Trending Topics

.

.

Sunday, September 21, 2014

Meeting a Profesor



Mindblowing, itu kesan luar biasa yang beliau tinggalkan di kelas pertama kami. Bayangkan, dua belas tahun kami belajar di sebuah lembaga pendidikan konvensional bernama sekolah, berusaha menaklukan kurikulum yang berubah sesering pergantian kabinet presiden lewat segala ujiannya yang membuat kami kian tabah sekaligus kian licik kian kami tua,  tapi di hari itu segala apa yang kami peroleh darinya runtuh. Sejarah Indonesia, yang pahit manis dan luar biasa romantis dengan nasionalismenya teryata hanyalah skenario pelengkap syarat eksis sebuah institusi bernama negara. Luar biasa.

Seketika pijakan kami hilang, atau setidaknya bagi saya pribadi. Sebuah nyala api yang ternyata semi semu bernama nasionalisme itu salah satu alasan kuat saya masuk ke jurusan ini lho, tapi baru di pertemuan pertama ia disegerakan untuk padam. Soekarno hanya manusia biasa yang condong ke Jepang dan menghimbau para lelaki untuk jadi romusha, tapi divermak disana sini namanya demi menjadi ikon bapak bangsa yang sempurna. Soekarno yang dikhianati oleh orde baru seolah hanya mengalami let’s say, karma, atas hal sewarna yang pernah ia lakukan pada Sjahrir. Soeharto adalah murid terbaik Soekarno, regenerasinya yang paling sempurna. Dan Golkar saudara-saudara, pertama kali dibentuk atas prakarsa Soekarno.

Itu baru sedikit, sedikit sekali diantara banyak betul hal, kenyataan baru yang luar biasa, yang mampu menawan hati untuk terdiam barang beberapa detik, menengok kebelakang, dan mendapati semuanya, masa lalu, sejarah dalam sudut pandang saya selama ini berangsur layu. Sementara untuk menumbuhkan yang baru, saya masih belum menemukan pijakan hingga saat ini. Sekarang, jika saya ditanyai alasan saya mengapa masuk jurusan ini dahulu, saya sudah kehilangannya, tapi jika saya ditanyai apa alasan saya untuk tetap bertahan di jurusan ini kedepannya, salah satu yang utama adalah untuk menemukan pijakan itu kembali. Karena di kelas pertama itu, di hari dimana saya ditegur karena secara tanpa sadar memainkan tombol ballpoint, beliau bilang kalau nanti kita akan menemukan cara untuk mencintai negeri ini dengan pandangan baru yang tidak lagi naif. 

Semester berikutnya, di kelas-kelas lain, pertanyaan-pertanyaan senada terus bermunculan. Alasan seperti masuk sejarah karena punya hapalan yang bagus atau nilai sejarah di raport yang memukau tak lagi bisa diandalkan. Kami bukan menghapal, tapi mempelajari hal yang luar biasa baru. Rasanya tak ubah belajar menggunakan kacamata yang berikutnya akan kita gunakan seumur hidup apapun yang kita lihat kedepannya. 

