Besok career day di sekolah saya, dimana
mestinya saya aktif sebagai salah satu anggota, menghadiri setiap rapatnya,
menyatakan pendapat dan sebagainya, tapi ternyata saya tak banyak bertindak.
Kadang kala keputusan untuk diam dalam satu saja perkara kecil akan membuatmu
terdiam untuk waktu yang lama. Lagipula ada banyak lagi kisah dibaliknya.
Sudahlah.
Saya tak punya tips macam-macam. Lagipula
tips-tips mengenai masa-masa penentuan ini hanya banyak dikeluarkan oleh
lembaga lembaga bimbel sebagai produk komersial mereka. Lembaga-lembaga yang
apabila dilihat dari konsep luhur pendidikan, nyatanya amat sangat tidak
mendidik. Mereka mengajarkan rumus-rumus mudah untuk menyiasati soal tertentu,
membuat anak-anak korban mereka memeras otak untuk waktu yang berlebihan dari
kapasitas mereka demi menghapal cara menjawab tanpa tahu akar dari masalah
sebenarnya yang dihadapkan pada mereka. Lembaga-lembaga tersebut, di mata saya,
kadang nampak tak lebih dari sekedar pelumas mahal untuk melumuri diri demi
melewati sebuah celah yang benar-benar sempit bernama UN dengan lebih mudah.
Tak ubahnya juga dengan UN itu sendiri. Ideal
memang mustahil, tapi masih ada manusia yang mengalahkan kepentingan orang banyak
demi segelintir individu dan gologan tertentu. Hal itu yang rasanya masih
membuat tangan-tangan aktivis semakin erat mengepal. Dengan UN, otomatis,
pendidikan hanya soal nilai. Tak peduli ada 60-40% atau apalah itu, 40%
tersebut bukanlah ruang yang diberikan oleh oknum pendidik untuk turut bicara
mengenai kelulusan anak didiknya, melainkan celah untuk menyumpal nilai demi
memenuhi standar. Terserah soal sekolah-sekolah elit dengan guru-guru mumpuni
dan murid-murid bergizi baik, tapi jika dibandingkan dengan keseluruhan sekolah
yang pasaknya tertanam di bumi negeri ini, mereka hanya minor yang selalu
tersoroti oleh cahaya pesona ibu kota, samasekali bukan cerminan dari semuanya.
Yang lain hanya sekolah sederhana di desa-desa, atau paling banyak, sekolah
yang dari luar terlihat baik, tapi dalamnya bobrok luar biasa.
Bagaimana tidak? Gedung sekolah tersebut
bertingkat-tingkat, bahkan beberapa dilengkapi pendingin ruangan, perangkat
multimedia dan sebagainya. Tapi kualitas pendidikannya masih jauh dari standar
yang diminta oleh sistem UN. Bangunannya boleh jadi mentereng, tapi kondisi
sosial di sekitarnyalah yang mestinya terperi sebagai cerminan dari isi sekolah
yang sebenarnya. Masyarakat menengah yang mati-matian memenuhi tuntutan
modernisasi gaya hidup tanpa modernisasi pola pikir. Alhasil, dari sekolah luar
ibu kota yang dibilang berkualitas baik tersebut, para siswa yang di kelilingi
gadget itu tak pernah punya ruang untuk memilih masa depan dan terdampar di
arus yang seragam. Arus seragam ini boleh jadi akan menimbulkan dampak besar
bagi regenerasi negeri ini. Kedepannya bhinekka tunggal ika yang dipuja hanya
beribu-ribu burung garuda dengan mata kosong yang sama sama menjunjung perisai,
mencengkeram pita, terbang ke arah yang sama, tanpa mengetahui alasan yang ada
dibalik arah yang mereka pilih.
Tapi sudahlah, sistem sudah ada. Tulisan ini dan
orang seperti saya hanya ikan perairan hangat yang terseret arus dingin lalu
membeku. Satu akan terkubur oleh seribu sebagaimana susu setitik yang lenyap di
nila sebelanga. Revolusi akan dipenuhi pengorbanan, dan perubahan selain
revolusi hanya akan menelan waktu sangat-sangat lama. Yang ada sekarang adalah
masalah yang sebenarnya yang harus segera diselesaikan. Sampai level kita bisa
naik, kita bisa berada pada posisi sedikit lebih diatas agar cukup bisa
didengar.
