Siang tadi,
saya mendapati pembicaraan yang cukup menarik mengenai kata sapaan bersama
salah seorang sobat saya. Dia, memiliki seorang teman. Cukup akrab sampai
mereka saling memanggil dalam kesempatan tak langsung dengan sapaan yang
terdengar istimewa, dan dari sanalah ide ini menguar. Tapi jujur, dari hati
terdalam, demi arloji melelehnya Salvador Dali, saya tak bermaksud menyinggung
hati dan perasaanmu, andai kata dikau yang saya maksud membacanya.
Untuk menyapa anda sekalian, saya pernah
menggunakan beberapa jenis sapaan. Yang pertama, kala saya masih luar biasa
melankolis di SMP dulu, masa-masanya saya berkutat dengan lembaran merah muda
yang kini menggulung lusuh penuh tanda tanya, memudar warnanya. Kala itu saya
lebih senang menggunakan kata Kau dan Aku. Baik ‘Kau’ yang dimaksud itu Anda
para pembaca, atau ‘Dia yang di Sana’. Entah kenapa. Sulit dipaparkan karena
memang tak sistematik. Yang jelas, dalam suasana yang melambung-lambung,
membahagiakan, membuat saya kecanduan banyak hal bahkan perasaan-perasaan
menyakitkan sekalipun, ‘Kau dan Aku’ sangat cocok. Kesannya jauh tinggi, tak
menapak ke tanah, atau tepatnya lupa daratan, tapi sekaligus anggun, penuh
kecantikan bahasa, serta kepiawaian mimpi dalam andil merangkai kata.
Sebagaimana novel terjemahan yang bukan lagi murni hasil racikan penulisnya,
kata Kau dan Aku yang hampir selalu digunakan dalam novel terjemahan itu
melukiskan sesuatu yang keren, tak pasaran, penuh ketinggian, sekaligus jauh
dan imajiner. Pantas digunakan untuk seuntai prosa penuh perumpamaan, majas,
dan pengagungan untuk lari dari kenyataan.
Yang berikutnya, Aku-Kamu. Ini sapaan yang
paling tidak saya suka dalam tulis menulis. Entahlah, kesannya pasaran, yang
kata anak muda sekarang ‘Mainstream’. Sapaan ini biasanya hanya saya gunakan
untuk membangun sebuah obrolan tanpa passion
dengan seseorang yang baru saya kenal. Well, Betawisme yang acap kali saya
temui di lingkungan saya membuat ‘Gue sama Lo’ menjadi sapaan paling nyaman,
merakyat, dan akrab tanpa jarak. ‘Aku-Kamu’ hanya basa-basi. Atribut kesan
pertama yang mujarab dalam membuat calon kenalan kita akhirnya mengetahui
tabiat asli kita secara perlahan, tak lebih dahulu menjatuhkan pada kita kesan
buruk, dan akhirnya menerima kita sebagai manusia bar-bar yang ternyata tak
terlalu buruk dijadikan teman.
Saya bilang
tadi sapaan ini pasaran, ada yang mau protes? Oke, biar saya jelaskan. Orang
baru berkenalan menggunakannya, orang pacaran juga memakainya meski mungkin
hanya dalam versi yang benar-benar standar, karena dalam versi lanjutannya
mereka akan saling memanggil dengan panggilan kesayangan khas dari setiap
pasangan. Ada ‘Gajah’—eits jangan salah, ini bukan hinaan—
yang merupakan panggilan sayang Chairil Anwar untuk istrinya. Ada pula yang
lumayan umum seperti ‘Darling’, ‘Honey’—omigot—, ‘Sweety’ dan lain sebagainya
yang sepertinya sudah sangat ketinggalan
zaman. Ada juga ‘Hime’ atau nama dengan embel-embel ‘-chan’ di anime. Ada juga
‘Dear’ dan ‘Baby’ yang terdengar masih bisa didengar dengan cukup normal di
zaman ini. Tak ketinggalan Gaya Alay Asli Indonesia Seratus Persen Dahsy*t yang
yaah, contohnya satu cukup, jika kebanyakan mungkin post ini tak pernah
selesai. Miris, pendramatisiran kata ‘Baby’ menjadi Beybi, lalu mengalami
hiperbolaisasi dan bermetamorfosa jadi Beiybih, untuk penyingkatan karena sms
dihitung per-karakter jadi Beb, dan ketika sms tak lagi dihitung per-karakter,
sapaan tersebut pun berakhir miris jadi ‘Beiiibbbbbhhhhhhhhh’ bahkan dengan
lebih banyak lagi hurup ‘b’ dan ‘h’ didalamnya.
Yang jelas, FTV menggunakan ‘Aku-Kamu’, sinetron
pun sama. Kalau itu film layar lebar, bergantung pada temanya, tapi setiap yang
berhubungan dengan lika-liku romantika anak muda pasti juga menggunakannya. Di
lagu? Aah, Band yang asal tenar makin banyak dewasa ini. Terkadang saya bingung
dengan nada-nada berbau melayu yang mereka kemas dalam dinamika musik barat.
