Trending Topics

.

.

Friday, January 31, 2014

Penentuan: Sejengkal lebih dalam tentang menembus batas ke Universitas

Besok career day di sekolah saya, dimana mestinya saya aktif sebagai salah satu anggota, menghadiri setiap rapatnya, menyatakan pendapat dan sebagainya, tapi ternyata saya tak banyak bertindak. Kadang kala keputusan untuk diam dalam satu saja perkara kecil akan membuatmu terdiam untuk waktu yang lama. Lagipula ada banyak lagi kisah dibaliknya. Sudahlah.

Saya tak punya tips macam-macam. Lagipula tips-tips mengenai masa-masa penentuan ini hanya banyak dikeluarkan oleh lembaga lembaga bimbel sebagai produk komersial mereka. Lembaga-lembaga yang apabila dilihat dari konsep luhur pendidikan, nyatanya amat sangat tidak mendidik. Mereka mengajarkan rumus-rumus mudah untuk menyiasati soal tertentu, membuat anak-anak korban mereka memeras otak untuk waktu yang berlebihan dari kapasitas mereka demi menghapal cara menjawab tanpa tahu akar dari masalah sebenarnya yang dihadapkan pada mereka. Lembaga-lembaga tersebut, di mata saya, kadang nampak tak lebih dari sekedar pelumas mahal untuk melumuri diri demi melewati sebuah celah yang benar-benar sempit bernama UN dengan lebih mudah.

Tak ubahnya juga dengan UN itu sendiri. Ideal memang mustahil, tapi masih ada manusia yang mengalahkan kepentingan orang banyak demi segelintir individu dan gologan tertentu. Hal itu yang rasanya masih membuat tangan-tangan aktivis semakin erat mengepal. Dengan UN, otomatis, pendidikan hanya soal nilai. Tak peduli ada 60-40% atau apalah itu, 40% tersebut bukanlah ruang yang diberikan oleh oknum pendidik untuk turut bicara mengenai kelulusan anak didiknya, melainkan celah untuk menyumpal nilai demi memenuhi standar. Terserah soal sekolah-sekolah elit dengan guru-guru mumpuni dan murid-murid bergizi baik, tapi jika dibandingkan dengan keseluruhan sekolah yang pasaknya tertanam di bumi negeri ini, mereka hanya minor yang selalu tersoroti oleh cahaya pesona ibu kota, samasekali bukan cerminan dari semuanya. Yang lain hanya sekolah sederhana di desa-desa, atau paling banyak, sekolah yang dari luar terlihat baik, tapi dalamnya bobrok luar biasa.

Bagaimana tidak? Gedung sekolah tersebut bertingkat-tingkat, bahkan beberapa dilengkapi pendingin ruangan, perangkat multimedia dan sebagainya. Tapi kualitas pendidikannya masih jauh dari standar yang diminta oleh sistem UN. Bangunannya boleh jadi mentereng, tapi kondisi sosial di sekitarnyalah yang mestinya terperi sebagai cerminan dari isi sekolah yang sebenarnya. Masyarakat menengah yang mati-matian memenuhi tuntutan modernisasi gaya hidup tanpa modernisasi pola pikir. Alhasil, dari sekolah luar ibu kota yang dibilang berkualitas baik tersebut, para siswa yang di kelilingi gadget itu tak pernah punya ruang untuk memilih masa depan dan terdampar di arus yang seragam. Arus seragam ini boleh jadi akan menimbulkan dampak besar bagi regenerasi negeri ini. Kedepannya bhinekka tunggal ika yang dipuja hanya beribu-ribu burung garuda dengan mata kosong yang sama sama menjunjung perisai, mencengkeram pita, terbang ke arah yang sama, tanpa mengetahui alasan yang ada dibalik arah yang mereka pilih.

Tapi sudahlah, sistem sudah ada. Tulisan ini dan orang seperti saya hanya ikan perairan hangat yang terseret arus dingin lalu membeku. Satu akan terkubur oleh seribu sebagaimana susu setitik yang lenyap di nila sebelanga. Revolusi akan dipenuhi pengorbanan, dan perubahan selain revolusi hanya akan menelan waktu sangat-sangat lama. Yang ada sekarang adalah masalah yang sebenarnya yang harus segera diselesaikan. Sampai level kita bisa naik, kita bisa berada pada posisi sedikit lebih diatas agar cukup bisa didengar.

 Pada bulan-bulan genting seperti ini, kalian para pejuang UN harusnya sudah sadar mengenai apa yang akan kalian hadapi kedepannya. Saya bukan orang dalam kemendiknas atau cenahyang yang bisa meramalkan segalanya, apa yang saya sampaikan sepenuhnya hanya berdasarkan pengalaman saya. UN saya mungkin lebih berat dari anda sekalian. Sekolah saya, sebenarnya terbiasa untuk curang. Kecurangan itu dilakukan beberapa tahun sebelum saya, oleh pendidik, para pahlawan tanpa tanda jasa kami yang sekali lagi harus mempertaruhkan keselamatan diri demi membela kami yang dihakimi oleh sistem. Pemberitahuan di auditorium mengenai ketidak bisaan dilakukannya lagi bentuk kecurangan seperti itu di tahun saya dan permintaan maaf dari mereka terdengar seperti pengumuman bahwa keesokan harinya pemilik dari ratusan kepala di auditorium itu akan dikirim berperang tanpa kepastian untuk kembali dengan selamat. Akhirnya dengan dibebani ketakutan dan mimpi buruk setiap malam, kami turun berperang. Melawan kantuk, malas, dan kecenderungan memberontak yang lumrahnya dimiliki oleh anak-anak seusia kami dan memilih untuk menurut sembari berharap jiwa yang terkekang ini tidak akan terus menerus berada pada kondisi seperti ini untuk waktu yang lama, bermimpi bahwa besok ketika matahari terbit kita sudah bebas dari segalanya.