Pada
bulan-bulan genting seperti ini, kalian para pejuang UN harusnya sudah sadar
mengenai apa yang akan kalian hadapi kedepannya. Saya bukan orang dalam
kemendiknas atau cenahyang yang bisa meramalkan segalanya, apa yang saya
sampaikan sepenuhnya hanya berdasarkan pengalaman saya. UN saya mungkin lebih
berat dari anda sekalian. Sekolah saya, sebenarnya terbiasa untuk curang.
Kecurangan itu dilakukan beberapa tahun sebelum saya, oleh pendidik, para pahlawan
tanpa tanda jasa kami yang sekali lagi harus mempertaruhkan keselamatan diri
demi membela kami yang dihakimi oleh sistem. Pemberitahuan di auditorium
mengenai ketidak bisaan dilakukannya lagi bentuk kecurangan seperti itu di
tahun saya dan permintaan maaf dari mereka terdengar seperti pengumuman bahwa
keesokan harinya pemilik dari ratusan kepala di auditorium itu akan dikirim
berperang tanpa kepastian untuk kembali dengan selamat. Akhirnya dengan
dibebani ketakutan dan mimpi buruk setiap malam, kami turun berperang. Melawan
kantuk, malas, dan kecenderungan memberontak yang lumrahnya dimiliki oleh
anak-anak seusia kami dan memilih untuk menurut sembari berharap jiwa yang
terkekang ini tidak akan terus menerus berada pada kondisi seperti ini untuk
waktu yang lama, bermimpi bahwa besok ketika matahari terbit kita sudah bebas
dari segalanya.
Di tahun-tahun sebelumnya, anak-anak dari
sekolah yang sama dengan kami bisa lulus dengan mudah, tanpa harus berusaha
lebih berat dari bangun lebih pagi untuk menjemput kunci jawaban yang dibagikan
cuma cuma, yang menghadiahkan secara cuma-cuma pula angka-angka indah di ijazah
mereka. Aku sempat berpikir, tidakkah mereka merasa bersalah atas kelulusan
mereka ketika mendengar tentang kami? Toh kami sama-sama diajar oleh orang-orang
yang sama, di kelas-kelas yang sama, dengan fasilitas dan rentan waktu yang
juga sama. Tapi siapa juga yang mau pusing-pusing memikirkan tentang Ujian
Nasional tahun berikutnya. Sudah lulus berarti sudah selesai urusan, apapun
yang orang katakan tentang kelulusan itu. Bahwasanya saya belum pernah
mendengar kasus pertanggung jawaban kelulusan dan kelulusan yang dicabut,
adalah bukti bahwa sistem yang berlaku adalah kerjakan, selesaikan, dan
lupakan. Sekali kata lulus dikantongi maka proses hanyalah omong kosong.
Beberapa anak yang kiranya mampu mengundang guru
privat, atau mengikuti bimbel mahal. Yang lain memilih menggantungkan nasib
sepenuhnya pada program-program minim sekolahan. Dari keseluruhan anak-anak di
gedung bimbel itu, ada yang datang satu dua kali, dikuasai oleh rasa malas,
ketergangguan, dan pemikiran pendek bahwa hari esok bukanlah urusan untuk
dipikir hari ini. Beberapa yang lainnya memilih untuk rajin, tak menyia-nyiakan
kesempatan yang diberikan orang tua dari penyisihan sebagian yang tidak kecil
dari hasil jerih payah mereka bekerja. Beberapa sisanya, rajin bukan karena
dorongan orang tua, tapi memang bernafsu mengejar nilai, mereka orang-orang
terbaik dalam sistem.
Diluar kelompok-kelompok tersebut ada kelompok
penggerutu dimana saya berada. Memilih untuk tak mengikuti arus tanpa
benar-benar terdiam. Belajar adalah hal yang bisa dilakukan siapa saja dan
dimana saja. Usaha tidak akan pernah sia-sia dan ilmu serta potensi diri adalah
apa yang mestinya diperjuangkan lebih daripada nilai. Kau boleh lulus dengan
angka yang hampir menggantung nyawamu di tiang keputus asaan, tapi kau punya
pemikiran kritis, kau sanggup melangkah melawan arus dan meluruskan kepincangan
ini, kau punya potensi lebih di lain sisi, tak masalah. Karena dunia ini tak
terkotak-kotakkan oleh sudut, tapi bundar oleh relativitas. Kau tak akan
membentur tembok yang mendakwamu benar-benar salah selama itu bukan pengadilan
Tuhan. Jadi lakukanlah apa yang menurutmu paling benar.