Ditengah perjuangan menemukan bukan hanya hasil dari yang dipelajari tapi juga diri sendiri ini, saya kembali bertemu orang-orang hebat. Suatu hari juga di kelas sang profesor, kami pernah membahas perbedaan pendidikan sejarah dan ilmu sejarah. Diskusi waktu itu berlangsung sangat seru, karena bagaimanapun pokok bahasannya adalah hal yang amat dekat dengan kami, yang baru beberapa bulan lalu kami tinggalkan, dan yang selama belasan tahun telah tertanam dan membentuk fondasi pemikiran kami soal sejarah. Sejarah sebagai ilmu bukan sebuah kajian normatif yang menggunakan sejarah untuk mengatakan suatu hal salah atau benar, sangat bertolak belakang dengan apa yang kami pelajari di sekolah. Ketika itu, seorang teman saya menyeletuk soal jika memang seperti itu, betapa institusi yang mengajarkan sejarah pendidikan telah mengajarkan banyak kebohongan. Tapi beliau menyanggah dengan jawaban yang sama sekali tak saya kira. Institusi keguruan memang bergerak dibawah pemerintah formal, kurikulum juga menjadi satu bagian dari kekuasaan orang-orang atas mengenai visi mereka dalam membentuk negara, tapi diluar sistem dan atmosfer yang demikian, kita sebagai pribadi yang telah bertahun-tahun menikmati masa-masa sekolah pasti pernah memiliki guru-guru sejarah yang luar biasa, yang bisa jadi merupakan salah satu alasan kuat kami berada disini. Buat saya pribadi, hal ini luar biasa betul. Istilahnya, mata pelajaran yang pertama kali membuat saya menikmati proses belajar disamping proses bermain di sekolah adalah mata pelajaran semacam ini. Sesi dimana sejarah atau pengetahuan umum lainnya diajarkan adalah sesi amat menyenangkan, ringan, dan bagi saya cukup menghibur dan mengundang banyak sekali kekaguman. Ia tak pernah menuntut saya untuk melakukan hal yang tidak saya sukai semacam menghitung atau menyalin, melainkan cukup mendengar berbagai cerita luar biasa, menjawab kuis kuis menantang, dan bercerita.  Sungguh sebuah waktu pembalasan dendam yang sempurna ketika terlalu banyak hitung-hitungan telah menyiksa saya. Dan dibalik saat-saat menyenangkan semacam ini, ada beberapa orang hebat. Guru-guru sederhana yang saya kagumi hingga saat ini. 

Di kelas beliau yang mindblowing ini, saya seolah dibawa kembali kepada euforia kuis semasa SD dulu. Adrenalinnya mirip, suasananya sama-sama tegang tapi menyenangkan. Kata profesor sebelumnya hanya pernah saya temui di film-film di televisi. Kalaupun dalam dunia nyata, ia pastilah rektor-rektor universitas yang sekali dua kali pernah saya dengar namanya, tapi wujud dan tuturnya tak terbayang sama sekali. Ketika saya mengikuti sebuah program sehari sit-in di IPB, saya merasakan diajar beberapa dosen. Salah seorang dosen yang ahli hewan dan genetika memang saya akui mengajar dengan sangat menarik. Pembawaannya membuat saya yang tak tahu menahu soal hal semacam itu jadi cukup terbawa dan tertarik, tapi tidak dengan dua dosen lainnya. Ketika itu saya bertanya-tanya kalau nanti saya bukan cuma sit-in melainkan sebetul-betulnya kuliah, dosen seperti apa yang bakal saya alami kelasnya, sembari berdoa semoga saya akan bertemu orang orang seperti dosen genetika ketika itu. Dan luar biasanya, doa itu terkabul.

Kali pertama beliau masuk di kelas kami adalah pertama kalinya saya melihat seorang profesor, dan kalau kalian suudzon bahwa belajar sejarah mengundang kantuk, tarik kembali semua itu. Mindblowingnya luar biasa. Satu hal yang nggak akan pernah saya bisa lupa. Mendengar penjelasan beliau rasanya seperti dilayangkan kesana kemari, dan kesadaran sepenuhnya baru akan kembali ketika beliau memutusnya dengan menanyakan tanggapan atau pertanyaan kepada siapapun diantara kami. 

Semua itu belum termasuk soal tulisan beliau, yang sebetulnya adalah alasan mengapa saya menulis tulisan ini sekarang. Mata kuliah babon semester ini mengajukan skripsi kecil sebagai syarat lulus, syarat tersebut harus mulai kami kerjakan selepas mid-semester, dan saya belum tahu mau menulis apa. Mungkin dalam alam pikiran saya sudah 4-5 kali memutar pendirian mengganti topik, padahal sudah saya cicil mencari tema-tema menarik sejak liburan. Dalam masa-masa pencarian tema itu saya terus mengalami banyak renungan baik soal posibilitas, spasial mana yang harus saya jadikan sampel, sampai kadang saya kehilangan apa makna penelitian sejarah itu sendiri. Kunjungan ke dinas arsip kemarin tak terlalu banyak membantu selain membuat saya tahu kalau karena mereka kedinasan, mereka jadi lebih banyak menangani arsip pemerintah yang kering dan kurang asik diajak nyeleneh sebagaimana tema-tema sosial yang kecil. 