Di tahun-tahun sebelumnya, anak-anak dari sekolah yang sama dengan kami bisa lulus dengan mudah, tanpa harus berusaha lebih berat dari bangun lebih pagi untuk menjemput kunci jawaban yang dibagikan cuma cuma, yang menghadiahkan secara cuma-cuma pula angka-angka indah di ijazah mereka. Aku sempat berpikir, tidakkah mereka merasa bersalah atas kelulusan mereka ketika mendengar tentang kami? Toh kami sama-sama diajar oleh orang-orang yang sama, di kelas-kelas yang sama, dengan fasilitas dan rentan waktu yang juga sama. Tapi siapa juga yang mau pusing-pusing memikirkan tentang Ujian Nasional tahun berikutnya. Sudah lulus berarti sudah selesai urusan, apapun yang orang katakan tentang kelulusan itu. Bahwasanya saya belum pernah mendengar kasus pertanggung jawaban kelulusan dan kelulusan yang dicabut, adalah bukti bahwa sistem yang berlaku adalah kerjakan, selesaikan, dan lupakan. Sekali kata lulus dikantongi maka proses hanyalah omong kosong.
Beberapa anak yang kiranya mampu mengundang guru privat, atau mengikuti bimbel mahal. Yang lain memilih menggantungkan nasib sepenuhnya pada program-program minim sekolahan. Dari keseluruhan anak-anak di gedung bimbel itu, ada yang datang satu dua kali, dikuasai oleh rasa malas, ketergangguan, dan pemikiran pendek bahwa hari esok bukanlah urusan untuk dipikir hari ini. Beberapa yang lainnya memilih untuk rajin, tak menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan orang tua dari penyisihan sebagian yang tidak kecil dari hasil jerih payah mereka bekerja. Beberapa sisanya, rajin bukan karena dorongan orang tua, tapi memang bernafsu mengejar nilai, mereka orang-orang terbaik dalam sistem.
Diluar kelompok-kelompok tersebut ada kelompok penggerutu dimana saya berada. Memilih untuk tak mengikuti arus tanpa benar-benar terdiam. Belajar adalah hal yang bisa dilakukan siapa saja dan dimana saja. Usaha tidak akan pernah sia-sia dan ilmu serta potensi diri adalah apa yang mestinya diperjuangkan lebih daripada nilai. Kau boleh lulus dengan angka yang hampir menggantung nyawamu di tiang keputus asaan, tapi kau punya pemikiran kritis, kau sanggup melangkah melawan arus dan meluruskan kepincangan ini, kau punya potensi lebih di lain sisi, tak masalah. Karena dunia ini tak terkotak-kotakkan oleh sudut, tapi bundar oleh relativitas. Kau tak akan membentur tembok yang mendakwamu benar-benar salah selama itu bukan pengadilan Tuhan. Jadi lakukanlah apa yang menurutmu paling benar.

Soal masuk ke universitas, saya pun tak mampu bicara banyak. Alhamdulillah, tahun lalu saya diterima melalui jalur yang luar biasa mudah. Saya masuk di pintu pertama yang dibukakan untuk saya tanpa perlu lagi berdesakkan di pintu lain. Tapi diluar passing grade, kekhawatiran, kerumitan sistem, malapetaka human error, dan teror dari konseling, orang tua, atau siapa saja yang kadang kala ketika berbenturan selalu mencoba untuk mengalahkan keinginan kita, fase ini adalah fase paling ajaib yang pernah saya alami sampai detik ke sekian hidup saya ini.
Cerita lama kalau saya adalah orang bodoh yang terdampar di IPA. Lho, bukannya orang selain IPA seringkali dianggap tidak lebih pintar dari mereka kan? Tak salah lagi, sudut pandang yang kolonial seperti ini memang masih tak bisa dilepaskan dari pola pikir orang-orang kita pada umumnya. Bahwa rambut panjang, kulit putih, dan tubuh tinggi semampai adalah cantik, bahwa nilai bagus adalah pintar, dan bahwa-bahwa lainnya yang memaparkan satu ‘bahwa’ yakni pendapat umum adalah kebenaran mulia dan yang lain adalah salah, ialah kesempurnaan dan yang bukan hanya sampah, tak peduli dengan sifat alamiah manusia yang diciptakan samasekali berbeda setiap individunya.
Bagaimanapun juga pahitnya cerita lama itu, tapi cerita itulah yang membuat saya menemukan diri saya yang sekarang. Bukan tidak mungkin saya akan berada sangat jauh dari ini, tanpa mendekap keinginan kuat ini jika dulunya saya tak lebih dahulu bersakit-sakit ria. Teman seperjuangan saya, bermimpi segera bisa eksodus ke negara dengan sistem pendidikan lebih baik dari pada terus menerus tersiksa disini, tapi saya tak sampai hati. Mungkin saya tahu rasanya jadi Eren yang keinginannya untuk jadi Recon Corps ditentang banyak orang. Sebenarnya, sebagai mana milik saya, keinginan itu berdasarkan atas pemikiran yang amat sederhana. Begitu banyak prajurit yang mati oleh para raksasa di luar dinding, jika orang hanya menganggap apa yang mereka lakukan sia-sia, siapa lagi yang akan berada disana untu meregenerasi pasukan yang cepat sekali mengalami penurunan jumlah? Panggilan hati ketika kita sedikit menghaluskan perasaan dalam situasi semacam ini tak bisa dipungkiri. Kalau kami, orang-orang seperti saya yang bertahan hanya diam, akan jatuh korban lain. Akan banyak Saya-Saya lain yang harus merasakan hal yang sama. Jadi untuk apa saya bertahan sejauh ini jika hanya untuk menyelamatkan diri sendiri?

