Trending Topics

.

.

Sunday, September 29, 2013

Terseret Kembali ke Arus Serupa

Sekali waktu aku merasa era dalam hidupku telah berganti dengan yang baru. Kini semuanya seperti tengah berganti lagi, tapi alih-alih dengan periode asing yang tak pernah kukecap sebelumnya, periode baru ini amat lekat denganku. Seakan baru kemarin, dan terulang lagi.

Aku, mulai menggunakan kata aku lagi. Di waktu kebelakang yang cukup dekat, aku cukup memandang ungkapan ini tabu, tapi tidak lagi dengan sekarang. Sebagaimana Sejarah, ada yang mengatakan kalau ia hanyalah siklus yang berputar-putar tanpa pernah bergerak maju, orang lain mengatakan kalau ia maju, tapi spiral, berputar, mengalami posisi yang sama berkali-kali dalam kala waktu, bentuk, serta kesan yang terus mengalami perkembangan ke arah depan, sementara sisanya mengatakan kalau sejarah itu linier, lurus, maju kedepan, tanpa berhenti, tanpa pengulangan, cepat, dan menuntut sama kejamnya dengan waktu.

Aku lebih setuju yang kedua, aku mengalaminya.

Cukup dengan implisitme, karena aku tengah lelah. Aku membaca sebuah novel dengan tema berat, dengan pergolakan intrik yang menggoncang mental, tapi aku mengerti karenanya, bagaimana setiap kehidupan memiliki korelasi antara satu dengan yang lain. Aku mendengarkan lagu-lagu cengeng di radio, mencermati lirik-liriknya, betapa banyak orang yang terluka, sakit, dan merana karena sebuah abstraksi yang diagung-agungkan, apa yang dinamakan cinta selama ini. Meski demikian, ia tetap saja istimewa, menjadi topik tercantik, teranggun, dan teristimewa sepanjang masa. Merah, berkilauan, serta tinggi tak tergapai.

Suatu ketika, di rumahku yang akan terus, tetap, dan selalu menjadi rumahku sejauh apapun aku berada dari sana, aku pernah menangisi bagaimana takdir pernah berada pada sudut paling radikal, paling kejam dalam pandanganku. Perihal cinta romantis aku hanya pernah merasakannya sekali, indah memang, tapi menyakitkan, dan selama bertahun-tahun aku terpaku disana, sampai memakan waktu lebih dari seperempat usiaku kini. Tapi ia tak menyisakan apa-apa.

Aku bertanya, apakah cinta hanya untuk orang-orang dengan cahaya, bukan seorang yang terperangkap dalam gulita sepertiku? Jika memang ia tak akan pernah datang untuk kedua kalinya, aku rela hidup tanpa apa yang dalam ilmu pasti dinamakan cinta romantis itu. Aku punya cinta, aku tahu rasanya, orang tuaku mengajarkannya dengan sangat baik padaku. Bukan masalah jika selepas menyelesaikan sarjanaku nanti, aku terus berjuang demi pendidikan yang lebih tinggi, mengadakan penelitian, menulis buku, bekerja untuk UNESCO, memiliki cukup tabungan untuk membangun villa di pegunungan sebagaimana orang tuaku dan aku pernah bermimpi, mengunjunginya sesekali, tinggal di rumah kami yang bersejarah, dan berbahagia. Aku yakin aku bahagia, tanpa hal selain itu. Tanpa pernah merasa lagi pedih yang indah seperti apa yang masih kualami hingga kini.

Sayangnya, tekad itu hanya buah kegundahan tak bertepi yang menghakimiku seorang diri. Selepasnya, karena aku orang yang mudah bahagia, aku melupakannya. Aku menjalani hidupku seperti biasa, menemukan hal-hal menyenangkan untuk dinikmati, tertawa, melupakan segalanya termasuk soal pedih-perih cinta dan rencana hidup bahagiaku yang penuh keputus asaan terhadapnya dengan anggapan bahwa hidup ini berjalan lambat, sangat lambat, sampai aku terus menerus bahagia dan tanpa sadar telah sampai pada saat yang kutakuti itu, tanpa harus membalut luka yang sejatinya tak pernah ada.

Kini, tinggal menunggu beberapa hari sampai hari dimana aku mengaku aku telah terpaku soal hatiku terhadapmu berulang untuk kelima kalinya. Perasaan itu memang sudah tak sedalam dulu, tapi aku tak pernah berhenti berharap. Kadang kala, dalam waktu belakangan ini, aku justru lebih merasakan rasa sakitnya dibanding keindahan-keindahan yang pernah membuatku melupa dahulu. Tapi apakah benar dalam rumah tangga orang-orang yang bertahan lebih dari setengah abad, cinta tak pernah hilang dari untaian hari demi hari mereka yang panjang? Setiap ada pasang selalu ada surut, tapi air laut akan selalu ada, merindu akan cahaya bulan diatasnya bahkan ketika ia tengah tak muncul samasekali. Laut percaya kau, Tuan Bulan, masih disana, sesekali menoleh hanya demi membuat Laut tak begitu terluka, sementara kau masih enggan melepas mimpi-mimpimu tentang Matahari.