Beruntung ditengah kebimbangan itu saya menemukan tulisan beliau soal sejarah sosial Jakarta. Rasanya semangat yang sempat hampir padam oleh tiupan angin di sana sini memijar kembali. Sejarah kembali pada wujudnya yang ramah, kembali menjadi kacamata yang bisa digunakan untuk melihat apapun. Pengertian soal ‘segala hal bisa ditulis’ itu akhirnya kembali. 

Apapun yang saya tulis, saya pasti menulis hal sepele yang menyenangkan untuk saya pribadi. Doakan saja, semoga diantara kesepeleannya, ia bisa memiliki landasan metode yang cukup kuat sehingga bisa dikategorikan ke dalam yang tak terlalu menyedihkan. Bagaimanapun ini bagian dari proses belajar, dan saya beruntung memiliki kesempatan ini. 

Meeting a profesor, hal yang baru pertama kali saya lakukan dalam hidup saya, dan itu super! Dengan kesempatan ini, saya membuktikan, bahwa gelar akademis memang bukan hal sembarangan. Nggak semua doktor bisa jadi guru besar, tapi bukan hanya karena hal itu gelar tersebut jadi hebat. Saya nggak tahu lah, tapi jelas orang-orang semacam itu punya kekuatan tertentu. Tuhan, suatu hari nanti, saya punya mimpi untuk bisa berdiri di mimbar-mimbar kelas dengan kekuatan semacam itu. Kebahagiaan yang luar biasa kalau saya melakukan seperti apa yang telah mereka lakukan untuk saya ke lebih banyak orang.


Yuanita Wahyu Pratiwi
21 September 2014

Monday, September 15, 2014

Nikmatnya Bersama-sama bagi Seorang Introvert

 
Di film yang hampir 10 kali saya tonton ulang, Titanic, Rose Dewitt Bukatter tua pernah berkata, “Hati seorang wanita adalah lautan yang amat dalam…” dan ketika itu saya amat tersentuh. Saya yang masihlah hanya seorang abege labil seketika disulap emosinya untuk turut terlibat dalam film luar biasa tersebut, dan saat itu juga menjadi semerana Rose dan menangis tersedu padahal sebelum menonton saya jingkrak-jingkrak bahagia karena salah satu film favorit saya ini kembali unjuk gigi di televisi. Sebetulnya dalam tulisan ini, Titanic bukan soal. Memang hobi saya membuat opening yang agak melenceng dari konteks, tapi okelah, karena semua tetap akan teruntai dengan satu benang merah. Kali ini sebetulnya saya ingin menyoroti quote Rose diatas. Kalau baginya yang hidup dalam pendustaan terhadap keinginan nuraninya, hati seorang wanita, atau singkat cerita hatinya sendiri adalah lautan yang amat dalam, bagi seorang introvert yang sangat menghindari segala macam risiko seperti saya, hati semua orang adalah lautan yang teramat dalam.

Kebiasaan menghubung-hubungkan keadaan saya yang sekarang dengan masa lalu ternyata adalah kemampuan yang saya miliki sejak sebelum mendalami Sejarah, dan semakin menjadi-jadi saat ini. Jadi sepertinya salah jurusan bukan lagi kemalangan yang saya alami dalam periode ini. Prodi ini adalah rumah bagi the rest of my life. Sebagai buktinya, post ini adalah post kesekian yang membuat saya memulai cerita dengan sepenggal kisah di masa lalu saya.

