Well, sebenarnya, ini tulisan udah saya buat beberapa minggu lalu. Kala saya masih berada dalam puncak kekesalan terhadap takdir yang ternyata tak memihak pada saya. Namun, kali ini nampaknya saya sudah mulai menyadari jika tak ada gunanya berlarut-larut dalam ironi, dan mulai menerima kenyataan kini adalah satu-satunya cara untuk tetap bertahan hidup...
TAPI AKU TETAP MENCINTAI KALIAAANN!! XD
Perpisahan itu memang menyedihkan, tapi
sayangnya itu ada. Oh, tak apa! Sungguh! Jika tak ada hal menyedihkan di bumi
ini, maka tak akan pernah ada hal menyenangkan, dan yaahh.. kalian bisa
bayangkan akan seberapa mirisnya kita. Hidup datar, hanya terlarut dalam laju
gerak kehidupan yang pasif, tak menuntut, dan semu.
Sebuah tekanan, mungkin tak semacam dengan
tekanan yang ditemukan Archimedes berabad lalu, tapi.. tekanan yang rumit,
lebih rumit karena rumus secantik apapun tak akan mampu terka persamaannya,
tapi jelas semua orang mengerti maknanya. Ini soal perasaan, soal hati…
Dengarkan ya, aku akan menceritakan sebuah
kisah..
Seorang professor yang genius dan itu sudah
jelas terbukti oleh banyaknya rentetan gelar yang teruntai di belakang namanya,
mungkin bisa saja mengujar bodoh dihadapan seorang filsuf. Professor itu
bilang, hati yang selalu dikatakan oleh jutaan bahkan milyaran pujangga soal
tempat dimana mereka meletakkan objek terindah dalam setiap penggalan bait
puisi mereka-cinta-berada, adalah jantung. Tak ayal, si filsuf pun tertawa. Ia
lalu bertanya pada lelaki botak didepannya. “Professor,
menurutmu dimana cinta itu berada?”. “Tentu di otak.” Jawab si professor
yakin. Lelaki botak itu fikir, semua kendali atas kesatuan sistem gerak,
perasa, dan pemikir manusia ada dalam sebuah mesin tercanggih yang pernah ada,
sebuah prosessor tercepat dengan memori terbanyak yang pernah tercipta, otak. Lagi-lagi
si filsuf tertawa, “Kau salah, itu ada di
hati.” . “Bagaimana mungkin, jika hati bukan jantung, maka ia adalah liver, dan
fungsinya hanya berupa penyaring racun dalam tubuh. Tak ada kaitannya dengan
perasaan manusia. Perasaan manusia hanya dapat di proses di otak.” Ia mulai
berargumentasi seenaknya, lalu si filsuf mengerutkan keningnya. “Kita tak sedang berbicara soal anatomi
tubuh manusia, melainkan cinta. Jika yang kau maksud dari organ hati adalah
yang tadi itu, berarti masih banyak yang tak kau tahu, professor… Tentang
sebuah organ yang penting, yang begitu riskan meski abstrak, meski dengan
jutaan kalipun kau belah tubuh-tubuh manusia, kau tak akan menemukannya. Di
tempat tersembunyi itulah apa yang kusebut cinta berada, pusat kendali dari Id, dimana manusia bisa memandang segalanya
dengan indah, bukan dengan nafsu ataupun keinginan untuk memiliki seutuhnya,
tapi untuk menyadari sesuatu yang penting dan ia tak bisa hidup tanpanya, oleh
karenanya ia merasa wajib merawatnya. Membiarkan segalanya yang indah tumbuh
dengan indah hingga dapat memperindah apa yang dilihatnya. Itu cinta, dan aku
tak akan pernah rubah soal jika hati adalah tempat dari apa yang kumaksud cinta
itu.”
Hanya sekilas cerita mengenai percakapan
seorang filsuf dan professor karangan saya. Tapi jika difikir fikir, tak ada
salahnya juga membenarkan hal ini. Bahwa hati adalah tempat berpusatnya segala
hal yang dianggap tabu untuk dibahas dengan Science.
Science itu keras kepala,
bagaimanapun pintarnya manusia abad ini, yang namanya hal hal yang tidak bisa
dijelaskan dengan logika itu pasti masih ada. Dan kalian para Science memaksa segala hal untuk dapat
dijelaskan dengan jalan fikiran otak kalian yang kaku itu saja. Mungkin, hati
bisa jadi adalah kambing hitam dari semua karangan pujangga-pujangga yang sarat
gombalisme itu. Tapi mereka hanya bercerita, jadi tak ada salahnya, dan jangan
kalian pungkiri jikalau sudah banyak orang yang sudah tersugestikan soal hati.
Hati yang abstrak itu nyatanya benar ada. Atau setidaknya, diakui
keberadaannya.
Lewat hati, kita mengenal apa itu cinta.
