Lama sekali blog ini luput dari pembaharuan.
Rasanya saya terlalu disibukkan oleh hal-hal yang entah apa wujudnya, tapi
tiba-tiba setelah berlalu, ternyata menyita begitu banyak waktu saya. Soal apa
yang terjadi akhir-akhir ini, sebenarnya banyak sekali. Bahkan sampai saya tak
menyanggupi untuk menceritakannya satu persatu. Yang jelas, apapun itu, dari
kegagalan perpindahan, suatu kemajuan atau kemunduran gagal yang terlampau
semu, perjuangan mid semester, ketagihan personality quiz online, ditengokin
emak, sebuah gagasan tentang kepedulian terhadap bangsa, hingga rejeki nomplok
di akhir bulan, semuanya akan saya bahas disini. Tidak secara menyeluruh, tapi
terangkum oleh sebuah sudut pandang yang paling mutakhir, padu, dan enak dinikmati,
sudut pandang hati yang sarat emosi, dan feminim banget pastinya wkwk#dor
Ya emang gitu. Meskipun saya kerap
ngaku-ngaku boyish, sebodoan, urakan, gembelan, bodotuing, dan kawan kawan,
jika ditelusuri ke dalam dalam, maksud saya kali ini dalam hal gagasan dan cara
pandang, cewe sama cowo itu memang bueda buenge. *ALAY DIH* Ya kalopun cewe itu
cengeng, gampang ngambek, itu wajar coy. Karena memang cara pandangnya tuh
semuanya dari otak turun ke hati. Gak cuma dipikir, tapi juga dirasa. Kadang
ada baiknya, misalnya, ketika mengimajinasikan sesuatu, pasti bakalan lebih
representatif karena unsur tak kasat mata plus abstrak macam perasaan, kondisi
sosiologis dan psikologis bakal turut berpadu didalamnya. Kalo ngarang jelas
jago, dan kalo nulis hal hal yang berbau ilmiah, empiris, dan analitis itu
pasti hasilnya enak dibaca, ceritanya runut dan mengalir, fakta-faktanya
kebanyakan terangkai dengan baik dalam proporsi yang sedap dipandang mata, tapi
ya kadang justru interpretasi dan intervensi penulis lebih bermain dominan.
Ini, ini susahnya jadi cewe, apalagi kalo memang demikian profesinya.
Kalo kerjaan kami para remaja cuma
menggalaukan situasi asmara, gak bener, tapi gak sepenuhnya salah juga. Buat
saya pribadi, itu so yesterday, abege beud gitu masih galo galoan. Karena pada
halnya, di akhir-akhir 17 menuju 18 tahun ini, saya punya banyak urusan, gak cuma
nangisin nasib yang tak kunjung memihak hati. Mario Teguh sibuk membesarkan
hati para jomblo dengan steatment “Yang baik untuk yang baik” yang dilanjut
dengan memberi pengertian bahwa kalo anda jomblo, berarti jodoh anda itu lagi
sibuk memperbaiki diri demi bertemu orang baik seperti anda. Yaa terserah, tapi
itu kan pandangan hidupnya Mario Teguh, gak usah protes kalo kalian coba dan
gagal. Jikalau memang aplikatif buat hidup anda para pemirsa ya sukur, tapi
kalo gak ya, jadilah teguh tanpa mario. #dor
Jujur sekarang, kematirasaan saya yang sejak
yang pertama itu masih berlanjut. Getaran lain hanya berfrekuensi sangat kecil,
tak pernah berdampak demikian besar. Sekalinya saya berpikir saya telah maju
begitu jauh meninggalkan dia, saya hanya tak menoleh padanya untuk beberapa
saat, sibuk melihat sesuatu di depan yang begitu cepat redup hingga ketika ia
benar-benar redup, saya lihat ke belakang, ternyata belum selangkahpun saya
beranjak dari tempat yang saya pikir sudah saya tinggalkan. Entah ini maju atau
mundur. Entah ini sinyal yang bermakna bagi suatu hari di masa mendatang nanti
atau hanya utopia masa lalu yang menghampiri lagi. Sialnya, keberanian untuk
pergi jauh yang telah terpupuk lama itu hilang lagi, runtuh oleh getaran yang
sungguh sangat saya pertanyakan mengapa ia bisa kembali lagi. Dan saya betulan
tak mengerti bagaimana harus mendefinisikan atau menjawabnya dengan respon
macam apa.
Saya tahu tuan, kau tak berbuat apa apa.