Jadi begini, saya anak pertama bagi sepasang suami istri muda ketika itu yang dihujani segala macam saran dan wejangan dari yang asalnya pengalaman sampai mitos turun temurun. Sebagai ‘pengalaman pertama’ saya dibesarkan dengan banyak eksperimen #dor. Maksudnya adalah, kebayakan dari saran tersebut ditampung oleh kedua orang tua saya, dan soal kredibelitas saran, yang jadi patokan kadang bukan lagi logika melainkan track record dan posisi sang pemberi saran bagi yang diberi saran. Singkat cerita, meski kata bidan yang baik untuk kesehatan a, kalau kakaknya ibu saya atau simbah bilang b ya yang dilakukan b. Alasannya, wong bu bidannya juga belom punya anak kan, tau apa dia :v

Selain daripada mitos-mitos, saya dibesarkan dalam kapsul kekhawatiran. Ibu saya ketika saya lahir sampai berusia beberapa bulan masih bekerja, dan ketika itu lah tanggung jawab asuhan atas saya ketika ibu saya bekerja berpindah dari satu nanny ke yang lain hingga beberapa kali. Ndelalah, saya sakit-sakitan. Entah ini faktornya apa, tapi setelah sharing dengan sekalian banyak manusia, kebanyakan anak pertama memang punya kisah yang semacam ini. Puncaknya ibu saya keluar kerja. Seluruh perhatian kemudian tercurah kepada saya, tapi saya tak kunjung menunjukan tanda keramahan pada keputusan ini. Sampai TK saya masih rawat jalan gara-gara asma dan bronkhitis yang menjangkit dari usia 2 tahun. Sebelumnya, entah penyakit apa yang jelas saya hampir setiap minggu ke rumah sakit dan beberapa kali sampai dirawat inap. Dengan track record yang sekelam itu, meski setelah masuk TK saya menunjukan progress kesehatan yang luar biasa, ortu saya tetap dihantui trauma. Yang namanya surga anak-anak seusia itu semacam CIKI, ES, PERMEN, COKELAT, HUJAN-HUJANAN, PANAS-PANASAN, DAN MAIN BERLEBIHAN dicoret dari daftar hal yang boleh saya sentuh. Setelah beberapa lama berada dalam kukungan ini, betul saya sehat, tapi begitu terkena satu dari alergen diatas saya memang bisa jadi langsung jatuh seperti ancaman ibu saya. Dan karena ini saya memiliki keterbatasan waktu bermain hingga hampir usia-usia main saya habis.

Kalau sepulang sekolah saya lihat teman-teman sebaya lari-lari di lapangan, saya dipaksa tidur siang. Kalau yang lain jajan ciki, saya jajan roti, yang lain minum es warna-warni, saya beli susu. Masa kecil saya akhirnya memiliki warna yang cukup berbeda dari yang lain. Dulu, berlama-lama main di akhir pekan dengan pengawasan spesial orang tua adalah momen yang paling saya tunggu-tunggu. Kalau sudah asyik saya kerap kali enggan diajak pulang. Perihal keabsahan cerita, tanya lah teman-teman masa kecil saya atau ibu mereka. Setidaknya, meskipun ibu saya setia mengingatkan untuk tidak menyentuh ini dan itu, saya memiliki kesempatan terbang bebas sejenak ke langit dimana mahluk lain seusia saya mengepakkan sayapnya.

Karena hal ini, dulu saya super berisik. Cengeng jelas, karena ibu saya sangat sering memperingati untuk tidak menyentuh hal yang selalu sangat menggoda untuk saya sentuh, dan air mata lantas mengalir begitu saja. Tapi baiknya, dari hal ini, saya mudah sekali bergaul dengan segala usia. Anak seusia saya, adik-adik orang tua saya, teman kerja ayah saya, sepupu-sepupu yang lebih tua dari saya, mereka semua adalah teman yang menarik. Mereka selalu punya cerita dan beberapa jajanan. Mereka adalah orang baru diluar orang tua saya yang ketika itu dalam anggapan saya amat lurus dan terlalu menegakkan peraturan yang membosankan.

