Oke, sesuai dengan judul, mari kita bersama buka forum
doktrinisasi ini#halah, maksud saya jajak pendapat ini dengan saling
mengucapkan…
“SELAMAT HUT REPUBLIK INDONESIA YANG KE 67!!”*tebar confetti*
Gimana nih, HUT RI kalian? Serukah? Ramekah? Membangkitkan
nasionalisme kah? Atau malah boring nan sepi gara-gara pada puasa ya? Aduuh…
jangan kalah sama puasa dong! Bukan berarti kita harus menanggalkan puasa untuk
Independence Day kita tercinta ini, melainkan tetap berusaha memaknainya
ditengah segala keterbatasan ruang gerak yang ada. Toh, tanggal 17 Agustus
pertama yang bermakna sungguh tinggi buat negeri kita juga jatuh di bulan
Ramadhan kan? Nah, seharusnya ini menjadi kesempatan buat kita untuk merasakan,
bagaimana sebenarnya rasanya memperjuangkan detik-detik kemerdekaan ditengah
deraan haus dan lapar.
Mirisnya, untuk generasi sekarang, 17 Agustus bak tidak
memiliki kepentingan apapun lagi. Mungkin sebagian memang masih ingat kalau ini
hari kemerdekaan kita, tapi hanya do
nothing dan berpikiran begini: Kita sudah merdeka, mau diapakan lagi.
Mereka yang demikian sesungguhnya tak menyadari arti penting dari sebuah
peringatan. Padahal secara mendasar, peringatan justru merupakan satu-satunya
dimensi penghubung antara masa kini dan masa lalu.
Yah, untuk kalian yang berideologi seperti apa yang saya
kemukakan tadi, coba dipikirkan ulang, apa ideologi yang kalian pilih untuk
lakukan ini adalah yang benar? Tentunya bukan ‘kan?
Setidaknya saya beruntung, beberapa tahun belakangan seorang
sahabat saya, bokap saya, seorang guru saya disekolah dan beberapa pelajaran
favorit saya menyadarkan saya mengenai seberapa teguhnya tugu nasionalisme
seharusnya. Tapi tugu yang hampir roboh itu hanya bisa ditegakkan oleh kekuatan
bahu-membahu dan semangat gotong royong dari seluruh rakyat negeri ini.
Sayangnya lagi, kekuatan tersebut hanya berlaku kala rakyat itu demikian
mencintai negerinya, dan untuk menemui mereka yang berideologikan demikian,
sulitnya tak ubah menangkap teri di air berlumpur.
Mereka, yang banyak menyadarkan saya tadi, begitu banyak
memberi tahu saya dan menjadi tempat bagi saya untuk bertukar pikiran soal
cinta terhadap negeri ini. Mereka membangun kesadaran pada diri saya dan
menumbuhkannya dengan subur, kesadaran jikalau sedianya memang telah begitu
banyak yang negara ini berikan untuk warganya dan adalah tugas utama seorang
warga negara untuk meresponnya kembali, berterimakasih dan melakukan yang
terbaik untuknya.
Saya cinta negeri ini, dan saya sadar cinta ini jauh lebih
menyejukkan jiwa saya dibanding cinta soal pengalaman pribadi saya yang cukup
mengecewakan. Meski masih menduduki peringkat setelah kepada Tuhan dan orang
tua saya tentunya. Dan buat pribadi saya sendiri, peringatan tujuh belas
agustus tahun ini agak berbeda, atau sangat berbeda mungkin.
Sejak beberapa tahun terakhir, bulan Agustus bertepatan
dengan bulan Ramadhan, dan ini tak bisa dipungkiri meminimalisir kemeriahan.
Bahkan saya hampir jatuh rindu kepada semarak lomba-lomba dan segala macam
parade yang biasanya amat mudah ditemui. Di kali pertama tujuh belas Agustus
Ramadhan, mungkin masyarakat banyak yang masih semangat dan optimis dalam
menyongsongnya sehingga mereka masih menyemarakannya di malam hari, tapi kian
kemari, semangat itu kian memudar.
Lingkungan tempat tinggal saya didominasi oleh dua jenis
kelompok masyarakat. Kelompok pribumi yang kebanyakan berada di usia yang tidak
produktif lagi, dan kaum pendatang yang sedang sibuk-sibuknya dengan pekerjaan
mereka. Anak-anaknya terlalu awam karena tak tahu apa-apa sedangkan para
pemudanya begitu acuh soal urusan semacam ini. Inilah kiranya yang membuat saya
prihatin soal hari kemerdekaan. Bagaimana mungkin, hari yang sedianya amat
sangat mahal ini, hari yang kita beli dengan milyaran kepala, lautan darah dan
air mata, serta begitu banyak pengorbanan lainnya selama berabad-abad lamanya
kini teronggok tak berharga, teracuhkan begitu saja.
