Emm, cukupkan dulu soal menghayal ya?
Mari kita, sedikit berbicara tentang kenyataan..
Entah kenapa hasratku terhadap menulis
semakin menggila semenjak aku merintis berdirinya blog yang masih miris ini
beberapa bulan lalu. Aku memang tak menulis diary, tapi aku selalu berusaha
untuk meng-“capture”
inspirasi-inspirasi yang biasanya tanpa sengaja kudapat. Dan itu cukup sering
berlangsung, jadi intinya sama saja. Dengan mengabadikan inspirasi-inspirasi
tersebut, aku bisa mengingat-ingat kapan aku mendapatkannya. Karena setiap aku
baca ulang tulisanku, kejadian demi kejadian yang melatarbelakanginya turut
terlintas di otakku, terputar ulang, dan itu tak ubahnya sebuah jurnal bagiku,
karena dalam tulisan-tulisanku yang berorientasikan tema ini, aku
mengimplementasikan memoriku, memroyeksikan hidupku kedalam hal yang kurang
lebihnya implisit. Karena hidupku adalah tentang diriku, dan hanya Tuhan, aku,
dan orang-orang yang kukehendaki untuk tahulah yang akan mengerti apa yang sesungguhnya
ada dibalik celotehanku, omong kosongku.
***
Sekarang, aku ingin membicarakan tentang masa
depan. Yeah, future. Mendengarnya pun
aku sudah tak tertarik, berhubung kata tersebut terdengar sangat jauh dan
kelabu. Aku sudah berkali-kali berceloteh mengenai orientasi hidupku yang
cenderung berbalik. Aku belajar dari apa yang kulihat dimasa lalu. Aku membaca
ulang memoar-memoarku untuk mengenal diriku sendiri, aku mendapatkan panutan
dari sosok-sosok hebat yang kulihat dimasa lalu, aku menghadapi masalah-masalahku
dengan melihat keberhasilan orang lain mengatasi masalah yang serupa dengan
milikku, dan aku mencintai diriku dan orang-orang disekitarku karena aku
menyadari bahwa banyak hal hebat yang telah kureguk manisnya karena adanya
mereka, dan tanpa mereka hidupku tak akan seberharga ini, tak akan seberarti
saat ini.
Aku lebih suka melihat kebelakang, mengenang
hal-hal indah yang pernah terjadi. Selama ini, apa yang terjadi kedepannya
selalu menjadi kejutan untukku, baik itu membahagiakan atau menyedihkan.
Kenapa? Karena aku tak pernah merencanakan betul secara sistematis soal masa
depan. Selama ini aku hanya menganggapnya sebagai misteri yang akan terbuka
sesuai dengan jadwalnya di kemudian hari. Aku tak pernah berminat untuk
memikirkan terlalu masa depan karena aku merasa lelah jika melakukannya. Aku
juga tak berminat untuk kecewa. Kesannya, memikirkan masa depan berarti
mengira-ngira hal yang terlalu abstrak sementara kita terus dikejar waktu yang
singkat.
Kejadian yang berlatarkan langit jingga di halaman
rumahku sore ini rupanya membuka mataku lebih lebar lagi soal hal ini. Soal
keharusan bagiku untuk menatap lurus pada takdirku kedepannya yang masih buram
di mataku sampai saat ini.
Aaah.. waktu rupanya berjalan begitu cepat.
Seingatku kemarin fikiranku belum berat samasekali, masih ringan dan tak
berisi. Tapi detik ini aku sudah mulai dipaksa berlari, menembus kelam kabut
yang menutupi, menutupi takdirku di depan sana. Tadi, seorang kerabat datang
berkunjung, dengan mengendarai mobil klasik keluaran lama yang sudah sejak lama
pula jadi incaran ayahku. Salah satu impian kecilnya. Sebenarnya, bukan jadi
hal yang mustahil juga, toh dari hasil kalkulasi yang kusimpulkan, dengan
sedikit lebih rajin menabung, sebenarnya bukan hal mustahil bagi beliau untuk sekedar
memilikinya. Bukan hal mustahil andaikata pendidikanku tak menelan biaya
sebegini besarnya..Tapi demi mengedepankan kepentinganku, beliau dengan berbesar hati menahan
keinginannya untuk itu. Terdengar bijak, luar biasa bijak malah, tapi agaknya
itu menjadi hal berat untukku.