Masuk lewat jalur Undangan atau SNMPTN adalah strategi win-win. Mari lupakan soal kesombongan atas nilai raport kalian yang angkanya berkilauan, dan dengarkan konsep yang saya tawarkan. Masuk lewat jalur ini adalah cara yang paling mudah, murah, dan tak beresiko. Ibaratnya, dengan ini, sistem ini sudah menawarkan keuntungan pada kita, sebelum keuntungan yang sebenarnya yakni apabila kita memenangkan pertarungan strategi ini. Manusia memang terlahir dengan nafsu dan hidup dengan ambisi, tapi menjadi tidak tinggi hati adalah yang harus dilakukan sekarang. Sistem ini sudah menawarkan kemudahan demikian banyak, masa iya kita masih hanya mau mengejar ambisi dengan melupakan keterbatasan kita? Yang terpenting adalah memilih apa yang kita sukai, bukan gengsi. Jadi jujurlah pada diri sendiri dan balaslah keramahan sistem ini. Kalau itu memang jalur tes yang meminta usaha maksimal kalian, kesungguhan kalian, bolehlah kalian meminta ambisi kalian pada mereka. Yang jelas dalam setiap usaha, keterikatan dengan Tuhan juga tak bisa dianulir.

Selamat menikmati. Fase ini akan jadi ajaib. Sulit untuk merasakan sensasi yang sama jadi maksimalkanlah apapun yang kalian usahakan dalam fase ini.

Yuanita WP

Saturday, January 11, 2014

Dua Tempat untuk Pulang

"Karena ini rumahku, satu-satunya tempatku untuk kembali..."

Kalimat ini diutarakan oleh Kenshin di salah satu scene paling RWOMENTYIK di Samurai X: Reflection. Yang di pinggir sungai sore-sore itu lho~. Njirr pokoknya itu keren buanget scene-nya. But, wait. Wan, kenapa jadi bahas ini?!

Sebenernya, saya mau bahas soal kata "rumah" disana. Menurut Kenshin, rumah itu satu-satunya tempat untuk kembali. Tapi yang jadi masalah disini, sekarang, saya punya dua tempat untuk kembali. Tempat pertama, rumah saya yang soswit di Cikarang sana, dan kosan saya disini. Jadi manakah yang sebenarnya rumah?

Saya rasa akarnya ada disini. Pernah dengar perbedaan antara Home dan House. Quote pasaran mengatakan bahwa "not all Houses are Home." Selain itu ada juga istilah Homy, bukan Houssy. Karena House itu kata rumah yang sifatnya ragawi, sedangkan Home lebih maknawi. Home adalah satu-satunya tempat untuk pulang yang dimaksud Kenshin tadi. Dimana selalu ada perasaan nyaman di dalamnya dan setelah lama tak kembali, ada perasaan rindu yang ditimbulkan olehnya.

Dua bulanan yang lalu, mungkin mudah bagi saya untuk menjawab pertanyaan mengenai yang manakah rumah saya, tapi untuk kali ini, penjelasan yang akan saya paparkan untuk itu kiranya akan jauh lebih panjang. Saya pernah bicara soal konsep seratus persen adaptasi manusia. Saya manusia, dan saya melakukan adaptasi terhadap lingkungan tempat tinggal saya. Beberapa bulan yang lalu, seratus persen adaptasi itu ada di Cikarang, kota yang sejak lahir saya tempati. Akan tetapi, untuk dapat bertahan hidup disini, kemudian saya harus membaginya sedikit dengan kota yang baru ini. Yogya pun memiliki sebagian darinya. Meski awalnya hanya sebagai syarat untuk dapat bertahan, hari demi hari yang saya alami disini membawa banyak kesan, sehingga perlahan-lahan, presentasi adaptasi tersebut terelevasikan.

Seharusnya, sebagaimana adanya ini adalah hal yang baik, namun semuanya berbalik ketika saya kembali mengingat Cikarang. Memori adalah hal yang tak tergantikan, meskipun ia tersimpan dalam ingatan, mereka hanya seperti domba domba di pekarangan tak berpagar. Sekalem apapun mereka berpindah-pindah dalam areal pekarangan tersebut, tak ada yang bisa menjamin mereka akan diam disana saja, dan kadang kala, oleh semakin banyaknya domba yang terkumpul, semakin mudah pula bagi mereka untuk pergi tanpa diketahui, terlupakan tanpa disadari. Dan memori itu adalah pengikat 50% presentase adaptasi saya terhadap Cikarang.

