Trending Topics
-
Naskah pidato kedua di SMA :D yang sebenarnya dimaksudkan untuk memenuhi tuntutan ujian praktik. Awalnya saya sempet frustasi, gak ada ide. ...
-
Sabtu, 29 September 2012. Saya punya PR, tugas remed, dan banyak betul tuntutan belajar untuk bombardir ulangan minggu depan, tapi ada yan...
-
Salut mon ami~ Lama ya saya nggak posting papperwork lagi, padahal kemaren kemaren, tiap ada tugas karya tulis begitu pasti langsung s...
-
A. PEMBUKAAN Assalamualaikum wr.wb Kami panjatkan puji dan puja syukur atas berkat dan rahmat dari Allah Yang Maha Bijaksana atas dipe...
-
Post kali ini saya dedikasikan untuk teman-teman kelas saya, XI.CI. IPA .1 yang tengah mencari referensi bahan UTS Seni Budaya, dan of cou...
-
Mau tau alasan kenapa saya post ini? Kalau untuk membagi informasi, itu salah besar. Saya post ini, karena tak berkesempatan meng...
-
Bonjour, mademoiselle, monsieur~ Selamat tiba kembali di blog ini dan selamat bertemu dengan saya lagi#oke ini bukan sesuatu yang pe...
-
Love, love, you just leave many questions in my mind without any answer… You know, when a doctrine comes to me, I don’t care it comes...
-
Hola amigoooss~#eea sok spanyolan sekarang maaf ya baru menepati janji. Habis, setelah minggu kemarin itu hidup saya kebanjiran peris...
-
Well, I am sorry for leaving this blog too long. And once more, a month without any post is really makes me feel regret but, I can do noth...
.
Sunday, March 04, 2012
Kasih Tak Sampai
-Ketika Seorang Saya Malas Memenuhi Tuntutan Ide-
Diluar, hujan. Ahh.. sial, lagi lagi hujan. Adakah kau ingin tahu mengapa aku tak suka hujan?
Karena..
Pertama, aku takut petir. I don't know from when it had been happening. Tapi, bagaimanapun yaa.. petir itu memang mengerikan. Coba bayangkan, Serabutan akar raksasa bermuatan listrik milyaran volt yang menyalak-nyalak sesuka hati diatas tanah yang kau pijaki. Dan dengan segala egonya, juga hak absolutnya, ia bisa menyudutkan siapa saja. Bisa menggosongkan raga mana saja hanya dalam hitungan detik. Meski adanya juga karena Tuhan yang menciptakannya, ia tetap terlihat mengerikan bagiku tanpa melihatnya dalam konteks apapun. Intinya, aku takut petir. Titik.
Yang kedua, entah hanya kebetulan atau apa tapi yang jelas hampir setiap memoar-memoar tak menyenangkan yang pernah kupunya selalu berlatarkan hujan, langit kelabu yang terlihat sendu, juga udara beku dan atmosfer sayu. Rumput yang basah, decak air yang membentur tanah, atau lantai becek di rumah-rumah, semua itu bagiku tak indah, meski dengan mengatakan ini aku harus dengan sengit beradu argumentasi melawan para penikmatnya. Para pecandunya, sambil tetap bertahan pada idealisme-atau egoisme-ku sendiri.
Dan yang ketiga,
Hujan, kapanpun itu, selalu membawa sendu yang telah kukubur dalam itu kembali..
Menularkan kelabunya ke hatiku, membuatnya beku dengan dinginnya. Cukup kataku, aku tak ingin segalanya menjadi lebih menyedihkan dari ini.
Sore dimana hujan turun sekitar sepuluh tahun yang lalu, televisiku satu-satunya tersambar petir. Padahal saat itu, itulah nyawaku, hanya dari situ hasrat akan pleasure seorang anak rumahan sepertiku terpenuhi. Dan asmaku kambuh saking stressnya.
Itu hanya salah satu, yang lain akan sangat banyak jika kutulis semua.
