Belum lama ini saya liat
video di yutup, isinya kisah horror seorang pengejar IPK. Dari momen-momen
kayak gini, saya percaya kalo hidup itu ada yang ngatur. Belakangan ini,
paradigma semacam ini lagi melanda saya juga, dan ternyata masih saling sambung
sampai saya lihat video tadi. Mungkin jadi semacam kasus yang cluenya lagi
loading satu persatu. Kalo liat pandangan umum di medsos, rasanya, perbedaan
paling mencolok dari kuliah dan sekolah adalah diinginkan dan tidak terlalu
diinginkannya sebuah nilai. Kalo di sekolah, orang tua dipanggil pas bagi
rapot. Yang dilihat apa? Nilai. Bahkan di film Sang Pemimpi, ada cerita kalo
tempat duduk orang tua pas bagi raport disesuaikan sama peringkat anaknya.
Intinya, what makes them proud are grades, bukan yang lain. Atlet sekolah yang
kebanyakan dispen, juara setinggi apapun, dianggap cuma modal otot gak modal
otak.
Keadaan berbalik ketika
masuk kuliah. Entah gimana ceritanya, nilai gak terlalu menghibur. Apa karena
luasnya dunia kampus atau labilnya usia setengah remaja setengah dewasa,
prestasi lain diluar IPK dianggap lebih precious. Kalo di sekolah, kita tahu
banget lah gengsinya anak sekolah swasta di lomba-lomba akademis kaya apa
dibanding anak-anak yang nyambi jualan dan nilainya pas-pasan. Apakah ada
semacam pembalikan, momen balas dendam, karma, atau apa, yang jelas cobaan bagi
para pengejar nilai, derajat kalian turun.
Waktu SD, elit kali
balap-balapan nilai sama temen. Pas SMP guru BK bilang boleh pacaran kalo
nilainya jadi tambah bagus, dan seterusnya. Tapi hanya dalam satu dua tahun,
indikator ini gak berlaku lagi. Ada segala macam sukses diperkuliahan. Ada
sukses bisnis, sukses pimnas, sukses organisasi, sukses politis, sukses
pacaran, dan masih banyak lagi. Sukses akademik cuma sukses kecil, nyempil tak
terlihat diantara yang lain.
Yang kerap kali
disandingkan sebagai tandingan sang nilai kognitif adalah softskill. Softskill
itu semacam kualitas diri, kecakapan tak tertulis, tapi does meaningful in real
life. Contoh softskill misalnya leadership, self-management, kemampuan problem solving dan lain
sebagainya. Dua hal ini kerap dianggap tak bisa berjalan beriringan, jadi
ketika IPK kamu super, softskill kamu jelek, dan sebaliknya ketika softskill
kamu bagus, pasti IPKnya gak bagus-bagus amat. Asumsi ini nyata tumbuh subur di
masyarakat, dan menurut saya, ini mengerikan.
Ceritanya gini, saya anak
19 tahun yang masih sangat tidak dewasa, sedang kebingungan perihal ini. Saya
tumbuh dengan anggapan bahwa berpassion adalah impian saya. Hidup dengan
menekuni sebuah kesenangan adalah target masa depan saya. Oleh karena itu, saya
meninggalkan hidup dalam usaha mengejar ranking 1 selepas SD. Saya sadar,
kesempurnaan yang bisa saya usahakan mencapai puncaknya ketika itu. Nilai UN SD
saya menegaskan bahwa kebodohan saya dalam hal hitung-hitungan sudah terdeteksi
cukup parah. Matematika di SMP dan SMA semakin sulit, dan saya akan segera
masuk ke SMP yang menyatukan saya dengan mantan-mantan rival di berbagai lomba
ketika SD. Para rival yang banyak mengalahkan saya dengan menyedihkan. Ketika
itu saya pikir, saya berhenti mengejar ranking 1.
Kekalahan itu pahit, dan
saya sudah lama belajar tentang hal ini. Saking pahitnya, saya agak parno sama
kekalahan. Akibat keparnoan ini, saya tidak terlalu kompetitif. Premis lain ada
pada kesungguhan dan fokus. Saya sadar kalau fokus itu penting dalam sebuah
lomba calistung ketika kelas 3 SD, konsen saya buyar karena asyik memandangi
sebuah penggaris baru, dan tarra, saya tidak lolos seleksi kecamatan. Ketika
SMP, ibu saya melarang saya masuk OSIS karena khawatir sekolah saya akan
terganggu. Seolah mengamini hal itu, saya setuju tanpa banyak advokasi karena
pada dasarnya saya memang sulit merasa nyaman dengan hal baru. Meski begitu,
saya mengasosiasikan seorang pengejar nilai dengan kesempurnaan di segala
bidang. Saya pikir saya berbeda, saya tidak seperti itu, karena saya tidak
ingin menguasai segala bidang.