Tapi belum lama hal ini terjadi, saya diculik oleh dunia baru bernama sekolah. Disini jelas saya punya banyak sosok teman yang selama ini saya cari dari setiap pribadi yang saya temui. Mereka adalah orang-orang yang bisa saya ajak bicara dan berbagi mengenai apa yang saya inginkan dan mengerti akan itu. Mereka jauh lebih luar biasa dibanding teman-teman ayah saya atau sepupu-sepupu yang lebih tua. Sekejap, pandangan saya terhadap dunia berubah. Lingkungan di sekitar rumah yang memang berada cukup jauh sejak isolasi itu, membuat saya melupakannya dengan mudah ketika saya menemukan keasyikan di sekolah. SD sampai lulus, SMP, lalu SMA, hingga saya sadari saya tak bertegur sapa dengan mereka yang saya lihat sejak sama-sama kecil. Kami banyak bersekolah di tempat berbeda, membicarakan hal berbeda dan banyak melakukan hal berbeda, hingga saya tak tahu lagi apa yang menyatukan kami selain kilas-kilas gambar di masa lalu. Saya akhirnya diam.

Baru akhir-akhir ini saya sadar, kalau memiliki teman akrab bagi seorang seperti seperti saya telah menjauhkan sejauh-jauhnya diri saya dari aktivitas mencari teman. Teman akan saya cari ketika saya tidak punya, begitulah yang kemudian lebih sering terjadi, atau bahkan kadang saya berpikir lebih baik saya sendiri. Rasa takut akan penolakan dari lingkungan selalu menghantui ketika saya berkaca, berjalan keluar, dan berkeinginan untuk menyapa seseorang. Saya tak mengenal mereka, bagaimana kalau salah menafsirkan maksud baik saya. Sungguh hal yang sangat jauh berada dari kepribadian kecil saya yang haus akan teman. Jadilah saya tumbuh lebih dengan kecenderungan sebagai seorang introvert.

Saya beruntung, cangkang tempat saya berlindung dari dunia luar yang penuh ketidak tentuan adalah pintu rumah, bukan pintu kamar. Dinamika ini membuat keluarga menjadi satu-satunya kesatuan yang transparan bagi saya. Saya membagi banyak hal dengan mereka, malah hampir setiap hal. Tapi masalahnya adalah ketika saya keluar dari rumah, tidak ada yang menggantikan posisi mereka kecuali sekedar sambungan telepon dan kiriman sms. Padahal di satu sisi, saya juga berpisah dengan teman-teman lama saya.

Di tempat baru ini, saya terjun bebas. Menutup mata dari segala ketakutan dan hanya setia berpegang pada takaran hakiki salah dan benar. Saya mencari teman lagi, dan akhirnya menemukannya.

Keheranan pertama saya muncul di pertemuan pertama teman-teman fakultas, lalu sejurusan. Mereka yang berada dalam lingkup ini membawa atmosfer yang amat berbeda dari teman-teman satu kelompok ospek di universitas. Ketika setiap diantara kami diminta berbagi cerita, mereka para teman sejurusan hampir semuanya adalah yang berpandangan sama seperti saya. Hal yang tidak berbeda juga terjadi dengan angkatan baru 2014. Seolah jodoh alam, kami memang ditakdirkan untuk digiring dalam satu frame kisah yang sama disini dengan cara-cara yang meski beragam, terpetakan indah dan amat serupa polanya.

Kami menertawakan banyak hal, peduli pada hal-hal yang bayak dilupakan orang lain. Kami menyukai atmosfer yang sama, berhobi sama, tahan mengobrol berlama-lama dan masih banyak lagi. Kami bersatu, satu angkatan, semakin ditempa semakin solid sebagaimana perasaan nyaman saya ketika pertama kali diterima di tengah-tengah komunitas ini.

Mungkin ini keberapa kalinya saya mengatakan kalau saya amat bersyukur berada dalam komunitas ini. Ini adalah kelas pertama dimana hampir satu sama lain sekelas bisa bersatu dan tertawa bersama dalam satu lelucon, saling mengejek dan menertawai, mengerjai dan meneriaki tanpa dendam. Awalnya memang semuanya tak serta merta sedekat ini, beberapa keretakan juga sempat mengusik soliditas kelompok kelas kami, tapi kemudian mereka tertinggal di bingkai waktu yang lalu sementara kami bergerak kian maju, kian erat.

