Istilah game pasti tak asing lagi di telinga kita. Diluar konteks harfiahnya yang berarti permainan dalam bahasa Inggris, game yang kita fikirkan begitu kata-kata ini terdengar pasti adalah berbagai jenis permainan modern ala kaum urban yang marak dikalangan anak – anak sampai dewasa beberapa tahun belakangan. Riwayat game sendiri mungkin hampir sejalan dengan komputer. Tapi tentu bukan komputer saat masih berupa mesin hitung dulu. Masalahnya kini apapun jenisnya nampaknya agak kurang lengkap alat elektronik tanpa game, bukan begitu?
Hmm.. tapi kawan, selain dampak positifnya sebagai terobosan baru dalam dunia hiburan, seni dan teknologi, game juga memiliki tak sedikit list dampak buruk, khususnya untuk pelajar. Sudah merupakan rahasia umum jika pelajar merupakan pecandu game utama. Dan banyak diantara mereka yang menomorduakan urusan sekolah demi bermain game. Nah jika sudah begini, apa masih layak game disebut sebagai budaya, trend, atau hiburan semata?
Game mengandung semacam seduktif psikologis bagi penikmatnya. Karena bermain game berarti memasuki dunia lain yang mungkin kenyataan di dunia tersebut berbeda jauh dengan kenyataan di dunia yang sebenarnya. Hal seperti ini membuat tak sedikit pecandu game cenderung asyik sendiri di dalam game-nya dan anti sosial. Game yang diciptakan dengan niat baik yakni untuk mempermudah manusia mendapatkan hiburan tak seharusnya disalahgunakan. Sebagai mahluk yang secara kodrati kita tak bisa hidup hanya dengan console game kita saja, interaksi sosial antar individu tak bisa diabaikan.
***
Untuk itu, mari kita telaah lebih jauh mengenai game dengan melihat dari dua sudut pandang yang berbeda.
Game menurut gamer pelajar
Sri Arief Wibawamukti, pelajar saat ini duduk di kelas X Akselerasi SMAN 1 Cikarang Utara ini ternyata mantan gamer akut. “Sekarang sih udah jarang, tapi kalo dulu main game hampir setiap saat.” Tutur Arief saat kami wawancarai di jam istirahat sekolah beberapa waktu yang lalu.
Salah satu anggota grup X CI di facebook ini punya persepsi yang sederhana tentang game. Menurutnya, game ya hiburan, tidak lebih. Manfaat game menurut Arief sendiri juga hanya untuk mengisi waktu luang dan mengusir bosan yang kadang menyergap kala kita sedang berkutat dengan tugas. “Gamer-nya aja yang terlalu menikmati game itu sendiri, jadi kecanduan deh. Termasuk gue. Hahhaha,” ujar XXXX ini saat akhirnya mengakui keakutannya saat menjadi gamer semasa SMP dulu.
Arief sendiri saat ini sudah mulai mengurangi candunya terhadap game dan itu terbukti berhasil. Memang sulit katanya untuk menjauhkan diri dari hobinya beberapa tahun terakhir itu, tapi asalkan semuanya didasarkan dengan niat pasti berhasil. Buktinya, tak sesering dulu kini cowok dengan IQ 153 ini hanya bermain game 2 sampai 3 jam sehari.
Soal jenis game, Arief lebih memilih yang multiplayer, menurutnya sih, lebih seru karena tantangannya lebih berat. Dalam permainan multiplayer atau multi pemain, kita tak hanya melawan komputer tapi juga pemain lain. Biasanya permainan multiplayer semacam ini dimainkan dengan cara online. Dengan permainan multiplayer semacam ini, gamer bisa saling berinteraksi. Beberapa diantaranya bahkan juga dilengkapi dengan fitur chat sehingga lewat game pun beberapa orang yang ada di tempat berbeda dan belum saling mengenal bisa saling mengenal.
Bagi gamer yang sudah hampir insyaf seperti Arief, ia mulai bisa menyadari dampak buruk kecanduan game. Diantaranya adalah nilai rapot yang merosot karena harus memecah konsentrasi pada game dan pelajaran di sekolah. Kalau soal uang saku, untungnya ia belum pernah sampai menginap di warnet. Biasanya sih, XXXX ini mainnya dengan mengunakan laptop dan modem sendiri yang pulsanya dijamin ortu. Wah, penyalahgunaan itu namanya!
