Cerpen yang dibuat dengan tjara saksama dan dalam tempo yang sesingkat-singkatnya, selamat menikmati, semoga menghibur~
Mana yang lebih
cocok, kota musik atau musik yang memenuhi kota? Aku berani bertaruh kalian
akan segera menjadi sebingung diriku kala kaki kalian berpijak di sini, sama
seperti yang dilakukan seorang jenius bernama Mozart berabad lalu, dibawah
naungan langit biru Salzburg yang terkesan dingin dan elegan. Sebongkah tanah
bagian dari bumi yang ajaib, dimana kicau burung, nisbi angin, dan irama
kehidupan lainnya bisa terdengar selaras, padu, dan melodis bak orkes akbar
yang digelar di Gedung Opera setiap tamu penting berlawat kesini.
Salzburg yang
indah, elegan, dan historis. Sungguh, aku bangga jadi bagian dari kota ini. Betapa
tidak? Banyak orang dari seluruh penjuru dunia datang keseini untuk sekedar
berwisata atau bahkan tinggal beberapa lama untuk menggali sebanyak-banyaknya
berbagai disiplin ilmu dari kota ini, terutama soal musik. Banyak betul dari
mereka yang jatuh cinta pada tempat ini, bahkan bermimpi terlahir disini. Itu
sekali lagi menegaskan, betapa beruntungnya posisiku sebagai warga Salzburg.
Meskipun diantara semua hal yang Salzburg miliki, aku masih merasa ada yang
kurang.
Sekalipun aku
mencintai Salzburg, dan akan sangat sulit hidup tanpa kota ini, kota ini
nyatanya akan tetap berdiri pada porosnya yang stagnan tanpa aku. Eksistensiku
baginya setipis satin halus buatan Prancis. Aku hanya seorang warga negara
dengan profesi sebagai pemain junior biola di sebuah orkestra kelas menengah.
Mungkin jika aku tinggal di tempat lain nun jauh disana, menyusuri jalanan kota
dengan kotak biola di tangan bisa dibilang cukup eksentrik, tapi tidak disini,
semua orang melakukannya. Tapi bagiku, selama aku dan biolaku masih bisa
menikmati hidup dengan semestinya, aku tak keberatan.
Tak jauh dari jalan
sempit dimana terdapat rumah nomor sembilan tempat seorang ikon Salzburg
dilahirkan dahulu, aku punya hal lain yang bisa menghiburku. Secangkir kopi
panas ditengah dera angin musim gugur yang mendekap raga dalam atmosfer yang
hampir beku. Maklum, ini dataran tinggi, negara beriklim dingin, Eropa Tengah,
di pertengahan November. Tapi setidaknya, atmosfer yang dihasilkan dari
dekorasi interior café ini hangat, sangat hangat.
Pintunya pintu kaca
berdaun dua, dimana setiap terbuka akan ada lonceng yang bergemerincing
mengikutinya. Dindingnya dihiasi kertas dinding bermotif berwarna cokelat, kusen
pintu dan jendelanya keemasan, dan ornamen kayu bertebaran dimana-mana.
Jendela-jendela besar —yang membuat kehidupan membekukan diluar seolah hanya
drama dalam akuarium— berjajar rapi di salah satu sisinya, sementara sisi yang
lain diisi lukisan, foto-foto kuno, kasir dengan mesin tua, dan menempel pula
padanya sebuah meja berisikan seperangkat gramafon yang masih jernih betul
suaranya. Untuk hari ini, gramafon itu memutarkan Liebestraum No.3, gubahan
Komposer kondang dari negara tetangga—Hongaria—, Ferenc Liszt.
Tempat favoritku,
di dekat jendela tak terlalu jauh dari gramafon itu. Sehingga seramai apapun
café ini, aku tetap bisa menikmati pertunjukan drama dalam akuarium dengan
iringan musik klasik yang sempurna. Hari ini, seperti biasanya, tempat itu kosong.