Dulu saya banyak ber-parno ria soal kehidupan independen. Karena pada kenyataannya pun awalnya, bahkan sampai sekarang, hidup memarasit ke orang tua memang lebih surga. Tapi tak sedikit pula yang saya dapatkan dari independensi ini terhadap kemajuan pribadi saya. Belum lagi mulai terbentuknya kenangan-kenangan baru bersama orang-orang baru, datangnya domba-domba baru ke pekarangan yang semakin menggeser mundur presentase domba-domba lama.

Besok saya kembali ke rumah dari rumah saya. Meski petak kamar ini awalnya tak lebih dari sekedar 'House', orang-orang baru yang banyak membahagiakan saya disini membuatnya perlahan-lahan mulai mirip 'Home', meski kerinduan saya masih hanya ada di satu rumah di tengah ilalang disana. Meski tak menutup kemungkinan pula, ada aspek-aspek serta orang-orang tertentu yang kurindukan dari rumah saya disini.

Suatu hari nanti, saya pun akan pergi, lebih jauh dari ini, untuk memiliki rumah dan kehidupan sendiri, bukan milik orang tua lagi. Tapi analogi hal ini serupa dengan ketika saya memulai membagi 24 jam dalam sehari dengan kehidupan rumah dan sekolah, belasan tahun lalu. Awalnya memang berat, tapi akhirnya saya berhasil melaluinya. Sampai saya menamatkan bangku sekolah menengah atas kemarin, saya menikmati bagaimana saya memiliki dua dunia, rumah sekaligus sekolah. Begitupun dalam kasus ini saya harap.

Selamat berlibur semuanya. Semoga kita bisa kembali lagi dalam keadaan yang persis sama, tanpa ada sesuatau apapun yang kurang, selain semangat yang semakin menggebu untuk meraih hasil maksimal di perjuangan bersama ini. Terimakasih untuk semuanya atas rumah kedua yang kalian persembahkan pada saya, tempat saya merasa paling nyaman selain di rumah tempat orang-orang yang paling saya sayangi berada disana.

Kalian, orang-orang aneh sekaligus ngangenin yang saya kenal disini, kalo bisa saya mau dua sisi dunia saya ini sohib baru disini, keluarga, dan kawan lama saya  berkumpul pada poros yang sama, tanpa harus meninggalkan salah satu untuk menemui yang lain. Tapi rasanya itu mustahil, sebagaimana ibu yang tak boleh menunggui anaknya belajar di dalam kelas. Awalnya memang berat, tapi bersama keajaiban seabsurd kalian, saya bisa bertahan dan berbahagia. Kalian benar-benar realisasi atas doa saya, orang-orang baik yang membahagiakan saya.


Semoga perjalanan besok berjalan lancar dan menyenangkan. Semoga liburan kita semua menyenangkan. Selamat bermomen penting di rumah, tapi sadarlah bahwa janji adalah hutang, dan rasanya kau bukan seorang yang mudah lupa :3

11 Januari 2014



Saturday, January 04, 2014

2013 and It's Wind of Change

Tahun 2014 yang bakal jadi tahun politik ini yang dibilang banyak orang lebih sebagai tahun perubahan, tapi buat saya pribadi, no, tahun perubahan itu ya tahun lalu, yang baru berakhir beberapa hari yang lalu, 2013 yang sekarang telah turun takhta dan bersila penuh wibawa di deretan panjang sejarah hidup saya.

Kenapa Wind of Change? yeaa~ gegara bokap minta di downloadin lagu-lagu love songs 70's 80's 90's sebagai oleh-oleh ketika saya pulang nanti berhubung dikosan ada wifi dan download jadi surga sekali, saya otomatis jadi turut mendengarkan lagu-lagu tersebut. Favorit saya, Bon Jovi, Aerosmith, beberapa dari Richard Marx, dan tentunya Scorpions. Sumpah, asik lagunya, metal tapi mellow gitu liriknya, dan salah satu yang jadi most played saya adalah Wind Of Change. Cocok kan, sama tema tulisan kali ini?

Well, harus mulai dari mana? entahlah. Kerjakan saja dan biarkan ia mengalir, maka kau akan menemukan kejutan-kejutan tak terduga~ Itu yang kerap jadi motto hidup saya. Jadi langsung aja dari yang pertama muncul di benak saya,


Change of Fate

Saya gak amor fati sebenernya. Saya mengusahakan nasib saya di waktu kedepan untuk menjadi lebih baik dari yang baik yang sekarang. Tapi apa boleh buat kalau memang mendung harus ditiupkan oleh angin keatas kepala saya. Dalam situasi seperti ini, saya jadi kerap merasa kalo gak semua yang buruk itu benar-benar buruk. Beberapa kejadian di hari-hari belakangan juga menegaskan hal yang sama, seolah-olah Tuhan memberikan capslock untuk saya lihat di kasus-kasus semacam ini bahwasanya, pelajaran atas mereka adalah hal yang sangat teramat penting bagi kehidupan saya.