Soal masuk ke universitas, saya pun tak mampu
bicara banyak. Alhamdulillah, tahun lalu saya diterima melalui jalur yang luar
biasa mudah. Saya masuk di pintu pertama yang dibukakan untuk saya tanpa perlu
lagi berdesakkan di pintu lain. Tapi diluar passing grade, kekhawatiran,
kerumitan sistem, malapetaka human error, dan teror dari konseling, orang tua,
atau siapa saja yang kadang kala ketika berbenturan selalu mencoba untuk
mengalahkan keinginan kita, fase ini adalah fase paling ajaib yang pernah saya
alami sampai detik ke sekian hidup saya ini.
Cerita lama kalau saya adalah orang bodoh yang
terdampar di IPA. Lho, bukannya orang selain IPA seringkali dianggap tidak
lebih pintar dari mereka kan? Tak salah lagi, sudut pandang yang kolonial
seperti ini memang masih tak bisa dilepaskan dari pola pikir orang-orang kita
pada umumnya. Bahwa rambut panjang, kulit putih, dan tubuh tinggi semampai
adalah cantik, bahwa nilai bagus adalah pintar, dan bahwa-bahwa lainnya yang
memaparkan satu ‘bahwa’ yakni pendapat umum adalah kebenaran mulia dan yang
lain adalah salah, ialah kesempurnaan dan yang bukan hanya sampah, tak peduli
dengan sifat alamiah manusia yang diciptakan samasekali berbeda setiap
individunya.
Bagaimanapun juga pahitnya cerita lama itu, tapi
cerita itulah yang membuat saya menemukan diri saya yang sekarang. Bukan tidak
mungkin saya akan berada sangat jauh dari ini, tanpa mendekap keinginan kuat
ini jika dulunya saya tak lebih dahulu bersakit-sakit ria. Teman seperjuangan
saya, bermimpi segera bisa eksodus ke negara dengan sistem pendidikan lebih baik
dari pada terus menerus tersiksa disini, tapi saya tak sampai hati. Mungkin
saya tahu rasanya jadi Eren yang keinginannya untuk jadi Recon Corps ditentang
banyak orang. Sebenarnya, sebagai mana milik saya, keinginan itu berdasarkan
atas pemikiran yang amat sederhana. Begitu banyak prajurit yang mati oleh para
raksasa di luar dinding, jika orang hanya menganggap apa yang mereka lakukan
sia-sia, siapa lagi yang akan berada disana untu meregenerasi pasukan yang
cepat sekali mengalami penurunan jumlah? Panggilan hati ketika kita sedikit
menghaluskan perasaan dalam situasi semacam ini tak bisa dipungkiri. Kalau
kami, orang-orang seperti saya yang bertahan hanya diam, akan jatuh korban
lain. Akan banyak Saya-Saya lain yang harus merasakan hal yang sama. Jadi untuk
apa saya bertahan sejauh ini jika hanya untuk menyelamatkan diri sendiri?
Masuk lewat jalur Undangan atau SNMPTN adalah
strategi win-win. Mari lupakan soal kesombongan atas nilai raport kalian yang
angkanya berkilauan, dan dengarkan konsep yang saya tawarkan. Masuk lewat jalur
ini adalah cara yang paling mudah, murah, dan tak beresiko. Ibaratnya, dengan
ini, sistem ini sudah menawarkan keuntungan pada kita, sebelum keuntungan yang
sebenarnya yakni apabila kita memenangkan pertarungan strategi ini. Manusia memang
terlahir dengan nafsu dan hidup dengan ambisi, tapi menjadi tidak tinggi hati
adalah yang harus dilakukan sekarang. Sistem ini sudah menawarkan kemudahan
demikian banyak, masa iya kita masih hanya mau mengejar ambisi dengan melupakan
keterbatasan kita? Yang terpenting adalah memilih apa yang kita sukai, bukan
gengsi. Jadi jujurlah pada diri sendiri dan balaslah keramahan sistem ini.
Kalau itu memang jalur tes yang meminta usaha maksimal kalian, kesungguhan
kalian, bolehlah kalian meminta ambisi kalian pada mereka. Yang jelas dalam
setiap usaha, keterikatan dengan Tuhan juga tak bisa dianulir.
Selamat
menikmati. Fase ini akan jadi ajaib. Sulit untuk merasakan sensasi yang sama
jadi maksimalkanlah apapun yang kalian usahakan dalam fase ini.
Yuanita WP
Yuanita WP
No comments:
Post a Comment