Agak kurang membahagiakan buat saya, musim hujan kembali membawa Jogja dalam dekapannya. Miris sekali, tahun ini kemarau hanya mampir 3 bulanan saja dari keseluruhan 6 bulan jatahnya. Saya harus mulai merindukannya lagi sekarang.
Dua atau hampir tiga bulan yang lalu, saya untuk pertamakalinya diantar ke kost saya di daerah Sagan. Waktu itu saya berdua dengan ayah saya yang hendak berkunjung ke rumah mbah saya sambil mengantar saya test toefl dan TPA. Cuacanya mendung. Bagi sebagian orang mungkin cantik dan romantis, tapi buat saya nggak. Hujan itu gloomy.
Berangkat dari Wonosari setelah sehari menghabiskan waktu untuk beristirahat disana setelah menempuh semalaman penuh perjalanan dari Bekasi, kami sampai di Jogja hampir sore hari. Di dalam bis hujan deras, beruntung segera reda mendekati kami turun. Bisnya berhenti di depan sebuah rumah sakit katolik ketika gerimis masih menderai malu-malu. Saya turun dari bis, entah dengan kaki kiri atau kanan, dan pertama kalinya memijak sebuah tanah yang samasekali tak saya kenal tapi harus saya tinggali dalam waktu cukup lama sekitar sebulan setelahnya.
Lampu-lampu mulai dinyalakan karena mendung membuat malam menyergap agak lebih terburu-buru. Gerimis masih menderai, menghujam genangan-genangan air di jalanan. Sepatu yang saya kenakan basah, udaranya lembab, orang-orang dan tempat disini semuanya asing. Tak ada yang menyenangkan samasekali selain pengumuman baru-baru ini kalau saya diterima di sebuah universitas keren yang memang saya impikan. UGM.
Sekarang, dua hampir tiga bulan setelah hari mendung itu, hujan kembali tiba. Membawa serta kelam, remang, dingin dan muram atmosfernya kembali. Saya sudah cukup beradaptasi. Saya tak keberatan dengan udara panas di pertengahan bulan ini yang banyak dikeluhkan orang-orang, saya justru lebih menyukainya daripada hujan.
Kamar kos saya terletak di pojok atas belakang, sehingga melongok langit pun buat saya masih perlu perjuangan. Ketika pada akhirnya saya memutuskan untuk berangkat kuliah tadi ternyata gerimis sudah mendahului. Tapi apa boleh dikata, saya dengan pikiran pendek yang biasanya akhirnya memilih untuk menerjang gerimis, mencoba untuk terbuka dan lebih bersikap ramah padanya.
Di jalan, saya cukup memperhatikan sekitar. Baru gerimis, tapi orang yang lalu lalang dengan kendaraan mereka sudah bermantel, nyaris seluruh becak baik yang sedang menanti pelanggan maupun yang berjalan sudah menutup kerainya, dan suster-suster panti rapih jalan tergesa-gesa dengan payung mereka. Satu interpretasi kemudian muncul di benak saya; orang Jogja sedemikian takut hujan rupanya.
Ketika akhirnya hujan menderas, saya baru menyerah. Tapi level saya tentu masih jauh diatas orang Jogja. Saya berteduh di bawah gapura depan UGM. Selama sekitar 15 menit, sampai hujan tak benar-benar reda tapi cukup berkurang intensitasnya. Gerimisnya lebih parah dari yang awal saya berangkat tadi, tapi saya tetap konyol dan melanjutkan perjalanan kaki saya. Hingga hujannya menderas lagi, tapi tak ada tempat berteduh yang cukup nyaman bagi saya. Dalam hal ini saya cukup konservatif untuk menolak tawaran orang-orang untuk berteduh. "Sedikit lagi," pikir saya.
Saya memasuki FIB dari parkir selatan, berusaha meraih atap yang terdekat karena saya mulai merasa kalau pakaian saya basah cukup parah. Dengan insting yang membimbing saya, akhirnya saya mendapati diri saya sudah di lantai 2 gedung Margono. Dengan pakaian setengah basah, saya masuk ke ruang multimedia, tempat kelas akan berlangsung sekitar satu jam setelahnya.
Kronologis, gamblang, dan demikian deskriptif, tapi saya rasa saya tak perlu melanjutkannya dengan gaya yang sama untuk saat-saat setelahnya.