Posting blog saya sampai Mei-Juni, isinya hanya kegundah-gulanaan, keluh kesah, dan doa-doa pasrah. Meen, siapa juga yang tak akan seperti ini jikalau anda sekalian bukan lah amfibi, melainkan hanya hewan darat dan kalian direndam di air untuk 2 tahun lamanya. Saya bertahan susah payah, berpegang ke segala macam akar dan rerantingan yang bisa saya raih dan terseok-seok parah. Dari penyesuaian awal terhadap program IPA yang gak pernah berhasil sampai akhir, sampai semester sebulan yang aduhaaai~. Semua itu, apabila diingat-ingat lagi, membuat saya amat mensyukuri hari hari saya sekarang.

27 Mei 2013, nasib saya berubah total. Ibarat Avatar yang baru tahu jati dirinya, atau malah Prince Zuko yang kehilangan kemampuan fire bending-nya. Saya membuka sebuah web berlogo mirip pepsi dan menemukan nama saya ditulis dalam layout serba hijau di sebuah persegi panjang, disana terdapat pula sebuah informasi membahagiakan bahwa saya diterima sebagai mahasiswa prodi Ilmu Sejarah Universitas Gadjah Mada lewat jalur paling kere, paling gak modal, paling enak, paling gampang, dan paling cuma-cuma, jalur SNMPTN.

Seketika air mata saya ngucur bro, bak tengah menyantap penyetan ayam terong cabe sepuluh di Pak Kubis. Peristiwa yang kalo direkam dan disetel ulang pasti sangat lucu tersebut disaksikan langsung oleh seisi rumah, emak, bapak, adek, menok, jujul, kucil item dan almarhumah kucil putih. Emak saya yang biasanya kaga ada romantis-romantisnya terus meluk saya, dan bilang "Wis, hebat kamu yu. Kata ibu juga apa kan, keterima!". Terus bokap cerita kalo pakde saya dulu pernah bilangin, "ngasih makan anak istri itu yang jujur, nanti berkah." dan kata bokap, pas momen itu, makna dari kalimat pakde saya itu kerasa banget. Haa, ini salah satu momen terbahagia saya, salah satu yang membuat 2013 luar biasa.

UN saya memang hanchyur. Matematika 5, 5; Fisika 4; Kimia 6,75; Bahasa Indonesia 8,8; Bahasa Inggris 8,8; Biologi 8. Tapi itu hasil sendiri broh~ Dan buat seorang yang gak pernah niat masuk IPA, gak pernah menikmati tiap detik di pelajaran eksakta, pernah punya track record berantem sama guru Fisika gegara gak ngerjain PR dan ngotot, dan seorang IPS sejati#bhuah seperti saya, saya justru bangga terhadap angka-angka itu. Itu hasil saya, tilas perjuangan saya atas penyiksaan selama ini, dan itu justru manis tjoy~

Paruh pertama tahun ini saya lalui dengan penuh tekanan. UN, UAS, TRY OUT, NILAI JELEK, GAK LULUS, GAK KETERIMA UNIV NEGERI, PEMULIAAN TANAMAN#kagainimah, hal seperti itu selalu menjadi mimpi buruk yang merenggut ketenangan tidur dalam setiap malam-malam saya. Belajar sampe malem, begadang, les sampe ngantuk-ngantuk dan pusing, semuanya semakin berat setiap harinya. Terlebih ketika semuanya disudahi oleh UN, beban mental yang lebih berat menggondeli. PENGUMUMAN. Dari pengumuman UN, pengumuman SNMPTN, dan lain lainnya. Terlebih lagi, orang yang kelewat awesome ini cuma daftar lewat SNMPTN tanpa punya cadangan lain ataupun ngambil kelas bimbel. Kelewat pede? nggak juga. Saya cuma demen ngulur ulur waktu dan tanpa sadar, belum satupun buku latihan SBM yang saya beli sampai saya beli pulsa modem buat buka web SNMPTN jam 5 sore hari itu.

Setelah jam 5 sore itu, hidup saya berubah, nasib saya berbalik. Mendung seketika menjadi cerah berpelangi. Bayangkan, seorang bebal eksak seperti saya, jikalau harus mengambil jalur tes, mungkin kecil sekali kemungkinan diterimanya. Tapi dengan tanpa mengorbankan apapun lagi, saya sudah resmi diterima di Universitas kerakyatan pertama di Indonesia. Mungkin Tuhan menghitung jerih payah saya selama ini sudah cukup untuk menerima hadiahnya.

5 weekdays dalam seminggu saya yang tadinya hanya berisi penantian akan pelajaran sejarah yang akhirnya justru sering diganti Bahasa Sunda kini penuh berisikan mata kuliah-mata kuliah yang ketika sekolah jadi mata pelajaran favorit saya. Matkul semester 1 cuma 6, Pengantar Sejarah Indonesia, Pengantar Ilmu Sejarah, Dasar Dasar Ilmu Budaya, PAI, B. Inggris dan B. Belanda. No more Physics, Biology, Chemist, EVEN MATH! Subhanallah~ Dan orang-orang yang saya temui disini pun ajaib. Mereka adalah orang-orang yang selama ini saya anggap langka, tapi justru saya temui sekian banyak, 30 lebih kepala dalam satu kelas. Obrolan yang mereka singgung berat luar biasa, pengetahuan mereka membuat saya terkadang jadi lawan bicara yang tidak sebanding, tapi karenanyalah saya puas. Saya tak memasuki dunia yang salah lagi, ini benar-benar ranah yang saya impikan. Kini saya semakin menikmati segalanya, semakin mensyukuri segalanya. Karena jujur, atmosfer kelas ini salah satu yang paling nyaman yang pernah saya rasakan.