Beberapa kali kami dipekerjakan dalam satu kesempatan, dipaksa oleh sense of belonging untuk saling bahu-membahu menyelesaikan tugas yang dibebankan kepada kami. Dari sini kami semakin mengenal pribadi demi pribadi. Setiap orang berdiri dengan banyak kekurangan dan kelebihan, tapi pointnya adalah kami menerima satu sama lain sebagai manusia yang sebagaimana adanya.

Lingkup masyarakat baru ini menyadarkan saya akan kenikmatan berada dalam sebuah lingkup kelompok yang terdiri dari banyak orang. Memiliki teman bukanlah soal bergenggam tangan erat dengan seorang yang kita jaga betul perasaan dan kenyamanannya agar terus berada disisi kita, melainkan menjadi sebetul-betulnya manusia dihadapannya. Jika marah, silakan marah sampai bisa menjelaskan mengapa kalian marah dan apa yang harus saya perbaiki. Jika sedih, bergabunglah bersama dengan yang lain, tertawa dan lupakan segalanya. Jika kecewa, ungkapkan, niscaya selalu ada ujung yang bisa diraih bersama dengan tangan dan pikiran yang terbuka.

Sekarang saya baru saja menemukan artinya. Teman bukanlah soal satu atau dua orang yang setia tapi tertutup matanya, mereka adalah rekan terbaik yang siap menampar, memukul, memaki, dan menarik kita kembali ke jalan yang baik. Selama ini saya terlalu takut dan tertutup, lalu mencukupkan diri dengan kukungan yang kian menciutkan hati. Saya memiliki keluarga yang sepatutnya telah lama menyadarkan saya tentang definisi baru yang senantiasa mereka tanamkan pada saya ini, tapi bodohnya saya baru menyadari kalau hubungan seperti ini bukan hanya dengan keluarga baru-baru saja.

Kalau saya sempat diisolasi, tak diperkenankan banyak bermain dan sebagainya, orang tua saya tak pernah berniat jahat. Mereka hanya dihantui banyak pemikiran dan ingin yang terbaik bagi saya untuk dapat tumbuh juga dengan baik seperti yang lain tanpa harus dibahayakan. Toh jika bukan karena sikap saya yang lalu, saya tak akan belajar darinya. Saya tak akan mendapatkan pemahaman ini, dan satu lagi poin mengenai betapa hidup adalah sebuah fase luar biasa.

Manusia makhluk sosial. Perasaan hati diungkapkan dengan bahasa sementara bahasa adalah alat untuk saling mengerti satu sama lain. Selain bahu-membahu dalam pemenuhan kebutuhan yang sifatnya fisik dan primer, manusia berbahasa karena saling butuh dimengerti. Introvert bukan kesalahan. Memang beberapa tempaan dalam hidup membuat bentukan tiap orang berbeda-beda, dan tak ada yang salah atau benar perihal itu. Entah saya introvert atau bukan, entah jika saya introvert saya bisa berubah atau tidak. Yang jelas, meskipun saya kadang menikmati waktu sendiri, meskipun untuk melakukan hal tertentu saya harus sendirian, saya menikmati waktu bersama-sama. Teman adalah salah satu hal paling luar biasa dalam hidup saya, dari orang tua saya, keluarga saya, guru-guru saya, rekan saya di sekolah dan di kampus, kawan lama saya, teman kelas saya yang sekarang, mereka semua teman saya. Mereka yang membagi hidupnya dengan saya, menginspirasi saya, mengingatkan saya ketika salah, dan senantiasa membuat saya menjadi lebih baik siapapun itu adalah teman-teman saya.



Yuanita Wahyu Pratiwi 15 September 2014
Untuk teman terbaik saya, yang ulang tahun tanggal 13 kemarin, Ibu saya.