Dewasa ini mungkin banyak sudah ilmuwan yang sudah berhasil menkonversikan
cinta dalam bentuk sederet rumus yang terlihat mengerikan untuk sebagian
orang-aku termasuk-. Ya, aku akui itu baik, tapi kalian tak perlu berfikir
rumit soal yang satu ini. Terserah, jika di dalam kepala kalian memang sudah
begitu adanya dan kalian juga lebih nyaman mengekspresikan soal cinta kedalam
bentuk mengerikan semacam itu.
Cinta, cinta, cinta… Ahh, gombalisme para
pujangga itu nampaknya menjadi salah satu aliran yang kuanut kini. Aku tak bisa
pungkiri bahwa cinta itu indah. Ia adalah sebuah temuan terhebat dalam
sepanjang sejarah alam semesta. Dan aku sudah katakan ini berkali-kali. Cinta,
seperti kata si filsuf tadi-sebenarnya itu kata-kataku juga sih- merupakan
sebuah hal yang membuat kita berfikir bukan dengan nafsu, atau hasrat menggebu
gebu untuk memiliki -ini dalam konteks apapun- melainkan sebuah perasaan yang
membuat kita tersadar akan seberapa pentingnya suatu hal yang kita cintai, yang
membuat kita selalu berusaha untuk menjaganya, dan membiarkannya memperindah
segalanya yang kita lihat lewat sepasang mata kita.
Oke, aku memang tak punya pengalaman apa-apa
soal cinta yang lumrah disebut oleh para gombalis-gombalis itu. Aku belum
pernah merasakan secara langsung yang semacam itu. Aku terlalu polos, naif,
atau bahkan bodoh dan bebal untuk dapat membiarkan serabut-serabut halus cahaya
warna-warni yang indah itu membias kedalam hatiku? Tapi, aku pernah
memilikinya, meski itu kufikir untuk seseorang yang membuatnya hanya terlihat
sebagai seonggok hal bodoh yang sia-sia. Bagaimanapun aku pernah merasakannya.
Iya, aku akui. Tapi, soal cinta.. kita tak hanya bicara yang itu saja kan? Kita
juga bisa bicara soal cinta kepada yang lain, Tuhan, keluarga, teman, atau
bahkan sesuatu yang tak bisa disebut hidup. Hei, mereka juga cinta, meski efek
kala mendengarnya tidaklah sedramatis saat kita mendengar soal romansa antara
sepasang kekasih, mereka juga sarat akan keindahan.
Aaahh… sial! Aku tak tahu. Aku seenaknya
memfonismu sebagai cinta pertamaku dulu. Meski itu tak kulakukan secara
eksplisit juga. Saat ini, setelah semuanya hampir memusnah tanpa bukti,
artefak, atau fosil apapun yang bisa kutelusuri kala aku merindu soal ini, semua
yang terjadi antara kau dan aku hanyalah hal biasa. Aku tak mau munafik, aku
pernah menyebutmu, dear, prince, atau apapun yang terdenar begitu
ah, berwibawa sebagai sesuatu yang penting untukku. Meski itu semua cuma-cuma
karena toh, kau tak pernah berbuat apapun untukku. Tidakpun untuk menunjukan
sebentuk sinyal jikalau kau menyadarinya. Tapi itu tetap tak menjadi terlalu
mahal untuk kuberikan padamu, karena bagaimanapun kau memang pernah
menempatinya, sebuah posisi prestisius dihatiku yang masih tak menutup
kemungkinan kau pun masih bisa menempatinya lagi. Atau orang lain mungkin
nanti, haha…
Tapi jauh sebelum dirimu, aku mencintai
sesuatu hal lain. Yang… tak bisa disebut hidup tapi jelas ia menjadi nafasku
sejak hari dimana aku jatuh cinta padanya. Cinta pertamaku yang sebenarnya
karena waktu berlangsungnya memang sangat lama, dan indah yang ia ciptakan di
hatiku sungguh tak terkira, duniaku sudah semarak oleh warna-warna indahnya
entah sejak kapan, dan kini aku harus terjebak dalam sebuah kemonokroman.
Mungkin ini terlihat bodoh lebih daripada
saat aku pernah terlihat bodoh sebelumnya. Aku tak ingin mengintimidasi diriku
sendiri, tapi ini memang terdengar konyol untuk orang yang tak tahu apa rasanya
menjadi aku saat ini. Dua tahun ajaranku kedepan akan kulalui tanpa kalian
cinta pertamaku.
Aku berteriak, bernyanyi selagu-lagunya,
bersenandung sejadi-jadinya, tertawa hingga organ pernafasanku yang difonis
berasma kembang kempis karenanya. Aku tak tahu, rasanya selesai ulangan umum
tak sebahagia saat aku akan menghadapi ulangan IPS esok harinya. Masih ada yang
mengganjal dalam fikiranku, soal keputusanku yang sangat berat untuk
meninggalkan kalian sementara waktu ini.
Kalian
itu… masalah!
