Well, beberapa minggu yang lalu saya dapat tugas dari matkul favorit saya yakni Pengantar Ilmu Sejarah. Ketika itu, tugas kami adalah untuk mencari contoh suatu aspek sebagai kekuatan sejarah yang tercermin dalam sebuah peristiwa sejarah. Aspeknya macem-macem, ada umur, golongan, etnis, sex, ekonomi, budaya, dan masih banyak lagi. Kebetulan yang saya dapet waktu itu Budaya, padahal berhubung saya baru saja membaca "Perang Cina dan Runtuhnya Negara Jawa"-nya Remmelink, saya pengennya sih etnis. Soalnya, isu rasisme itu terdengar lebih sensitif.
Seorang teman saya yang mendapat tema sex kemudian langsung menemukan tugasnya beberapa detik saja setelah dia mendapatkan takdirnya. Dengan berapi-api, ia mempresentasikan penjelasan mengenai poligami King Henry VIII yang melatar belakangi terbentuknya gereja Anglican untuk pertama kalinya karena Gereja Katolik tak mengizinkan poligami. Sejak itu, King Henry benar-benar memutus hubungan dengan Gereja Katolik dan memimpin sendiri gereja di Inggris dengan nama Gereja Anglican. Bahkan sampai sekarang pun, ratu Elizabeth II jugalah masih pemimpin gereja Inggris.
Hal itu kemudian membuat saya makin buntu. Budaya itu luasnya luar biasa, dari bahasa, makanan, sampai korupsi itu semuanya budaya. Saya betul-betul nggak punya pegangan sampai saya membaca sedikit penjelasan di buku Pengantar Ilmu Sejarahnya Kuntowijoyo mengenai periodisasi historiografi Eropa yang lebih didasarkan pada kebudayaan dari pada politiknya. Setelah mengorek berkas lama di komputer saya menemukan Episode ini dan lantas semakin terinspirasi. Satu dua literatur pendukung kemudian menuntun saya untuk mulai bekerja dengan bahasan Zaman Kristen Awal yang saya kaitkan dengan Sang Perawan, alias La Pucelle, Jeanne de Arc.
Saya menggunakan sudut pandang film Joan of Arc yang mengisahkan bahwa Jeanne adalah seorang yang tumbuh di lingkungan religius menjadi seorang dengan religiusitas tinggi. Ia yang banyak dikatakan mendapat bisikan Tuhan lewat mimpi untuk menyelamatkan negerinya hingga kemudian bisa menang Orleans, menggulingkan pemerintahan sebelumnya yang bobrok dan mengangkat Raja baru bagi Prancis, lebih karena ketika ia masih kecil, desanya pernah diserbu pasukan Burgundy dan kakak yang amat disayanginya gugur dalam peristiwa itu karena melindunginya. Hal itu memicu tumbuh dendam amat besar dalam diri Jeanne. Selain itu, religiusitasnya kemudian juga dimaknai sebagai pemikiran over control terhadap dirinya sendiri hingga kemudian ia tak bisa membedakan mana yang ambisi pribadinya, mana yang keinginan Tuhan.
Dalam sejarah, mestinya memang tak ada Pahlawan atau Pemberontak yang sedianya hanya merupakan orang-orang yang dijadikan simbol dan berderajat sesuai dengan dari sudut mana ia dipandang. Yang ada hanya orang-orang besar yang menjadi ikon dalam sebuah peristiwa yang meletup, lengkap dengan hitam putih yang ia punya. Tanpa mahkota atau borgol, melainkan keseluruhan latar belakangnya, apa yang ia bawa, miliki dan persembahkan kemudian. Sehingga ditengah ketidak mampuan lepas dari subjektivitas pun, objektivitas masih merupakan hal yang diusahakan.
Lepas dari siapa itu Jeanne de Arc dan mengapa namanya demikian besar, ia telah lahir dan tumbuh pada zaman yang sulit. Zaman itulah yang kemudian menempanya menjadi seorang dengan pribadi sedemikian kuat. Pada akhirnya, seorang religius seperti Jeanne pun harus mati atas tuduhan sebagai pagan oleh Inggris yang sebenarnya justru pagan. Hal ini sangat mungkin mengingat pada zaman kristen awal, isu paganisme dan penyihir atau bahkan segala bentuk keuatan lain selain gereja ditentang keberadaannya. Kekuasaan gereja adalah mutlak, setidak masuk akal apapun itu, seotoriter apapun itu. Karena Jeanne sang Perawan pun, akhirnya harus mati dibakar atas tuduhan Bid'ah yang tak dilakukannya.
Di Hetalia sendiri, Jeanne adalah satu-satunya manusia yang benar-benar dicintai France saya rasa. Yang jadi masalah dari Pairing super Angst ini adalah immortalitas mereka yang berbeda. Kalau France bisa menyaksikan pembakaran Jeanne tanggal 30 Mei 1431 dan kembalinya seorang mirip Jeanne di harinya yang sekarang bernama Lisa dengan sepasang mata yang sama, Jeanne hanyalah manusia biasa yang umumnya hidup tak sampai satu abad lamanya. Terlebih lagi ia yang harus mati muda dalam ambisinya. Tak ada setitikpun celah yang mengizinkan mereka berdua untuk bersama. Sampai kapanpun.
Dan ini kata-kata France yang membuat episode ini semakin spesial buat saya.
No comments:
Post a Comment