Khusus dipersembahkan untuk Dirgahayu Republik Indonesia yang ke 68
Restorasi situs bersejarah bukan hanya soal mencari tambang
devisa baru, tapi juga bagaimana ia akan mengisahkan kembali kenangannya pada
generasi anyar bangsanya, mengenalkan pada mereka jati diri mereka yang
sesungguhnya. Baginya pribadi, restorasi juga berarti menjajaki kembali masa
lalu secara nyata. Ia akan membuat rencana yang membuatnya mengingat lagi
kenangannya —entah yang pahit maupun yang manis— bersama orang-orang yang
pernah hadir mengisi ruang kosong di sudut hatinya. Tempat ia meluangkan
sedikit keegoisan untuk dirinya sendiri, tempat ia mengungsi ketika ia menolak
kenyataan bahwa diantara jutaan manusia lainnya, dirinyalah personifikasi
negara yang ditinggalinya.
Meckino Sara Proudly Present
RESTORASI
Sebenarnya hidupnya sedang tenang-tenang saja, bak selokan
padat tanpa arus di sekitar tempat tinggalnya. Hanya diam, semakin penuh,
semakin bau, dan semakin menghitam setiap harinya. Tapi itu semua berubah
ketika sekelompok orang datang, mengangkat sampah-sampah yang menyumbat otaknya
dan membuat mereka bekerja kembali, membawa kasus genting yang pernah terproses
disana datang lagi dan menyapa, memberinya kerja berat setelah sekian lama tak
memungsi pada mestinya. Kejadian itu terjadi pada gadis malang ini seminggu
yang lalu, bermula ketika Pak Pos mengetuk pintunya di pagi hari saat gadis ini
sedang menyantap seporsi nasi uduk sarapannya. Tanpa ia jeda, gadis muda yang
telah lihai menyambi pekerjaannya ketika menyantap makanan itu membuka amplop
dari si Pak Pos tadi dan mengetahui dalam beberapa detik setelahnya bahwa yang
ada disana adalah undangan dari sebuah komunitas pencinta sejarah untuk
berwisata sejarah bersama mereka ke teritori kedua ‘adik’nya—Malaysia dan
Singapura—. ‘Sudahlah, daripada aku hanya diam saja di sini’, pikirnya
mengiyakan.
Tanpa Indonesia pernah kira, perjalanan wisata sejarah
gagasan dari salah satu komunitas mandiri yang tak begitu memiliki pengaruh itu
mengoleh-olehinya beban besar sekembalinya dari sana. Bukan karena seorang perempuan
menor mirip dirinya mencegat rombongannya dan memaksanya berkelahi ketika
mereka sedang di Penang, bukan juga karena kepesatan perkembangan teknologi
Singapura. Ia tahu ia selalu kalah dibanding mereka mengenai teknologi, tapi ia
mulai bisa menerimanya dan tak hanya mengejarnya dengan hanya berlandaskan
dendam dan nafsu untuk bersaing demi gengsi. Ia hafal rakyatnya tak bisa serta
merta ia mobilisasi kearah sana. Bukan itu semua penyebabnya karena gadis yang pada kenyataannya merupakan
personifikasi dari Indonesia—negeri Zamrud Khatulistiwa yang kini meredup
kemilaunya— ini sudah cukup dewasa untuk menyikapi hal semacam itu. Kecuali
ketika ada sudut lain pada soal yang tengah diujikan kepadanya yang tak
tertangkap sorot tajam obsidiannya, sudut yang luput yang kemudian dihadapkan
kembali padanya, soal yang mudah tapi ia kacaukan dengan tak menyentuhnya, soal
yang membuatnya kecolongan, ketinggalan satu langkah lebih jauh lagi dari kedua
adiknya yang menor dan gadget mania
itu.
Menyusuri History Trail di kawasan pecinan di Singapura
membuat mata ketiganya terbuka, membuat akhirnya perasaannya yang bebal
tersentuh embun dingin.
Ditambah lagi, seseorang dari komunitas yang mengundangnya
itu kemudian bicara padanya,
“Sebenarnya kita punya yang jauh lebih mahal, tapi
kenapa milik mereka lebih berkilau, ya?”
PLAKK.
Sebuah tamparan keras mendadak menampar bukan sekedar pipinya
tapi hatinya yang lembek. Membuatnya berkedut memerah, menyipratkan
percik-percik darah tanda kesakitan sekaligus kesesakkan yang tiba-tiba
dideritanya detik itu juga.
Tamparan itu yang membuatnya kini menginjakan kaki, berkaca
pada air keruh Kali Besar yang membuat wajah manisnya semakin jelek oleh
pantulan air keruh yang dengan jujur menampilkan sembab pipinya, kantung
matanya yang bulat-bulat, dan air mata kering yang membekas di pipinya —yang
tak lama kemudian dihujani dengan yang baru lagi— dengan jelas plus tambahan
efek suram khas air keruh. Yaampun, Nona… pria mana yang akan menoleh padamu
bila kondisimu seperti ini, ha?
“Aapa yang harus… hiks,
kulakukan?! Argghh!!”
Ia terus melontarkan pertanyaan tak berguna yang tak akan
dijawab baik oleh air keruh Kali Besar, angin pinggir laut yang bertiup kencang
dan mengeringkan air matanya dengan cepat, maupun ‘peer’nya, ujian remedialnya,
bangunan-bangunan yang sedianya cagar budaya tapi kini hampir rubuh tak
bersisa. Mungkin jika wisata sejarah kemarin tak pernah diikutinya, jika para
anggota komunitas itu tak pernah memberinya tamparan, ia hanya akan duduk manis
di rumah dinasnya, sarapan Nasi Uduk di pagi hari, berlawat ke Raja Ampat di
siang hari, menengok ujung Sumatera di sore harinya, dan kembali lagi ke rumah
dinasnya, sampai-sampai ia menonton berita di televisi kalau topi-topi lebar
warna-warni khas Noni Belanda yang jadi lauknya sepeda ontel sewaan di depan
museum Fatahillah sudah diganti semua dengan helm proyek warna oranye karena
khawatir para wisatawan kerubuhan bangunan tua yang banyak bertebaran disana.
Sebenarnya ada banyak rencana yang tercanang di otaknya
semenjak hari itu. Ia bisa saja mulai membentuk dewan untuk pemugaran kawasan
Kota Tua Jakarta yang sebenarnya sudah ada, hanya saja lebih diefektifkan. Tapi
rencana itu melempem ketika ia ingat bahwa banyak diantara bangunan-bangunan
tua tersebut yang menjadi sengketa. Yang lainnya, yang memiliki kepemilikan
jelas oleh pihak swasta kebanyakan pemiliknya tak berminat untuk urusan
pemugaran dan lebih memilih untuk menunggu bangunan tuanya runtuh agar bisa
mendirikan bangunan baru untuk instrumen bisnis mereka. Ah, andai saja semua
orang kaya itu bisa berpikiran sama seperti pemilik Café Batavia. Lalu ia bisa
memulai kampanye dan seminar ke kampus-kampus di seluruh wilayahnya, mengajak
para mahasiswa untuk aktif terlibat bagi kelestarian situs sejarah di setiap
daerahnya. Tapi impian itu kandas ketika seorang siswa kelas dua SMP anak
tetangganya yang biasa diajak ayahnya menonton acara debat dan diskusi politik
sore hari menyeletuk tajam, “Proyek di Indonesia sekarang gak bakal ada yang
beres, orang anggarannya kebanyakan di korupsi. Kalo Monas dibangunnya sekarang
juga pasti dua bulan langsung rontok.” Haah, bahkan anak SMP pun hafal seberapa
kacaunya dirinya sekarang. Mungkin ia bisa berkampanye lewat iklan televisi
atau film dokumenter, tapi ayolah, tontonan seperti itu bukan santapan
sehari-hari rakyat dengan bekal pendidikan menengah kebawah yang jadi mayoritas
di wilayahnya. Selain tak akan dapat penonton, dirinya hanya akan rugi membayar
ongkos tayang channel kawakan yang
mahal. Mendadak ia ingin lari dari kenyataan. Secerdas apapun otaknya, ia tetap
tak mampu mencari penyelesaian masalah dalam lingkup seterbatas ini.
