Senin, 18 Maret 2013, kami para
siswa kelas dua belas di sebuah SMA Negeri baru saja melihat dengan mata kepala
kami sendiri bagaimana nasib bermain di hadapan mata kami. Beberapa menit yang
lalu, tak ada beban yang cukup berarti bagi mayoritas kami, namun sedikit demi
sedikit semuanya berubah mulai jam istirahat. Perubahan jadwal demi
pengintensifan pembelajaran mata pelajaran UN membuat pergantian jam pelajaran,
waktu istirahat, dan pembagian jadwal setiap harinya terasa samar buat kami.
Belum lagi, jadwal dadakan yang tak bisa dipaksakan ini seringkali mengalami
bentrok yang membuat oknum pendidik kadang membagi perhatiannya ke beberapa
kelas sekaligus. Semua ini sedianya tak begitu mengganggu jika tak ada nilai UAS
yang dipajang di depan ruang guru dan sesi ‘tamparan’ motivasi tadi.
Saya mendapati nama saya sebagai
salah satu dari yang terpampang dengan kenyataan rata-rata nilai yang miris.
Tapi ini tak cukup dijadikan aib, karena pada kenyataanya saya bukan satu-satunya
yang bernasib demikian, saya bukan satu satunya yang berdiri menertawai nilai
sendiri yang hancur-hancuran, melainkan satu dari sekian banyak. Saya tak
membela siapapun, dan saya bersyukur atas itu. Untunglah saya bukan tipikal
orang yang lantas mengintimidasi kesalahan sendiri ketika masih banyak yang
seceroboh saya. Saya masih menikmati sisi manusiawi saya, itulah mengapa ini
bukan merupakan sebuah beban yang berat ketika saya kemudian memutuskan untuk
kembali ke kelas dan melupakannya. Yang terlintas dalam benak saya hanyalah
pemikiran semacam ini; andai kata UN
dilakukan dengan benar-benar bersih, jujur, dan tanpa kecurangan, lebih dari
delapan puluh persen siswa di sekolah yang tergolong favorit di regionalnya ini
tidak lulus.
Sebagai salah satu yang merasakan
efek pesatnya kemajuan teknologi, saya menyimak bagaimana informasi-informasi
menyebar dengan begitu cepat ke banyak orang lewat berbagai media, sekalipun
informasi tersebut merupakan informasi yang tergolong ‘gelap’ semacam
pembocoran soal atau semacamnya. Tapi ternyata, tadi saya dengar dari Wakasek
saya sendiri bahwa kabar yang selama ini beredar tersebut benar adanya. Mereka,
alumni kami, lulus, dengan bantuan tak sepantasnya dari para pendidiknya. Tapi
sayangnya ini tak lagi bisa dilakukan pada generasi kami karena sistem yang
kian diperketat. Dan adalah nasib buruk kami, untuk menjadi yang lulus pada
tahun ini, yang menjadi kelinci percobaan untuk teknis baru ini. Percobaan yang
sedianya mempertaruhkan harga diri dan masa depan kami.
Tahun ini, yang saya simpulkan
dari hasil tamparan motivasi tadi, tipe
soal UN terdiri dari 30 paket, dimana setiap paketnya sudah dibundel satu paket
dengan lembar jawabannya, dan sistem pembagiannya tak lagi berpeta, tapi acak.
Jadi, dengan demikian, rupanya perancang sistem ini semakin mahir menyiasati
kecerdikan para peserta UN, dan oke, inilah yang mereka inginkan. Memberlakukan
sistem kejam ini berlaku pada kami dan membiarkan yang sudah lolos dengan
kecurangan hidup sejahtera diluar sana.
Mengapa Harus UN?
Sekarang saya tanya, sesungguhnya
manakah sisi baik dari UN?
Dari jawaban yang hanya sekedar wacana klise, saya banyak mendengar bahwa UN sejatinya adalah parameter yang akurat untuk dijadikan tolak ukur mengenai kompetensi yang harus dimiliki setiap siswa yang akan diluluskan dalam skala nasional. Bahwa setiap negara harus memiliki acuan mengenai sudah seberapa maju pendidikannya, atau seberapa maksimal persiapan pematangan generasi bangsa yang dilakukan. Tapi wahai orang-orang yang berkepentingan dalam hal ini, yakinkah anda sekalian bahwa inilah yang anda sekalian ukur? Bukannya anda semua justru fokus untuk mengukur seberapa manusia masih bisa menggunakan otaknya untuk menyiasati pengetatan sistem anda dengan cara curang yang kian fleksibel?
