau yang cenderung menerunkan kecerdasan pada anak itu gen ibu, atau dari
mana lelaki-lelaki bengis yang mengubur hidup-hidup bayi-bayi perempuan itu
lahir? Menetas dari sebongkah batu? Kan juga tidak mungkin. Emansipasi baru
mulai disoroti dan dihargai semenjak zaman perang. Ada yang ingat Jeanne
de`Arc? Oh, iya… pahlawan Prancis itu lho ketika melawan Inggris. Dia juga merupakan
salah satu simbol emansipasi. Lalu tokoh-tokoh perang dunia dua, pilot-pilot
Nazi juga banyak yang perempuan.
Intinya bung,
emansipasi itu mahal dan luar biasa hebat. Berbicara soal ambisi, kami para
perempuan tak akan pernah kenal ambisi tanpa adanya emansipasi. Dan seabad
lalu, R.A Kartini menghadiahkannya secara khusus untuk kami. Kini, emansipasi
itu menodong bayaran dari kami. Uangkah? Bukan. Atau gengsi sebuah nama? Bukan
juga lah. Melainkan apa? Sebuah tanggung jawab. Ini quotes dari film Spiderman, tepatnya yang dibilang Paman
Ben ke Peter, “Seiring dengan kekuatan
besar, akan datang pula tanggung jawab besar.”
Emansipasi itu bak
kekuatan besar buat kami. Dengan emansipasi, kami bisa menjadi apa saja yang
kami mau, menjajal dunia mana saja yang ingin kami tapaki, dan mencoba medan
apa saja yang ingin kami jajaki. Dan seiring dengan kedatangannya, tanggung
jawab besar juga hadir dalam diri kami, menunggu untuk kami bayarkan segera.
Bukan dengan hal yang bersifat materil melainkan sebuah jaminan, jaminan bagi
generasi selanjutnya untuk terus dapat menghirup udara emansipasi yang segar ini. Jaminan bahwa dengan ini,
kami akan memanfaatkannya sebisa kami, mengisi posisi-posisi yang sepantasnya
kami isi, dan melakukan yang terbaik karena apa yang kami jalani detik ini,
perjuangan ini, adalah apa yang di waktu lalu hanya berupa mimpi.
R.A. Kartini
***
(21.4.1879-17.9.1904)
***
(21.4.1879-17.9.1904)
No comments:
Post a Comment