Hati-hati
guys, saya bukan seorang ahli bahasa. Oleh karena itu, yang akan saya tulis
tentang sepele sebagai sebuah kata kali ini bukanlah sajian yang cukup
memuaskan jika anda berekspektasi soal itu. Tapi sebagai seorang manusia yang
memiliki alam pikir dan senantiasa dituntut untuk menggunakannya, saya punya
pendapat. Jadilah saya berpikir, maka saya ada, dan saya menulis untuk
mempertahankan eksistensi dan pikiran saya. Kedepannya membuat film? Mana tahu,
tapi ya boleh lah.
Saya
baru mendapat ilham hari ini soal sepele. Bukan ilham sepele, tapi memang ia
bersangkut paut dengan kesepelean. Sekarang remeh meremehkan adalah kebiasaan,
atau justru kecenderungan yang amat lekat dengan kita semua. Saya pun cukup
sulit untuk melepaskan diri dari kebiasaan yang korosif terhadap nurani ini.
Oleh karenanya, banyak sekali yang di cap sepele dengan mudah, dikesampingkan,
lagi dan lagi, hingga ketika sadar, sebentang jalan di depan putus sudah karena
semua pindah ke samping dan kita harus meniti orientasi dari nol lagi.
Saya
pikir, sepele adalah anggapan. Kita manusia, tak sempurna, tapi ideal dengan
plus minus, baik soal ekspektasi terhadap hal diluar, maupun pedalaman sendiri.Itulah
sebabnya saya tak ingin mengatakan bahwa tulisan ini mengajarkan untuk tidak
berpikir sepele soal apapun. Bagaimanapun manusia memiliki kecenderungan untuk
itu. Dengan banyaknya tuntutan dan sempitnya waktu, kita seringkali secara
sadar maupun tidak menyusun skala prioritas. Meskipun terlalu vulgar jika
dikatakan sepele, menempatkan sesuatu sebagai prioritas kan berarti
mengentengkan yang lain, bukan begitu? Hal tersebut akan menjadi sepele ketika
dipandang enteng dengan berlebih.
Bagi
saya, dalam kata sepele ada motivasi. Karena mengentengkan, itu berarti hal
sepele adalah hal yang patutnya mudah bagi kita. Dari sana perasaan merasa tak
pantas seharusnya muncul ketika kita memfonis demikian tanpa mencobanya
terlebih dahulu. Dari sepele, ia berubah jadi sombong.
Saya
sering kali berurusan dengan hal yang orang bilang sepele karena menganggapnya
anti umum dan keren. Sekaligus juga difonis ibu saya mengidap penyakit gemar
menyepelekan akut, turunan langsung dari ayah saya. Dan hal ini benar adanya,
terbukti 120% ketika saya hidup terpisah sekarang. Menyepelekan sesuatu yang
ketika di rumah urusannya hanya sampai omelan ibu saya lalu selesai, saat ini
saya sadari menghambat saya maju dalam banyak hal yang sedianya bisa
diusahakan.
Saya
menyepelekan kerapihan ruangan diluar zona nyaman saya, dan ini adalah
kebiasaan sejak zaman dahulu kala yang tiap hari diperjuangkan ibu saya untuk
berubah. Sekarang saya sadar itu merupakan refleksi saya terhadap lingkungan
sekitar. Awalnya mana sangka? Ketika saya tidur saya menggaransi tempat tidur
saya harus dalam keadaan rapi, tanpa debu, dan nyaman, tapi membiarkan buku
buku berserakan disekitarnya, setrikaan menumpuk tak tersentuh, dan zona lain
samasekali tak sedap dipandang mata. Di lingkungan sosial saya juga ternyata
serupa. Menjaga teman baik dengan posesivitas cukup tinggi. Jika tidak terlalu
cocok dengan saya lebih baik saya sendiri. Tapi membiarkan orang yang rumahnya
saya lewati setiap hari tanpa tegur sapa (meskipun awalnya karena saya punya
pengalaman buruk soal ini, ketika mencoba menegur tapi tak direspon) berpikir
lebih buruk tentang saya lebih dari yang sedianya. Berdiam diri mengesampingkan
suatu kelompok pengembangan sampai akhirnya mereka telah berlari jauh sekali
mendahului saya. Dan banyak hal lainnya. Hingga saya selalu saja berada dalam
lingkaran yang kecil.
Setelah
ini, membereskan kamar keseluruhan mungkin cukup mudah, tapi tak demikian
dengan lingkungan sosial. Langkah pasti saya Cuma satu: meminimalisir
penyepelean. Saya harap Tuhan dengan segala maha kebaikannya berkenan lagi
untuk menjadikan saya individu yang lebih baik dengan ini.
Dalam
lingkup dunia intelektual yang luar biasa luas, suatu hal difonis sepele
mungkin akibat pandangan umum. Tapi lihatlah posmo dan tema-tema unik dalam
aliran ini. Semua hal yang sepele, terlihat kecil, tipis, kurus, lunglai, dan
mudah koyak ternyata menyimpan faedah besar, informasi tingkat tinggi dan
refleksi yang membuka cakrawala baru. Sesuatu tak hanya bisa dilihat dari satu
sisi, dan semua hal sepele punya banyak sisi sebagaimana yang tidak.
Tadi
saya menonton Begin Japanologi, semacam acara dokumenter etnohistori seputar
fragmen-fragmen di masyarakat Jepang. Bahasan mereka apakah politik, pengaruh
budaya pemerintahan edo terhadap gaya memerintah eksekutif negara saat ini, kelestarian
kesenian adiluhung, isu gender, atau tema berat lainnya? Bukan, tema mereka
sangat simpel. Mereka membahas ramen, onsen, mochi, rumput laut, makanan cepat
saji lokal, dan bahkan rice cooker! Terlepas dari kampanye budaya Jepang yang
memang sangat posmo, sudut pandang acara ini cukup menarik untuk bisa membuat
kita di Indonesia berefleksi. Tidakkah para sarjana akan lebih suka bekerja
untuk kajian-kajian ringan tapi berkualitas seperti ini daripada beramah tamah
di bank atau duduk di kantoran dengan rutinitas minim improvisasi? Terlebih
untuk konsep ini, lahan Indonesia masih sangat virgin. Lihatlah ketika duo
trans mempelopori acara-acara wisata dan dampaknya hingga hari ini. Para
backpacker, traveller, mountainer, dan petualang baru lahir. Bukankah acara
dokumenter etnohistori bisa menjadi katalisator bagi dunia ilmiah kita?
Karena
rakyat adalah fonis pertanggung jawaban sebuah kerja intelektual,
memperkenalkan produk kerja akademik yang meski ringan, berdampak luas dan
memiliki kontinuitas saya kira lebih besar artinya daripada kajian rumit
cemerlang yang meraih penghargaan intenasional tapi teronggok menjadi wacana
tanpa eksekusi.
Jadi
buat semuanya, juga saya sendiri, ketika kita bingung soal ide, tema, dan
gagasan suatu kerja ilmiah, mari buka mata dan tinggalkan dulu kebiasaan
menyepelekan. Kualitas itu ada di pemahaman terhadap teori dan kemampuan
aplikasi, yang semuanya ada di dalam proses dan bisa dilatih.
MARI MENCOBA
13-3-2015