Dari jawaban yang hanya sekedar wacana klise, saya banyak mendengar bahwa UN sejatinya adalah parameter yang akurat untuk dijadikan tolak ukur mengenai kompetensi yang harus dimiliki setiap siswa yang akan diluluskan dalam skala nasional. Bahwa setiap negara harus memiliki acuan mengenai sudah seberapa maju pendidikannya, atau seberapa maksimal persiapan pematangan generasi bangsa yang dilakukan. Tapi wahai orang-orang yang berkepentingan dalam hal ini, yakinkah anda sekalian bahwa inilah yang anda sekalian ukur? Bukannya anda semua justru fokus untuk mengukur seberapa manusia masih bisa menggunakan otaknya untuk menyiasati pengetatan sistem anda dengan cara curang yang kian fleksibel?
Selain dapat dijadikan tolak ukur
pendidikan nasional, apa lagi kecakapan dibalik sesosok monster bernama UN?
Untuk mengurangi kepadatan penduduk karena banyak yang bunuh diri? Lantas apa?
Yang ada justru sistem yang terus dipertahankan ini memiliki begitu banyak
kekurangan. Di bawah ini adalah beberapa kekurangan UN yang dapat saya
simpulkan.
1.
1. Sistem SKL
Sistem SKL membuat jauh sebelum
UN, peserta didik hanya memokuskan pembelajarannya pada kompetensi yang tertera
di dalamnya saja, padahal sesungguhnya mereka belajar lebih banyak dari itu
selama mereka bersekolah.
2. 2. Generalisasi Berbagai Tipe Peserta Didik
Sebagai manusia yang beragam rupa
dan pikirnya, peserta didik tak bisa digeneralisasi. Kurikulum pun sepantasnya
dibuat fleksibel agar bisa disesuaikan dengan penggunanya. Sistem UN terlalu
menggeneralisasi dengan hanya mengujikan pelajaran-pelajaran tertentu pada
semua jenis siswa, dan hanya terpisah secara sederhana melalui jurusan IPA dan
IPS atau IPA, IPS, dan Bahasa. Bahkan, siswa yang berjiwa IPS, yang di SMAnya
memilih IPS pun harus bergelut dengan IPA semasa SMP demi menjamin
kelulusannya. Generalisasi ini seolah menutup mata dari kenyataan bahwa mungkin
saja, peserta didik peserta didik yang tidak memiliki kecakapan untuk bisa
lulus memiliki kemampuan di bidang lain yang bahkan melebihi mereka yang lulus
UN dan bisa saja membuatnya memiliki pekerjaan bagus di luar sana. Nyatanya terlalu
banyak potensi yang terkubur oleh generalisasi ini.
3. 3. Soal Pilihan Ganda yang tidak Kompetitif
Seperti kata guru les saya, soal
pilihan ganda itu sebenarnya banyak memiliki kekurangan. Pertama, cenderung
tidak bisa membedakan yang mana yang benar-benar menguasai materi, yang mana
yang bandit kelas, atau yang mana yang bejo. Kenapa? Karena bukan perihal sulit
untuk menemukan ketiga tipe orang tadi memiliki nilai yang sama dalam satu tes.
Si bandit kelas yang licik bisa saja memeras jawaban dari yang lain, sedangkan
si bejo yang pasrah, bisa saja beruntung, sehingga nilai mereka pun sama dengan
si rajin. Bayangkan, usaha keras si rajin, kepasrahan si bejo, dan kelicikan si
bandit kelas akhirnya dihargai SAMA. Mungkin ini bukan masalah pada ulangan
harian, karena nilai tetap berada di guru, dan guru memiliki kuasa untuk
melakukan penilaian yang lebih objektif daripada sekedar lembaran jawaban
ujian, tapi apa komputer bisa melakukannya? Apa scanner juga menginput kelakuan baik, prestasi non akademik, dan
komponen-komponen lain yang pada kenyataannya kadang kala lebih berguna bagi
murid-murid tersebut dibanding sekedar nilai ujian yang bagus?
