Njirr lama banget ya~ sejak
terakhir kali saya menyapa blog ini. Puasa Ramadhan saya juga puasa nulis,
kecuali barang nulis status mungkin hhoho#dor padahal kan gitu, akhir-akhir ini
sangat banyak isu yang seksi dari mulai pemilu pertama saya *yaterus?*, kemelut
di Palestine yang menurut saya menyandera logika, ISIS coy, event-event pribadi
semisal lebaran yang sepi di Cikarang, ngotu dan nyenen, dan masih banyak yang
lainnya. Tapi saya justru baru punya greget nulis sekarang, dan samasekali
bukan karena yang hot-hot diatas, tapi biasa, masalah yang mengorek nurani,
meski kadang tak berarti apa-apa bagi sekalian banyak orang.
Kemarin saya ke pasar sama ibu
saya. Setelah beberapa hari hampir seminggu jadi sepi bak kota terpapar radiasi
yang ditinggalkan penghuninya, cikarang mulai mereguk cairan nyawanya kembali.
Lepas dari pintu rel kereta api pasar lama yang untek-untekan rame gila, kami
mulai menjajaki pecinannya cikarang di sekitar kelenteng Liem Thay Soe Kong.
Dari sana, tujuan kami ke Multi Media, sebuah stationary store alias toko ATK
dan buku paling senior se-cikarang buat nyari kado temennya adek saya dan buku
gambar A3 buat tugas dia bikin peta. Saya ngapain ikutan? Niatnya pengen beli
cat air berhubung lama nggak maen cat, tapi pas sampe sana, niat saya urung.
Nggak tahu kenapa. Mungkin dukunnya MulMed kurang manjur makanya saya gak jadi
beli. Tapi sebenernya ya, uang lebaran saya udah nonsense banget, kemaren abis
banyak buat ngebolang Jekardah. Belom lagi saya masih punya beberapa buku yang
belom selesai dibaca. Sketch book pun masih menyisakan beberapa lembar kosong
dengan seperangkat pensil dan penghapus yang masih sangat layak digunakan.
Jadilah, pikiran soal mundur selangkah daripada maju menjadi serakah, ingin
meraup semuanya, selagi milik masih cukup dan belum bisa betul kita nikmati
semaksimal yang ia bisa membuat saya mengelus saku, lima puluh ribu, selamat.
Pulang dari sana, kami harus
kembali melalui rel kereta yang berkondisi masih sangat sama seperti tadi. Antrian
teruntai panjang sampai di depan apotek yang saya lupa namanya, sangat dekat
dengan mulut jalan tempatnya bersentuhan dengan jalan utama Gatot Subroto. Dari
sana, sepeda motor kami dipaksa setia mengantri oleh kebutuhan akan keselamatan
dan sedikit-sedikit kepatuhan pada norma jalanan. Di suasana lebaran seperti
ini, meski perekonomian belum sepenuhnya massif, lalu lalang kendaraan bermotor
dengan penumpang-penumpang berbaju baru yang warnanya masih mentereng sama atau
bahkan lebih ramai dari hari biasa. Lain uang, penduduk negara ini masih tak
sematerialistis yang kita kira, tumpah ruah kendaraan ini rata-rata dalam
penuntasan misi silaturrahmi lebaran.
Selagi mengantri untuk terbukanya
pintu palang lintasan kereta, pandangan saya berpatroli. Barisan toko-toko di
kompleks pasar lama masih sama seperti dulu, kecuali mungkin soal kusam dan
kesan usia yang tak bisa ditutupi. Komoditi yang dijejer di etalase berdebu
mereka pun masih sama, meski beberapa saya tak tahu karena memang belum bangun
dari libur panjangnya. Kebanyakan toko disini dikelola oleh orang-orang
Tionghoa, inilah mengapa kawasan ini disebut-sebut pecinan. Tapi warga
pendatang tua ini sudah merupakan warna udara yang turut berhembus bersama
sekalian angin di kota ini tanpa bisa terpisahkan. Jika para engkoh dan enci
ini di anulir keberadaannya, mungkin isi pasar cuma anak jalanan, sopir angkot,
preman-preman, dan sedikit saja pedagang yang tersisa. Tapi bukan eksistensi
mereka yang saya ingin bahas disini sekarang, melainkan pekerjaan mereka,
bongkah-bongkah toko tua yang mereka kelola.