Aku, sebagaimana kenyataan yang berbicara,
tak lain dan tak bukan adalah anak pertama di keluarga ini. Keluarga sederhana
yang berdomisili di pinggiran kota kecil sarat polusi. Dimana biaya hidup
semakin kesini semakin merangkak meninggi. Bukan masalah jikalau aku hanya
seorang parokial yang awang-awangan soal pendidikan. Masalahnya adalah sejak
memulainya, keluargaku selalu menomor satukan soal itu. Semua kenekatanku,
kegilaanku, semua itu dituruti asalkan aku memang menyanggupi untuk
menjalaninya sungguh-sungguh. Semua sekolah yang kujajaki sejak TK bisa
dibilang mereka yang cukup prestisius di regionalnya, dan semua itu atas
keinginanku. Orang tuaku tak pernah ambil pusing untuk memaksaku memasuki
sekolah pilihan mereka, karena sejak dulu aku yang selalu menjadi penentunya,
mereka hanya berperan sebagai penasehatku, dan tentunya penanggung jawab atas
kenekatanku. Meski adanya justru memberatkan mereka. Apa yang kupilah tak ayal
membuat kami sekeluarga harus mengkalkulasi ulang sirkulasi keuangan kami,
lebih menyederhanakan lagi gaya hidup kami yang memang sudah begini adanya, dan
memangkas pengeluaran sepintar-pintarnya kami.
Oleh
karena semua hal diataslah, masa depan buatku yang lebih baik dari keadaan
keluargaku sekarang adalah harga mati. Orang tuaku sudah berjuang sebegini ngoyonya sekedar untuk memodali
kenekatanku, dan suatu saat nanti, harus ada part khusus dimana mereka punya kesempatan untuk menikmati ganti
apa yang mereka relakan untuk pergi demi aku saat ini. Apabila aku memang betul
berusaha, aku yakin ini bukan hal yang mustahil. Tetapi belakangan aku mulai
bisa merasakan mulai timbul sedikit keraguan pada mereka terhadapku. Bukan
karena aku telah mengecewakan mereka, toh aku sampai saat ini aku selalu
berusaha keras untuk mempertanggung jawabkan kenekatanku itu kok. Diagnosaku
ini karena aku mulai mendekat pada masa depanku, dan ini karena mereka tahu
betul sekedar kenekatan bukan lagi jadi hal yang bisa dijadikan prioritas untuk
kedepannya, sekedar kenekatan tak lagi bisa dijadikan taruhan yang sebanding
dengan kenyataan yang harus dihadapi seterusnya.
Jika ditanya, aku punya kok cita-cita. Banyak
malah. Bukan cita-cita profesionis yang konkrit memang, lebih seperti daftar
tujuan yang entah bagaimana caranya, lewat manapun lajunya, kalau bisa harus
kucapai nantinya. Tak ada yang salah, karena ini memang terdengar hebat seperti
adanya bila suatu saat nanti terwujud. Tapi belakangan aku mulai menyadari
kejanggalan. Mengenai apa yang diinginkan olehku dan kedua orang tuaku yang
ternyata cukup bertubrukan.
Mungkin ini terdengar naif, tapi dari dalam
hatiku sendiri aku tak bertekad untuk memupuk materi di kemudian hari. Aku
rasa, orang sepertiku memang kurang cocok saja jadi saudagar atau pengusaha
yang menuani aset yang tersebar dimana-mana. Aku tak pernah bermimpi
bermewah-mewah ria dalam hidupku kedepannya nanti, memiliki resort di Bahama,
Jet pribadi, atau kediaman semegah Cheatau
de Versailles. Entah bagaimana jadinya nanti, bisa saja suatu ketika
kekejaman hidup memang melunturkan niatku saat ini, tapi jikalau bisa, atau
tepatnya aku sangat berharap aku bisa mewujudkan semua ambisiku yang sekarang.
Tak terlalu muluk, tapi terdengar agak jauh dari kata mudah.
Di sebentang masa depanku yang akan kupijak
nanti, aku ingin diriku berarti. Bukan hanya bekerja lalu menerima gaji, tapi
juga ucapan terimakasih yang tulus. Bukan hanya sukses dan terkenal, tapi
kehadiranku juga bermakna dan terkenang. Bukan hanya untuk diriku sendiri, aku
ingin sukses dimataku, demi orang-orang yang kusayangi, dan untuk semua orang.
Aku ingin setidaknya memberikan hal kecil saja untuk kemajuan negeri ini.
Setidaknya, jadi apapun nanti, itulah yang kuharapkan. Sederhana kan?
Tapi kalau boleh, aku ingin sedikit bermimpi.