Menjelang Maghrib ide belum juga didapatinya, dan Indonesia
akhirnya menyerah pada egonya. Ia memilih untuk pulang ke rumah, melepas
penatnya sejenak, berlari dari kenyataan dengan memejamkan mata diatas tempat
tidur berseprai batiknya yang nyaman, berharap mimpinya menyenangkan, dan tak
terkait sebenang pun dengan permasalahannya sekarang. Gadis berambut panjang
yang diikat satu itu melangkah gontai menuju tempat ia memarkir sepeda
antiknya, menyusuri sisi gedung bekas Balai Kota yang sekarang ramai oleh pedagang
makanan dan cindera mata yang tak sepenuhnya juga khas Jakarta.
Kota Tua, sebagaimana kota-kota lama lainnya yang luput dari
perhatiannya selama ini, ternyata sudah sebegini parah rusaknya. Sejak dahulu
mungkin tak sedikit orang-orang idealis yang setia mengampanyekan isu restorasi
situs historis, tapi itu semua tak lebih dari sekedar bisikan-bisikan tipis
yang hilang tertimpa desing mesin dan deru kendaraan buah dari ambisi
kosongnya, pembangunan tanpa irama yang ia kira akan berhasil pada dirinya.
Sebagai personifikasi negara, ia tak bisa mengeluh lelah apapun beban yang
ditanggungkan kepadanya. Untuk maju selangkah saja ia harus putar otak kanan
kiri demi mencari celah bagaimana ia bisa menyaingi negara lain yang setara
dengannya dalam sektor yang baik-baik. Dan kini, ketika ia menemukan sebongkah
potensi dalam sudut yang ia lupakan selama ini, ia justru kebingungan
dibuatnya. Setegas apa ia harus bertindak agar rencananya bisa berjalan? Kemana
ia harus bersembunyi selagi berusaha untuk sedikit mengabaikan perasaan
rakyatnya? Pertanyaan semacam itu terus muncul, hingga kepalanya sakit tak
terkira, ia akan kira dirinya berpotensi besar untuk mati sekiranya sebelum
jatuh tertidur karena kelelahan berpikir, ia ingat jika ia seorang imortalis.
Selama negaranya masih memiliki eksistensi, seburuk apapun kondisinya ia akan
tetap bernafas dengan oksigen sebagaimana manusia pada umumnya, sesakit apapun
luka yang ia derita.
***
Indonesia, atau Nesia ia biasa disapa, beruntung karena
bosnya meski sedang banyak masalah tetap menaruh perhatian padanya. Rupanya
sang bos prihatin melihat kondisi personifikasi negaranya yang wajahnya selalu
mendung beberapa hari belakangan. Malam tadi ia mengambil beberapa waktu dari schedule padatnya untuk menyempatkan
diri mengobrol dengan sosok yang secara fisik gadis dua puluh tahunan itu. Pada
kesempatan itu, gadis yang jadi lawan bicaranya tersebut mengungkapkan semua
yang dialaminya, penyebab kegalauan hatinya beberapa waktu belakangan, serta
rencananya kedepan sekaligus apa yang menghalanginya, hingga sang bos kemudian
menyimpulkan jika masalah yang dihadapinya cukup kompleks.
“Aku akan menemukan konsultan yang handal untukmu. Sekarang
sebaiknya kau mencari-cari lagi lebih banyak referensi mengenai konsep seperti
apa yang kau kehendaki, aku akan sebisanya membantu. Akan kukabari kalau aku
sudah berhasil membawa konsultan itu kesini.”
“Terimakasih, Bos.”
“Ya, lagipula bebanmu itu bebanku juga.”
Setelah perbincangan singkat dengan bosnya itu, Nesia kembali
berlawat ke wilayah targetnya. Hari itu cuacanya sedikit lebih panas dari
biasanya, tapi ia kembali mengukuhkan niatnya untuk mengayuh sepedanya melalui
Jalan Gajah Mada 1, di mana terdapat tempat yang hendak ia tuju, Gedung Arsip
Nasional. Tempat itulah yang direkomendasikan bosnya untuk mencari informasi
yang mungkin saja bisa memberinya inspirasi atau yah, membuatnya mengenang.
Mengenang, hal yang menjadi masalah cukup krusial bagi
dirinya dan mayoritas warganya. Rakyat Indonesia terkenal sulit diatur,
terutama untuk urusan relokasi demi ketertiban. Alasannya umumnya serupa,
klise, dan mudah ditebak bak alur sinetron yang tak tamat tujuh season, apalagi
kalau bukan kenangan. Rumah kumuh di bantaran kali yang sudah puluhan tahun
mereka tempati sudah memberi mereka begitu banyak kenangan, dan bagi mereka
jauh lebih nyaman dibanding rumah petak rapi di rusun lantai limabelas. Kini
giliran dia, sang personifikasi yang biasanya memutuskan untuk mengalahkan
persoalan kenangan rakyatnya yang justru berurusan dengan kenangannya sendiri.
Kini masa lalu yang menghakiminya, lebih dari yang dialami rakyatnya selama
ini, seolah semuanya adalah salahnya. Menjadi seorang personifikasi negara
membuatnya harus mencoba memandang dari berlainan persepsi, berpikir dengan
beragam cara, dan kadang itu semua memaksanya untuk menjadi orang lain yang
mengkhianati hatinya sendiri. Siapa juga yang tega mengusik kehidupan tentram
nan harmonis mereka di rumah reot itu? Gadis ini pun tak akan melakukannya
andai kata kondisi itu akan terus baik bagi semuanya, tapi nyatanya tidak.
Wabah penyakit dan bencana akan selalu mengintai mereka hingga akhirnya skala
prioritas di otak kirinya yang mengalahkan kebahagiaan-kebahagiaan kecil para
penghuni rumah reot di bantaran kali. Ya, kadang manusia menukar satu
kebahagiaan dengan sejuta kesedihan untuk memperoleh beberapa kebahagiaan lainnya.
Detik itu, ia sudah menumpuk beberapa buku yang ia kira
relevan dengan maksudnya dihadapannya, tapi baru hendak ia buka buku pertama,
ponselnya berdering. Mengisyaratkan bahwa sebuah pesan singkat telah masuk ke inbox-nya, dan hanya perlu menekan
sebuah kombinasi tombol simpel untuk mengetahui dan membaca isi dari pesan yang
dikirim bosnya itu.
Dari: Bos
Nesia, aku sudah
menghubungi konsultan itu dan ia mengiyakan tawaranku. Aku sudah mengatur
pertemuan kalian. Nanti sore datang ke café Batavia jam setengah delapan.
Jangan mempermalukanku, jadi datanglah tepat waktu.
Merasa penyelesaian masalah yang tengah diusahakannya maju
satu langkah, personifikasi negara yang dua pertiganya adalah perairan ini
tersenyum lega. Sekarang tinggal tergantung seberapa serius ia akan
menanggapinya. Jika ia dan koleganya dalam kasus ini sama-sama serius dan
konsisten soal ini, rakyat Indonesia boleh berbangga hati pada identitas dan
memoarnya yang akan lahir kembali di secuil tanah yang jadi nenek moyangnya
Jakarta ini.
***
Café Batavia, 19.15
Indonesia memantapkan langkahnya ketika mencapai teras pintu
café itu. ‘Baiklah, ini bagian dari perjuanganku.’ batinnya dalam hati.
Perempuan itu tampil agak tidak biasa malam ini. Bukan tidak biasa karena aneh,
tapi ehm, yaah, ia punya sisi anggun sebagai seorang wanita dan itu terlihat
jelas sekarang. Tubuhnya yang bagus —meski tak setinggi takaran model internasional—
dibungkus sesetel kebaya warna merah tua, menandakan ia sedang mendoktrinisasi
dirinya untuk berani sebagaimana filosofi warna merah dalam dwiwarna
benderanya. Hanya saja ia lupa kalau café yang ramai oleh wisatawan asing itu
juga punya riwayat horror tentang penampakan hantu Nyai berkebaya merah.
Sudahlah, sekalinya ia ingat pun ia hanya merespon dengan narsis dan mengatakan
bahwa kebaya Nyai hantu itu pasti modelnya jauh lebih kuno daripada yang ia
kenakan sekarang.
Diluar kebaya dengan bahan brokat anggun yang tak memiliki
begitu banyak ornamen tambahan itu, riasan yang ia bubuhkan pada wajah manisnya
juga sesuai. Karena temanya merah disana, riasan yang ia gunakan juga sedikit
bernuansa demikian, melahirkan kesan tegas dan dewasa. Rambutnya ia gerai bebas
dengan ornamen tambahan berupa sematan anggrek bulan. Yah, Bung, pantas saja
tukang parkir yang biasa memarkirkan sepeda ontelnya tak mengenalinya ketika ia
lewat tadi.