Saya kira, di tulisan yang lain
saya pernah bercerita, juga soal sepenggal kisah di Pasar Lama. Purbasari,
sejaman saya SD, di sini ada sebuah toko buku pelajaran, dan alat tulis yang
cukup besar. Salah satu buku yang pernah saya beli disana adalah RPUL, terbitan
tahun 2005, tepat ketika saya kelas 3 SD. Dulu saya tak begitu suka pergi ke
tempat itu. Sebagai anak kecil yang sehari-hari hampir menghabiskan mayoritas
waktunya menonton televisi, saya termakan komersialisasi. Konsep modern
terpateri dan jauh lebih menarik hati dibanding pasar yang ramai, terkesan
kumuh, dan jauh dari rasa nyaman. Saya tak tahu menahu soal uang. Karenanyalah
saya tak peduli soal harga miring yang jadi motivasi utama orang tua saya
mengajak saya kesana. Multi Media yang dua lantai dan berpendingin ruangan ketika
itu jauh lebih menarik.
Sekarang saya tak tahu kelanjutan
Purbasari yang pada masanya amat ramai. Multi Media sendiri, setelah SGC
berdiri, pembangunan di Cikarang semakin menggeliat, toko-toko semacam itu
semakin menjamur, mulai kehilangan pamor dan elegansinya. Kemarin saya kesana,
barang-barangnya tak lagi selengkap dulu. Eksteriornya masih khas 2000an dan
tak pernah diperbaharui. Di etalase paling depan, dekat meja kasir, saya
melihat beberapa unit kamus elektrik bahasa Inggris yang dipajang berdebu.
Dulu, kelas satu SMP, ketika saya membeli salah satu dari yang mungkin masih
dipajang hingga saat ini, kamus elektrik adalah salah satu komoditi mewah yang
jadi jago di toko ini. Dipajang di etalase utama berdampingan dengan
pulpen-pulpen mahal di dalam kotak beludru. Sekarang, ketika website penerjemah
telah bertaburan, internet telah mendekap erat nadi-nadi kehidupan, siapa yang
masih mencari kamus-kamus ini?
Di sisi kiri jalan, saya lihat
sebuah toko sudah buka. Bingkai folding dornya warnanya pudar, tapi masih jelas
kalau itu hijau tua. Di bagian atas toko tertulis nama toko dan keterangan
bahwa ini adalah toko tani dan menyediakan macam-macam bibit dan pupuk. Di
dalamnya ada dua etalase panjang yang berisi kemasan-kemasan biji-bijian,
jeligen-jeligen, botol-botol, dan beberapa alat semprot hama digantung di salah
satu sisinya. Di sisi lain, di dinding belakang yang bersisian dengan pintu ke
ruangan lain, tersemat sebuah kalender jadul yang gambarnya model seksi. Saya
pikir, kalau pemandangan semacam ini hadir di tahun 90’an atau paling tidak
sampai awal 2000’an tentu sangat wajar, tapi kalau sekarang?
Dulu, di sisi kiri dan belakang
rumah saya, beberapa bidang tanah luas yang sekarang jadi perumahan, terhampar
kebun-kebun warga yang ditanami aneka sayuran. Alat semprot hama semacam itu
masih sangat sering saya temui, demikianpun dengan jeligen pupuk yang asing dan
berbagai macam bibit dalam botol yang dijejer rapi di jendela rumah tetangga
saya, menunggu giliran untuk disemai. Sekarang perumahan yang ada tak perlu
semprotan hama, bibit-bibit itu hanya didiamkan berdebu. Dalam hati saya
bertanya-tanya, siapa yang menjadi pelanggan toko ini sekarang? Bagaimana
mungkin bisnis ini bisa bertahan? Rasa macam apa yang ada bagi mereka ketika
megingat masa-masa keemasan bisnis mereka?