Bukan aku tak pernah mengalami peristiwa menyenangkan juga saat hujan, Aku pernah kok.
Sekitar jam sembilan pagi, hujan deras di awal tahun 2002. Aku bermain detektif-detektifan bersama temanku di TK. Dengan misi berupa menyelamatkan salah seorang kawan yang ditawan lawan. Cukup menyenangkan, atau harus kukatakan sangat menyenangkan malah, sangat asing dan segar bagi seorang anak yang tak pernah mengecap asam garam bermain di luar rumah sepertiku. Hingga kusadari semua bajuku basah, dan ibuku mengomeliku terang terangan di depan kelas, dan tak ayal, semua matapun tertuju padaku. Seharusnya aku diam saja.
Dan bagiku, untuk hujan yang kali ini pun kesannya kurang lebih sama.
Samasekali tak menyenangkan.
Lewat tingkap gaya middle east yang tersemat di dinding kamarku, aku lihat jutaan tetesan air yang sedang menghujam bumi itu. Sedang berusaha menghasut bumi yang rendah hati untuk mau menunjukan seberapa kuat eksistensinya. Langit diatasnya kelabu pekat, mengingatkanku pada monoksida-monoksida sial hasil oksidasi kendaraan bermotor yang menyesakkan nafasku. Yang jelas, sama sekali tak ada yang dapat membuatku tersenyum saat ini.
Kecuali beberapa momen yang tersemat diantara deraian hujan kala itu..
Sesimpulan senyum tersungging di wajahku. Hal indah itu, yaa.. Sebelum hari cerahku mengelabu, aku selalu melihat keatas, melihat langit biru dengan gumpalan awan kumulus yang berarak pelan, dengan angin kering sejuk yang berhembus kencang dan sinar matahari yang hangat, dimana kau tak pernah pergi dari sana. Dari sudut yang selalu dapat kupandang dengan sempurna.
Pernah di suatu sore, aku melihat senyumanmu di tengah hujan. Hujan benar indah kala itu. Semua hal yang terbasahi air hujan terlihat sparkle, what a beautiful and match setting with your smile.. Hingga aku telah melupa akan kesanku terhadap hujan sebelumnya. Senyuman itu, yang pernah kulihat juga ditengah hujan dua belas tahun lalu, senyuman yang membuatku merindu akan kepakan sayap kupu kupu yang dulu pernah kulihat bersamamu.
Senyuman yang mengubah persepsiku dalam memandang hujan
Senyuman yang membuatku melihat dunia dari sudut pandang yang lebih indah
Senyuman yang membuatku selalu bisa tersenyum meski hujan enggan mereda
Juga senyuman yang kala saatnya tiba berubah,
meski semakin indah, itu terlalu menyakitkan untuk kupandangi lagi..
Sejak zaman Arkhaikum hingga sekarang, sejak zaman batu tua sampai zaman plastik ini, hujan itu turunnya selalu dari atas ke bawah. Hujan itu selalu membawa material berupa air, atau wujud lain air seperti uap air dan sajlu-hujan katak dan hujan ikan lain cerita-. Hujan selalu didahului dengan langit mendung pekat yang meraja. Hujan selalu diiringi dengan gemuruh petir. Hujan juga selalu temani angin dingin yang kencang dan mengoyak, bahkan disudahi dengan banjir atau longsor. Musim hujan selalu diramaikan dengan berita bencana alam, wabah demam berdarah, malaria, cikungunya, pes, juga penyakit yang asalnya dari kotoran tikus yang satu lagi, tapi aku lupa namanya. Intinya dalam persepsiku, hujan itu hampir selalu terlihat tak baik.
