‘Njuk ngopo?’ adalah
istilah populer yang kembali dipopulerkan oleh salah seorang dosen saya di
pertemuan minggu lalu. Kami, di mata kuliah Sejarah Indonesia sampai Abad 16
yang biasanya dengan singkatnya hanya kami sebut Abad 16, atau bahkan hanya Nembelas.
Ketika itu kami sedang belajar tentang kerajaan-kerajaan, dari masa Hindu Buddha, kami
beranjak ke masa Islam. Mengidentifikasi ciri dari tiap kerajaan, hubungannya
satu sama lain, dan membuatnya menjadi seolah kerja yang sangat panjang
melewati sekian banyak bentangan waktu. Di pertengahan kuliah, setelah kami
cukup mengemukakan beberapa ide-ide dan saling berdiskusi mengenai identifikasi
kami, beliau bertanya yang untuk ukuran seorang yang mengarahkan kemanapun
pembelajaran kami di matkul ini, sangat katakanlah nyeleneh.
‘Njuk ngopo?’
Kalaupun kami tahu
kerajaan ini ada pada masa segini, mereka berhubungan dengan kerajaan ini dan
itu, membentuk diplomasi disini dan disana, dipimpin oleh si A pada masa
puncaknya, dan runtuh karena suatu hal, apa feedbacknya buat kami di masa
dimana segala hal yang baru saja kami ketahui bisa dilacak di banyak media
dalam hitungan yang amat sesaat. Sejarah itu bukan soal menghapal ini dan itu,
tapi lebih kepada mengerti. Kami bukan anak SD yang ditanyai siapa tokoh perang
A dan perang B, dan ditanami bibit-bibit kebencian pada Belanda. Kami diajak
menyelam, persoalan laut mana yang kami pilih, dan mau sedalam apa kami
berusaha, itu urusan kami, selama kami memiliki perbekalan yang cukup.
Sedikit strukturalis sih,
tapi menurut saya tiada salahnya kalau kita memiliki pemahaman semacam ini,
bahwasanya setiap hal di bumi berada untuk paling tidak sebuah alasan, termasuk
para hantu, siluman, mitos, dan ilmu ilmu cenahyang —kalau anda percaya
tentunya—. Pertanyaan yang kritis ini memancing analisa dari setiap hal,
kehausan akan setiap spasial kosong di ruang-ruang kesejarahan. Pertanyaan yang
saya kira, menjamin kelangsungan hidup seseorang secara mental.
Bingung itu baik,
bertanya itu bagus, dan berusaha untuk menemukan jawaban serta penyelsaian
adalah langkah terbaik setelahnya. Beberapa kali saya renungi kalimat ini, dan
saya betul menemukan esensinya. Kalau mencari jawaban terlalu sulit, cukuplah
mencari pertanyaan. Kapasitas seorang pelajar memang demikian adanya. Lain lagi
kalau sudah profesor.
Ini pertama kalinya, saya
menunda sekedar beberapa bait testimoni bertambahnya angka belakang usia saya
dan berkurangnya jatah keseluruhannya. Bukan apa-apa, kesempatan memang baru
datang detik ini. Kemarin itu banyak sekali kesibukan yang melanda, belum lagi
saya betul butuh kesunyian untuk sekedar menulis beberapa hal konyol bersama Untung
untuk di post di blog pink yang hampir mencapai usia ketiganya itu.
Delapan belas tahun lalu,
dunia berdinamika seperti biasa, saya hanyalah seorang manusia yang lahir
bersamaan dengan ribuan lainnya. Semuanya hanya akan jadi luar biasa ketika
saya sudah menjadi luar biasa. Tapi kali ini, delapan belas tahun setelahnya,
seseorang dengan banyak tanda tanya ini sedang berusaha menemukan jawaban dari
setiap tanda tanyanya, berharap dirinya berkembang, semakin baik, dan bisa menjadi
seperti apa yang dia dan orang tuanya, juga orang lain di sekitarnya impi dan
ekspektasikan soal dirinya.