Semenjak SMP, saya
menanti-nanti pelajaran favorit saya. Saya tentu ambisius dan berusaha keras di
dalamnya, karena saya suka. Bagi saya, kalah di bidang lain tidaklah memalukan,
tapi ia jadi pahit ketika terjadi di bidang yang saya sukai. Tapi diantara
dorongan yang ada, dorongan dari rasa suka dan kesenangan memiliki spesialisasi
lah yang saya nikmati. Pola seperti itulah yang terjadi sampai saat ini.
Rasa syukur saya sangat
besar ketika diterima di jurusan yang saya geluti sekarang. Tidak ada
penyesalan atau keraguan sedikitpun ketika itu. Tiap semester rasanya seperti
berperjalanan jauh. Kisah demi kisah terbuka dalam alur yang total, tidak
terputus-putus sebagaimana ketika di sekolah dulu. Bagian paling
menyenangkannya, sejarah tak hanya jadi pemanis 40 menit di penghujung minggu
dan sering kosong, tapi whole week, 24 SKS!
Berdasarkan kisah indah
itu, otomatis yang ada adalah euforia dan euforia. Di penghujung semester
pertama, nilai saya keluar belakangan. Ketika teman-teman SMA cerita soal IPK,
saya hanya terdiam. Perasaan saya iri mendengar kata 3,7; 3,6;3,8. Saya tidak
berharap banyak mengingat bagaimana mindblow mengacaukan kerangka rapuh yang
telah saya bangun sejak SD dan menggantinya dengan yang baru. Sementara itu,
kerangka barunya sangat asing, sulit dimengerti, bergerak sangat cepat dan
banyak menuntut. Saya hanya berpikir bahwa saya telah sangat terhibur oleh
prosesnya, mengapa saya harus serakah dan menuntut semua hal kepada saya?
Apapun nilainya, yang penting saya menjadi lebih baik dari yang lalu, yang
penting saya tahu apa yang sebelumnya tak saya tahu.
Di luar dugaan, IPK
pertama saya cukup menghibur. Ketika sudah begini, hadiah tambahan ini dan
hadiah yang sesungguhnya bergabung menjadi candu bagi saya. Antusiasme demi
antusiasme terus mewarnai semester-semester selanjutnya. Semester yang paling
saya nikmati, semester tiga, mencatatkan rekor tertinggi. Menurut saya ini bukti
lain bahwa ‘perasaan menikmati’ dan hasil berjalan beriringan. Rasanya seperti
saya telah menemukan apa yang selama ini saya cari-cari. Entah kesombongan dari
mana, tapi menurut saya waktu itu, ketika mengerjakan tugas, saya menemukan
diri saya bekerja dengan passion sebagaimana yang saya impikan sejak dahulu.
Di atas langit masih ada
langit, dan selama kita masih hidup, semakin tinggi kita, yang kita rasakan
adalah semakin panasnya matahari, bukan semakin sejuknya surga. Saya percaya
kalimat itu. Mungkin ini alasan mengapa sombong itu dilarang. Di balik perasaan
menyenangkan ketika dagu perlahan naik, literally or exactly, ada hati hati
lain yang terluka, ada penyesalan di masa depan ketika kita terpaksa harus
menelan kesombongan kita sendiri dengan kegagalan lain. Saya pikir selama ini
saya hanya senang, tapi mungkin secara tak sengaja saya telah menjadi sombong. Mungkin orang-orang lain ada yang terluka oleh kesombongan itu. Maka beginilah
manusia ini akhirnya terpukul lagi. Memang sih, orang lain diciptakan bukan
hanya untuk mendukung, tapi juga menantang. Orang lain yang berbeda raga, jiwa,
dan riwayat dengan kita sangat mungkin tidak mengerti apa yang kita percaya,
sangat mungkin menganggap salah apa yang kita yakini benar. Namun demikianpun
saya tahu, sulit untuk bisa menerima, dan semacam perasaan terpukul pasti ada.