Bermimpi soal hari-hariku kedepan. Kuharap ego-ku masih berada dalam tahap
wajar, tapi seandainya ini sudah terlalu egois aku harap kalian tak keberatan
mendengarnya kali ini saja. Aku ingin menjadi seorang fashion designer, masih seperti apa yang selalu kukoarkan selama
ini. Aku ingin berkesempatan sekolah design di Paris, lalu membuka butik di
daerah pinggiran kota selepasnya. Butik yang berlokasi di dataran yang agak
lebih tinggi dari pusat kotanya, dan agak jauh dari kebisingan. Butik itu
menyatu dengan kediamanku nantinya, dengan design
bangunan ala victorian classic yang
di sederhanakan dan taman-taman penuh mawar juga beberapa pepohonan musim gugur
yang besar-besar di halamannya. Bangunan itu berlantai tiga, tapi dari depan
terlihat hanya dua lantai, karena lantai terbawahnya terkubur setengahnya. Jika
dilihat dari belakang, barulah ketiga lantainya terlihat betul. Lantai dua yang
paling luas jadi tempat kerjaku, sementara bagian lain fungsinya tetap sebagai
rumah. Di lantai paling bawah terdapat sebuah balkon dengan seperangkat meja
jamuan teh. Itu memang lantai terbawah, tapi karena rumah itu terletak di
dataran yang agak tinggi, dari sana kita jadi bisa menikmati view seisi kota
yang gemerlapan di malam hari dan alam di sekitarnya yang masih hijau dikala
pagi. Di rumah yang merangkap butikku itu aku bekerja. Menghasilkan karya demi
karya yang kerap menuai tanggapan positif. Di sana juga aku menulis buku-buku
yang kuharap nantinya bisa menginspirasi banyak orang. Dari hasil menulis dan
mendesign itu aku akan mengumpulkan
uang untuk merintis berdirinya yayasan sosial yang insyaallah kukepalai. Yayasan itu memiliki misi untuk menghapuskan
diskriminasi terutama pada anak-anak, mengembangkan pendidikan yang
berorientasikan minat, bakat, dan pengembangan karakter, juga mendirikan sekolah-sekolah
gratis dengan sistem yang yayasanku kembangkan terutama di Indonesia dan di
negara-negara miskin di belahan dunia manapun. Dari yayasan itu, kuharap aku
bisa menjadikan diriku berguna bagi banyak orang, dari sana juga kuharap aku
bisa setidaknya sedikit berkontribusi dalam membenahi kekacauan negeriku ini,
karena dengan melindungi anak-anak, dan memberikan mereka yang terbaik, juga
menanamkan semangat cinta tanah air pada mereka, itu berarti aku telah
melukis sketsa untuk kemajuan negeriku
ini kedepannya. Setelah Indonesiaku, barulah yayasanku, aku dan kawan-kawan
hebatku yang terlibat di dalamnya akan meneruskan perjuangan kami ke lingkup
dunia internasional. Amien…
Tapi tetap saja, apa yang aku cita-citakan
itu tak mudah, itu sulit dan butuh pengorbanan besar. Sementara aku tak punya banyak waktu untuk dibuang percuma.
Definisi kesuksesan di mata orang tuaku dan dimataku ternyata berbeda. Tapi
jika aku tak pernah bermimpi menjadi orang kaya, apa yang di kemudian hari bisa
kupersembahkan untuk sedikit membalas budi mulia mereka? Meski nyatanya sekedar
materi yang berlimpah pun tak akan pernah cukup untuk balas segala yang telah
mereka korbankan. Aku tak sanggup untuk memfonis impianku mustahil dan
berpindah ke jalur aman yang orang tuaku pilihkan untukku.
Andaikata keadaan keluargaku lebih bersahaja,
mungkin mengambil langkah yang aku mau tak akan jadi hal yang sesulit ini.
Tapi, itu namanya kufur nikmat. Lagipula, jikalau aku ada dalam keadaan seperti
itu, belum tentu aku memiliki cita-citaku yang sekarang. Bagaimanapun, inilah
hidupku, dan hal sekecil apapun yang ada di dalamnya tak seharusnya tak
kusyukuri. Karena semua hal itulah aku ada disini, aku meraih apa yang aku raih
kini, dan menjadi diriku yang sekarang ini. Sampai saat ini, setidaknya aku
masih berjuang. Aku hanya berharap jalanku mudah, sehingga suatu saat, sebelum
masalah manusiawi semacam tekanan ekonomi meluruhkan asaku, aku sudah mendapati
diriku dalam posisi aman yang dekat dengan cita-citaku itu.
Aku menulis begini bukan tanpa tujuan. Selain
untuk mengabadikan inspirasi dan ideku dan berbagi kisah dengan kalian, aku
ingin mendokumentasikan ini sebagai doktrin dariku dan untukku sendiri. Agar
nanti, suatu ketika dengan membaca ini aku bisa kembali semangat apabila sudah
hampir putus asa. Juga agar nanti, sekiranya aku lupa akan apa yang pernah aku
janjikan soal masa depanku, apabila aku lupa akan niatku untuk berjuang , aku
malu atas ocehanku malam ini lalu kemudian menyusun tekadku kembali. Aku masih
berjuang dalam cita-citaku dengan semua beban di pundakku, sambil berdoa dan
terus berharap, apa yang jadi tujuanku dapat teralisasikan suatu hari nanti dan
orang tuaku dapat menyadari kesungguhanku pada hal ini, lalu pada akhirnya
kembali mendukung kenekatanku seperti yang sebelum-sebelumnya. Aku memang tak
bermimpi jadi orang kaya, tapi sungguh, segalanya yang kuraih kedepannya adalah
juga untuk mereka. Setidaknya sekalipun aku tak bisa membuat orangtuaku
bahagia, dengan meraih apa yang aku cita-citakan aku bisa membuat mereka
sedikit berbangga.
“Karena sesungguhnya ini adalah aku dan segala yang kuinginkan
dalam hidup…”
-Yuanita WP, 2012-
No comments:
Post a Comment