Kian kemari, jarang juga saya dapati rumah-rumah yang
memasang bendera. Padahal dulunya? Jangankan rumah, sepeda pun dihias
sedemikian rupa dengan berbagai aksesori merah putih kala sudah dekat dengan
hari H. Sekarang, liputan di TV banyak yang menyoroti tukang bendera pinggir
jalan yang mengeluhkan dagangannya yang tak laku. Padahal, di Amerika saja,
yang kemerdekaannya sudah berusia ratusan tahun, the 4th July masih
diperingati dengan sangat meriah. Tak hanya oleh warga tua, tapi semua lapisan
usia. The 4th July dirayakan bukan hanya di kawasan perumahan,
pemerintahan, atau kedutaan-kedutaan besar Amerika di berbagai negara, tapi
juga berbagai tempat hiburan, mall, restoran, dan bahkan bar. Tempat-tempat itu
menyebar diskon, menyelenggarakan acara besar-besaran, dan berbagai jenis
perayaan meriah lainnya. Mereka beranggapan the 4th July bukan lagi
hanya sebagai hari libur nasional, atau sekedar peringatan tanpa makna,
melainkan momen sekali setahun yang maha penting, yang membuat mereka bersatu
diatas segala kemajemukan yang mereka miliki, dan berbangga hati sebagai
seorang Amerika.
Jika membandingkannya dengan kondisi di negara kita, agaknya
sulit bagi kita untuk melampauinya. Toh di usia negara kita yang masih muda
saja, 17 Agustus sudah sedemikian sepinya. Selain upacara sakral di istana
negara, apa kita punya agenda khusus lainnya?
Untuk saya sekeluarga, tahun ini kami berkesempatan mengecap
17 Agustus dengan rasa yang agak berbeda. Karena kebetulan sudah dekat dengan
lebaran, jadi kami sudah berada di kampung halaman pada hari itu, tepatnya di
tanah kelahiran bokap saya, Salatiga, Jawa Tengah. Saya sudah banyak cerita di blog ini soal Salatiga dan kekaguman
saya yang luar biasa terhadapnya. Terhadap lansekap alamnya yang memukau,
tradisinya, juga untuk yang kali ini, atmosfer nasionalismenya yang ternyata
masih amat begitu kental.
Seminggu terakhir puasa, saya sudah mendapati diri saya
sampai di kediaman Mbah saya di Salatiga. Disana, tinggal pula seorang sepupu
saya yang duduk di kelas satu SMP. Di tempat saya di Cikarang, sekolah sudah
diliburkan sesuai dengan kalender pendidikan dan semua kegiatan telah
ditiadakan, termasuk Upacara 17 Agustus yang tak dilaksanakan di sekolah
seperti sebagaimana harusnya. Tapi disini, semua itu tidak ada.
Di minggu terakhir bulan Ramadhan, kegiatan belajar-mengajar
memang telah ditiadakan karena sudah masuk waktunya liburan, tapi
mencengangkannya, meski sedang berpuasa sepupu saya yang bersekolah disana
tetap datang pagi ke sekolah setiap harinya, lengkap dengan seragam berupa
setelan kemeja putih lengan panjang dengan rok sepan selutut dengan warna
serupa. Saya tanyai hendak kemana, dan dengan ringan ia menjawab “Latihan
upacara Mbak, nggo pitulasan (buat 17 Agustusan).”
Siiiinggg…
Angin
dingin serasa lewat lubang telinga saya tanpa permisi. Serius, saya merinding
ketika itu. Bayangkan saja, jangankan untuk latihan upacara dalam kondisi
berpuasa, untuk mencapai sekolahnya yang terletak di pinggir jalan raya sana
saja, medan yang harus dilalui sudah sedemikian sulit dan jarak tempuhnya luar
biasa, dan ada satu lagi, jalan kaki.