4. 4. Dampak
Ujian Nasional sendiri sudah
merupakan beban mental bagi para pesertanya, lantas bagaimana dengan hasil dari
UN itu sendiri? Tentunya lebih dari itu. Bunuh diri, gangguan kejiwaan, keputus
asaan, perasaan rendah diri, mengisolasi diri dari pergaulan, semua itu adalah
realita yang terpampang yang jumlah kasusnya berbanding lurus dengan angka
ketidak berhasilan atau ketidak lulusan peserta UN. Teknis yang berbelit yang
sebenarnya dimaksudkan untuk meminimalisir kecurangan semakin membuat harga
keadilan melonjak mahal. Lantas bagaimana dengan siswa siswa di sekolah
pedalaman yang memperjuangkan hak memperoleh pendidikannya setiap hari,
menempuh perjalanan penuh rintangan, dan akhirnya tidak lulus hanya karena
minimnya persiapan mereka yang berbau teknis karena sekolah mereka kesulitan
untuk mendapatkan akses informasi. Sementara daerah lain meraih angka kelulusan
seratus persen oleh kecurangan. Apa itu adil? Sebesar apapun pengaruh yang
dialami para penggagas sistem ini, tidak akan menandingi pengaruh yang tercipta
pada para ‘penikmat’ sistem ini. Kami, murid dan tenaga pendidik yang belum
siap dengan sistem ini dan terpaksa melakukan kecurangan adalah korban yang
sesungguhnya.
Generasi Cacat Potensi
Selama ini saya sering mendengar
kalimat seperti ini; “Proses itu jauh
lebih penting ketimbang hasil.” Atau
“Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan.” Atau bahkan, “Untuk bisa bertahan kita bukan dituntut
untuk menjadi orang pintar, melainkan orang yang kreatif.” Tapi sungguh
miris, kalimat-kalimat petuah tersebut bertolak belakang dengan UN.
Secara sederhana kita bisa
melihat UN sebagai mesin yang mencetak generasi yang memiliki kompetensi
mumpuni di bidang yang diujiankan, bukan begitu? Dalam kasus ini kita diajar,
diajar untuk memiliki kompetensi yang bisa membuat kita lulus dan memiliki
ijazah sebagai tiket untuk dijadikan robot untuk perusahaan asing yang banyak
menjajah kita secara implisit dewasa ini. Semakin tinggi tingkatan ijazah yang
anda miliki, semakin tinggi pula kesempatan anda untuk menduduki posisi yang
nyaman di perusahaan asing tersebut. Namun sadarkah anda, setinggi apapun
posisi anda, anda hanyalah pesuruh selama anda masih memiliki atasan. Dan
sayangnya sepertinya inilah yang kita kejar dari UN. Bukankah sebagian besar,
para lulusan sekolah menengah atas atau sederajatnya lebih banyak yang memilih
untuk cari aman, join ke yayasan outsourcing, dapat pekerjaan dengan sejumlah
uang pendahuluan, menerima gaji pas-pasan, menunggu diangkat jadi karyawan
tetap, dan akhirnya jadi karyawan tetap dan nyaman dengan posisi tersebut
daripada memilih untuk mengembangkan potensinya yang sebenarnya bisa saja
membuatnya memiliki bawahan sekelas bosnya sekarang.
Saya melihat ini sebagai momok
yang membayangi generasi kami. Mau tidak mau, suka tidak suka, saya adalah
salah satu dari Generasi UN. Sejak SD, kami dituntut oleh apa yang namanya UN
dan itulah mengapa saya mulai hapal wajah sistem ini yang sebenarnya. Kami
sejak SD dipaksa untuk menguasai pelajaran UN yang tidak kesemuanya sebenarnya
kami kuasai dan kami suka. Kami dipaksa untuk melupakan potensi kami untuk
terus belajar dan belajar demi meraih secarik kertas yang menyertifikasi
kelulusan kami.
Oleh sistem UN kami dipaksa untuk
merobotisasi diri kami, dan melupakan sisi manusiawi kami. Kenapa? Karena
sistem UN menggeneralisasi segala pluralisme diantara kami, menggeneralisasi
keberagaman potensi kami dan membuat kami tak ubahnya robot yang dicetak, dan
dirakit dengan pakem-pakem yang persis sama. Sisi manusiawi kami didustakan
oleh persoalan teknis. Sebuah robot diprogram untuk melakukan sesuatu yang
persis sama antara satu dengan yang lain setiap harinya sehingga kecerobohan
mereka sangat bisa diminimalisir. Tapi bagaimana ketika sistem ini dipaksakan
pada manusia? Soal bagaimana persoalan teknis kecil saja bisa mempengaruhi masa
depan seorang anak manusia. Sekali lagi, saya konklusikan, kami hanya manusia
biasa, maka berikanlah kami ruang untuk tumbuh sebagai manusia.