“Gimana sih caranya biar
IPK tinggi?”
Buat saya itu bukan pujian.
Jawaban yang saya berikan pun akan terdengar sangat naif jika hanya “Suka”.
Persoalan passion dan menikmati itu sangat pribadi, jadi orang lain tidak akan
mengerti. Jadi itu tak terlalu menghibur.
Di sisi lain,
ketidakbecusan saya dalam berbagai hal memang menyebalkan. Dalam sebuah agenda
yang menuntut pergerakan, apa gunanya siput diantara rombongan kepiting? Saya
sulit mengikuti, saya tidak mengerti banyak hal, dan saya tak terlalu berguna.
Saya sulit berkomunikasi dengan orang, terutama merasa nyaman dengan komunikasi
itu. Saya juga sulit melakukan hal-hal yang tidak biasa saya kerjakan. Terbukti
sekali kan, kalau softskill saya lemah? Kejadian ini seolah mengamini teori IPK
tinggi = lemah softskill. Teman kerja saya juga sempat marah dan bilang kalau
saya harus kerja sebelum lulus supaya saya tahu bahwa dunia luar itu bukan soal
akademik. Otomatis saya terpukul sama kata-kata itu. Di saat-saat itu saya
kehilangan kepercayaan. Jangan-jangan benar kalau selama ini saya
bersenang-senang dalam wacana. Bahwa apa yang saya percayai betul-betul naif
dan saya hanyalah seorang pengejar nilai.
Saat kepercayaan saya
kembali, saya membenahi masa lalu saya dalam sudut pandang yang sebelumnya.
Saya seorang pecandu, bukan pengejar. Nilai itu hadiah. Tapi memang betul bahwa
ada prioritas tinggi yang saya letakkan pada persoalan akademik. Betul juga
bahwa saya seorang introvert yang takut dunia luas. Bahwa buat saya kenyamanan
nomor satu dan sulit untuk tidak bergantung pada hal itu. Saya telah lama
belajar artinya fokus. Saya telah belajar bahwa orang-orang punya potensi yang
sama untuk berkembang di bidangnya masing-masing, dan sesuatu yang diasah
secara kontinyu dalam waktu lama akan membuahkan hasil. Waktu masih kecil,
sayamenangis hanya dengan mengupas bawang, tapi sekarang saya bisa mengupas dan
mengiris semangkuk bawang tanpa air mata sedikitpun. Saya tak tahu apa-apa soal
eksekusi acara, teknis pelaksanaan, dan berkomunikasi dengan banyak orang
karena saya tak terbiasa dengan itu. Saya tak punya pengalaman yang mengajari
saya soal itu. Begitulah proses bekerja. Kita belajar dari pengalaman, dan dari
sanalah kita semakin baik. Rangkaian pengalaman akan membentuk spesialisasi,
dan apabila kita selalu memilih berdasarkan kata hati, itulah passion. Mungkin
terdengar seperti iklan rokok, tapi seperti itulah saya bekerja.
Sedikit banyak, apa yang
terjadi belakangan menakuti saya. Saya khawatir bagaimana dunia akan
menampilkan wajahnya pada saya selepas lulus BA nanti. Apakah akan ada yang
memberi saya pekerjaan, apakah saya akan tertelan oleh idealisme iklan rokok
yang saya pegang, atau apakah kenyataan selalu semengerikan yang diceritakan
teman saya, semua itu semakin dipikir semakin menciutkan diri. Saya juga tak
punya banyak rencana. Tapi pilihan terakhir tetap akan saya jatuhkan pada
kebiasaan lama saya, berusaha untuk waktu dekat, pelan-pelan saja, jangan lupa
menikmatinya, dan mungkin dengan sedikit tambahan: belajar terbuka.
Mungkin buat kalian,
tulisan ini hanya pembelaan seorang pengejar IPK, tapi bagi saya bukan. Saya
tidak akan memberikan apa saja untuk nilai, tapi betul jika bagi saya, urusan
akademik, urusan dalam bidang yang saya sukai ini adalah prioritas. Saya bukan
orang yang skipping class karena kelelahan
oleh banyak organisasi. Saya tidak ambil banyak, tapi kalau saya ikut kegiatanInd ekstra, cuma diri saya yang bisa dikorbankan karena itu pilihan saya. Lelah itu
risiko tapi semuanya harus berjalan karena tanggung jawab itu nilainya tinggi.