Pertama, melewati jalan setapak pinggir kali batu yang
aliran airnya kering sehingga batu-batu cadas yang besar besar itu siap
menghancurkan tubuh dengan sekali hantaman ketika kita lengah sedikit saja dan
terjatuh. Melewati jembatan titian yang terbuat hanya dari anyaman bambu
selebar 40 cm, licin, dan luar biasa tinggi jaraknya dari dasar kali. Selepas
itu, menyebrangi kebun-kebun sayuran warga, ladang kosong yang ditumbuhi penuh
rumput gajah setinggi-tinggi orang bule, jalan pematang dari tanah yang licin
dan berundak-undak, dan seperti yang saya bilang tadi, jaraknya yang luar
biasa. Sebenarnya ada jalan lain yang medannya tak sesulit itu, tapi jaraknya
berkali-kali lipat lebih jauh, dan untuk menghemat waktu agar tetap bisa datang
pagi, sepupu saya dan kawan-kawannya lebih memilih jalan yang seperti ini.
Selesai medan yang berat itu, bukan lantas mereka sampai, mereka harus melewati
lagi jalan utama kampung yang panjangnya kurang lebih satu kilometer lagi,
lengkap dengan tanjakan dan turunan yang cukup ekstrim tentunya. Tapi kerennya,
dengan ringan mereka melewati itu setiap pagi, dalam kondisi berpuasa, hanya
sekedar untuk latihan upacara. Dan konyolnya juga, bukan hanya para petugasnya,
tapi juga tim obade dan sekedar peserta yang sebenarnya tanpa harus datang
latihan pun mereka tetap bisa mengikuti upacara dengan baik.
Alasan mereka sebenarnya cukup sederhana. Latihan upacara
bukan hanya soal mencapai kesempurnaan pada penyelenggaraannya di hari H nanti,
tapi juga soal berkumpul dengan teman-teman, memperjuangkan keberhasilan mereka
bersama-sama, dan menggenggam peranan sebagai seorang siswa yang juga sedang
mengabdi pada negara.
Kata yang terlintas di pikiran saya hanya satu; “kereen…”
Saya jadi bertanya-tanya apa masih ada siswa seperti mereka di kawasan tempat
tinggal saya sana, siswa yang dengan rajinnya, datang ke sekolah tanpa ada
ancaman alfa jika tidak hadir hanya
untuk latihan upacara. Siswa-siswa di daerah tempat tinggal saya justru seperti
pemburu hari libur dan mendadak menjadi zombi ketika menemui hari liburnya,
malas bangun dari tempat tidur, menghabiskan waktu untuk bergumul dengan jejaring
sosial atau game online kesayangan sepanjang hari tanpa peduli ada apa
sebenarnya dibalik hari libur yang mereka nikmati.
Seminggu yang membuat saya tercengang itu akhirnya sudah
sampai pada ujungnya, yeah, ujung yang ditunggu-tunggu sama sepupu saya dan
kebanyakan orang lain disini. Sore tanggal 16 Agustus, bertepatan dengan rapat
golongan muda yang diadakan di gedung bakteriologi Universitas Indonesia 67
tahun yang lalu, bapak saya mengecat ulang rumah Mbah saya berhubung memang
karena catnya sudah agak pudar dan ada dua momen besar yang akan datang dalam
waktu dekat yakni tujuh belasan dan lebaran tentunya. Dan pekerjaan yang
terlihat mudah tapi sebenarnya kuasa membuat tangan anda luar biasa pegal itu
berlangsung hingga larut malam. Yaah… bokap saya memang workaholic, atau
katanya apabila ditunda besok, yang ada malah berantakan, apalagi ketika
anak-anak kecil yang banyak ditemui disini telah mencapai kebangkitan dari
tidur nyenyak mereka#bah. Akhirnya, saya pun menemani bokap sambil fb-an hingga
larut malam. Tepat ketika pergantian hari pukul 00.00 lewat sedikit, saya
menulis sebuah testimoni, ungkapan selamat saya untuk negeri yang tengah
mengulang sejarah hebatnya ini. Saya mungkin tak sanggup jadi orang-orang hebat
yang berdiri tegap dibalik sejarah kesuksesan disandangnya jubah kemerdekaan
oleh negara ini, tapi inilah cara saya berusaha menjadi nasionalis di hari-hari
sekarang, saya harap ini pun ada harganya.
Pukul tiga pagi kami dibangunkan untuk Sahur setelah belum
genap tiga jam memejamkan mata. Akan tetapi, alih-alih meneruskan berpetualang
di alam mimpi seperti biasanya, bokap saya justru mengajak saya untuk ikut
dengannya dini hari itu. Selepas sholat subuh di Langgar, bokap saya menyandang jaket dan lantas mengajak saya untuk
ikut dengannya keluar rumah, menembus pekatnya kabut dan udara yang luar biasa
dinginnya, dan tak lupa adek saya juga ternyata memaksa untuk ikut.