Bisnis, sejak lama menjadi sebuah
kata penuh horror bagi saya. Meski banyak acara TV yang mengangkatnya sebagai
konsep dan berusaha memasyarakatkannya akhir-akhir ini, pandangan saya masih
belum berubah. Kalau memang dekat dengan kata sukses, bisnis memang
menggiurkan, tapi rasanya kata gagal dan rugi berada beberapa jarak lebih
dekat. Rugi yang saya maksud bukan cuma dari segi modal, tapi rugi hatinya itu
loh. Saya nggak jauh-jauh amat kok dari dunia bisnis, kakek-nenek saya petani
yang nyambi dagang, ibu saya juga dagang, dan dari kecil saya udah kenal sama
dunia semacam ini, tapi tetep, bisnis itu makan ati. Hal-hal yang jauh lebih saya
sukai daripada bisnis itu sendiri, semacam toleransi, kekeluargaan dan
idealisme katanya amat jauh dari bisnis. Bisnis yang baik itu memang yang
jujur, tapi disiplin, dan saya nggak bisa hidup dengan cara seperti itu. Dalam
bisnis kita mau tak mau dikuasai dua hantu besar, pasar dan modal.
Sejauh ini, sejauh tulisan ini
tertunda beberapa hari, sejauh saya banyak merenungi hal lain atau bahkan hal
ini lebih jauh lagi, saya masih belum menemukan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan ini. Apakah bisnis harus selalu berubah dari waktu ke
waktu? Haruskah terus bergelut dengan inovasi dan bereksperimen, selagi
bertarung dengan waktu, keterbatasan modal dan selera pasar? Atau putus asa,
melepas lapak warisan keluarga untuk menjadi pesuruh di lapak orang tanpa
pusing-pusing sampai kita sadar kita telah jadi budak asing? Haruskah toko tani
berubah jadi toko matrial? Pertanyaan ini justru beranak lebih banyak lagi.
Toko tani tadi masih berdiri
mungkin karena sebuah alasan. Entah itu seorang nenek tua yang tak rela toko
itu ditutup setidaknya sampai dia mati, entah seorang bapak paruh baya punya
keprihatinan soal kebun milik para langganannya yang alih fungsi jadi lahan
perumahan, atau entah apa, saya tak tahu. Yang jelas entah si toko tani, entah
si Purbasari, entah Multi Media, entah satu toko lagi semacam multi media yang
kini telah berubah jadi restoran bebek, bahkan kamus-kamus elektrik yang
berdebu, rasanya adalah korban dari gerak roda ini. Pihak-pihak yang kalah,
pihak-pihak yang karena sekian banyak alasan tak mampu mengikuti pola-pola
dalam rimba kapitalis yang tak berhati.
Lama-lama soal arah dunia ini,
ketika orang-orang dari humanis bergeser ke arah kapitalis, manusia hanya akan
kembali ke arah putaran yang sama. Sama tidak beradabnya, sebagaimana
orang-orang yang mereka sebut demikian sejak ratusan tahun lalu. Mungkin
orang-orang didalam rimba, yang resisten dengan adatnya, yang bijak terhadap
lingkungan dan kehidupan, akan patut membalik segalanya, menyebut mereka yang
hidup dalam rimba pasar, di tengah pohon-pohon menara beton dan kanopi asap
tebal, di tengah jalaran modal berdaun lembaran dolar, liar tanpa adab, sebagaimana mereka
disebut oleh moyang-moyang orang-orang itu, dahulu.
Yuanita Wahyu Pratiwi, 8 Agustus
2014.