Beginilah rutinitas saya di kota yang masih asing ini. Meski ia sudah membuka dirinya pada saya, masih belum seratus persen saya menyerahkan kepercayaan saya. Karena jika seratus persen, saya tak pernah merasa nyaman di Cikarang lagi. Itulah kiranya, analogi yang membawa saya menemukan kemungkinan bahwasanya manusia memang hanya bisa terbiasa pada satu atmosfer saja. Itulah mengapa untuk mengimbangi kerumpangan itu, Tuhan memberi kemampuan sangat tinggi bagi manusia untuk beradaptasi.
Perihal kota industri nun di jauh sana itu, saya agak bingung. 17 tahun saya lahir dan tumbuh, juga menyendiri disana kecuali dengan cinta pertama yang mulai membuat saya menyadari perbedaan ekstrim antara imajinasi dan kenyataan. 17 tahun bayangkan! Sampai-sampai saya berhijrah kemari tanpa bekal yang cukup baik mengenai hal semacam itu. Saya bahkan pernah mendekati apatis terhadap kisah semacam itu dalam hidup saya, dan berpura-pura tegar kalau tanpa mereka pun hidup saya masih memiliki probabilitas besar untuk bahagia.
Tapi disini, segalanya entah kenapa berbeda sekali. Atmosfer kota yang seratus delapan puluh derajat berbeda mungkin yang membuat kisah hidup saya juga berjalan sangat berbeda. Ketika di Cikarang semuanya seolah impossible, tapi disini imajinasi-imajinasi gila itu mendekat ke permukaan bumi. Menyentuh dan hampir melewati tapal batas antara kenyataan dan yang bukan.
Dari seorang yang selama ini berada dalam penantian saya yang di kota ini seolah memberi saya harapan baru. Lalu ada orang baru yang agresif, terlalu saya pikir, dan saya sudah cukup menghindarinya. Sampai satu tokoh baru lagi yang brought me an everlasting hapiness. Dalam tiga bulanan saja, tiga orang itu serta merta muncul dan membuat saya terkaget-kaget. Saya belum pernah menghadapi kasus serupa disana, dan ini semua membuat saya kerap kali harus bingung.
Semalam, saya berdiskusi mendalam dengan seorang psikolog (calon sih, tapi amin) haha. Dia yang tak lain adalah kolega saya dalam suka duka yang sudah saya gondeli selama 5 tahunan ini, memberi saya masukan-masukan berharga. Ia bahkan sempat memuji kebingungan mendalam saya ini sebagai sebuah langkah anggun. Ah, entahlah. Mungkin definisinya bagi seorang psikolog dan sejarawan berbeda.
Saya amat terbuka pada 'ibu kedua' saya ini, dan semalam saya menceritakan semuanya. Tentang orang kedua dan tokoh baru. Ada liquid hangat yang mengalir di dada saya ketika saya menerima pesannya yang menyarankan untuk tetap menepi di pinggiran dermaga, bersama dengan seorang pembuat kapal yang menerbangkan pesawat kertas di sela-sela kerja beratnya, dan melihat bagaimana pesawat-pesawat kertas itu meluncur berani tanpa pengamanan dan amunisi. Seorang eksentrik yang luar biasa menyenangkan, yang membuat saya mengerti makna kebebasan, seperti pesawat-pesawat kertas yang diterbangkannya, yang sepenuhnya menyerahkan diri pada angin, melupakan bahaya, melepas segala sakit dan ketakutan demi kebahagiaan dan sensasi yang tiada berakhirnya.
Bulan terlalu samar, pelaut itu hanya seorang bajak laut egois, tapi ketika saya merambah tepian, si pembuat kapal itu mengenalkan saya pada perasaan senang. Tak seindah bahagia memang, tapi dengan senang, segala pedih bisa terlupakan. Bahagia yang amat tinggi maknanya kadangkala hanya bisa terkatakan tanpa tersentuh, tapi senang sangat sederhana. Anak-anak tak merasa bahagia, tapi mereka senang. Kami berbincang di tepi dermaga seperti mereka, melupakan kepedihan, menyerahkan diri pada angin dan memilih untuk senang ketika tawa kami lepas bersama pesawat kertas yang makin tinggi mengudara.
Aku harap, hujan tak menghancurkannya. Aku harap, ia bisa terus bersua dengan angin yang dicintainya. Aku harap, pesawat itu akan berbahagia di atas sana, meski tanpa harus melupa suka duka yang pernah ia kecap di bumi sebelumnya.
Semoga.
No comments:
Post a Comment