Trending Topics

.

.

Sunday, January 04, 2015

2015: Resolusi vs Kontemplasi

2015: Resolusi VS Kontemplasi

Di hari-hari pertama 2015 ini saya sering ditanya, gak sama meme, gak sama manusia: Resolusi yang belum tercapai di 2014 apa? Terus saya jawab: Gak ada.

Mungkin terdengar sedikit sombong. Seolah manusia ini selalu mampu menjemput apa yang sudah ditargetkannya. Tapi lain dari sana, maksud saya sebenarnya terletak di sisi yang 180 derajat berbeda darinya. Saya hampir tak pernah beresolusi, atau paling tidak sudah meninggalkan kebiasaan ini sangat lama.

Dari dulu, pikiran saya seolah disetting untuk tak terbiasa melihat kedepan. Pernah suatu ketika di hari-hari chuunibyou saya, saya meniru-niru kebiasaan hatsumoude akibat kebanyakan lihat manga shojo produk majalah komik dan baca Kira-kira. Waktu itu, sekitar SMP awal, seolah keren, melihat matahari terbit dan mengharap sesuatu pada bergantinya waktu. Sebenarnya bukan harapan yang tinggi akan keajaiban, lebih kepada merasa telah menjadi suatu bagian dari literatur-literatur mellow yang telah saya baca tadi. Haha

Makin tua, orang biasanya makin realistis, dan begitupun saya. Tapi mengingat bagaimana saya pernah berada dalam chuunibyou, pernah berada dalam masa yang amat mengagung-agungkan mimpi dan harapan (sebagaimana anime-anime shojo yang saya tonton) bahkan ketika teman-teman sebaya saya kebanyakan pun belum mengalaminya, kini saya melompat jauh menjadi seorang tua yang penggerutu, bukan lagi remaja yang matanya berlinang-linang saking antusiasnya terhadap mimpi dan harapan.

Sebenarnya, punya mimpi, atau apa itu namanya, karena sekarang definisinya seperti sudah berubah di mata saya, bukan hal yang salah. Di dunia ini ada berbagai jenis orang. Ada yang hidup dalam angan-angan tanpa pernah menapak ke tanah (sebagaimana yang saya pernah lakukan dulu), ada yang hidup dengan visi dan misi yang memetakan jalan hidupnya seolah dirinya seorang rennaisans sejati yang percaya bahwa manusia bisa membaca dunia dan tak ada yang namanya keruntuhan kepercayaan ini di era pemikiran abad 19-20, dan ada juga yang tak melakukan keduanya, seperti saya sekarang.

Persisnya, pemikiran semacam ini mungkin merasuki saya ketika SMA. Waktu pertama masuk, alam pikiran saya masih dikuasai oleh khayal-khayal luar biasa: lanjut menulis novel, punya ekskul yang keren, buat blog dan punya fans (?), bahkan mengenal seseorang yang mungkin akan merubah hidup saya dan membawa keindahan yang lebih dan lebih kedalamnya. Ah, shojo sekali! Tapi apa yang terjadi? Saya menjadi keren tanpa melakukan hal yang ada dalam bayangan saya sebelumnya, yang saya kira merupakan satu-satunya jalan untuk menjadi diri yang keren sebagaimana yang saya selalu bayangkan sebelum memulai kehidupan yang baru itu. Ibarat kata mimpi jadi Aurora, saya malah jadi Jean de Arc. Saya tak bertemu siapapun yang membuat hidup saya lebih indah (dalam konteks yang saya tuju), pangeran berkuda putih atau apa, melainkan berada di kelas yang seluruhnya perempuan, dan bersebelahan dengan kelas penyamun, gudang lelaki yang di jam istirahat, jam kosong, maupun setelah bel pulang sekolah sama saja: jadi warnet dadakan. Ohman -_-

