Kadang saya memang hobi menggali pemikiran-pemikiran konyol saya semacam ini. Mungkin sangat nggak match dengan layout blog yang demikian aduhai ini haha, tapi ya, blog ini representasi identik dari diri saya. Amburadul, kebanyakan embel-embel, masih punya selera, suka estetika meski gak disiplin dengan kerapihan, melankolis, tapi kadang kritis juga, saya rasa sejauh ini saya masih berada pada batas-batas yang saya kenali.
Anda sekalian tahu? Tulisan yang nggak akan menambah satu poin pun nilai mata kuliah saya ini saya tulis ditengah kebuntuan dalam mencari ide akan tugas yang deadlinenya tepat besok, jam sebelas siang. Pikir saya, daripada saya buka internet dan googling dengan niat awal mencari ide dan ujung ujungnya malah lupa waktu di fb atau ffn, lebih baik saya semedi di blog ini. Siapa tahu, dengan meneliti pemikiran saya sendiri, tulisan-tulisan yang demikian abstraknya ini, saya bisa bangkit dari keterpurukan dan segera menemukan pencerahan akan ide yang tak kunjung datang itu. Semacam membongkar lemari lama dengan harapan menemukan harta karun.
Jadi sesuai judulnya, saya berpikir jikalau Equality of Life itu nyata. Kehidupan yang berlangsung ini memiliki konsep dasar berupa kesetaraan. Oke, siapa lo wan berani ngomong gini? S3 Filsafat? Yaelah bro, nyante, ini lapak gue kok. Saya memang tak berpegang pada apa yang dinamakan dengan metode, tapi inilah yang ditafsirkan otak saya oleh gejala-gejala yang saya tangkap selama ini. Memang benar bahwa metode lah yang membedakan seorang cenahyang dan sejarawan, tapi bagaimana dengan Da Vinci yang tak pernah berguru dan menemukan ilmunya sendiri dari alam? Oh, lancang sekali saya menganalogikan pemikiran saya dengan seorang ber-IQ diatas 200, tapi bisakah dengan segala kerendahan hati, saya meminta anda sekalian mempertimbangkan analisis konyol ini?
Kerangkanya bermula pada steatment umum yang menyatakan bahwa hidup adalah pilihan. Saya nggak tahu siapa yang pertama kali mengutarakan kalimat mainstream ini, tapi yang jelas, hampir semua orang pernah mendengarnya. Tiap detik, menit, jam, kesempatan, kita memang selalu dihadapkan pada pilihan, kadang rumit, kadang pula sulit. Saya jarang sekali mengganti keputusan saya, tapi selalu sulit ketika memutuskan sesuatu. Seperti ketika memilih pakaian di toko, saya bisa mendatangi gantungan yang sama berkali-kali, berputar lagi, dan mengulang pola itu untuk beberapa jam, padahal apa yang saya punya kemudian hanya satu dari sekian banyak yang saya putari tadi, sebanyak apapun saya memuji dan mendewakan pakaian-pakaian disana, selama apapun saya bingung soal mereka. Saya kemudian ingat kata-kata Bapak saya, "Halah, nanti kalo dirumah, gak ada temennya juga ini bagus. Disini keliatannya biasa aja karena banyak temennya." Apa yang sebetulnya tersirat dalam konsep yang kemudian tertanam pada saya ini adalah perasaan 'nrimo' yang muncul sebagai stimulus dari keterbatasan. Perasaan nrimo ini cukup melegakan, dan membuka kesadaran untuk bersyukur bahwa pilihan saya tidak buruk, saya setelahnya bisa berbahagianya karenanya, kalau saya mengambil yang tadi atau yang satunya lagi, tak menutup kemungkinan hal yang kemudian terjadi tidaklah sebaik ini, jadi apa yang terbaik bagi saya adalah apa yang saya miliki, detik ini.