Satu lagi soal game. Pada saat wawancara kemarin kami untungnya sempat mengajukan sebuah kasus yang pemecahannya kami serahkan kepada narasumber kami ini. Yaitu soal apa tindakan yang Arief ambil jikalau tiba-tiba saja ada UU baru atau peraturan lain yang datangnya secara resmi dari pemerintah dan isinya adalah untuk melarang pelajar bermain game. Cowok yang sering juga dipanggil dengan nama Sri ini agak kaget
mendengarnya sebelum akhirnya tertawa. “Karena gue termasuk orang yang nekat, mungkin gue lebih milih buat ngelanggar aja.” Ujar penyuka game Transformice ini.
Secara garis besar bisa langsung ditarik kesimpulan dari tuturan teman kita yang satu ini tentang game. Game memang perlu, toh itu juga merupakan sarana hiburan. Tapi game memang mudah sekali membuat pemainnya kecanduan. Nah, kalau sudah kecanduan itu akan muncullah banyak dampak buruknya. Maka sebelum kecanduan, kita sebagai pelajar terutama karena kita sekarang sudah bukan lagi siswa – siswi SMP, kita harus mulai belajar mengontrol diri. Membatasi diri dari hal – hal yang berlebihan dan mulai memikirkan dengan serius urusan sekolah.
***
Game menurut Guru
Kita sebagai remaja yang berstatus sebagai pelajar, tentu sangat dekat dengan orang tua kita di sekolah ini. Beliau – beliau ini jugalah yang mengajari kita banyak hal selain teori- teori di sekolah yaitu juga mengenai bagaimana seharusnya kita bertingkah laku, dan berinteraksi sosial di luar sekolah. Soal game, jika kita sebagai murid menghubungkannya dengan guru – guru kita, yang terlintas di fikiran kita pasti cenderung negatif. Meski kini guru – guru telah moderat dan juga akrab dengan dunia murid, tetap saja, tak hanya guru, orang tua kita pun kerap berfikiran negatif soal game karena memang pada kenyataanya game sering kali menimbulkan dampak buruk bagi kita.
XXXX, merupakan seorang guru yang telah mengajar selama XX tahun di XXXX. Dengan pengalaman yang sudah begitu banyak itu akhirnya kami memutuskan untuk mewawancarai beliau. Kami mewawancarai beliau juga karena selain guru pun beliau juga merupakan seorang gamer. “XXXXX”
Pak Atep punya persepsi yang tak jauh berbeda dengan Arief soal game. Sederhana saja, hanya hiburan, permainan, dan sesuatu yang mengasyikan. Beliau juga cenderung mendukung soal adanya game ini, karena yaah, tak bisa dipungkiri jika beliau pun merasakan bahwasanya game itu mengasyikan.
“Soal permainan itu fine – fine aja, tapi jangan sampai berlebihan karena pada dasarnya semua hal yang berlebihan itu memang nggak baik.” Tutur Bapak satu orang anak ini saat kami tanyai soal pendapatnya terhadap pelajar yang bermain game. Menurut Pak Atep, segala sesuatunya harus berjalan seimbang. Baik belajar, maupun bermain. Seperti halnya bermain yang tak baik adanya jika berlebihan, belajar pun sama. Jika kita berlebihan dalam belajar, bisa – bisa otak kita kelelahan. Ingat, antara otak kiri dan otak kanan itu juga perlu adanya keseimbangan. Sesekali ditengah rutinitas kita yang begitu padat kita perlu mengistirahatkan otak kita dengan menyelipkan kegiatan selingan yang bisa memberi kita kesan rekreasi. Singkatnya kembali ke pokok bahasan awal, Everything in life must balance.
Menurut bapak 36 tahun ini, berlebihan dalam bermain game bisa membuat kita lupa pada dunia realitas dan terus terlarut dalam dunia imajinasi. Padahal dunia realitas dan dunia imajinasi adalah dua hal yang sangat berbeda. Apa yang ada di dunia imaginasi bisa saja terjadi sesuai keinginan kita, tetapi semuanya tak akan serumit seperti apa yang ada di dunia nyata. Sehingga kita tentu tak boleh melupakannya, karena yang terjadi di dunia nyata merupakan sesuatu yang tak bisa di-undo.