Menjelang tahun kedua saya malah masuk IPA, dan disini saya jadi Jean de Arc. Kehidupan chuunibyo alay ala Aurora mengapung jauh di angkasa. Tiap hari saya bertarung dengan PR sains yang kian menggila, 2 bulan sekali bertaruh nyawa di medan UTS, dan 4 bulan sekali menerima eksekusi di padang UAS. Di masa-masa sulit ini, ketika di waktu luang pun saya tak lagi ingat main, melainkan justru menikmati membaca bacaan-bacaan yang tak saya dapatkan di kelas IPA, saya lupa pada cita-cita gemerlapan. Seketika dalam pikiran saya, dunia tak terkonsep untuk bergerak dengan cara kerja seperti itu. Apa iya, hanya dengan bercita-cita, bermimpi indah dan tertidur untuk seribu tahun, seorang pangeran berkuda putih akan benar-benar menyelamatkanmu dengan bertaruh nyawa dalam segala lapis bahaya? MENGHADANG BAHAYA UNTUK MENYELAMATKANMU SEMENTARA KAU TIDUR DENGAN NYENYAKNYA?! Dongeng, man. Kita tidak hidup dalam dongeng.

Demikian pun jadinya jika kita bermimpi sekolah sampai ke luar negeri kalau setiap hari kerjanya hanya merangkai khayalan.

Effort, Struggle, atau entah apa, tapi poin semacam itu hilang dari konsep diatas. Oleh karenanya saya memulai untuk berdiri dengan konsep baru.

Sebenarnya ini bukan konsep yang saya persiapkan, melainkan tumbuh seiring dengan waktu dan pengalaman. Ketika sekarang, tugas-tugas saya semuanya menyenangkan: membaca, membuat review, menyatakan pendapat, merangkai kisah, bercerita, mendengarkan cerita dosen yang luar biasa, membuka cakrawala-demi cakrawala yang saya tak tahu dan selalu antusias terhadapnya, pun membutuhkan tak sedikit energi dan masih membuat saya lelah, betapa hebatnya kekuatan di masa lalu itu. Kekuatan ketika saya lelah atas segala macam hantaman atas ketidak mampuan, tapi saya betul-betul menganggap hal-hal sebagaimana yang saya lakukan sekarang seratus persen mata air surgawi: ringan, menyenangkan, menyegarkan, membebaskan diri dari segala beban, dan tentu tanpa energi samasekali.

Ketika berada dalam waktu yang sulit, impian Aurora seolah sangat mahal dan tak tersentuh oleh tangan hina yang direndung kemalangan ini. Setitikpun saya tak berani untuk bermimpi memenangkan diri atas kemalangan ini dan seketika berada diatas. Semua orang berusaha, bahkan mereka yang tak malang pun berusaha, apalah arti harapan semacam itu bagi orang seperti saya. Akhirnya saya mengambil jalan tengah. Apapun akan saya lakukan untuk bisa lepas dari sini, mengakhiri kemalangan ini, dan apapun yang terjadi setelahnya, itu urusan nanti, yang penting saya lepas dulu dari sini. Dan benar, tujuan itu yang mengantarkan saya pada diri saya yang sekarang.
See, bukan lagi angan-angan tapi target, dan lain impian jangka panjang, ini jangkanya sangat pendek.

Pandangan yang menyelamatkan saya ini yang saya lakukan sampai sekarang.

Kalau angan-angan menyenangkan hati tanpa arti dan kalau resolusi demikian menuntut diri, tujuan terserah pada kita. Sebenarnya agar tak terlalu terlihat bertekanan, saya akan menjelaskan definisinya. Tujuan ini lebih kepada melakukan yang terbaik yang bisa dilakukan untuk saat ini, memilih setiap pilihan hidup dengan tenang, dan konsekuen. Karena kemudian saya percaya kalau dalam hidup ini segalanya seimbang. Kemalangan dan keberuntungan adalah sisi kanan dan kiri dari sama dengan. Ketika masuk IPA buat saya adalah kemalangan, saya justru memiliki kemampuan untuk menikmati membaca sedemikian hebat, dan memiliki etos sedemikian tinggi untuk bangkit dan segera beranjak dari tempat itu. Jujur, sampai saat ini, ketika apa yang saya lakukan telah lebih menyenangkan, saya belum pernah mencapai titik sehebat itu lagi. Kalau kita menyesali apa yang kita dapati hari ini, ketika kita di hari yang lalu memilih pilihan yang lain dari ini dan tak akan sampai pada keadaan yang seperti ini pun, siapa yang jamin kalau itu akan lebih indah. Mungkin point terakhirnya adalah, ya, tentu: bersyukur.