Dini hari 20 Mei 2014,
saya masih larut dalam perbincangan bersama seorang teman yang berkunjung. Hape
saya kemudian bergetar, dan pesan dari seseorang tertampil di layar. Seketika
itu perasaan saya tak bisa berbohong, dan hati saya tergetar, terutama setelah
membaca baris demi baris isi dari pesan itu. Ibu saya, untuk kali pertamanya
begitu romantis. Sebenarnya beliau juga romantis di tahun-tahun sebelumnya,
ucapan selamat ulang tahun yang disertai dengan doa-doanya tak pernah gagal
membuat saya lemas dan tenggelam dalam haru sarat air mata. Tapi untuk kali ini
berbeda, setelah kami terpisah puluhan kilometer, tengah malam ini amat
berharga.
Paginya, di perjalanan
menuju kampus untuk rutinitas biasa, ayah saya menyusul dengan pesannya sendiri
yang persis saya tahu, dikirimnya sesampainya ia dirumah dari kerjanya. Isinya
berbeda, dengan gaya mereka masing masing, tapi efeknya sama. Sayangnya ada
banyak hal yang membuat saya menahannya dan kali ini, ketika beberapa hari
telah berlalu, dan saya baru memiliki kesempatan untuk sendirian, saya
menumpahkan semuanya tanpa bisa sedikitpun menahannya. Rahang ini kaku.
Pesan mereka
membangkitkan masa lalu, waktu-waktu dimana aku masih sangat kecil itu seketika
terpanggil kembali. Melihatnya dari sini, dari pandangan yang sudah setinggi
ini, dari kota yang jauh ini, dan dari atmosfer yang berbeda ini, semuanya
seolah hanya dongeng yang tak pernah benar benar terjadi meski aku meyakininya.
Ratusan hari sudah aku bergelut sendiri dengan manajemen uang dan stok
kehidupan serta segala hal soal hidup mandiri yang samasekali asing dariku.
Setiap harinya, berangkat dan pulang tanpa menyalami satu orang pun, tanpa
ingin cepat kembali untuk bertemu satu orang pun, tanpa sepulang beraktivitas
berbagi cerita dan melepas lelah bersama dengan satu orang pun. Aku hampir
terbiasa dan tak merasakan luka kesepian itu lagi, itulah mengapa aku pikir aku
telah bergerak begitu jauh dari dongeng dongeng masa kecil itu, lalu seketika
ditarik kembali mendekat dalam waktu singkat.
Dari delapan belas tahun,
tujuh belas di rumah telah kuhabiskan untuk banyak hal yang jauh dari kata
baik-baik saja. Aku tak pernah jadi anak manis yang penurut dan rajin membantu
atau belajar. Aku selalu saja jadi pembelot dan pembangkang yang keras kepala. Aku
yakin ada banyak sekali dosa, meski aku berharap dan yakin, kalian, orang tuaku
tersayang tak akan pernah menganggapnya demikian. Sejernih apapun udara di kota
ini, kota dengan polusi pekat itu yang mengenalkanku pada kehidupan, dan sejauh
apapun aku pergi, aku akan kembali kesana.
Kini aku sendirian
disini, menanti waktu pulang sebulan lagi dan berharap selagi aku pergi jauh,
segalanya tak akan ada yang berubah. Aku berada disinipun bukan menjadi orang
baik, aku masih seperti diriku yang lalu-lalu, yang payah, pembelot, malas dan
lain sebagainya. Aku hanya berharap setiap hal yang kulakukan disini,
perjuanganku untuk berada jauh dan menderita oleh homesick setiap habis pulang
akan berbuah sesuatu di masa depan yang baik bukan hanya untukku, tapi juga
untuk kalian semua, orang tuaku terutama, keluargaku, dan orang terdekatku
lainnya.
Kalau sekarang usiaku 18,
dan pertanyaannya adalah ‘Lalu kenapa?’ dengan senang hati akan kujawab. Aku
sudah punya semakin banyak angka, kuharap semakin banyak hal baik pula yang
kupunya. Aku berharap langkah yang kutapaki mendekatkanku lagi dan lagi sesuatu
yang aku cita-citakan. Dan selalu, keselamatan dan kesehatan, juga panjang umur
untuk orang tuaku, adikku, aku, dan semua orang yang kusayangi.
Amin.