Bel yang ada diatas pintu bergemerincing begitu ia
mendorongnya, sedetik kemudian, siluetnya kemudian masuk tertelan oleh cahaya
remang dibalik pintu kaca itu. Dari dalam, seorang pelayan menyambutnya lalu
mengantarkannya ke meja yang sudah Bos-nya pesankan untuk mereka di lantai dua.
Cahaya yang temaram membuat wajah gadis itu yang menampilkan air muka gugup
sulit terbaca. Seiring dengan semakin banyak anak tangga yang ia capai dengan
langkahnya, detak jantungnya semakin naik saja temponya. Berkali-kali ia
menengok arloji antik di tangan kirinya, memastikan bahwa ia belum membuat si
konsultan itu menunggu. Meski sebenarnya, bukan hanya itu yang mengganggu
pikirannya.
“Anda mau pesan apa selagi menunggu rekan anda?”
“Kkop—”
Detik itu juga Nesia ingat jika ia belum makan sejak tadi
siang dan akan berbahaya jika asam lambungnya mengamuk di saat-saat seperti
ini.
“Maaf?”
“Teh manis saja.”
Teh manis nona?
Anda kira ini warteg langganan Anda?
“Maksud saya—”
“Baiklah, mau teh hitam atau teh hijau?” Rupanya sang
pelayan membaca maksudnya dengan baik.
“Teh hitam.”
“Kalau begitu, silakan tunggu sebentar.”
Nesia menghela napas sambil merutuk dalam hati menyadari
seberapa bodohnya dia sehingga hampir dikuasai oleh kegugupannya tadi. Teh
manis, sungguh itu lucu sekali. Akhirnya, daripada terus-terusan menghakimi
dirinya, ia memilih untuk menikmati suasana di sekitarnya.
Pencahayaan di ruangan itu sengaja dibuat nanar tak ubahnya
dengan yang dibawah. Dalam sebuah ruangan yang cukup luas, cahaya hanya datang
dari sebuah lampu kristal tua di tengahnya dan beberapa lampu kecil yang
tersemat di dinding sekedar untuk menyoroti apa yang terpamer di dinding itu
semisal koleksi foto mereka, atau lukisan tua.
Gadis yang malam ini terlihat lebih dewasa dari biasanya itu
kini merasa seolah masa remajanya hadir kembali diboyong oleh atmosfer yang
diciptakan café ini. Dari mulai tata ruang, pencahayaan, ornamen tambahan,
semuanya mengarah pada suatu era yang sama di mana ketika itu ia masih bersama
seseorang di kota ini. Orang lain, dari jauh sana, yang sempat membuatnya
merasakan dimensi waktu mengukuhkan posisinya sebagai seorang remaja biasa,
yang baru kenal dan lantas dibodohi oleh yang namanya cinta.
Membayangkan waktu-waktu jauh di belakang sana membuat
wajahnya perlahan bersemu. Mungkin seperti sekian banyak perasaan yang
menguasainya sekaligus saat itu dapat ia rasakan kembali desirnya saat ini, di
tempat ini, bersama... ah, tidak bersama dengan siapa-siapa.
“Maaf menunggu lama, nona. Ini pesanan anda.” Pelayan tadi
kini mengantarkan teh manisnya.
Nesia hanya tersenyum kaku menahan malu merasa sesi
pribadinya telah dipergoki orang lain.
“Tidak juga.”
“Ini, silakan nona.”
“Terimakasih,” ujarnya sembari membalas senyuman si pelayan.
Begitu melihat ke arah mejanya, ia terperangah. Ia hanya
pesan teh manis, tapi yang datang seperti seluruh isi dapur di rumahnya.
Praduganya sebelum ini hanya berputar di teh hitam dalam cangkir mewah yang
elegan, atau paling jauh seperangkat poci minum teh seperti warung angkringan
di Jogja, tapi yang datang justru jauh lebih parah. Sekarang, mejanya yang tadi
hanya berisikan sebuah vas bunga dipenuhi seperangkat alat dan bahan membuat
teh seperti di acara-acara masak. Secangkir teh hitam pekat yang luar biasa
wangi disajikan dalam sebuah cangkir ditemani sendok pengaduk yang sepertinya
perak, tapi juga ada beberapa cepuk kecil lainnya yang berisikan dari mulai
susu, gula batu, gula pasir, dan entah apa. Bukan meminumnya, sang pemesan
malah geleng-geleng tak percaya melihat apa yang ada dihadapannya. Begitu ia
membuka daftar menu, ia lebih tak percaya lagi melihat harga yang tertera untuk
secangkir teh dan teman-temannya ini. Ia hanya membatin, ‘pantas saja yang
datang kesini wisatawan asing semua’.
Lain di café, di bahu Jalan Lada,
beberapa meter dari stasiun, seseorang yang hampir terlambat dari jam yang
dijanjikan padanya berjalan dengan tergesa-gesa. Jas yang tadinya ia kenakan kini
ia lepas karena meski wilayah ini dekat laut dan anginnya kencang, kulitnya
yang sudah tak lagi terbiasa dengan cuaca tropis tetap menunjukan penolakan.
Ditambah lagi, dikejar waktu membuatnya tak bisa jalan santai dan harus berolah
raga malam-malam begini. Ini kali pertamanya ia akan berpartner dengan
seseorang yang tengah menunggu-nya, jadi ia tak boleh membuat partnernya ragu.
Tapi di sela-sela pertarungannya dengan waktu, ia masih menyempatkan diri
menyapu sekilas pandangannya ke sekitar. Hatinya mencelos menyadari tempat ini
sudah banyak berubah sejak saat itu. Di samping itu, sedikit kiranya sisi
manusiawinya bertanya-tanya tentang seseorang. Mungkin sebagaimana tempat
kenangan mereka yang sudah banyak berubah ini, di suatu tempat di mana orang itu
berada sekarang, ia juga sudah banyak berubah.
***
Sepanjang petang menyerang, ini kali ketiga pintu kaca café
Batavia dimasuki seorang tamu mancanegara. Setelah perbincangan singkat yang
dimulai oleh staf humas yang secara khusus menyambutnya malam itu, belakangan
diketahui bahwa ini juga kali ketiganya selepas petang, tamu mancanegara yang
datang adalah tamu Belanda, lepas dari sepengetahuan mereka bahwa yang terakhir
ini tamu Belanda yang datang bukan sekedar warga sipil biasa.
Pria berkemeja hitam itu tak melewatkan melihat sekeliling
interior café yang dirasanya sangat akrab dengannya ini ketika seorang pelayan tengah
membimbingnya menuju kursi yang semestinya ia sudah tempati sejak lima menit
yang lalu. Iris mata zamrudnya menangkap banyak tersangka sekaligus
mengeksekusi kasus dan memvonis bahwa café ini adalah tersangka utamanya. Café
yang baru pertama kali dikunjunginya —meski ia sudah mengetahui keberadaannya
sejak lama— ini bertindak bak mesin waktu, menyeretnya kepada sekelumit runyam
lorong nostalgianya dan membuat seketika nafasnya memberat seiring dengan kian
banyak anak tangga yang didakinya.
“Meja anda yang di ujung sana, Tuan.” Ujar si pelayan seraya
menunjuk sebuah meja dengan sepasang kursi panjang tepat di ujung ruangan di mana
seorang wanita berkebaya merah sudah lebih dulu duduk di sana sembari memandang
ke luar jendela besar di sisinya. ‘Jadi wanita itu yang akan jadi kolegaku…’
batin pria itu.
“Kalau begitu terimakasih.” Katanya dengan bahasa
Indonesianya yang masih cukup fasih untuk ukuran orang asing seperti dirinya.
“Sama-sama, Tuan.”
Anehnya, pria itu tak langsung bergegas meski si mas pelayan
sudah meninggalkannya dan hampir delapan menit sudah ia mangkir dari waktu yang
dijanjikan padanya. Ada hal yang sulit dideskripsikan yang menggangu pria itu
sepertinya. Air mukanya agak gugup diiringi beberapa bulir keringat yang
meluncur dari pelipisnya, sebuah fenomena tak wajar di ruangan ber-AC sekalipun
ia adalah pria benua biru.
Secara tak kasat mata, pria itu bertarung dengan banyak hal
dalam pikirannya, dengan pikiran buruk, kegugupan, kekhawatiran dan kesulitan
pribadinya untuk berjalan ke pojok ruangan dan menemui wanita berkebaya merah
yang duduk membelakanginya itu. Tapi sedetik kemudian, ia merasa masih cukup
waras untuk tak menghiraukan dunianya sendiri. Ia memilih untuk mengesampingkan
praduga, firasat, atau entah apa namanya dan memaksa berpikir realistis bahwa
seseorang disana hanyalah calon partner kerjanya dan semua kekhawatirannya tadi
hanya sebatas ketakutan yang tak beralasan.