Kesannya mungkin terlalu St. Agustinus, amor fati begitu. Tapi sebetulnya ini lebih Ibnu Khaldun kok. Konsep nrimo ini bukan semata mata menerima takdir, tapi lebih mensyukuri setelah memilih, dan merepress apa yang dinamakan penyesalan. Manusia memiliki kuasa untuk berusaha dan berjuang demi nasibnya, Tuhan bukanlah musabab tunggal, apa yang kemudian terjadi adalah karena ikhtiar manusia juga. Pengertian dangkal saya dari teori ini kemudian adalah equality of life itu tadi. Yang kemudian terjadi adalah keseimbangan antara usaha manusia dan restu Tuhan.
Mudahnya, apabila hidup ini diibaratkan sebagai labirin, ketika kita dihadapkan pada tiga percabangan baru yang gelap, adalah murni pilihan kita untuk menentukan satu diantara yang lainnya. Setiap dari percabangan itu memiliki suka dukanya sendiri, dengan porsi yang persis sama. Persoalannya kemudian hanya soal selera dan pandangan yang murni subjektif mengenai kisah yang terjadi dalam labirin itu setelah orang-orang yang berbeda melewatinya.
Selain itu, kecenderungan untuk bimbang erat kaitannya dengan kepribadian yang konservatif. Orang yang konservatif, tertutup atau setidaknya tak selalu berprasangka baik terhadap perubahan akan mudah terjebak pada zona aman akibat perasaan nrimo tadi dan otomatis sulit untuk menentukan pilihan yang akan membawa kebaruan pada dirinya. Dan konyolnya, saya termasuk orang-orang ini.
Tapi teori equality of life ini ada untuk meredam dosis prasangka buruknya orang-orang konservatif. Bahwa hidup ini murni pilihan. Berhentilah menjadi demikian kaku karena apa yang benar adalah yang dianggap baik oleh mayoritas orang, dan apa yang buruk adalah apa yang dianggap baik oleh minoritas orang. Janganlah berprasangka buruk pada kehidupan karena ia masih memiliki batas yang jelas.
Mungkin ini terdengar berbahaya, tapi Mencuri sekalipun punya sisi baik, yakni untuk pelakunya, dan sisi buruk untuk yang kecurian. Orang beradap tak suka merugi dan merasa memiliki cara untuk menengahi kriminalitas ini yakni dengan berusaha sedikit lebih berat tanpa terlalu beresiko untuk tidak memiliki apapun dengan bantuan instrumen yang dinamakan hukum dan instansi berisi aparatur untuk menegakkan pilar-pilar tersebut. Jalan tengah yang diambil itu jugalah keseimbangan hidup. Mereka rela untuk tak menjadi demikian dimudahkan demi takt terlalu mudah dirugikan pula. Iya kan?
Marx saya rasa, punya konsep besar untuk menerapkan keseimbangan ini bukan lagi hanya dalam kapasitas individu, tapi juga negara, sebuah instansi yang menaungi banyak sekali manusia. Konsep ini sudah teruji oleh zaman dan terbukti tak bisa bertahan. Menurut saya, karena manusia sendiri sudah memiliki kredibilitas atas keseimbangan ini dan jikalau mereka sadar, kehidupan yang seimbang akan tercipta tanpa harus dengan konsep rumit yang mengatur banyak orang. Yang masih belum saya temukan jawabannya ialah bagaimana cara membuka kesadaran tersebut. Yaah, lagipula, jika sudah ditemukan, ini adalah kunci dari segala kunci. Dan jika sudah begitu, permasalahan terbesar dalam hidup ini akan terselesaikan. Tapi, apabila dikaji dengan teori keseimbangan hidup, akan ada permasalahan lagi, yang lebih besar, yang akan muncul untuk diselesaikan, entah itu apa. Jadi biarlah seperti ini, karena apa yang kita dapati sekarang adalah apa yang terbaik untuk kita.
Oh, kepala saya sakit. Apa yang sebenarnya saya tulis ini?
Salam Amon!
11/12/13
Yuanita WP
Yuanita WP
No comments:
Post a Comment