Secara teoritis, UN diadakan
untuk mengukur kompetensi kami. Tapi tak
setiap individu membutuhkan kompetensi yang sama untuk dapat menjadi orang yang
berguna bagi sesamanya. UN hanya mengukus tanak-tanak otak kiri kami,
sedang otak kanan kami dibiarkan teronggok tak memungsi. Intuisi soal seni,
keolahragaan, keterampilan, dan hal-hal yang bersifat ‘kanan’ lainnya dikubur
bersama dengan generalisasi ini. Seniman-seniman sekolahan yang masih sanggup
bertahan hanya mereka yang cerdik mencuri waktu, atau mungkin menutup mata dari
kenyataan dan memilih untuk bersenang-senang melegakan dahaga atas potensi
mereka dibanding terpuruk dan jatuh gila. Jika sistem yang ada sekarang bisa
diperbaiki, mungkin kita tak perlu lagi menjadi budak perusahaan asing lagi
kan? Jika sistem penggeneralisasian ini bisa digantikan dengan yang lebih
beradab, kita tak lagi akan kekosongan figur teladan, figur penggebrak, figur
pelopor, dan figur figur lainnya yang akhir akhir ini lenyap dari pandangan
kita.
Ini adalah realita bagaimanapun
anda mengelak. Selama ini, saya termasuk yang berpikiran kritis dan kerap
bertukar pikiran dengan orang-orang lain seusia saya yang juga punya pemikiran
yang sama kritisnya. Dari diskusi-diskusi itu kerap kali saya terperangah dalam
hati oleh seberapa briliannya pemikiran orang yang berbicara dihadapan saya
kala itu. Dan orang-orang itu ada banyak tak hanya satu, tapi sayangnya mereka
tak lain jugalah para generasi UN yang terposisikan sebagai korban dalam babad
ini.
Harapan Kami
Tulisan ini, adalah pemikiran
saya sejak sekian lama yang sudah beberapa kali saya kemukakan dalam diskusi
atau dalam tulisan lain. Tapi kembali saya menulis tentang hal yang sama atas
dasar keprihatinan saya terhadap peristiwa di sekolah hari ini. Saya rasa
banyak diantara kami yang dikumpulkan di auditorium tadi, atau mungkin kami
seluruh peserta UN tahun ini, yang menangis dalam hati, berharap kabar buruk
yang menakut-nakuti kami ini hanya mimpi siang bolong. Tapi nyatanya tidak
demikian, ini seratus persen nyata. Saya tak ingin meratifikasi validitas dari
berita atau pengumumuman-pengumumuman lain yang disampaikan guru-guru di
auditorium tadi, karena disini posisi saya masih sebagai anak didik, peserta UN
yang mau tidak mau harus tunduk kepada sistem yang ada, bukan sebagai kritikus
atau pengamat sistem pendidikan. Kapasitas saya masih hanya sebatas ini, dan
inilah yang kiranya dapat saya lakukan sesuai dengan kapasitas saya. Saya harap
anda-anda yang saya maksud mau mendengar suara ini.
Saya sebagai generasi penerus
bangsa, sebagai salah satu tokoh yang teraniaya dalam skenario kejam ini,
memimpikan sistem pendidikan ideal yang bisa memberikan kami kesempatan untuk
tumbuh menjadi diri kami sendiri. Saya hanya manusia biasa yang tak suka
dipaksa, tak suka dibungkam dan dirobotisasi. Kembalikan lagi hak kami untuk
dapat belajar dengan kesukacitaan, kegembiraan, dan keantusiasan tinggi jika
tak ingin membunuh lebih banyak lagi harapan bagi masa depan negeri ini. Saya
berkata demikian, menulis tulisan non fiksi ini karena saya peduli. Saya ingin,
sekalinya pun saya sudah lulus nanti, generasi kedepannya tak lagi merasakan
kesengsaraan yang sama. Saya tak peduli soal nasib, keberuntungan, atau apalah
itu. Kalau saya dihadapkan dengan realita pahit ini, berarti Tuhan menginginkan
saya untuk menjadi individu yang lebih tegar yang mampu melihat kasus ini
secara keseluruhan, yang juga merasakan pahitnya sehingga saya bisa
mengangkatnya kedalam pemikiran-pemikiran saya dan berpikir untuk menemukan
solusinya. Saya bukan individu yang lantas membenci negara saya dengan ketidak
adilan ini, karena bukan negaralah yang mendalanginya. Orang-orang di
pemerintahan sanalah yang kurang teliti dalam mencermati kami, dan adalah tugas
generasi selanjutnya untuk lebih teliti lagi. Saya mencintai negara saya, saya
menginginkan yang lebih baik bagi negara ini kedepannya, terutama soal sistem
pendidikannya karena inilah yang sesungguhnya menjadi tonggak kesinambungan
kedaulatannya.