Change of Surroundings

Saya seorang anak rumahan yang buat ke warnet pun kadang males, tapi disini saya sudah travelling ke beberapa tempat jauh seorang diri. Perasaan jauh dari orang tua kayaknya yang bikin saya sadar saya gak bisa bermanja-manja ataupun menggantungkan diri pada siapapun lagi. Kalo saya sendiri gak gerak, ya gak akan gerak. Dorongan semacam itu yang membuat saya pada masa independen yang masih awal ini sudah melakukan beberapa perubahan pada diri saya sendiri. Tercatat, saya trip angkatan ke Semarang-kota lama yang saya impikan untuk kunjungi selama sekian lama-, lalu trip seorang diri ke Salatiga, dan yang terakhir ke Wonosari. Rasanya agak aneh. Apalagi ketika menyinggahi tempat-tempat yang masih saya ingat bahwa saya pernah menyinggahinya beberapa kali sebelumnya, dengan sosok yang samasekali berbeda dengan sosok ini, bersama orang tua saya.

Habitat yang baru ini juga menuntut saya untuk luar biasa berubah dari kebiasaan lama. Saya mengurus diri sendiri, tanpa ada yang mengomplain kalo-kalo saya hanya mandi sehari sekali. Cucian, setrikaan, kamar yang berantakan, semuanya dikendalikan hanya oleh tangan dan kesadaran saya akan kebutuhan untuk sehat, rapi, bersih, dan kepedulian terhadap diri sendiri. Birokrasi bagi emak saya untuk tahu keadaan yang super duper kacau dan mengomeli saya karenanya amat panjang dan tak terjangkau, karenanya, saya benar-benar lepas dari kontrol. Tapi justru ini yang membuat saya akhirnya sadar kalo jarang nyapu itu nanti banyak semut, kalo jarang bersih-bersih kamar bakal ada serangga aneh aneh yang menginterupsi ketenangan, kalo jarang mandi nanti gatel-gatel, kalo jarang nyuci bajunya abis. Sehingga mau tak mau, kebutuhan akan hal-hal esensi yang sekarang saya urus sendiri tersebut yang membuat saya meski harus menahan diri untuk egois, meski harus berlelah lelah ria, tetap harus melakukannya.

Bicara soal makan, ada beberapa karma yang saya dapatkan. Hal pertama adalah toge. Coba tanya emak saya, pasti beliau bilang saya ini benci toge. Dan ya, memang demikian. Toge itu dibumbui apapun, dimasak selama apapun dengan metode apapun tetep susah diresapi oleh bumbu, terlalu konservatif, jadi dia hanya akan menjadi toge, bahkan dalam bala-bala sekalipun. Tapi disini seketika tuah itu berbalik pada saya. You know? Sampe risoles pun isinya toge, padahal itu favorit saya. Soto, tahu gimbal, semuanya ada togenya, bahkan ketoprak yang bumbunya terenak yang pernah saya coba disini, komponen sayuran berupa toge dan irisan kubisnya lebih banyak daripada ketupatnya. Karma yang kedua adalah mie instan. Di rumah, terlebih semenjak ada warung, saya hobi banget makan mie instan. Yang saya cari itu bukan praktisnya, tapi sensasi si mie instan itu sendiri, terutama kalo lagi ujan ujan, kayaknya klop banget gitu. Makanya, meskipun nyokap udah masak, saya sering diomelin gara gara tetep kekeh bikin mie. Dan sekarang? Ah, kaga ada masakan tjoy, mau nggak mau ya bikin mi, sampe pas ujan-ujan yang dulu saya bilang klop itupun, kayaknya ogah banget bikin mie. Udah mblenger -_-. The last is kertas nasi. Pas dirumah, kertas nasi itu barang unik, makan diatas kertas nasi adalah perihal langka yang gak dateng setiap hari berhubung nyokap saya termasuk yang rajin masak. Tak jarang saya beli kertas nasi hanya untuk alas makan dengan alasan sensasi. Sekarang? tong sampah depan kamar isinya buntelan kertas nasi, setiap kali makan hampir-hampir selalu pake kertas nasi kalo nggak minimal sehari sekali. Bagaimana bisa begini saya pun tak mengerti~

