Aku tak suka hujan, berapa kalipun ia berusaha
merubah persepsi kolot ini. Beberapa hari yang lalu kosku banjir. Tangga di
sebelah kamar berubah jadi Niagara yang siap mengalirkan berliter-liter air ke
kamarku yang hanya nyaman dalam kondisi kering. Alhasil, baju-baju kotor di
ember menjadi amunisi pertama yang kukerahkan untuk pertahanan, aku memerasi
mereka silih berganti dan mendapatkan hasil perasanku seember penuh.Tak
sekalipun padahal, dalam sejarah hidupku aku pernah menghadapi banjir semacam ini,
dan kukira juga tak akan pernah, karena kosku letaknya di lantai dua. Tapi
seperti itulah, tetapan fisika selalu jadi omong kosong bila dihadapkan dengan
takdir.
Hari itu hujan menjadi momok yang mendekap erat
Jogja dan sekitarnya sehari semalam. Berangkat kuliah pun masih dalam keadaan
hujan. Aku mendapati sosok rajinnya tak tiba. Seorang teman bilang ia sudah
berperjalanan ke rumahnya berkenaan dengan libur seminggu penuh yang segera
tiba. Hal itu melgakanku, entah kenapa, karena sebelumnya aku mendengar ia
mengajak bersamanya teman baikku yang menurut kabar menjadi salah satu yang ada
dalam jangkauannya.
Hari senin, ketika aku memutuskan untuk
berkunjung ke rumah Mbahku di South Mountain selama beberapa hari setelah
selesai kuliah tambahan pagi ini, ajaibnya aku melihatmu, utuh dengan beberapa
hal aneh yang menyertai. Sehari tanpa tanda tanganmu di album presensi kemarin
kelas begitu sunyi, atmosfernya tak seriang biasanya. Tak ada burung beo—ini
sebutan dari seorang teman, bukan aku— yang meramaikan kelas seperti
sebelum-sebelumnya. Ada semacam kehangatan ditengah dingin yang mendera. Aku
tak melihat koloni mahluk lain jadi aku menghampiri kalian. Bergurau dan
bercakap seperti biasanya, naik ke atas begitu ada koloni lain, menunggu Sang
Profesor datang lalu masuk ke kelas. Aku mengambil tempat duduk di depan, di
sampingmu tanpa kusengaja karena Profesor sudah ada di depan dan aku agak kikuk
berjalan membelakanginya untuk memilih tempat duduk depan di sudut sana. Tapi
rasanya berbeda sungguh, berdiskusi kecil denganmu di sela-sela penjelasan
beliau yang memaparkan amat banyak hal mencengangkan yang selama ini
tersembunyi rapat-rapat bagi semuanya kami.
Namun kesenangan sesaat dan liquid hangat itu
jauh dari kata hakiki. Sesaat mendekati akhir penjelasan beliau, kau benar
adanya akan berperjalanan dengannya. Aku berlari ke tempat lain, mengumpat
takdir yang demikian fluktuatif memainkan irama hidupku. Tak ada yang bisa
kusalahkan selain perasaanku sendiri, mungkin inilah kenapa orang banyak yang
bunuh diri. Membunuh orang lain akan memberinya masalah baru, meski dengan
bunuh diri pun bukan berarti masalahnya usai. Setidaknya mungkin ia berada di
alam yang sama sekali berbeda, jauh dari masalah-masalahnya, kesakitannya,
penderitaannya, orang-orang yang menyakitinya, tak peduli penderitaan yang akan
dia hadapi justru penderitaan abadi.
Tapi itu terlalu konyol, aku mau belajar disini,
master dan doktor di Eropa, membangun villa di pegunungan, membahagiakan dan
membuat orang tuaku bangga, jadi mengapa aku harus mati konyol hanya karena
seorang konyol di sana?
Aku menghampiri seorang teman yang akan
berperjalanan denganku, mengajaknya ke perpustakaan dan disana aku bertemu
kalian lagi. Aku rasa semuanya hampir serba salah. Kau menyebut namanya
berkali-kali, ia teman baikku. Apa yang sebenarnya kau atau siapapun maksudkan
dari semua ini. Aku ingin mengabaikanmu, mengabaikan kesesakkan ini tapi
teramat sulit ketika kau dengan ekspresi konyol yang biasa memulai sebuah
kontak komunikasi, tak ada yang bisa kulakukan lagi. Akhir kisah kalian pergi,
diiringi hujan yang masih menderai dan percakapan-percakapan manis. Aku
menunggu pesan dari teman yang membawa bukuku, menunggu kepastian yang membawa
aku bisa melupakan perasaan kuso ini.