Masalah yang memaksa semua yang ada dalam
otakku bisa kukeluarkan, kuargumentasikan di depan orang banyak. Kalian yang
membawaku pertamakali merasakan bagaimana hebatnya berbicara di depan khalayak
ramai, menyadari bahwa dari sekian banyak kepala yang kulihat semua isinya
berbeda, dan semua itu bisa disatukan dalam sebentuk hasil perundingan yang
kompleks dan hebat, atau bahkan kerusuhan karena tak mampunya pendapat-pendapat
itu disatukan. Kalian adalah masalah yang membawaku menjadi seorang
argumentator yang cukup sulit tergoyahkan dalam debat.
Kalian itu… bencana!
Bencana kala aku kecewa dengan hasil tak
memuaskan yang kuperoleh kala kalian dievaluasikan. Aku merasa bahkan seperti
hidupku gagal. Untuk matematika atau fisika, nilai empat atau tiga bagiku
biasa. Kebal sudah bahkan aku terhadapnya, tapi.. kala aku hanya dapat delapan
dan temanku yang seorang eksakta lovers mendapat nilai delapan koma satu,
hatiku runtuh oleh gempa, hanyut oleh tsunami, dan melebur bersama segala lava-lava
pecundangisme yang meletus dari gunung looser
yang entah tumbuh dari lempeng sebelah mana.
Kalian
itu… Kabar buruk!
Kabar buruk kala kemungkinanku untuk masuk
program IPA tak bisa dianulir lagi. Aku, bagaimanapun, tak akan bisa
memperjuangkan keegoisanku soal kalian seorang diri saja. Selama yang lain
setuju, aku sungguh tak punya kuasa. Yaah, apa boleh dikata hanyutlah sampanku
pada arus yang berbadai untukku nantinya. Sementara kalian hanya melambai
pasrah di kejauhan. Aku hanya merantau dua tahun ajaran, yang bagi program ini
hanya enambelas bulan lamanya. Tak apa, itu tak seberapa dibanding semua hal
indah yang pernah kita lalui selama ini. Toh setelah itu, aku akan tetap
berjuang di jalur kalian. Aku memang masih bingung akan jadi apa aku nantinya,
untuk misi itu bisa difikirkan pelan-pelan, yang jelas visi sudah kukantongi.
Aku akan memperjuangkan hak-hak yang masih terbengkalai di negeri ini, aku akan
kampanyekan soal diskriminasi dan pembunuhan karakter yang menurutku merupakan
kendala besar mengapa bangsa ini tak kunjung maju. Entah lewat apa, mungkin aku
akan menulis buku, berorasi, mendirikan partai atau yayasan, berkarya, atau
apapun lainnya. Yang jelas aku punya tujuan, dan meski kita harus terpisah
disini, tujuanku tak lain tetap adalah kalian.
Aku punya tujuan mengapa aku sekarang berdiri
sebagai seorang siswa di negeri ini. Aku mungkin akan menjadi salah satu
pemimpin atau orang yang memegang peranan penting di negeri ini beberapa tahun
lagi. Ini karena aku punya amanat dan aspirasi yang kukantongi, dari diriku
sendiri atau bahkan banyak orang yang juga merasakan hal yang sama denganku.
Kita lihat saja bagaimana jadinya negeri ini limabelas tahun lagi.
Aku mencintai cinta pertamaku, ilmu sosial
yang selalu berhasil membuka cakkrawalaku tentang banyak hal yang sebelumnya
kuanggap tabu. Kalian hebat, selamanya! Dan aku cinta negeriku, bukan sebagai
supporter sepakbola yang hanya mampu melaseri kiper negara tetangga agar team
kita menang, tapi juga selalu berusaha untuk bangga padamu bagaimanapun
keadaannya. Ingat, aku tak pernah menyalahkanmu Indonesia sayang, aku tak
pernah mendakwamu sebagai tersangka atas seberapa bobroknya keadaan kita saat
ini, melainkan hanya kaki tanganmu saja yang penuh cela. Kau tetaplah dirimu
yang selalu kami agungkan, yang kami cintai, lebih dari sekedar status tempat
tinggal atau sebongkah tanah yang kami tinggali, lebih dari sekedar sebidang
lahan yang kami gerogoti sumberdayanya seumur hidup kami, tapi juga sebuah
identitas. Dasar dari kecintaan, dan harapan yang akan kubawa untuk melanglang
buana di pucuk tertinggi dunia. Aku akan membuatmu bangga, bangga pernah
memiliki diriku sebagai bagian dari rakyatmu, sedapatku nantinya!
Ini janjiku, dan kuharap kau mau percaya juga
doakan agar sebentuk keberhasilan itu kelak dapat kita bawa pulang.
“Tuhan,
ini niat baik ‘kan? Kuharap Engkau-pun berkenan kiranya mempermudah jalanku
untuk meraihnya..”
Yuanita WP,
,-masih dalam kemelut kekecewaan-,
,-masih dalam kemelut kekecewaan-,
©2012
No comments:
Post a Comment