Jika hari sudah siang, mungkin saya nggak akan sanggup
menempuh perjalanan yang sedemikian melelahkannya. Jalan desa yang kami
telusuri, atau daki tepatnya, memiliki kemiringan yang luar biasa ekstrem.
Bokap saya yang mantan pribumi masih bisa bertahan dengan cara jalan dan
stamina yang biasa, tapi buat seorang akrofobia, penderita asma, dan non
pribumi yang biasanya hidup ditengah terik matahari di dataran rendah dengan
tanah datar tak berkontur macam saya, cara jalan biasa sudah jauh dari angan.
Jarak yang terpaut antara bokap saya yang menggendong adek saya dan saya pagi
itu terpaut cukup jauh. Beberapa kali, saya memaksakan diri tapi tetap lebih
sering berhentinya. Semakin keatas, angin yang berhembus semakin kencang dan
dingin. Sinar matahari belum nampak berkasnya, meski langit yang sebelumnya
pekat telah sedikit demi sedikit beralih menerang. Bintang-bintang masih ada dalam
posisinya dan bulan yang berpendar lembut masih setia menunggu pengganti
kedudukannya yang sedang dalam perjalanan kemari. Pepohonan di jauh sana
menyamarkan keberadaan mereka dalam hitam yang pekat tak tersentuh cahaya, dan
belum ada orang lain yang kulihat mendaki gunung sepagi kami sejauh ini.
Dari tempat saya bertahan dalam kelimbungan, bapak saya
terlihat menyetop langkahnya. Ia kemudian melangkah berbelok di sebelah sebuah
pohon cemara yang sangat tinggi. Dari jarak yang cukup jauh, saya mendengar
suaranya dengan jelas “Segini aja cukup.” Tak berapa lama, semangat saya
kembali berkobar mendapati garis finish yang sudah ada di depan mata meski
jelas sudah pada kenyataannya saya kalah. Tapi ayolah, dengan kualifikasi
serendah saya dibanding Beliau, andai kata saya berhasil mendahului beliau, itu
berarti bahkan saya lebih dari sekedar menang.
Seretan kaki terakhir saya akhirnya berhasil membawa saya
pada pohon cemara tempat bokap saya berbelok tadi, dan diujung pandangan saya pada setapak jalan yang saya
hadapi terbentang tak terlalu jauh dari hadapan saya, saya lihat beliau berdiri
di semacam tepian tebing. Ketika itu, matahari sudah berjarak jauh lebih tinggi
daripada tadi meski kian kencangnya angin yang berhembus tetap menahan suhu
disini untuk tidak mengalami kenaikan sedikitpun. Beberapa kali saya sempat
bersin akibat alergi dingin saya yang tak mampu berkompromi dengan kondisi
cuaca seperti ini, tapi semua itu terkesampingkan dengan segera ketika saya
mendapati apa yang sedang dipantengi oleh bokap dan adek saya dihadapan mereka
adalah apa yang luar biasa keren dan belum pernah saya lihat sebelumnya. Yak,
matahari pertama di usia Indonesia yang ke 67 ini yang terbit dari balik gunung
Merbabu di jauh sana, yang menyiramkan keemasan cahayanya ke semua yang ada
dihadapannya dengan sama rata, membuat seketika lembah di bawah tebing tempat
kaki-kaki kami berpijak berkilauan oleh siraman cahaya keemasan yang memukau.
Permukaan gunung yang berrelief membuat padanya terpeta pola-pola cantik, desir
angin, nyanyian serangga malam yang kian memelan, kicau burung dan derit
gesekan bebatangan pohon di hutan menciptakan melodi selaras orkestra alam yang
mengiringi pertunjukan spektakuler ini dengan sangat imbang dan sempurna. Untuk
kali ini, tanpa sebuah rencanapun, tanpa ekspektasi atau dugaan apapun, tanpa
ambisi atas perfeksionisme sebuah even, saya menikmati salah satu even paling
sempurna sepanjang hidup saya hingga kini, dan kenyataan bahwa ini adalah
matahari pertama di 17 Agustus, hari yang spesial untuk saya dan negara saya,
membuat entah kata apa lagi yang pantas mendeskripsikannya selain sempurna.