Bukan karena sudah kupesan, melainkan jika boleh jujur, café favoritku ini
sebenarnya memang tak terlalu ramai. Entahlah, mungkin ritme kehidupan penghuni
kota ini memang selalu presto oleh musik,
sehingga lebih parah dariku, tak banyak dari mereka yang mau meluangkan waktu
untuk hal seperti ini. Aku tidak peduli, yang penting aku mendapatkan apa yang
aku mau, estetika yang tak mereka tahu, sebuah pementasan drama dalam akuarium
dengan iringan musik dari gramafon tua yang eksentrik ditemani biolaku dan
secangkir kopi diatas meja kayu.
“Permisi, boleh aku
duduk disini?” aku cukup tersentak. Drama akuariumku terhenti meski musiknya
tidak. Orang itu baru saja merusak acaraku.
“Boleh saja.” maaf,
aku memang tak begitu ramah. Apalagi kepada seseorang yang telah menginterupsi
ketenanganku. Aku harus segera menoleh dan memastikan bahwa si pengganggu ini
memang harus menggangguku karena sudah tak ada kursi lain lagi.
“Danke!” kosong. Café ini bahkan kosong.
Satu-satunya pelanggan disini adalah aku, dan orang ini yang kedua. Seorang
wanita, dengan wajah cerah, senyuman ramah, aksen bicara Magyar yang rancak, bahasa tubuh yang bersemangat, dan… entahlah,
ia membuatku harus berpikir dua kali, tapi… oke, gadis pengganggu, kau,
menarik.
Untuk beberapa
detik rotasi pikiranku terpaku padanya. Apa pernah aku kehilangan kendali atas
kinerja otakku sebegininya sebelum ini? Sungguh, di tengah dingin dan
berkabutnya musim gugur kali ini, sosok dihadapanku ini berpendar begitu cerah.
“Ada yang
mengganggumu? Jika begitu aku akan pindah.” kau memecah lamunanku, menarikku
kembali ke alam sadar secepat kilat.
“Tidak, silahkan.”
oh, pria kikuk, betapa malangnya dirimu. Gadis yang cukup menyita perhatianmu
baru saja mendapatimu terbengong dihadapannya dan kini ia hampir pergi. “Jadi,
hanya berkunjung, atau akan berdomisili?”
“Eh, kau tahu aku
bukan orang sini?”
“Sebagai salah satu
penghuni Salzburg aku tahu seperti apa para penghuni Salzburg, sepertinya, dan
nona, dirimu, samasekali tak seperti kami.” tema ringan yang kuusung cukup berhasil.
Aku berbincang cukup banyak dengan gadis matahari musim gugur itu.
Perbincangan yang
manis. Entah bagaimana aku bisa berada pada posisi yang sangat nyaman ketika
berbicara dengannya. Tutur katanya mengalir deras, intonasinya ia permainkan
dengan sempurna, bersemangat, alami. Surai keemasannya yang panjang tergerai
jatuh, berkilauan. Sesekali matanya yang sewarna zamrud mengerling, lalu
terpejam dan terbuka lagi. Cantik. Ia benar-benar matahari musim gugur.
“Jadi kau pemain
biola? Pekerjaan yang hebat!” pandanganmu sekilas menyapu biolaku yang
tergeletak diatas meja.
“Tidak, nona.
Hampir semua orang melakukan itu disini. Aku hanya salah satu, junior, dan
samasekali bukan apa-apa.”
Belum pernah
perhatianku tersita sebanyak ini pada seorang gadis yang baru kukenal. Kau
mempermainanku, Matahari Musim Gugur. Kau menarikan pikiranku sehingga semuanya
yang termuat disana mendadak hanya dirimu. Kau menggulingkan kontrol atas
diriku dan mempermainkannya, entah bagaimana caramu tapi aku benar-benar
menikmati perbincangan singkat kita ini. Seketika aku telah kau bawa melambung
tinggi, dengan semua hal tentangmu yang membuatku bingung apa yang sebenarnya terjadi
padaku. Tapi kemudian mendadak kau pergi. Menghilang bagai bintang di pagi
hari. Lenyap, tanpa jejak apapun untuk kutelusuri. Kau pergi tiba-tiba tanpa
meninggalkanku setidaknya sebuah nama untuk tak dilupakan sepanjang aku masih
bisa mengingat.