Soal habitat di kampus juga lain. Anak kelas saya yang waktu SMA isinya anak rajin dan anak pinter semua, sekarang jadi warna-warni, tapi setelah semakin mendalami karakter kelompok baru ini, saya semakin banyak menguak misteri dan sadar bahwa tempat saya memang disini. Jadi gini, di FIB itu ada beberapa jurusan kan, dan kalo anda seorang awam FIB, ditebak-tebak dari penampilannya, insyaallah anda tahu berasal dari mana anak-anak FIB tersebut. Misalnya kalo anak Arkeo berdampingan dengan anak SasPran, itu bakal beda, begitupun dengan jurusan lain. Anak antro itu menurut saya dandanannya paling eksentrik dari yang lain, kalo anak korea biasa gitu~, kalo anak jepang, well, yang tampang rada otaku, biarpun berkerudung tetep pake atribut kotak-kotak, vest atau cardigan panjang, dan boots, anak Sabar (sastra asia barat) bukan stereo sih, tapi umumnya emang kaya anak rismaci di SMAN, pake rok, kerudung syar'i, ya pokoknya gayanya santun dan gak macem macem sih meski ini hanya umumnya, lain lagi anak arkeo, mereka juga meski rada mirip dandanannya sama anak antro atau sejarah, tetep beda. Kalo anak sejarah itu ya, gimana ya? Cewenya gak terlalu feminim yang pasti, beberapa orang punya trade mark, dan memang seperti itu. Seketika saja anda mencoba mengupgrade penampilan dengan menyetipekannya dengan jurusan lain, anda akan merasa terlepas dari bagian. Dan itu hanya secuil cerita dari ranah fashion, kalo melangkah lebih jauh ke gaya obrolan, pola pikir dan lain sebagainya pasti tulisan ini malah jadi buku.

Habitat yang terakhir saya bahas disini adalah Jogja. Siapa yang gak kenal Jogja? Nah kalo Cikarang? Haha. Itulah kenapa, sekarang saya tinggal di kota yang samasekali berbeda sama Cikarang. Kota ini, dibilang kota seni juga iya, grafiti dan pelukis pinggir jalan dimana-mana, kesenian mendapat tempat di hati penduduknya, event gak perlu ditunggu jangankan sekali sebulan, hampir tiap hari selalu ada. Mau itu teater, karawitan, puisi, rupa, keroncong, sampe orkestra semuanya ada. Toko buku? Buanyak, dari gramedia yang mahal sampe yang formatnya loakan kaya di Senen. Tempat shopping pun gak hanya mall, tempat wisata dimana mana. Ya, kurang lebihnya, apa yang nggak ada di Cikarang yang saya inginkan itu ada disini. Tapi bukan lantas tempat ini jadi perfect, soal kuliner saya tetep kangen berat sama Cikarang, terutama tempat-tempat nostalgic yang nggak akan tergantikan disana tempat keping-keping memori saya berhamburan.


Change of Bakathings

Posting blog beberapa bulan terakhir ini mulai berwarna serupa yang dulu. Kenapa? Entahlah, semua terjadi begitu saya. Tiba-tiba saja saya dihadapkan pada kesempatan kedua, tapi hal tersebut tak ubahnya penyadaran terhadap ketiadaan apa-apa lagi terhadapnya. Rasanya menyesakkan bro. Kami berjalan berdua di tengah keramaian yang semarak, lampu-lampu yang kemerlingan, romantisme yang sederhana sekaligus memikat, kau bersikap demikian baik, demikian manis, tapi semua itu hanya berupa hantaman-hantaman keras ketika sampai menyentuh permukaan hatiku yang terlanjur mendingin. Empat tahunan itu nggak singkat ya, bisa buat dua kali lulus program akselerasi, begitupun dengan lulus dari kelelahan untuk menahan dan menunggu. Sekarang kesempatan bertebaran, pertemuan-pertemuan terjadi begitu saja, saya tak lagi mengalami kekhawatiran tinggi, ketakutan, atau luapan perasaan aneh yang saking dahsyatnya membuat saya seolah tak kuat menghadapi segala situasinya lagi. Luapan macam apapun itu sudah tidak terasa lagi, samasekali. Maka mari cukupkan sampai disini. Kalalupun dirimu pernah mengetahuinya, dan menganggapnya angin lalu karena tak memiliki hendak dan kuasa untuk memastikannya lebih jauh, saya akui itu benar adanya, tapi maaf perasaan ini sudah kadung menyerah tanpa diminta, maaf bukan hanya untukmu, tapi juga untuk harapan-harapanku yang kadung lepas tanpa pernah menyentuh ambang perwujudan.

Lalu ada orang lain muncul, seorang baru yang ternyata bukan apa-apa. Ia berkata tapi saya tak berminat mendengarnya. Saya tak bermaksud menghilangkannya dari kisah hidup saya. Bagaimanapun ia pernah menghadirkan masalah dalam tahun ini bagi saya. Tapi kali ini semuanya tak bertilas untuk saya. Masalah itu tak akan menjadi masalah lebih jauh lagi. Ia hanya seorang yang membuat saya mengetahui beberapa jenis perasaan, otoritas, bagaimana sebuah kewajaran, dan titik dimana saya memutuskan untuk berhenti dan berjalan ke arah lain.