Sepatah kata pun hanya sebuah yang benar-benar patah tanpa tersinambung panjang
tak berkesudahan. Saya masih yakin persepsi ini hanya soal diri saya sendiri,
tak ada kelibatannya dari pihak anda kecuali sebagai titik yang dipandang
sedemikian dalam tanpa pernah tersentuh dasarnya. Tuan kau punya kehidupanmu,
begitupun saya, dan tak sekian darinya cukup untuk disebut padu. Semuanya
berjalan, searah kedepan tapi dalam lajur yang persis berbeda. Bersebelahan
tapi berkejaran, sekali kita sempat berdampingan, salah satu kemudian berlari
mendahului ditarik oleh waktu dan dilemparkan kembali oleh kesempatan. Sekali
waktu saya merenung dalam kegelapan malam yang diterangi lampu neon kamar saya,
tapi tak demikian dalam. Semuanya hanya serta merta lewat, saya hanya merasa
terikat kembali dan biasa-biasa saja. Saya hanya bertanya-tanya, adakah ujung
dari tali yang mengikat saya lagi kali ini berakhir pada simpul yang
mengikatkan kita, atau ia hanya serpihan harapan konyol saya yang tertiup angin,
kembali pada saya, dan menjerat saya tanpa saya sadari, sementara kau disana
berlari jauh dan semakin jauh meninggalkan saya dengan tali-tali.
Persis saya
kira, cinta hanya soal nama. Esensinya dimengerti oleh setiap orang
tanpa bisa diterjemahkan sepenuhnya dalam lisan dan aksara manusia. Perasaan
itu abstrak, tersembunyi dan fleksibel untuk dikeluarkan dalam bentuk apapun,
apakah sama dengan yang dirasa, samasekali berbeda, diada-adakan, atau
ditiada-tiadakan. Hati wanita adalah lautan yang dalam, kata Rose Dewitt
Bukatter yang sudah sepuh itu, tapi hati yang bukan wanita pun sama gelapnya
bagi orang lain. Kita tak bisa bisa menjatuhkan nilai mutlak dan memvonis,
kecuali beropini dan berekspektasi. Berbicara dalam bahasa diri sendiri dan
berusaha mengartikan bahasa orang lain dengan bahasa yang hanya dimengerti diri
sendiri.
Kadang hati ini terasa tercekik, tertimpa
sesuatu yang berat, dipenuhi gelembung yang meletup-letup, atau diayun di
ketinggian yang tak masuk akal. Ia dibuat berdesir, mencelos, terhantam, dan
berbunga-bunga. Tak hanya soal roman murahan remaja pengangguran, tapi juga
soal tugas tugas, keluarga yang dari jauh sana senantiasa mengirim doa,
godaan-godaan sisi buruk manusia, dan manajemen ekonomi bulanan. Ketika ransum
dan kas negara menipis, sementara medan perang masih panjang, panik tentu
menerjang. Setiap hari, bagi hati dan otak kami adalah kerja keras. Antara
melawan antusiasme untuk menyenangkan diri sendiri dan bertahan dalam keadaan yang tak begitu
senang tapi selamat sampai akhir tujuan. Tugas yang bertubi-tubi membombardir
sejak genderang ujian tengah semester ditabuhkan, menuntut kerja keras tanpa
kata menyerah yang panjang. Nasionalisme terhadap komitmen dan konsistensi
dipertanyakan ketika ditengah jalan banyak halangan melintang, dari sesuatu
yang serius dan genting semisal waktu yang minim keterbatasan amunisi, dan
tugas yang terlalu kuat untuk ditaklukan, sampai godaan gadis-gadis pribumi
dengan jenewer dan opium di genggaman jemari mereka yang lentik—para jejaring sosial
dan kuis kuis internet yang menagih—.
Untunglah perang telah usai. Pertempuran
sarat darah, keringat dan air mata di mid semester telah diakhiri dengan
penyerahan makalah kepada pihak penuntut. Kami yang meraih kemenangan dengan
sukacita masih tak bisa sepenuhnya berbahagia. Penjajah masih mengusik
kedaulatan, dan kata merdeka dari segala sisi kehidupan. Tugas tak henti datang
dari pesawat-pesawat yang seliweran siang malam. Menjatuhkan bom-bom yang tak
mengizinkan kami tidur nyenyak dan malas malasan sepanjang hari. Selama toga
belum memayungi otak yang gersang akan ilmu ini, atau bahkan sampai toga yang
kedua kalinya di suatu tempat di seberang lautan sana, atau bahkan pula sampai
yang ketiga kalinya di belahan dunia lainnya, sampai karirmu cemerlang, sampai
karyamu dihargai orang, sampai ujung ujung seujung ujungnya yang mampu kau
telusuri, perjuangan masih harus diusahakan, dan dinikmati setiap detiknya
dengan suka cita dan kesyukuran.