Dari ketinggian saya ketika itu, saya bisa melihat jelas
jalan yang saya telusuri, ladang sayuran keluarga mbah saya, rumah beliau,
jalan desa yang tak kenal kata datar dan lurus sampai ke sekolah sepupu saya
dan jalan raya, bahkan kerlingan lampu di kota Salatiga dan birunya Rawa Pening
yang mengintip dari balik perbukitan disekitarnya. Semua itu bisa saya lihat
jelas meski hanya dengan ukuran kecil. Dan ternyata ada banyak keindahan lain
yang tak saya sadari selama ini, kehidupan pedesaan yang ternyata memiliki
sinergi yang luar biasa kuat dengan alam, masyarakat yang awam soal pengaruh
luar dan globalisasi ini hidup dengan amat damai, para mantan veteran dan saksi
mata perjuangan bangsa disini mewariskan semangat nasionalis dan partriotik
mereka pada anak cucunya sehingga terciptalah harmoni ideal yang amat sempurna
soal sinergi dari unsur-unsur penyokong utama kehidupan yakni Agama, alam, dan
bangsa. Masyarakat desa ini adalah satu, satu kesatuan masyarakat, satu adat,
satu paham, dan menjadi satu dibawah naungan alam yang mereka jaga dan
lestarikan, dengan nyala api semangat kebangsaan yang besar dan tak kunjung
padam.
Sebagai kelanjutan dari latihan upacara yang dilakukan oleh
sepupu saya dan kawan-kawannya seminggu belakangan ini, masih dari tempat yang
sama, saya melihat kerumunan berseragam yang terlihat sangat kecil itu berjalan
menyusuri medan perang mereka yang biasanya, bahkan ketika matahari belum tinggi
untuk menyongsong hasil dari kerja keras mereka selama ini, mempersembahkan
yang terbaik yang mereka bisa untuk negeri ini. Selepas upacara, makam pahlawan
setempat di desa ini ramai dikunjungi oleh entah berapa kelompok berseragam
yang membaur dalam satu almamater hari itu saja, almamater sebagai generasi
penerus sebuah bangsa yang besar, bangsa Indonesia. Mereka berziarah, berdoa
untuk mereka, dan mengadopsi semangat mereka dalam hati dan jiwa mereka
masing-masing. Sungguh merupakan sebuah esensi, nasionalisme yang esensi, yang
bahkan mungkin tak lagi dimiliki para petinggi yang tak malu jadi parasit untuk
negeri ini di atas sana.
Saya ingat, seseorang yang menjadi salah satu dari anak-anak
itu dua puluh tahunan yang lalu pernah bercerita kepada saya. Dulu, waktu Pak
Harto masih jadi presiden, ada yang namanya AMD, atau ABRI Masuk Desa. Ketika
itu, ABRI memang memegang peranan penting dan sangat dekat dengan masyarakat,
mereka membangun jalan-jalan desa dan infrastruktur lainnya termasuk untuk desa
ini. Waktu itu, kebetulan rumah mbahku yang merupakan sesepuh kampung dijadikan
semacam base camp. Hebatnya adalah, ketika itu ABRI dan warga benar-benar tanpa
jarak, saling bahu-membahu membangun desa yang dulu bahkan belum dialiri
listrik ini. Bokap saya juga cerita, suatu ketika, salah seorang petinggi ABRI
datang mengontrol kesana, dan beliau adalah M. Yusuf, salah satu dari ketiga
orang yang menyampaikan Super Semar ke Soeharto, dan kerennya bokap pernah jadi
salah satu dari bocah SD yang nonton parade kendaraannya beliau, dan melihat
beliau secara langsung sambil ngibar-ngibar bendera kecil di pinggir jalan. Itu
keren, man. Seenggaknya bokap saya pernah melihat salah seorang penghuni tetap
buku sejarah. Haah…
Tapi ada yang jauh lebih keren. Apa? Yakni kesinambungan
dari nasionalisme itu sendiri. Ternyata nggak ada bedanya nasionalisme mereka
sekarang dan dua puluh tahunan lalu. Pijar-pijar kecintaan terhadap bangsa
sendiri itu benar-benar dipupuk, dan inilah hasilnya. Ah, andaikata seluruh
anak negeri bisa tumbuh dalam atmosfer seperti ini, pasti keadaan Indonesia tak
akan sampai semiris sekarang. Oleh karenanya, saya sebagai salah satu yang
pernah menyaksikan pemaparan salah satu nasionalisme ternyata ini, tak rela
apabila sentuhan asing apapun mengusik keindahan harmoni ini. Jika dalam dua
puluh tahun, nasionalisme bisa mengakar dengan subur disini, maka harus juga
untuk dua puluh tahun dua puluh tahun yang akan datang. Anda juga setuju ‘kan?
Dan inilah, tempat ajaib yang menjadi latar dari dari serangkaian penuturan panjang lebar saya diatas. Pagi mendung, ketika saya mengunjunginya di hari yang lain. |
No comments:
Post a Comment