***
Indonesia kembali mengangkat lengannya untuk melihat lagi ke
arah pergelangan tangannya di mana arlojinya kini tengah memaparkan kenyataan
pahit bahwa ia sudah menunggu seseorang yang tak ia tahu siapa selama lebih
dari dua puluh menit. Ia mulai ragu dan seenaknya melayangkan praduga buruk
soal Bos-nya yang hanya mengerjainya, atau justru ia hanya menyewa seorang yang
tak profesional demi menekan biaya oprasional. ‘Tapi, resminya kan aku baru
menunggu sekitar lima menit.’ Sisi baik dari pertarungan batinnya akhirnya
berhasil menenangkannya, membuatnya memilih untuk mengalahkan kebosanannya
dengan menyeruput tehnya dan memandang keluar jendela.
Dalam kebosanan sedingin suhu Dieng pagi hari, gadis yang
hampir frustasi menunggu itu mendengar ketukan sol sepatu yang beradu dengan
lantai semakin mendekat ke arahnya. Secercah harapan kemudian muncul, tapi
beberapa mikrosekon setelahnya otak cenahyangnya justru berspekulasi bahwa itu
hantu.
"Aku harus bagaimana?!” bisiknya pada dirinya sendiri. Ia
lalu mulai menyalahkan Bos-nya lagi yang malah memesan tempat duduk di pojok
ruangan.
Agak menunduk membuatnya melihat sisa seduhan teh di cangkirnya
yang masih sedikit. ‘Ah, teh mengandung cafein, dengan menghabiskan tehnya,
kemungkinan aku bisa beberapa level lebih tenang.’ pikirnya ringan.
“Maaf membuat anda menunggu lam—”
Indonesia menyeruput tehnya dan seseorang tercekat. Apa gaya
minumnya sedemikian mengerikan?
Merasa tersinggung, gadis itu kemudian menoleh kearah orang
tadi dengan mimik wajah yang cukup mengerikan.
Satu.
Dua.
Tiga. Waktu terhenti tiga
detik khusus untuknya dan orang itu ketika pandangan, mimik aneh, dan
ketercekatan mereka beradu. Ya, khusus untuk Indonesia dan Netherland ketika
mereka kembali dipertemukan.
“Tidak mungkin…” Rupanya si kolega itu menulari
keterkejutannya pada Indonesia.
Sejenak, dua insan setengah manusia itu mematung dalam ilusi
kosong mereka masing masing. Di mana dalam ruang hampa itu, mereka saling
berpandangan dengan jarak yang jauh tak terkira sehingga satu sama lain melihat
diri mereka hanya sebagai titik, tapi hujaman kilas masa lalu justru menyerang
mereka tanpa jarak di saat yang sama.
Kasus yang tak terselesaikan, tanya tak terjawabkan, dan
perasaan yang terlupakan begitu saja menjadi beberapa gelintir cindera mata
yang ditinggalkan orang yang kini duduk tepat dihadapan Indonesia ketika ia
pergi dulu. Dalam sejuta kebingungan ia tak bisa memutuskan untuk menganggap
pria ini kawan, lawan, musuh, mantan musuh, atau yang lain. Beberapa dasawarsa
bukanlah takaran waktu yang lama bagi seorang personifikasi negara yang
notabene-nya immortal untuk melupakan apa yang ia alami pada kurun yang jauh
lebih lama, dan itu membuat secara otomatis, begitu pria ini hadir kembali dihadapannya,
kepingan ingatan sekian waktu kebelakang itu terangkai kembali dengan demikian
kronologis.
Kehadiran pria itu kembali tak bisa ia pungkiri menjadi
semacam oasis bagi sudut hatinya yang menderita dahaga kerinduan cukup parah
atas mantan motherlandnya itu. Pria dengan potongan rambut tulip itu memaksanya
mengenang semua yang pernah mereka alami dulu, memaksanya mereguk lagi pahit
dan manisnya kenangan mereka. Detik itu juga, waktu seakan berhenti pada saat di
mana ia hendak meninggalkannya setelah si pria terusir oleh kegigihan
gerilyawannya dulu, membuatnya meraih kemenangan untuk rakyatnya, tapi
kehampaan untuk pribadinya. Pria itu selalu datang dengan dua sisi berbeda
dalam benaknya. Tak lain lagi, ia Netherland, yang ia tetap cintai meski harus dengan
monopoli dan adu domba.
***
Kondisi mental Netherland setelah melihat perempuan
berkebaya merah dihadapannya mungkin jauh lebih buruk dibanding ia melihat hantu
nyai yang katanya juga berkebaya merah. Ia secara terang-terangan mengakui pada
dirinya sendiri bahwa sebab mengapa ia sedemikian terperangah tadi ialah karena
rasa bahagianya yang luar biasa. Mendapati orang yang sempat dan masih ia
cintai yang sudah sekian lama tak ditemuinya dalam keadaan baik membuatnya
berulang kali mengucap syukur pada Tuhan-nya. Tapi siapapun tahu bahwa saling
mencintai adalah pertalian dua arah, ketika ia hanya dimaknai satu arah, ia
hanya akan menyakiti pemiliknya. Sebagian dadanya sesak mengingat bagaimana ia
pernah melukai gadis ini bahkan ketika ia terlihat jauh lebih lemah dulu, dan
menyadari bahwa cintanya pasti membencinya membuat ia ingin melenyapkan diri.
Seharusnya ia sudah curiga ketika Bos mantan koloninya ini memberitahunya jika
ia memenangkan tender proyek peremajaan situs sejarah yang bahkan tak pernah ia
ikuti.
Ketidak berdayaannya dalam posisi ini membuatnya hanya mampu
meringkuk lemah di sudut tergelap hatinya. Tak ada sedikitpun keberanian
baginya untuk memulai komunikasi saat ini, meski ia sesungguhnya sangat ingin.
Berbicara dengan gadis ini membuat Netherland seolah mengorek luka lamanya,
itulah mengapa ia sempat berdoa untuk tak pernah dipertemukan lagi dengan
Nesia. Nesia adalah titik manusiawinya, sebuah noktah di mana ia jatuh begitu
lemah dalam keputus asaan. Dan mengingat bagaimana atmosfer yang menyelimuti
perasaan mereka berdua di kali terakhir mereka bertemu sebelum ini membuat
Netherland semakin merasa terpuruk oleh tembok yang kian meninggi diantara
dirinya dan satu-satunya penyejuk hatinya di seberang sana.
“Tak biasanya kau terlambat.”
Indonesia berbicara padanya? Oh, ini pasti mimpi terindah
Netherland. Pria bendungan itu pasti sedang bermimpi sekarang!
Mendengar kalimatnya tak direspon, sang lawan bicara
mendengus, “ah, sudahlah.”
“Eh, iitu. Maaf, aku baru sampai tadi sore, lalu, macet.” Ia
memang tak pernah bagus dalam berkomunikasi. Itulah mengapa masalahnya yang
dulu-dulu tetap dan masih menjadi masalah sampai sekarang.
“Macet? Selamat, kau sekarang jadi korbanku!” guraunya
seraya mencoba tersenyum. Meski jika menurut pandangan umum senyum asimetris
itu agak janggal, di mata Netherland yang sudah terrabunkan oleh perasaan
bahagia yang luar biasa melihat itu sebagai senyuman yang membuat darah bekunya
mencair.
“Senang melihatmu baik-baik saja.” Netherland memberanikan
diri berbicara seraya mengangkat wajahnya. Ketika pandangan mereka bertemu,
kembali ia menemukan danau paling sejuk yang telah lama tak ia selami, danau
obsidian di matanya yang bulat indah.
“Aku juga.” Pemilik mata obsidian nan sejuk itu melarikan
diri dari pengaruhnya. Ia berpaling cepat, seolah memungkiri ketenangan yang ia
dapati dari sepasang zamrud milik lawan bicaranya.
“Neth, aku tak menyangka ini
kau. Benar-benar tak menyangka.”
“Sebenarnya, aku sudah terganggu dengan gelagat mencurigakan
Bos-mu. Tapi karena menurut Ratu ini penting, aku menurut saja. Dan ternyata
memang benar, ini penting.”