Bahkan saya bersyukur saya pernah masuk IPA, karena jika tidak, bukan mungkin saya akan berada di tempat ini, hari ini. Dan hari-hari menyenangkan yang saya alami kemudian membuat saya semakin menyadarinya.

Jadi bagi orang yang lebih suka hidup dalam aturannya sendiri ini, daripada beresolusi, akan jauh lebih menyenangkan berkontemplasi.

Resolusi bagi banyak orang juga artinya baik sih. Menuntut diri kan juga berarti membawa diri untuk cepat-cepat melangkah pada kemajuan. Tapi yang saya tidak begitu suka, di dalamnya sering kali ada kata target. Well, kata-kata ini sangat penuh tekanan dan tuntutan meskipun pengertiannya lagi-lagi kembali kepada individu masing-masing.

Buat apa menuntut diri sendiri ketika orang lain telah ada untuk menuntut banyak dari kita?Berikanlah diri ini ruang untuk sedikit bebas berkembang, bagaimanapun yang ia inginkan. Yang terpenting adalah berusaha dengan baik dan bakal menjadi sebuah kejutan ketika kita melihat kebelakang, ada sebuah jarak besar yang telah kita buat dengan ini, tanpa tuntutan, tanpa tekanan!


Tahun lalu, saya juga menulis hal serupa, Cuma ringkasan akhir tahun dan doa untuk tahun kedepannya, tanpa menyebutkan suatu resolusi yang spesifik, tapi hari ini, bagaimanapun saya tetap beranjak dari diri saya yang tahun lalu.

Tahun ini, dari tahun kedua saya naik ke tahun ketiga, dan lantas, punya ade angkatan. Bukan sesuatu yang terlalu luar biasa sih, tapi ya, siwaramudya yang membuka awal semester ini, yang telah masak-masak kami rangkai sejak awal semester sebelumnya, jadi catatan luar biasa di tahun ini. Kalo buat anak sejarah, ini momen penting lah. Angkatan jadi satunya ya disini. Setelah momen ini, bakal terbentuk sebuah kesatuan dan tereliminasi beberapa yang tak sejalan. Selain itu, momen ini juga membawa dua bendera besar yang masing-masing bertuliskan tanggung jawab dan menjadi dewasa. Dua kata yang berjuta-juta kali diucapkan orang, berkali-kali pula diucapkan oleh kakak angkatan yang kami mintai saran. Lucunya, disini nggak semua yang kita kira nggak ada artinya itu nggak ada artinya, dan yang kita kira berarti itu betul betul berarti.

Di tahun ini, saya juga resmi telah menembus 4 penjuru jogja sebagai pembonceng. Mulai dari bolak-balik survey Kaliurang di awal tahun, ngebolang motoran ke Gunung Kidul semester lalu, ke Magelang, dan ke Pantai Depok semester ini. Hebat banget ya, dan poin terhebatnya adalah sebagai pembonceng. Sabar banget yang pada pernah saya bonceng haha. Lagian, salahin Jogja yang angkutan umumnya gak pro-rakyat, yang bukan habitat sempurna bagi angkot-mania seperti saya.