Aku tak pernah memimpikan kisah sepicisan ini
akan menimpaku, turut mengambil beberapa plot di kisah hidupku. Ini terlalu
sinetron, kau tahu? Dan di sinetron hasilnya hanya ada dua, kau mendekatinya
karena sebuah sebab konvensional tanpa maksud apa-apa, selain daripada untuk
mengecek responku, memastikan perkiraanku kalau selama ini spekulasiku benar
kalau pengaruhmu memang sudah mencuci otakku, lalu happy ending. Sial, ini
terlalu tidak mungkin. Sinetron macam apa yang terakhir kutonton sampai otakku
sebegini terpengaruhnya. Atau jika tidak, ini semacam bukan sinetron, tapi film
layar lebar. Aku hanya pintu yang membawamu kembali bernostalgia, kau ingin
pindah, maju dan melaju jadi kau pilih untuk meninggalkanku di titik ini dan
mengejarnya, lalu tara~ SAD ENDING. Entahlah, aku tak tahu. Aku berdoa agar
Tuhan memberiku yang terbaik. Dikala semuanya sudah berbahagia dengan dunia
baru mereka, lebih-dari-teman-mendekati-pasangan-mereka, dan masuk ke dalam
fase mengenalkan pada orang tua, lalu orang tua saling menitipkan untuk saling
menjaga di perantauan, aku masih berjudi dadu.
Kau, ini sialan sekali, sungguh! Aku tak pernah
merasakan dentuman seperti dahulu di dadaku ketika melihat atau berada di
dekatmu, tapi kenapa hati ini sedemikian kacau ketika kau menjemput langkah ke
arah lain? Rasanya mungkin ada sesuatu yang salah dengan radarku, ia tak pernah
sekalipun menemukan yang tepat kuinginkan dan menginginkanku yang dalam
ringannya kusukai dan menyukaiku. Ayam-ayam yang kumakan pun aku sukai tanpa
pernah kutahu mereka menyukaiku atau tidak, begitupun dengan makanan favoritku
yang lain. Seorang sohibku di Little Netherland sana berandai dia mengenal si
konyol—yang entah kenapa— ia juluki biduan dangdut itu. Ia menyemangatiku untuk
kembali pada diriku yang optimis seperti sediakala. Meski pada kenyataannya aku
memilih pesimis, memilih untuk menyewa toko kecil supaya ketika aku merugi,
kerugian yang kuderita tak sampai membuatku harus menggadaikan nyawa di tali
gantungan, melupakan master dan doktor di Eropa, dan villa manisku di
pegunungan. Aku sayang hidupku, aku sayang semua orang yang menyayangiku dan
kehidupan ini seberapapun ia mengombang-ambingkanku sebegini tak pastinya.
“Kalo lu pacaran wan, pasti bikin heboh.”
Oh, manisnya, aku bahkan tak bisa
membayangkannya. Entahlah.
Mungkin karena aku tak bisa membagi konsentrasiku. Jika aku melakukan hal
seperti itu, kuliahku akan terganggu. Oleh karenanyalah Tuhan tak memberiku
kesempatan itu sampai aku bisa lebih baik dalam memecah konsentrasi. Tapi tak
ada yang tak mungkin, toh, pada akirnya aku bisa naik sepeda kan ?
Sekalipun
semua kisahku yang semacam ini akan mengalami akhir yang tak menyenangkan, aku
akan menulis sebuah roman akan mereka. Dan menikmati secangkir kopi di balkon
villa pegununganku dengan seekor kucing di pangkuan dan perpustakaan pribadi
dengan koleksi banyak. Sesekali aku akan berkunjung ke rumah orang tuaku di
akhir pekan, bernostalgia akan masa kecil dan cinta pertamaku yang telah
beranak-pinak di suatu tempat, dan makan masakan ibuku sepuasnya. Minggu
depannya, aku akan mengadakan penelitian di Belanda, menulis sejarah dan
roman-roman lebih banyak lagi. Persis Shrek yang memagari rawanya
tinggi-tinggi.
Aku cinta
kehidupanku, aku ingin hidup bahagia, aku berprasangka baik terhadapmu, jadi
tolong, ramahlah kepadaku~
Oh, betapa menulis
hal konyol seperti ini membuatku merasa lebih baik :3
24/12/13
No comments:
Post a Comment