“Ahaha, sepenting itukah?”
“Pertemuan denganmu...”
“Tapi sayangnya bukan itu kasusku.”
“Iya, aku, aku mengerti. Tentu saja, yang tadi pasti bukan sebuah
hal penting buatmu.”
“Tidak juga, semuanya penting.”
DEG. Jantungnya bedetak
keras seolah untuk yang terakhir kali. Apakah Netherland baru saja menerima
pengakuan?
“Hanya saja, ini yang lebih krusial.”
“Memangnya apa yang mengganggumu? Apa yang salah dengan
semua ini?”
“Kau tak mengerti. Aku menghancurkan identitasku sendiri.”
katanya dengan nada yang kian melemah, “Netherland, bantu aku membawa mereka
kembali. Aku kira Bos benar, kau satu-satunya konsultan yang bisa kumintai
andil dalam pekerjaan berat ini.” Mata obsidian itu menatapnya lagi, tapi
dengan semburat yang mengganggu untuk kali ini. Netherland menyadari bahwa
sinarnya tak setajam dulu, kini ia sedikit mengusam oleh beban dan persoalan.
Tapi sebagai seorang yang datang dari masa lalu Indonesia, seorang yang pernah
memilikinya, ia tetap bisa melihat jauh kedalam sisinya yang tak tersentuh dan
tetap seindah sediakala.
“Hei, jangan tertekan begitu. Kita punya banyak waktu, dan
aku berjanji kita pasti akan menyelesaikan masalah ini. Untuk sekarang,
bagaimana jika kau sedikit menceritakan lebih detil tentang masalah ini”
katanya gugup.
Si kebaya merah mengangguk pelan tanda setuju. Diiringi
denting grand piano, pembicaraan mereka terus mengalir dengan ritme tenang.
Mereka berbincang banyak, ditemani hidangan pesanan mereka yang kemudian
diantarkan oleh dua orang pelayan. Berbincang banyak seolah mereka hanyalah
sepasang sahabat biasa yang sudah lama sekali tak berjumpa.
Malam pada pertengahan musim kemarau ini pun menjadi saksi
bagaimana waktu telah menumbuhkan ironi diantara mereka. Ledakan meriam dan desing
peluru kini bertransformasi jadi denting piano merdu, sama-sama mengiringi
pertemuan mereka di lain era.
***
Didasari pengalaman, Indonesia berspekulasi segera jika
malam bersama Netherland ini akan jadi malam yang panjang. Stamina lelaki
memang berbeda seberapapapun kuat dirinya, terlebih lagi dengan fisik tebal
hasil tempaan udara dingin Eropa. Perjalanan sekian puluh jam dari negerinya,
macet, dan harus berjalan jauh rupanya tak cukup membuat pemuda tulip itu lelah
dan urung mengajak gadis koleganya menyurvei lahan proyeknya malam itu juga.
“Berjalan kaki tak apa kan? Akan lebih efektif jika begitu
sepertinya, kita bisa melihat-lihat dengan detil.”
“Kau mau mengekspos kebobrokannya, dan membeberkannya di
salah satu museum di Leiden begitu?”
“Apa kau pikir aku sejahat itu?”
“Tidak juga. Tapi berjalan kaki itu tidak manusiawi. Lihat,
sepatuku solnya tujuh senti!” ungkapnya marah sambil sedikit mengangkat kain
kebayanya, menunjukan pada si tulip bahwasanya apa yang ia katakan bukan alasan
karena malas belaka.
“Maaf, aku tak berpikir ke arah sana.” Netherland tersenyum masam,
lalu berubah menjadi senyumnya yang biasa. “Berarti hanya ada satu pilihan.”
“Apa?”
“Sepeda.”
Butuh lima menit saja bagi Indonesia untuk menunggu Netherland
kembali dengan sepeda ontel warna cokelat tua. Ia berhenti tepat didepannya,
lalu mengisyaratkan agar gadis itu mendaratkan diri pada boncengannya.
“Memang kau masih hapal jalan di sini? Semenjak kau
meninggalkannya, mereka sudah berubah banyak.”
“Kau punya suara merdu yang tak akan rela disesatkan olehku.
Aku tahu itu.”
“Maksudmu aku akan secara reflek meneriakimu jika kita salah
jalan, begitu?”
“Persis.” Netherland tertawa kecil. ‘Kau tak pernah berubah,
aku tak pernah kehilangan dirimu. Nampaknya itu yang membuatku rindu.’ batinnya
dalam hati.
Dari pelataran Stadhuis, tak butuh waktu lama sampai mereka
semakin mendekat ke laut. Kota ini dulu kota dermaga yang indah. Ketika malam
tiba dari kejauhan lampu-lampu pijar buah sibuknya aktivitas disana akan
menyala, berpendar dari kejauhan, menjadi permata penyelamat bagi kapal-kapal
yang hilang arah. Netherland mungkin masih bisa mengenali artefak antropologis
ini sebagai kotanya yang dahulu, tapi butuh keteguhan untuk menahan gejolak
kekecewaannya pada kenangan-kenangannya yang mulai hancur tergerus masa. Jika
ia saja kecewa, seseorang seperti dirinya yang berada dibalik berdirinya kota
ini tapi tak punya tanggung jawab apa-apa terhadapnya sekarang saja kecewa, perasaan
macam apa lagi yang dirasakan pemilik raga dalam boncengannya? Jujur dari hati
terdalamnya, ia tak sanggup bahkan untuk sekedar membayangkan berada pada
posisinya. Setiap bangsa memiliki masa-masa berat, tapi merasakan perasaan
tersiksa milik seseorang yang penting baginya, ternyata jauh lebih berat
dibanding ia yang merasakannya sendiri.
Sementara itu dalam batin sang personifikasi Nusantara,
berkecamuk banyak pikiran buruk. Mereka menguasainya dan menyerang ketegaran
perempuan itu dengan hantaman pesimisme. Hatinya mencelos kian dalam
mengira-ngira apa yang dirasakan Netherland terhadap titipan berharganya yang
kini memudar eksistensinya. Matanya mulai berkaca-kaca menyadari kebodohannya,
menyadari matanya yang selama ini ia pejamkan rapat-rapat dari kenyataan yang
kian menggerogoti aset-aset berharganya. Habis mau bagaimana? Pemerintah negara
amatiran buah pembebasan kolonialisme perang dunia kedua ini terlalu sibuk oleh
banyak hal. Bagaimanapun rakyat yang menjerit oleh kenaikan harga-harga barang
pokok lebih menuntut perhatiannya dibanding situs-situs bersejarah yang diam
seribu bahasa. Hingga sampai pada sebuah kebiasaan kalau ia hanya mengurusi
keadaan kritis rakyatnya setiap waktu. Rintihan-rintihan yang menyayat-nyayat
hatinya itu memaksanya mengimpor barang untuk menekan harga, menyubsidi banyak
barang, dan berhutang lebih banyak lagi. Semuanya hanya penanggulangan jangka
pendek yang memaksanya untuk gali-tutup lubang. Memesinasi dirinya yang
kemudian hanya bergerak sesuai dengan pola-pola, menanggulangi masalah dengan
penanggulangan yang melahirkan masalah baru, dan samasekali tak pernah keluar
dari sana.
“Maaf Neth. Sudah terlalu mustahil, ya?” Matanya menerawang jauh. Seketika ia kembali pada posisi startnya.
Segalanya yang sudah ia rintis dengan susah payah soal ini mendadak tak
berharga lagi. Membuat hanya tinggal seujung jari lagi sampai ia melepaskannya
pergi, merelakan segala kesempatan dan jerih payahnya membumbung tinggi,
menjauh dari raihannya.
“Eh, tentu saja tidak.” Netherland sedikit terkejut
mendengar pertanyaannya yang demikian tiba-tiba. Seperti tak hanya dalam
benaknya, dalam pikiran pria ini pun sepertinya tengah berkecamuk sesuatu.
“Tak apa jika kau tak menyanggupi ini. Kau bisa pulang,
nanti biar aku yang bilang pada Bos.”
“Seperti bukan dirimu saja.”
“A-apa?”
“Kita bahkan belum memulai apapun. Tolong jangan sepesimis
itu.”
“Apa aku bisa percaya padamu?” Gadis itu menunduk dalam
seolah Netherland tak sedang memunggunginya, berusaha mengunci rapat-rapat
apapun yang ia tak ingin Netherland ketahui darinya saat ini.