Mungkin dikiranya itu kontemporer, tapi entah saya yang salah atau bagaimana,
sensor seni di pojok otak saya belum menerimanya menjadi sebuah karya yang
indah. Belum lagi lagu yang temanya cinta-cintaan melulu, dan hanya itu. Saya
lama nian tak mendengar tema lain selain cinta-cintaan semenjak acara tangga
lagu dan pemutaran video klip ‘Yeyeye Lalalala’ membabi buta menguasai jagad
televisi. Sejak dulu, sesumbaran sok intelek dan sok berseni saya tentang lirik
dan irama lagu-lagu sekarang sudah lumayan pernah didengar banyak orang. Saya
bilang, sesuai dengan unek-unek dalam hati saya, kata-kata mereka samasekali
nggak puitis. Ada istilah yang saya ciptakan yang namanya ‘lompat bahasa’,
yakni ketika dalam suatu lagu, demi mencapai kesepakatan jumlah suku kata
dengan nadanya, digunakanlah sapaan ‘Kau’, ‘-mu’, dan ‘Kamu’ yang jelas-jelas,
telinga pun sudah mampu memvisualisasikan tanpa bantuan mata, kalau ada
sebentangan jarak yang bila dirunut-telusuri akan sangat jomplang diantara
kata-kata tersebut. ‘Kau’ dan ‘Dirimu’ mungkin masih memiliki kesan yang
setara, tapi ‘Kau dan Kamu’ meski artinya kurang lebih hanya sama, tetap jauh
berbeda. Kecuali dalam sebuah sinetron, tokoh tritagonis seorang anak manja
yang kadang terlihat lebih ke memiliki kurang secara intelektual, bertemu
dengan seorang sastrawan angkatan Balai Pustaka dalam lorong dimensi antar
waktu.
Lanjut ke ‘Saya dan Anda’ sapaan yang paling
sering saya gunakan dalam tulisan sekarang-sekarang ini. Pengalaman getir—tidak
pahit, tapi cukup getir— yang saya rasakan soal lembaran merah muda dalam buku
yang memuat kisah hidup saya, cukup membuat saya menyadari bahwa sebenarnya
saya telah jatuh dari awan-awan surgawi yang melambungkan saya itu sejak lama.
Sakitnya pun tak terkira, dan baru terasa akhir-akhir ini. Mungkin otot saya
ada yang mencuat, keriting, terjepit, atau paling buruk, putus. Ah, semoga
tidak. Yang jelas, pengalaman tidak baik yang awalnya manis luar biasa ini
cukup membuat saya jera dan secara tanpa sengaja, tak lagi pernah berhasil
membuka lembaran berwarna merah muda lagi.Tapi hidup tak untuk lepas dari
cinta, kini apa yang dinamakan cinta itu beralih ke bentuk abstrak dari sesuatu
yang nyata, yang melahirkan kritisme serta gugahan untuk bertanggung jawab atas
masa depannya. Cinta kepada sesuatu yang mengakari rentetan kronik yang pernah
ditulis di tanah ini, Indonesia. Sebuah panggilan sarat hormat dari negara
saya, rumah saya.
Lembaran merah muda itu membuat apa yang
biasanya mempontang-pantingkan perasaan orang, justru menebalkan perasaan saya.
Saya tak pernah merasa peka ketika direndung hal yang satu itu. Yang ada justru
menggila, melupakan rasa dan mendewakan sensasi, tak ubah orang kecanduan
narkoba yang rela menyuntiki dirinya demi kenikmatan yang menyedotnya seperti
jarum suntik gajah menyedot darahnya, padahal disuntik saja itu sudah sakit.
Kini saya jauh lebih realistis. Saya mendewakan
kenyataan, berubah sekian banyak persen dalam beberapa tahun saja, ketika saya
putuskan semuanya sudah berakhir dan luka ini tak sepantasnya diperdalam. Dalam
kasus percintaan dengan masa depan banyak orang ini, juga ada rasa sakitnya.