Guru yang mengajar mata pelajaran Bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia ini pernah punya beberapa kali pengalaman buruk dengan muridnya yang bermain game. Diantaranya beberapa kali muridnya datang telat karena attend sip malam di warnet, bukan hanya itu di jam pelajaran pun beberapa kali Pak Atep pernah memergokki muridnya mencuri waktu bermain game. Tapi itu tak mebuat penggemar game simulasi ini cenderung mengecap buruk game. Menurut Pak Atep, game itu adanya tetap baik asalkan di saat yang tepat dan dalam intensitas yang wajar. Game juga punya beberapa fungsi edukasi, dengan game kita bisa berlatih untuk menyusun strategi, melatih kita berfikir cepat, dan dan bisa menambah kemampuan berbahasa Inggris kita, karena game itu kebanyakan bahasa pengantarnya ‘kan bahasa Inggris.
Penyuka Sims City ini berpendapat jika melarang penggunaan dan peredaran game itu tidak bisa dilakukan. Sekalipun harus dikeluarkan undang-undang yang berkenaan dengan game agar game tak terlalu menyesatkan pelajar, seharusnya itu mengenai jam buka warnet. Karena gamer–gamer itu tak akan menginap di warnet jika tak ada warnet yang menyediakan jasa buka 24 jam.
Sebagai seorang guru, teman murid, dan gamer, bapak penggemar sepakbola ini menyampaikan sarannya untuk pelajar – pelajar di luar sana yang sedang cinta – cintanya pada game. “Back to the reality, yaa.. walaupun susah cobalah cari permainan yang membuat tubuh lebih banyak bergerak.” Pesan XXXX ini. Berdiam di depan komputer seharian bukan tak mungkin memberi manfaat bagi kita, tapi dengan hanya berdiam diri tak cukup banyak anggota tubuh kita yang beraktifitas, padahal jelas itu dibutuhkan untuk kesinambungan kesehatan kita. Game fisik, olahraga, dan game tradisional juga bukan pilihan yang buruk, kok.
***
Jadi untuk semua gamer yang membaca artikel ini, hobi itu manusiawi kok. Entah itu nge-game atau yang lainnya. Tetapi sebagai gamer sejati, kita pun tak ingin kan, jika hobi kita yang kita cintai betul itu malah menjadi boomerang yang balik mencelakai kita. Selektiflah dalam memilih game, pilih mereka yang bisa membawa dampak positif bagi kita. Selain itu, waktu bermain game pun perlu kita atur. Mengikuti jejak Arief yang sudah sukses meminimalisir hobi nge-game-nya kan juga tidak ada salahnya. Dan yang terakhir, seperti pesan dari Pak Atep, kita tak harus selalu menggantungkan hidup kita pada game. Selain nge-game, berolahraga dan memainkan permainan tradisional selain bisa membuat kita lebih banyak bergerak, kita juga bisa sekalian melestarikan kebudayaan ‘kan?
Kembali ke pertanyaan awal, game itu sebenarnya budaya, trend, penyakit, atau sekedar hiburan? Kalau disebut budaya, tidak salah juga. Sekarang ini bermain game sudah merupakan jadwal wajib untuk menghabiskan weekend. Di waktu senggang juga game sering jadi pilihan utama untuk membunuh bosan. Lalu jika disebut sebagai trend, yaah..di era globalisasi ini permainan tradisional memang jelas kalah bersaing dengan game elektronik. Ini jelas menegaskan bahwa kini game berdiri sebagai trend. Anak – anak yang tak terlalu menggandrungi game pun setidaknya pasti tahu soal game. Nah, kalau sebagai penyakit, ini kembali pada gamer-nya. Soal game itu penyakit atau bukan, bisa kita tanyakan apa yang kita dapatkan dari game lebih banyak yang baik atau yang buruk. Kalau memang lebih banyak yang buruk, bolehlah kita simpulkan game sebagai penyakit.
Game, sesuai namanya memanglah merupakan suatu jenis hiburan. Banyak juga bukan, nama – nama besar yang lahir dari game. Intinya yang namanya hiburan, apapun itu pasti punya keuntungan dan kerugian. Jadi apa yang harus kita lakukan sebagai konsumen hanyalah berusaha meraih keuntungannya dan meminimalisir dampak negatifnya.
***
©Yuanita WP, Rere Harits A, Marshella Riyanto
X.CI – 1
2011
No comments:
Post a Comment