“Entahlah,” Netherland meraih salah satu tangan Nesia yang
berpegangan padanya dengan tangan kirinya, menggenggamnya erat,
menenggelamkannya dalam kehangatan yang bisa dirasakan bahkan oleh hatinya,
“yang jelas, aku tak ingin melihatmu sepesimis ini.”
***
Menyusuri jalan-jalan sempit diantara gedung-gedung tua
akhirnya membawa mereka kembali menapaki jalan utama menuju Sunda Kelapa.
Ketika itu, malam sudah sangat larut. Lampu-lampu bersinar temaram karena
perlahan cahaya-cahaya yang terombang ambing milik para perahu nelayan di
dermaga mulai bergerak menjauh untuk mengejar asa mereka menyambung hidup di
keesokan harinya. Pelabuhan ini salah satu yang tersibuk yang Nesia miliki.
Tanpa kurang, ribuan orang beraktivitas di sini setiap harinya, ramai dan sibuk
sebagaimana ketika ia mencapai masa kejayaannya dulu, tapi membisu menghadapi
gempuran waktu yang mulai menghancurkan kenangan-kenangannya.
Sepanjang jalan yang mereka lewati tadi, keteguhan hati yang
susah payah Netherland bangun untuk tak turut jatuh kecewa dan menjadi
pelindung bagi pijar api kecil di hati seseorang yang diboncengnya mengenai restorasi
ini turut goyah, bahkan hampir jatuh menimpa pijar api kecil yang akan segera
mati juga itu. Ia sadar, bagaimanapun juga bukanlah masa kejayaan yang akan
hadir kembali disana ketika misalnya, kota kecil itu berhasil direstorasi,
melainkan masa perjuangan berat di mana yang berkuasa disana adalah bangsa
asing, lintah darat yang menyedot darah segar dan nyawa-nyawa rakyat Indonesia.
Kota kecil itu bisa diasumsikan hanya sebagai tilas
kejahatan Netherland yang ketika itu sungguh gelap mata jika cinta tak
meneranginya dengan segera, dan mendapati kenangan buruk itu hadir kembali
dalam bentuk baru yang lebih baik akan memaksa memoar-memoar itu mengalir lagi,
memaksa Netherland untuk semakin menyesal dan memaksa untuk jauh di balik
senyum puasnya, hati kecil Indonesia menderita lagi mengingat kenyataan bahwa
satu-satunya pria yang teramat ia sayangi adalah mesin pembunuh bagi rakyatnya.
Meski susah payah Netherland menahannya, meyakinkan hatinya jika misi ini
sekedar untuk pelestarian budaya, tepat ketika ia menghentikan laju sepedanya
di depan buritan sebuah kapal layar yang tengah bersandar tenang dari debur
ombak yang kian malam kian menantang, keteguhan hati itu resmi runtuh.
Netherland berhenti, lalu turun, membuat reflek, si kebaya merah yang diboncengnya
juga turun. Si tulip itu kemudian menyandarkan sepedanya di batas dermaga, lalu
berjalan pelan mengikuti langkah Indonesia.
“Nesia, setiap orang memilih jalan hidup mereka
sendiri-sendiri kan? Dan kurasa tak ada yang salah untuk itu.” Ujar Netherland
memulai pembicaraan yang sepertinya akan sangat panjang.
“Maksudmu?”
“Apa yang kau jalani sekarang bukan hal yang salah. Hanya
itu.”
“Termasuk soal ini, begitu?”
“Ya, kurasa.”
Nesia semakin menatapnya heran, “jadi untuk apa aku meminta
bantuanmu jika yang kulakukan memang sudah benar?”
“Ya, mungkin disitulah letak kesalahan yang sebenarnya.”
“Kau bercanda, ya?” Nesia menyelidik sarkastik. Ia yakin ada
yang salah dengan orang di hadapannya.
“Misalnya saja, model kota seperti ini sudah tidak pada zamannya
lagi kan? Sangat mudah bagi kota tua ini untuk tenggelam oleh kenaikan air laut
atau gelombang besar.” Dengan nada berbeda yang dikenali dengan mudah oleh
Nesia, Netherland terus mengada ada, persis seperti ketika Nesia menanyakan
kemana rakyatnya yang katanya ia transmigrasikan dulu. “Kau, bisa membiarkannya
untuk kemudian membangun kota yang baru, yang lebih baik, lebih nyaman, dan…
tak memiliki kenangan buruk apapun untuk menghantuimu.”
“Apa katamu?”
PLAKK.
Kulit wajah Netherland yang putih terang perlahan meruam
merah, memanas oleh tamparan yang baru saja sampai padanya sepersekian detik
yang lalu. Tapi tak seujung jari pun ia bergeming. Mata zamrudnya memejam
ringan, air mukanya tak terlihat sedikitpun menahan sakit meski kulit wajahnya
yang semakin berubah warna tak menjelaskan fakta yang senada.
“Setelah semua yang kau katakan tadi,
apa ini pantas? Kalau memang hanya hal ini yang membawamu datang jauh-jauh
kesini, sekarang juga kuminta kau pulang, Neth! PERGI!!”
“Nesia,”
“Kubilang pergi!” bentaknya lagi seraya berpaling.
“Tidak sebelum kau mengerti.” ujar Netherland seraya
mendekap gadis itu dari belakang, melingkarkan lengan di pinggangnya dan
memposisikan kepala diatas pundak kirinya, untuk menyesap dalam aroma yang ia
rindukan untuk waktu yang sangat lama, untuk lebih berada dekat dengan hatinya,
untuk turut merasakan detak jantungnya yang tak menentu oleh berjuta pikiran
dalam benaknya. Semacam menahan gadis itu untuk melangkah lebih jauh ke dalam
kastil di mana semua ingatan buruknya yang terpenjarakan akan menyerangnya
dengan berjuta siksaan.
“Aku baru saja menyadari kesalahanku, maafkan aku. Tapi
sungguh, kota ini bukan simbol kejayaanmu, samasekali bukan identitas yang
pantas kau utamakan untuk kau kenalkan pada generasimu. Kota ini hanyalah
tempat yang kubangun atas kepentinganku yang begitu semena-mena terhadapmu oleh
darah dan keringat rakyatmu, oleh nyawa-nyawa mereka yang tak ternilai. Awalnya
aku pun berusaha meyakinkan diriku bahwa alasan yang ada dibalik ini semua
sepenuhnya adalah pelestarian cagar budaya. Tapi bagi orang-orang seperti kita,
maknanya tak sekedar itu saja.” bisik Netherland seraya mengeratkan dekapannya,
tapi seolah bongkah batu, seseorang ia dekap hanya diam.
“Nesia, aku hanya takut, segala kelam yang akan terangkat
kembali ke permukaan menyakitimu lebih dan lebih lagi. Aku tak berharap kau
mengampuniku atas semuanya yang pernah kuperbuat padamu diatas bongkahan tanah
ini, tapi setidaknya, kau berhak untuk melupakan segala rasa sakit dan luka
yang tercipta karenanya. Seberapapun aku menyesal atas waktu-waktu kebelakang,
aku tetap tak bisa menghapus apapun yang pernah terjadi. Oleh karenanya, karena
aku menyayangimu Nesia, mencintaimu sebagai seseorang yang penting bagiku
hingga detik ini, aku tak ingin menyakitimu lagi, bahkan oleh sekedar sesuatu
yang seabstrak masa lalu.”
Indonesia merasa jantungnya terhantam bola besi sejurus
setelah mendengar penuturan jujur Netherland. Setetes air mata yang sudah
memenuhi pelupuk matanya jatuh meluncur bebas ke wajahnya yang sendu. Ia terharu
oleh pernyataan cinta dari mantan motherland yang ia cintai juga itu, juga oleh
kekhawatiran sang mantan motherland terhadap dampak yang akan ditimbulkan
proyek restorasi ini baginya. Akan tetapi, sekalipun kenyataan yang menyejukkan
hati tersebut membuatnya seolah jadi perempuan paling bahagia yang tak
membutuhkan hal lain untuk bisa bertahan di dunia ini, perempuan paling bahagia
itu hanya sisi individualisnya. Diluar sisi itu, jutaan rakyat menggantungkan
masa depan dan menitipkan perasaan mereka padanya sehingga sayang sekali, ia
tak akan pernah bisa mengabaikannya.