Dan yang ketiga, hal ketiga yang saya pelajari di akhir-akhir tahun ini dari seorang shipwright yang saya kenal dari hobi yang sama. Saya juga masih belum mengerti sepenuhnya soal apa yang ada diantara kami, yang jelas saya menaruh setitik kekaguman padanya. Ia orang yang samasekali berbeda dari yang pertama, dan saya pun tak pernah menyangka akan pernah mengenal orang sepertinya. Tapi ia menghadirkan alur yang persis sama dengan yang pertama, meski untuk kali ini, entah karena positivisme saya saja atau apa, saya tak hanya bermain sendiri. Sekali waktu kami bersenang-senang bersama, dan perasaan saya bersemi karenanya, seketika kami bicara soal hal-hal aneh, melakukan hobi dan bekerja bersama sampai larut malam, dan waktu-waktu itu hanya mengalir begitu saja. Satu-dua kali kami direndung masalah, saling terdiam dan semuanya nampak seketika berbeda, kenyamanan di tempat-tempat biasa tak lagi terperi dalam perasaan hanya karenanya. Satu kali saya dibuatnya kecewa, entah ini semacam pisau bermata dua atau apa, tapi kalau kau mau jujur perlahan-lahan dan memberikanku kesempatan yang sama juga, saya juga ingin jujur soal segalanya. Sejujurnya saya tak ingin menyesal di kali kedua, cukup karena saya sudah menemukan, dan jangan katakan ini hanya kekeliruan. Karena tiap kali ada kesempatan yang membuatku entah bagaimana caranya menyadari sebuah tanda, aku berdoa itu benar adanya, dan sesuatu yang cerah di depan sana pun benar adanya.

2012 saya samasekali tak terlibat dalam masalah semacam ini, tapi dalam tahun ini, semuanya menyerang bertubi-tubi. Seolah akselerasi kedua, saya dipaksa mempelajari hal semacam ini dalam waktu yang sangat cepat. Entahlah soal semuanya mungkin ini karena di tahun ini saya resmi 17 tahun haha#dor, dan lagi, meski saya meninggalkan, tak peduli, dan menaruh harapan di yang terakhir, saya hanya ingin menikmati segalanya di hari-hari saya sebaik mungkin.


Change of Paradigm

Saya terdaftar sebagai peserta ujian akhir semester satu jurusan sejarah UGM yang sedang berlangsung, tapi salah besar kalo kalian menyangka sejarah yang dipelajari dan diujikan minggu-minggu ini cuma soal hapalan. Dalam mata kuliah substansional semacam Pengantar Ilmu Sejarah yang materinya dari 1200-2008 sekalipun, kami bukan diminta menghapal, tapi mengerti konsep. Manusiawinya, sulit untuk mengingat tanggal dari semua peristiwa yang terjadi dalam kurun waktu tersebut secara rinci kecuali anda terlahir dengan kemampuan khusus, oleh karenanya kami diminta untuk mengerti konsep waktu. Kronologisasi dan Periodisasi adalah yang utama. Bahwa setelah peristiwa A ada peristiwa B karena peristiwa A membawa dampak A' yang menyebabkan peristiwa B dan selanjutnya memancing terjadinya pemberontakan B' di daerah C karena daerah C merupakan bekas kekuasaan B". Jadi sejarah itu berkesinambungan dan karenanyalah saling berkaitan. Membaca buku pun bukan hanya mendapatkan informasi di permukaan, tapi juga di dalam, dengan membaca yang tersirat. Bayangkan! Bahkan lama-lama pekerjaan sejarawan semakin mirip detektif.

Kami nantinya berurusan dengan dokumen rahasia, menulis yang belum ditulis, perspektif baru dari sejarah yang selama ini disetir oleh rezim tertentu. Kami membaca tulisan kuno sesuai spesialisasi, meneliti pola pemikiran dan zeitgeist setiap zaman. Kami membaca foto, meneliti keabsahannya dari gaya bangunan dan pakaian yang ada di sana, plang-plang toko dan plat-plat nomor kendaraan. Kami menggunakan surat kabar lama, iklan-iklan awal abad 20 yang diksinya menggelitik, dan menyimpulkan golongan masyarakat apa yang berperan didalamnya. Kami mengecek autentisitas dari sebuah surat dengan melihat gaya tulisannya, capnya, trademarknya, bahkan jenis kertasnya. Kami dibiasakan peka terhadap film, bagaimana bedanya antara film dokumenter dan reka kejadian yang terlihat sama tuanya. Bahkan mengetahui usia, apa yang pernah terjadi di desa tersebut dalam kurun waktu tertentu di sebuah desa hanya dari kompleks pemakaman.

Satu semester ini benar-benar sudah mulai meracuni pola pikir saya, tapi ini menyenangkan dan semoga saja kedepannya semakin menyenangkan.

Tahun 2013 ini kemudian ditutup dengan sebuah perhelatan akbar di sebuah desa di Sleman yang sunyi. Sederhana sih, cuma masak bareng dan nonton tipi, tapi hey, semenjak ngekos nonton tipi itu hal mewah ya~. Meski diawali oleh kemeranaan, akhirnya awesome kok, persis seperti pola 2013 itu sendiri. Yang terpenting yang saya pelajari dari 2013 itu optimisme, akan ada suatu tempat dimana anda akan merasa benar-benar nyaman, dan meski butuh perjuangan besar untuk itu, semua akan indah pada waktunya~~ :3



Bubay 2013, Adieu~ terimakasih atas segalanya!
DIRIMU LUAR BIASA, AWESOME AS ME~ :* #JEDDAR
Kau pintu gerbang termegah yang mengajariku artinya berjuang dan mendapatkan kemenangan. 


MAY 2014 BE AS GREAT AS THIS OR EVEN MORE!~~HAPPY NEW YEAR THROUGH INTERNET EXPLORER~~

#halah pake chrome juga lu