“Ah, tidak. Sudah
jam segini, aku harus pergi.” Seketika penuturanku terhenti. Kau pergi? Serius?
Kisah kita kukira baru akan dimulai.
“Begitukah?”
“Sialnya iya.
Baiklah, terimakasih tuan…” kau menjeda bicaramu.
“Edelstein,
Roderich Edelstein.”
“Ah, danke, Roderich! Auf Wiedersehen!” Ia lantas berlalu. Kemerincing bel dari pintu
café yang ia buka terus terngiang ditelingaku. Duniaku berputar-putar. Kala
kutatap jendela, aku melihat sosoknya yang berlari menjauh dalam drama akuarium
yang kunikmati sebelum ia sampai disini. Menjauh dan menjauh hingga kendaraan
yang berlalu lalang akhirnya menelan sosoknya tanpa sisa. Bersih, benar-benar
tanpa sisa kecuali yang di benakku saja.
Kedatangan si
Matahari Musim Gugur yang tiba-tiba itu agaknya membuatku menyesali kemonotonan
hidupku selama ini. Aku tak punya gairah dan kharisma sebagaimana dirinya tadi,
aku tak pernah jadi orang yang penuh ekspresi dan meluap-luap seperti dia.
Ia membuatku sadar
apa yang kurang dari kota ini. Salzburg yang elegan ternyata begitu sepi. Bukan
oleh suara, karena berbagai suara indah terlantunkan disini. Melainkan Aku oleh
gairah yang meluap-luap dalam kota ini. Sebagaimana diriku, Salzburg ternyata
memang terlalu tenang. Hidup yang kuanggap sempurna selama ini ternyata hanya
skrip opera sabun yang monoton.
Diam berarti
melepaskan banyak kesempatan untuk pergi. Sama seperti ketika si Matahari Musim
Gugur berlalu tadi. Aku hanya diam, mematung, dan kaku, padahal seandainya aku
lebih cepat sedikit saja, aku mungkin bisa tahu namanya.
Ah, jadi ini yang
namanya kejutan. Dengan bertahan dalam kemonotonan selama ini aku menarik diri
jauh-jauh dari yang namanya kejutan. Tapi saat ini aku justru terperangah
dibuatnya. Aku hanya pemain junior biola, warga negara biasa, lelaki dua puluh
tahunan biasa. Tapi sekarang kiranya aku sadar bahwa sangat disayangkan jikalau
diatas semua hal ‘biasa’ yang kumiliki aku hanya menjalani hidupku dengan
biasa. Selentingan terkadang mungkin perlu, dan kemonotonan bukan sesuatu yang
bisa mencegahku untuk menikmati hidup ini lebih jauh lagi.
Jauh di dalam
hatiku, pertemuan denganmu bisa jadi lebih dari sekedar pertemuan. Dalam
sekejap, dengan beberapa untaian kalimat saja kau telah membuatku melihat
banyak warna. Aku masih ingin kau menunjukan warna-warna lainnya karena
dimataku semuanya monokrom. Sosokmu yang bercahaya tak akan bisa kulupakan dan
di dalam sana, di dasar hatiku, aku merasakan bahwa kau lebih dari sekedar
matahari musim gugur di kafe langgananku. Kuharap kau bisa menjadi
kejutan-kejutanku yang selanjutnya, yang membawakanku lebih banyak warna ke
hidupku.
Seperti katamu, Auf
Wiedersehen (sampai jumpa)…
Yuanita WP.( XI CI 1)