Dengan tergerakkan oleh perasaan, tangannya bergerak melepas
dekapan sang mantan motherland padanya, membuat Netherland kecewa. Tapi tak
sampai sedetik setelahnya, kekecewaan itu berubah menjadi perasaan yang entah
apa. Di tengah terpaan angin laut yang meniupkan suhu rendah ke arah mereka, di
antara debur-debur ombak yang terpecah, dalam keremangan cahaya bulan di
pelabuhan tua ini, gadis yang tadi diam seribu bahasa itu membahasakan begitu
banyak rangkaian kata hanya dalam satu tindakan berarti. Ia membawa dirinya
mendekat pada Netherland, dan sejurus kemudian mendaratkan ciuman lembut di
bibirnya, membuat akhirnya Netherland yang diam mematung, meresapi rasa
sekaligus makna dari tindakan yang tak pernah ia kira sebelumnya akan
diterimanya.
Kedudukan yang amat sangat dekat membuat mereka lupa entah
kapan mereka pernah sedekat ini sebelumnya sekaligus membuat mereka sama-sama
mengakui apa yang tak terkatakan selama ini lewat bahasa yang degup jantung
mereka sampaikan masing masing. Ketika itu, waktu seolah berputar pada saat di
mana mereka sama-sama egois dulu. Ketidak stabilan jiwa remaja mereka membuat
ketika itu tanggung jawab begitu mudahnya mereka tinggalkan, padahal perang
justru tengah berkecamuk. Lain dengan sekarang, waktu dan kedamaian yang banyak
mereka dapati tak cukup membuat jiwa mereka goyah untuk lalai dari peran mereka
yang sesungguhnya di dunia ini. Dengan kesadaran penuh kini mereka mengabdi,
sehingga tak ada lagi tempat untuk kegoisan diri sendiri semacam ini. Tapi
ketika secara mendadak kesempatan untuk itu kembali seperti saat ini, gejolak
perasaan yang tertumpahkan tak lagi mampu dideskripsikan. Keduanya pun, dalam
sisi egois mereka sebagai seseorang yang secara fisik dan afektif hanya manusia
biasa, tak pernah menginginkan apapun untuk lekas berakhir. Tapi kenyataan
bahwa mereka memiliki hal-hal lebih dibanding manusia lah yang akhirnya membuat
mereka harus menarik diri kembali pada apa yang mereka hadapi sedianya.
“Maafkan aku, Neth. Terimakasih atas semua yang kau berikan.
Aku tersanjung, terharu, karenanya. Aku juga mencintaimu, bahkan sejak ketika
saat-saat kelam itu masih terpapar di hadapan mataku. Awalnya aku pesimis tak
bisa menangani ini tapi berkat kau aku mendapatkan optimismeku kembali. Soal rasa
sakit ini aku tak keberatan, ini hanya pengorbanan kecilku untuk rakyatku.
Sekelam apapun saat-saat itu, masa laluku sebagaimana diriku, semuanya adalah
milik mereka, dan aku tak punya kuasa untuk menyembunyikan sekedar satu kalimat
pun dari mereka. Ini pengorbananku Neth, pedih pun aku bahagia asalkan mereka
juga bahagia.” Bekas air mata yang sudah mengering tadi kini basah lagi. Untuk
kali ini, Nesia tak menahan apapun, tak ada yang harus ia sembunyikan di
hadapan satu-satunya orang yang selalu mengisi sudut hatinya yang kerontang
ini.
Menyadari Indonesia tak sanggup untuk berdiri lebih lama lagi,
sekali lagi Netherland mendekapnya, kali ini lebih erat untuk alasan tak ingin
kehilangannya. Ia tak ingin kehilangan keceriaan Indonesia yang membuatnya
jatuh cinta sejak dulu. Ia pun tak ingin keceriaan yang semula murni itu
berubah jadi hanya sekedar topeng belaka. Ia tak ingin, wajah manis yang selalu
membuatnya rindu itu menghilang dibalik sendu yang ia derita.
“Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja. Bukankah
personifikasi immortal seperti kita sudah terbiasa dengan rasa sakit? Dari masa
ke masa, kita kehilangan banyak sekali orang-orang yang kita sayangi, belum
lagi tanggung jawab untuk tak boleh sedikitpun hanya mementingkan diri sendiri.
Jadi, percayalah.” Indonesia tersenyum menatap mantan motherlandnya itu meski
masih dengan air mata. Memaksanya untuk percaya pada seluruh yang baru saja
diocehkannya.
“Lagipula, Neth, dengan atau tanpamu, proyek ini sudah masuk
ambisiku. Dengan ini, aku akan mengembalikan semangat perjuangan rakyatku. Aku
akan tetap mengerjakannya.”
“Keras kepala,” Netherland mendengus kesal. “Tapi baiklah,
jika itu maumu, aku akan tetap bersamamu.” Ujarnya seraya menggenggam erat
tangan Indonesia.
***
Hari-hari setelah malam itu pun diisi dengan pencanangan
proyek yang kemudian dilanjutkan dengan pengerjaan tahap awal. Mereka mengurus
kepemilikan bangunan-bangunan tua itu lalu memulai pekerjaan berat mereka.
Ahli-ahli sejarah, arsitektur, tata interior dan eksterior, tata kota, serta
antropolog dan banyak ahli-ahli bidang penyokong lainnya baik dari pihak
Netherland maupun Indonesia bekerja sama, saling bahu membahu mewujudkan
nostalgia mereka kembali. Rasanya jika mengulang kembali ingatan di mana kakek nenek
mereka pernah beradu senjata di tempo yang lalu, hal ini sulit dipercaya. Tapi
pada akhirnya inilah membuka pikiran Netherland bahwasanya apa yang muncul di
pikirannya malam itu memang salah. Tak sepenuhnya proyek yang tak ubahnya
proyek pengembalian masa lalu ini akan menyakiti orang tercintanya. Toh
nostalgia mereka lah yang akan dibawa kembali, disertai aspek-aspek kognitif
bagi bekal generasi mendatang. Dan jika itu adalah nostalgia, berarti tak
semuanya kelam, kenangan-kenangan manis mereka yang dahulu pun akan kembali
bersamanya.
Di tengah pengerjaan proyek yang cukup besar ini, sangat
disayangkan Netherland terpaksa harus kembali. Selain daripada ada urusan
mendadak di tempatnya sana, perannya sebagai konsultan proyek ia memang sudah sampai
tahap mengawasi saja. Jadi jika hanya itu, Indonesia bisa menggantikannya dan
ia hanya tinggal menengok sesekali saja nanti. Yang jelas, untuk kepulangannya
yang kali ini Netherland merasa lega mendapati Indonesia tersenyum puas atas
Batavia yang akan kembali ini. Dan Netherland rasa, senyum puas itu sudah cukup
mengalahkan nostalgia kelamnya, atau apalah itu, yang berkenaan dengan masa
lalu buruk yang pernah dilaminya karena Netherland.
“Ini samasekali tak
ada hubungannya dengan apa yang pernah kau lakukan dulu. Di era di mana
kedamaian adalah cita-cita dunia internasional ini, rakyatku pun pasti sudah
memaafkannya. Toh, Netherland yang ada di hadapanku sekarang adalah orang yang
berbeda. Dank U .”
Sekali lagi, senyum tersungging di wajah kaukasoid
tampannya. Sudah berlalu beberapa minggu setelah the Prince of Oranje ini
kembali ke dekapan atmosfer Den Haag yang dingin, tapi seketika ada liquid
hangat yang mengaliri hatinya untuk beberapa saat ketika ia mengingat sepenggal
kata-kata Nesia sewaktu ia mengantarnya tinggal landas dari Soekarno-Hatta.
Rasanya dunia begitu kejam untuk pasangan yang satu ini,
atau mungkin beberapa pasangan lain juga yang bernasib serupa. Mereka saling
mencintai, menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing tanpa syarat, tapi
oleh takdir tak diperkenankan untuk bersama ketika diluar sana perceraian dan
kekerasan dalam rumah tangga bertebaran di mana-mana. Sekali waktu Netherland
mengumpat, menghakimi rute hidup yang terlampau panjang yang harus ia jalani
sebagai seorang personifikasi negara. Ia bukan seorang penggila dunia yang
mendamba immortalitas, ia justru tak pernah menginginkannya. Mungkin baginya
akan lebih bahagia jika ia dilahirkan sebagai manusia biasa yang bebas
mencintai dan dicintai meski harus hidup untuk sementara waktu saja. Tapi
kenyataan selalu berbeda, selalu kejam baginya dan gadisnya di seberang lautan
sana. Ia, tanpa tawar menawar lagi, harus kehilangan haknya yang asasi dan
paling berharga baginya untuk ditukar dengan apa yang sedikitpun tak pernah
terbesit dalam benaknya. Sampai detik ini pun, kalau memang ada yang
menawarkannya, ia rela menukar keimmortalannya dengan dua hari saja untuk
berbahagia bersama orang yang dicintainya, secara egois, hanya mereka berdua,
tanpa harus memikirkan atau mengorbankan diri untuk siapapun lagi.