Ditengah perjuangan tak kenal lelah, support
dari orang-orang terkasih adalah yang paling mendorong, memberi lebih dari
sekedar suntikan, tamparan, atau dorongan, melainkan sebuah gebrakan motivasi
yang meluap luap. Bulan ini nyokap, emak, alias ibu saya dan turut serta adek
saya berkunjung ke petakan kos nan awesome ini, dimana buku buku bertebaran,
baju digantung entah itu bersih, kotor atau setengah kotor, ransum berisi mie
instan tanpa adanya makanan lain yang lebih layak bahkan sekedar camil-camilan.
Sebuah kondisi maha keren yang mengundang keprihatinan sejuta umat manusia
beradab. Meski hanya sebentar, itsokay. Rindu terobati, semangat terisi lagi.
Pertamanya dipisah jarak memang tak menyenangkan sama sekali, tapi kini,
terbiasa sudah harus dipaksakan sekalipun sulit. Karena jika tidak, terpaksa
pun hanya akan membuat segala yang saya jalani disini tak bisa berjalan
selancar mestinya ia bisa. Toh no matter, kami tetap dipersatukan oleh sesuatu
yang tak kasat mata, dan itu lebih kuat dari sekedar satuan terkuat yang
bendawi.
Ekonomi bulanan saya di dua yang paling dekat
ini lumayan terkuras, pertama untuk buku-buku wajib dan yang kedua untuk buku
wajib juga dan instal laptop kesayangan, satu-satunya dan terutama saya. Suatu
ketika, nyokap mengingatkan saya untuk menyempatkan sholat dhuha kalaupun susah
bangun untuk tahajud. Bagus buat kelancaran rejeki, siapa tahu kalo
ngelamar-ngelamar beasiswa gampang dapet, rejeki bulanan meskipun banyak
pengeluaran gak sampe seret. Setelah dinasehati, sekali waktu pintu hati saya
tergedor. Saya memutuskan untuk menjalaninya barang dua rokaat. Dan
subhanalloh, bulan ini yang saya kira bakal seret ternyata malah surplus. Saya
dapet banyak diberi uang sama bude bude saya ketika silaturrahmi ke tempat Mbah
saya kemarin. Dan juga sangu bonus dari emak hehe. Alhamdulillah sekali. Ketika
saya mensyukurinya, saya ingat saya baru hanya ingin memulainya, dan Tuhan
telah sedemikian baik pada saya. Dan sekarang, seperti tak pantas saya mencari
alasan lagi untuk melanjutkannya, yaah
barang rutin beberapa kali seminggu.
Bulan depan hampir setahun saya pindah
domisili. Memperingati setahun pula sebulan penuh rasa cemas, kekhawatiran dan
teka teki. Menanti snmptn sebagai akhir atau awal dari perjuangan baru.
Sekarang teman teman saya yang merasakannya dan semoga sukses untuk mereka
semua. Segera menyusul dan menjadi apa yang mereka inginkan. Berkembang sesuai
dengan hati yang tersinkron dengan pikiran dan persetujuan yang dipertanggung
jawabkan sepenuh penuhnya. Setahun pula angka belakang usia saya akan berganti,
dan berarti sudah semakin tua lah saya. Saya hanya berharap kedewasaan dapat
mengiringinya serta, keseriusan akan saya kenal lebih baik, dan tanggung jawab
dapat lebih saya rangkul lebih erat.
Soal jadi move on apa nggak, sudahlah,
biarlah waktu yang bicara. Saya tak bermaksud menanti ketidak pastian, saya pun
tak menuntut kepastian. Hakmu bro kalau kau punya kehidupanmu sendiri, demikian
pun saya. Kita jarang ketemu dan saya gak begitu tersiksa kok. Itsokay, mari
berjalan di jalur kita masing masing. Yang ada di depan itu cuma bisa ditebak
dengan probabilitas yang tak kita ketahui sama sekali. Entah saya memang sial
soal seperti ini karena dengan bodohnya masih terpaku untuk sekian lama, atau
ini memang bermakna sesuatu, saya hidup hari ini untuk hari ini.
Tadi saya mengutip kata-katanya para tokoh
yang di undang di Mata Najwa yang kebetulan terselenggara di GSP dan saya bisa
nonton langsung. Mereka menyepakati konsep usaha akan berarti sesuatu di masa
mendatang. Sekecil apapun itu, kalau kita berjuang lebih, kita akan mendapatkan
lebih. Saya tak tahu game ini terdiri dari berapa level, tapi di level ini,
monster yang harus saya kalahkan hanyalah rasa malas. Saya beruntung, termasuk
sangat beruntung, oleh karenanya saya tak ingin menyia-nyiakannya dibanding
mereka yang tak berada di posisi yang senyaman saya. Semoga ini benar-benar
menjadi langkah maju, amin.
No comments:
Post a Comment