Cinta, tak pernah lepas dari yang semacam itu. Tapi rasa sakit itu membuat kian
hari tekad saya semakin tak terbelokkan. Dan masa depan saya akhirnya tertambat
pada dermaga penuh impian, Fakultas Ilmu Budaya, Jurusan Ilmu Sejarah, di
universitas yang namanya diambil dari sang Patih maha terkenal sepanjang masa,
pengujar sumpah Palapa. Boleh dicek, saudara sekalian, ketika orang kita tanyai
siapa patih Majapahit yang mengujar sumpah yang dijadikan nama satelit itu,
pasti mereka jawab dengan mudah Gadjah Mada. Lalu berikutnya kita tanya siapa
rajanya ketika itu? Tak sedemikian yakin saya akan ada yang menjawab Hayam
Wuruk. Bahkan popularitas sang raja terkalahkan oleh patih-nya. “Hayam? Hayam
naon? Goreng hayam, Ce’…”#dor
Kerealistisan itu yang membuat saya pada
akhirnya mendaratkan obsesi pada hal yang berbau kewarganegaraan, kenegaraan,
kesejarahan, dan yang lainnya. Dekat dengan tiga poros; sosial, politik, dan
budaya, kadang-kadang hukum. Saya tertarik atas kelemahan negara ini yang
kemudian justru seperti ditindas oleh warganya sendiri. Bukan main, tak sedikit
orang yang menjelekkan Indonesia, dimatanya, orang tuanya, tetangganya, bahkan
siapapun yang ditemuinya di manapun, di luar negeri sekalipun. Tak masalah
jikalau ia adalah mantan pejabat bersih yang dituduh korupsi dan diganjar 12
tahun bui plus denda ratusan juta dan sudah putus asa akan hukum negara yang
mengkhianati kesucian moralnya. Lain itu, saya sanggup terima. Tapi jika hal
tersebut diujar oleh seorang anak ingusan karena dia menaruh obsesi hampir
penuh gila pada seorang idola di negara nun jauh yang bahkan letaknya di
sebelah mana Indonesia pun dia tak tahu sementara dia masih menghujat negerinya
dengan bahasa Indonesia itu sendiri. Memalukan Bung. Mahluk macam itu harus
diberi penataran P4 plus wajib militer tiga bulan.
Rentetan kasus yang memancing keprihatinan,
simpati yang kian tercambuk dan membara, dan hasrat untuk selalu menulis
membuat saya menjatuhkan pilihan pada sapaan lain ‘Saya dan Anda’-lah yang saya
rasa paling pas hingga kini. Sapaan ini sangat diplomatis dan demokratis,
memandang semua individu dan golongan dalam sebuah meja debat dengan derajat
yang sama dan penghormatan yang pantas. Tak ada kata pasaran, terlalu anggun,
atau barbar didalamnya, kecuali acap kali terkesan melampaui batas ke-baku-an
tulisan seorang remaja tujuh belas tahun pada umumnya. Tapi saya bisa buktikan
kok, andai kata anda sekalian tak malas membaca demikian bertele-telenya
tulisan saya, mendalami maksud apa yang saya rangkai disana, saya selalu
mengutamakan pembaca dan menempatkan mereka sebagai ‘Anda’ yang tak begitu saya
segani, dan saya bukanlah ‘Saya’nya seorang perendah dari ‘Anda’. Soal strata,
seprti yang saya katakan tadi, semua sama, dengan penghormatan pantas, pas.
Selain itu, golongan kata yang berada pada kolom
tangga yang sama dengan ‘Saya dan Anda’ cukup untuk ukuran kebutuhan akumulasi
dan manipulasi kata saya yang samasekali nggak terlihat intelek tapi secara ego
kerap mentele-telekan sebuah kalimat demi rima, keindahan, dan implisitisme. Ia
tak terlalu agung seperti ‘Aku dan Kau’ tak pula terlalu pasaran semacam
‘Aku-Kamu’, tapi tak se-barbar ‘Gue sama Lo’. Tengah, stagnan, dinamis, tenang,
ah, sempurna. Dengan sapaan ini saya bisa menggombal, berkisah, sampai
mengkritisi. Hah, hanya itu, yang jelas saya cinta yang satu ini, ‘Saya dan
Anda’ memang yang terbaik.
‘Gue sama Lo’ yang terakhir. Atau dalam bahasa
Betawi dengan dialek Kampung Pulo-Jagawana, lebih lumrah ‘Gua dan Lu’. Ini
adalah kata terlarang ketika saya kecil. Di mana dibesarkan dalam atmosfer
budaya Jawa Tengah yang mendayu-dayu membuat kata-kata tersebut menjadi terdengar
sangat barbar, liar, dan tak beradab. Orang tua saya pun memblacklist-nya, dan
setelahnya, jika keceplosan mengujarnya saya akan ditatar dengan nasihat dalam
format omelan yang efeknya biasanya cukup membuat saya yang cengeng ini mewek.
Tapi atas nama maha dahsyat efek urbanisasi,
lama kelamaan terjadi asimilasi yang damai antara suku pendatang dan yang
didatangi. Kata-kata tersebut pun kian deras kami dengar, serupa dengan istilah
lain seperti, ‘pangkeng=lemari’, ‘jaro=pagar bambu’, ‘sasak=jembatan’ dan yang
lainnya. Kini sapaan itu bahkan sudah sangat akrab bagi orang tua kami. Kadang
kala dalam sebuah gurauan atau malah kecaman saya menggunakan sapaan ini
terhadap adik saya. Untuk ke teman, ini adalah sapaan yang paling friendly menurut saya. Ketika Anda
adalah ‘Lo’ dan Saya adalah ‘Gue’, tak ada jarak lagi mengudara. Berkawanlah
kita, karib, lekat, dan intim.
Sekian, teruntuk Dikau, bagi Kamu, untuk Anda,
dan buat Lo!
No comments:
Post a Comment