Tapi tepat ketika Netherland terpuruk dalam penghakimannya
terhadap dirinya sendiri, seorang gadis kecil penuh luka yang terbaring lemah
di pangkuannya dalam ingatannya menyadarkannya. Seburuk apapun kondisi di mana
mereka berada saat ini, gadis itu mensyukuri pertemuannya yang indah dengan
Netherland. Tanpa memperdulikan kenyataan bahwa satu-satunya kebahagiaan yang
memotivasi gadis itu untuk bertahan adalah salah satu dari sekelompok pria yang
merenggut orang-orang yang disayanginya.
Gadis itu menyadarkannya bagaimana cinta tak bicara soal
benar dan salah. Ia dapat menjadi paling benar, sekaligus paling salah, baik
sekaligus sangat jahat. Bagi mereka, cinta tak datang di saat yang tepat, atau
mungkin lebih tepat jika tak pernah ada saat yang tepat baginya untuk hadir
diantara sepasang yang sangat berbeda itu. Bagaimanapun, cinta menghadirkan
keindahan di hidup mereka yang amat panjang. Keindahan itulah yang kemudian
menjadi alasan terkuat bagi mereka untuk bertahan. Untuk mengerti kemudian
bahwa tanggung jawab mereka juga berharga, dan tak terganjar lagi pengorbanan
mereka untuk menganulir sisi manusiawi mereka dan lebih memilih rakyat di sisi
mereka. Seperti itulah cinta seharusnya bagi mereka.
***
Dua hari yang lalu, ia mengunjungi Pasar Malam Besar. Sebuah
festival nostalgia besar-besaran bagi para mantan tentara, warga Indonesia yang
menetap di Belanda dan warga keturunan Indonesia. Sebuah festival yang sangat
‘Indonesia’ di mana banyak sekali hal yang bernuansa Indonesia bisa ditemukan
di sana. Ketika itu, seseorang dari kepengurusan sebuah museum di Leiden membagikan
sebuah pamflet. Netherland tersenyum melihat apa yang tercetak diatas pamflet
itu. Judulnya, “Pengembalian Batavia” dan isinya adalah penjelasan yang
dilengkapi dengan gambar-gambar mengenai proyek yang tengah ia garap bersama Indonesia.
Seperti yang Indonesia kira, banyak orang yang antusias akan hal tersebut.
Ternyata benar bahwa ia tak sendiri, ada banyak, luar biasa banyak orang yang
rindu Batavia.
Sekilas di mata orang-orang Indonesia, tentara Belanda
mungkin hanya sekumpulan orang kejam yang tak tahu belas kasihan. Tapi jauh di
dalamnya mereka hanya orang-orang biasa yang berjuang demi kejayaan negeri yang
mereka cintai. Dalam kegelisahan, mereka pun mengorbankan banyak hal,
meninggalkan orang-orang terkasih di negeri asalnya, atau bahkan teribat pahit-manisnya
romantika terlarang dengan gadis-gadis pribumi. Jauh di dalam hati mereka
terjadi pergolakan-pergolakan sengit antara menjadi manusia atau mesin pembunuh,
mempertahankan sekuat tenaga segalanya demi yang mereka cintai selagi merenggut
cinta-cinta orang lain.
Netherland bukanlah satu-satunya pria yang merana oleh
kekejaman takdir ketika itu. Pada kenyataannya, para orang-orang tua yang
memenuhi Pasar Malam Besar ini juga mengalami hal yang sama. Tak ada yang bisa
menolak pesona dan kenyamanan yang ditawarkan Indonesia baik dengan alam maupun
keramahan penduduknya. Apa yang pernah mereka lakukan terhadap negeri itu hanya
akan jadi penyesalan seumur hidup yang tak tertukarkan dengan apapun, tapi
merasakan keramahannya dalam atmosfer damai di negeri itu sekali lagi akan
menjadi obat yang sungguh berharti bagi luka hati mereka yang tak pernah
beranjak mengering.
Restorasi bukan sekedar mengenang, melainkan menghadirkan
kembali masa lalu ke waktu sekarang dengan memperbaiki banyak hal demi
penelitian ilmiah atau mendulang pendapatan dari sektor pariwisata. Restorasi
akan membawa kembali segala atmosfernya yang sedia kala, ketika itu terjadi
maka momen-momen nostalgia tak terelakan lagi. Indonesia bilang padanya jika
sekalipun restorasi ini akan membawa kenangan pedih yang sudah hampir ia
lupakan selama ini harus terangkat lagi, gadis itu tak keberatan. Toh, hampir
di setiap kenangan indah mereka juga terselip ironi-ironi yang menyayat hati.
Gadis itu sudah jauh lebih dewasa dibanding ketika
Netherland tinggalkan dulu. Jika ia bilang siap atas segala resikonya, maka ia
siap dari hati terdasarnya. Meskipun demikian, ingin Netherland turut berada
disana, agar setidaknya, satu-satunya perempuan yang ia cintai hingga kini itu
tak sendiri merasakan pedihnya. Ia ingin sekali, setidaknya membagi rasa sakit
itu untuk dinikmati berdua. Yah, andai kata Netherland bisa berada disisinya
selamanya, sayangnya mereka hanya sama-sama mencintai masa lalu mereka yang
pedih itu dari jarak yang sangat berjauhan. Gadis tropis itu hanya akan
menikmati kepedihan nostalgianya sendiri, dan di belahan lain dunia Netherland
pun hanya akan tersiksa dalam pikirannya sendiri. Seperti halnya terus berlari
dalam sebuah lingkaran, mereka hanya akan terus mengejar tanpa pernah berhenti pada
satu titik untuk sekedar bertemu.
Meckino Sara © 2013
Author’s Note:
Kahahahaha~ karya pertama di tahun ini#dor
Ternyata sebagaimana yang lalu-lalu, saya hanya mampu mencapai standar produktivitas serendah ini
Lagian, ini termasuk tahun yang sangat sibuk setelah UN 20 paket dan kawan kawannya~
Meskipun libur lama, sebelum saya dinyatakan lolos seleksi PTN dan resmi jadi anak Sejarah angkatan ini, saya masih ketar ketir dan samasekali nggak ada mood buat bikin cerita#dihcurhat
Kahahahaha~ karya pertama di tahun ini#dor
Ternyata sebagaimana yang lalu-lalu, saya hanya mampu mencapai standar produktivitas serendah ini
Lagian, ini termasuk tahun yang sangat sibuk setelah UN 20 paket dan kawan kawannya~
Meskipun libur lama, sebelum saya dinyatakan lolos seleksi PTN dan resmi jadi anak Sejarah angkatan ini, saya masih ketar ketir dan samasekali nggak ada mood buat bikin cerita#dihcurhat
Tapi apabila readers sekalian berkenan, mohon lupakan soal produktivitas dan nikmati kisah ini, semoga terhibur~
Cerita ini, kalo boleh saya menjelaskan sedikit,
terinspirasi dari sebuah buku berjudul “Kota Tua Punya Cerita” terbitan Kompas
yang saya pinjem dari kolega saya#bahh. Dari situ, greget soal restorasi muncul
di kepala saya. Bukan cuma buat Kota Tua Jakarta aja, tapi semuanya, di manapun.
Memprihatinkan banget nggak sih ngeliat cagar budaya kita hancur pelan-pelan?!
Oiya, ampuni saya soal typo, kerancuan, dan
kejanggalan-kejanggalan lain yang ada dalam cerita ini. Saya masih seorang
amatir, begitulah kenyataannya. Tapi berhubung mimpi semua amatir itu untuk
menjadi profesional, saya akan selalu bahagia menerima kritik, saran, atau
apresiasi dalam bentuk apapun itu dari Anda sekalian~
Tidak lupa pula,
HAPPY INDEPENDENCE DAY...!!!
Selamat bertambah usia buat Republik Indonesia tercinta yang ke-68, semoga semakin maju, semakin baik di segala sektor, semakin mengerti rakyatnya, dan semakin-semakin yang lainnya~
Selamat bertambah usia buat Republik Indonesia tercinta yang ke-68, semoga semakin maju, semakin baik di segala sektor, semakin mengerti rakyatnya, dan semakin-semakin yang lainnya~
No comments:
Post a Comment