Ini juga tahun tanpa kelas sang profesor. Omaigad, awalnya kuliah begitu hampa sampai-sampai kuliah umumnya diserbu massa. Tapi ya, nanti juga ketemu lagi, lagipula sebagai DPA yang membawahi saya, kami punya jadwal wajib menghadap beliau tiap semesternya. Haha~ Tapi tahun ini saya pernah berbicara langsung (Baca: sedikit lewat mas Uji) sama Prof. Adrian Vickers saudara saudara~ Eouh, bangga banget gitu doang juga -_- // Biarin. Secara, Adrian Vickers, dan dia pernah presentasi dengan tema yang sama di Oxford, terus ketika itu di UGM, di ruang multimedia yang biasanya kami pake kuliah. Saya nanya, terus dijawab, dengan sangat keren, sekeren presentasinya tentang sejarah komoditi kerang mutiara di Indonesia Timur waktu itu yang 100% pake bahasa Indonesia. Aih~ *blush* #dor
Bahagianya, tahun ini juga saya ada beberapa kemajuan soal bahasa. Meski kelas bahasa Inggris justru ada di semester satu, itu bukan apa apa kalo yang dipelajari masih sama kaya yang di kursus-kursus sejak jaman dahulu kala: conversation, grammar, dan kawan-kawan. Tapi semester genap dibuka dengan BAHASA INGGRIS TERAPAN. Ulala, berasa sejarah IUP. Waktu itu kami baru lulus semester satu dengan raihan berupa buku Ricklefs yang bahkan belum sampai tamat dibaca. Banyak diantara kami yang masih kaget sama tuntutan membaca dan baru hanya menamatkan Pengantar Ilmu Sejarah-nya pak Kunto. Tapi di mata kuliah ini kami disuruh baca jurnal-jurnal yang full english. Omaigaad, baca bahasa Indonesia aja masih mikir bolak balik.

Meski dipenuhi tuntutan tugas yang setiap minggu pasti ada dan kuliah yang tanpa subtittle, akhirnya, kami berhasil juga, dan sedikit-sedikit mulai terbiasa sama bahasa yang katanya internasional ini. Gak Cuma bahasa inggris terapan, matkul historiografi pun mewarisi sebundel materi yang harus kami baca dan isinya dari mulai bahasa indonesia konvensional, ejaan 60-an, ejaan 40-an, sampai bahasa inggris juga saudara saudara. Pokoknya mabok deh. Tapi kalo nggak ada semester dua, mungkin membaca belom lagi jadi senikmat sekarang hari ini. Tresno jalaran seko kulino. Bisa karena biasa. Meski awalnya menyiksa, akhir-akhirnya manis juga. #halah

Di semester tiga hadir BAHASA BELANDA TIGA. Meneer vakum ngajar, jadi diganti dosen lain, tiga, yang gaya ngajarnya luar biasa, luar biasa nggak nyante. Awalnya mabok. Yang biasanya cuma ngartiin yang kalo nggak bisa dibantu, ini jadi menebak struktur kalimat, vokus ke gramatika, dan lain sebagainya. Kamus saya yang males dibuka pas semester satu dua, ini langsung jadi keriting. Baik tugas maupun dikelas, semuanya jadi kesempatan mikir keras. Baca dan ngartiin digilir dengan disiplin, dan kalo nggak bisa berakhir dengan panas dingin. Tapi berkahnya, baru di semester ini saya yah, ngerti rengrengannya bahasa belanda lah. Paling nggak, semester ini saya samasekali nggak pernah ngerjain tugas maupun ulangan pake google translate *yeay*. Meski dalam beberapa kesempatan, makin tua teks, makin jumpalitan juga pikiran saya, tapi ya, jujur jujur jujuur banget, baru kali ini saya ngerti bahasa belanda.