Namun tak kupungkiri, adakalanya persepsiku itu pernah berubah. Dan kuucapkan terimakasih banyak padamu soal itu meski hanya untuk sementara. Bagaimanapun, keterlibatan dirimu dalam kisah kompleksku ini telah membuatku pernah merasakan dunia yang lebih indah, lebih manis. Hei kau, kuberitahu.. mari kita pikirkan sekuncup bunga. Terbasahi embun di pagi hari, tersiram sinar lembayung di senja hari. Suatu ketika, kuncup bunga itu akan merekah, hingga sampai pada titik puncak terindahnya. Segala gejolak tertumpah disitu, perasaan yang sedang memuncak memang selalu mengundang adrenalin untuk bermain, dan hebatnya kali ini yang diajak main oleh si adrenalin adalah hati, bukan jantungmu.
Bunga itu merekah karena asanya masih menyala, sayangnya ia tak akan bisa menjadi indah selamanya. Jikalau asa itu masih hidup, ia bisa membuat si bunga mampu untuk memperbaharui dirinya, mengutus kuncup selanjutnya untuk menggenggam pijar harapan itu. Namun, kala sang mentari berpaling darinya, atau kala si bunga menyadari, selama ini cahaya melimpah dari sang raja siang itu bukan hanya untuknya, tapi semuanya. Harapannya terlalu tinggi, ia nampaknya sudah melupa, sinar itu terlalu menghipnotisnya. Lalu mendung pun datang, menyadarkannya akan sesuatu yang ia anggap indah itu sesungguhnya memang bukan hal indah yang khusus tertuju untuknya. Ditengah rinai hujan yang menyerbu ingin menghancurkan segera sisa gemontang raganya, ia berucap; Seberapapun tak beruntungnya ia kali ini, ia tetap telah mendapatkan apa yang tak orang lain dapatkan, merasakan hal yang sempat ia anggap paling indah dalam hidupnya, pasti ada kebahagiaan yang lebih sempurna, tapi apa yang ia rasakanlah yang paling sempurna yang ia miliki. Melihat kesempurnaan pada orang lain bukan hanya akan membuatnya mendengki? Hanya tinggal menghitung mundur beberapa detik lagi, hingga tubuhnya lebur tak bersisa. Kisahnya memang tak sempurna, namun kuingatkan,
semua yang ada dalam dimensi waktu antara salah satu detak jarum jam dengan detakan lain di belakangnya itu berharga, dan sesuatu yang berharga hanya akan kausadari harganya ketika telah tiada.
Hukum Gosen I tak hanya patut diberlakukan dalam ekonomi sepertinya, toh dalam aplikasinya, itu cukup universal. Seperti dalam hal ini. Kau, bunga tadi hanya sebuah perumpamaan. Karena kurang lebih begitulah perasaanku. 'Sesuatu yang digunakan secara terus menerus akan terus meningkat nilai kepuasan terhadap penggunaannya, hingga sampai pada suatu titik teratas. lalu, selepasnya akan terus menurun hingga mencapai titik terbawah.' Hanya saja, soal cinta, bisa saja perasaan itu tak langsung turun nilainya, tentu apabila selalu diperbaharui. Pembaharuan dan kesetiaan kiranya modal utama untuk itu. Namun kau hanya mampu berharap ketika kau hanya punya salah satu dari mereka.
Hujan, oh hujan..
kasihku tak sampai menembus pekatmu
Apabila kali ini memang begini adanya, aku memang kehilangan lagi kesadaran akan keindahanmu, bukan berarti aku akan membencimu selamanya. Aku juga tak ingin punya benci dalam hidupku yang singkat ini. Jikalau katakan aku hanya punya satu kemarau dan dua musim hujan lagi untuk berpijak di dunia ini, aku tak mungkin rela melepas kebencian terhadapmu membuatku menyia-nyiakan sisa dua musim hujanku begitu saja. Aku juga ingin melihatnya dalam persepsi yang menyenangkan lagi. Dan aku harap suatu hari akan ada lagi seorang yang dapat mengubah persepsiku tentang hujan, untuk selamanya.
Entah itu kau atau siapa...
Yuanita WP
-2012-
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
No comments:
Post a Comment