Dan sumpah, matkul semester ini tuh hampir semuanya exiting. Yang awalnya nyante, akhirnya bikin senewen semua. Bayangkan, PPS, saudara-saudara. Sebelum UTS kerjaan kita Cuma jalan-jalan, Arsip Pakualaman, Arsip Kraton, Arsip Daerah. Motoran bareng sama dosennya juga, coba liat-liat arsip, dan dikasih tau kalo mau ngakses caranya gimana, dan setelah UTS, kita jalan-jalan lagi, tapi SENDIRI. Seminggu setelah UTS, kita bawa tema plus judul ke hadapan dosen pengampu matkul dan teman-teman. Ketika itu saya bawa judul apa? Yap, mi instan, dan mau dibawa kemana? Mau dibuat ngeliat rekonsiliasi Indonesia Jepang gara-gara pabrikan mi instan awal-awal semuanya hasil patungan sama perusahaan Jepang. Tapi saya masih bloon. Sejak kapan politik luar negeri Indonesia Bebas Aktif? Sejak kapan Indonesia masuk PBB, keluar, dan bahkan masuk lagi? Apakah dengan itu, ajang maaf-maafan Indonesia dengan Jepang baru terjadi ketika muncul pabrik mi instan? Bagaimana dengan tol? Omaigad, saya terlalu berpikiran pendek.

Alhasil, setelah konsul dan konsul, saya dapet pencerahan. Mi instan bukan bukti rekonsiliasi, tapi sebuah budaya konsumsi baru yang meroket dalam waktu kurang dari dua dasawarsa, merangsek nasi langsung di urutan kedua. Masalah inilah yang jadi sumber dari segala sumber masalah bagi PPS saya. Nyari iklan di koran Jogja Library Center malioboro ketika ongkos trans dan kopata sama sama 4000 jauh dekat *hiks* dan jajanan malioboro mahal-mahal. Nyari statistik di BPS yang perjalanannya dari kampus memakan waktu satu jam motoran, ga ada angkutan umum, dan saya gak tau akan jadi apa kalo nggak punya barengan. Nyari statistik di perpus pusat dalam kondisi meriang, dan nulis pula dalam kondisi meriang. Untung nyokap bokap sekeluarga nengokin ditengah-tengah keadaan genting. Saya dikerokin, diberobatin lagi, sembuh, dan kembali bisa menulis. Dan hasilnya 40an halaman, masterpiece tulisan sejarah bermetode (meskipun seancur-ancurnya metode sejarah) pertama saya lahir 1 Januari kemarin. Terharu luar biasa men! Ini pencapaian terbesar tahun ini.

Tahun yang jadi tahun politik ini juga membawa saya mengenal dunia baru bernama politik. Baru minor banget sih, ranah HMJ coy. Tapi yang namanya politik, tetap kejam. Ada sebuah cerita besar dibalik musyawarah besar tahun ini, dan itu cukup mengejutkan buat saya yang belom pernah berkecimpung di politik mana-mana, termasuk politik osis jaman sekolah ini. Tapi untunglah semua beres, dan kami masih menjadi kami yang sediakala.

Di kosan, gak ada banyak perubahan selain poster-poster yang mulai ngelotok bersamaan dengan cat yang mengelupas. Saya gak pindah kos, masih disini. Sebenernya mau aja kalo keadaan memungkinkan. Tapi mengingat ekonomismenya, dan kebutuhan untuk beradaptasi kembali di lingkungan yang baru, saya memilih untuk bertahan.  Meski sudah cukup betah di kos, dan sekarang salah seorang besties saya, si Dancho-nya TJ menetap di kota yang sama dan sering main kesini. Entah kenapa, selain kehidupan di kampus, ini masih mimpi, dan saya baru bangun ketika pulang lagi ke Cikarang.

Yah, namanya juga rumah men, 15 tahun lebih saya disana~

Akhir kata, saya bahagia tahun 2014 ini telah membawa banyak hal bagi saya. Kenikmatan membaca, matkul abad 16 dan 17-18 yang luar biasa exiting, sedikit-sedikit mulai mengerti Belanda, masterpiece PPS apapun nanti nilainya, kesempatan exploring banyak sudut Jogja dari sama bocah kelas sampe sama nyokap bokap adek kemaren, dan masih banyak lagi.

Semoga tahun 2015 bisa menjadi lebih baik dan lebih baik lagi dari sebelumnya.

Oya, Indonesia juga jangan mau kalah di free trade ASEAN yaaa~ XD