Aku tahu kau begitu baik, karenanyalah keyakinanmu selama ini bahwa kau tak perlu menyakiti diri sendiri demi berbaik hati kepadaku adalah benar. Aku mencintaimu, sekian lama mematok perasaan ini padamu, menjatuhkan jangkar pada dangkalanmu, bukan untuk membuatmu terluka. Aku merindu akan takdir yang menempatkan kita berada dalam singgasana yang setara untuk sama-sama bahagia, meski rindu itu tak kunjung terbalas hingga tahun yang kelima.
Tuan Bulan, laut memang kelam, samudra hanya genangan dingin yang menyeret pelaut-pelaut ke kematiannya. Suatu malam ketika aku tengah menantikan purnamamu, seorang pelaut datang kepadaku. Ia melihat bagaimana aku memiliki banyak luka. Ia begitu baik, ia tak pernah khawatir jika suatu saat aku hanya akan menjadi ombak yang akan menggulung kesediaannya dengan pengkhianatan. Ia berikrar dihadapanku untuk menaklukanku, membahagiakanku dan melihatku bahagia bahkan di malam-malam tanpa bulan.


 

Aku terpaku dalam diam, dinginku tak pernah tersentuh oleh tangan sehangat ini sebelumnya. Aku masih merindu akan dirimu, melukai diriku sendiri, menikmati sekedar cahaya temarammu sebagai candu, tapi di saat yang sama pelaut itu datang menawarkanku untuk ia kenalkan pada candunya, apa yang ia sebut happiness.


Aku tak kenal kebahagiaan, kecuali keindahan sebuah ironi yang membuatku bahagia.
Ajarkan aku kemana aku harus melangkah, Tuan Bulan.

Meski aku tak ingin kau tahu kisah soal pelaut ini, karena setelahnya, kau pasti memintaku untuk mencoba rasa dari bahagia yang tak akan pernah kudapatkan darimu bersamanya.



-Oleh Laut-

Saturday, September 28, 2013

Theorema Punggung

Dua tahun ini isunya meredup ternyata tak cukup mengukuhkan hukum yang mengalahkan teorinya untuk kembali teraplikasi. Theorema Punggung yang konyol sekaligus krusial, menggelikan sekaligus dekat, dan sepele, tapi cukup memusingkan.

Mungkin sekitar dua tahun yang lalu itulah saat yang saya maksud. Ketika dalam blog yang masih sama baik pemilik, tampilan, maupun substansinya ini, saya memublikasikan sebuah post mengenai Theorema Punggung yang pertama, judulnya Still Keep Staring at Your Back. Ketika itu, bentuknya mungkin masih sekedar proposal penelitian, atau mungkin sebuah hipotesa yang sedikit berada lebih tinggi tingkatannya. Yang jelas, Theorema Punggung saat itu masih hanya Theorema, tapi sekarang saya mulai menemukan jalan di mana ia memiliki kesempatan yang terbuka lebar untuk dapat terkukuhkan menjadi sebuah Hukum.
Penelitian yang secara metodologis hanya membutuhkan kesaksian-kesaksian dari narasumber, kepekaan afektif, dan penalaran untuk dapat menarik kesimpulan ini telah membuka mata saya bahwa Theorema ini benar-benar terbukti sebagai salah satu fenomena yang cukup umum dalam kehidupan. Jika anda bertanya-tanya, sejauh mana penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan, mungkin jawabannya ada pada diri anda sendiri. Nanti, setelah saya selesai menjelaskan rinci definisinya, anda akan menemukan sendiri jawabannya.

Karena pada kenyataannya pun keakuratan Teorema ini telah teruji, dua kali, pada diri saya sendiri.

Still Staring at Your Back adalah yang pertama, dan Theorema Punggung adalah kali keduanya.

A adalah simbol yang mewakili dua variabel utama yang saya temui dalam persamaan-persamaan pada Teorema ini.

Dan saya rasa cukup bagi saya untuk menyatakan keabsahannya setelah dua kali merasakan berada pada kedudukan yang berbeda dalam Theorema ini.

***

Pada suatu pagi yang berkabut, bulir-bulir embun masih menggelayut di pucuk-pucuk jemari tetumbuhan yang masih tertunduk malu, ada kisah yang tertafsir oleh mata-mata kami yang terlampau peka atau justru iseng dibalik gestur beberapa ekor ayam di pekarangan. Dalam gambaran tersebut, seekor ayam jantan memunggungi seekor ayam betina ketika ia tengah memandangi lekat ayam betina elok yang berada jauh di depannya. Seperti itulah Teorema Punggung bekerja. Melibatkan orang-orang yang tak saling melakukan bentuk interaksi lain selain saling menyakiti.

Setelah menemukan Teorema ini, kadang saya bertanya-tanya, kalau Tuhan memang memiliki maksud dari setiap yang diciptakan-Nya di dunia ini, apa maksud sesungguhnya dibalik keadaan saling menyakiti ini? Keadaan yang mirip dengan domino effect ini tak ubahnya seperti rantai yang saling menusuk. Bisa jadi, dalam sebuah rantai panjang teorema ini, terlibat sekian banyak orang dengan posisi yang sama dan berulang dimana orang paling depan tak melihat apa-apa, tapi dengan kejamnya, tanpa sadar menusuk orang di belakangnya, terus seperti itu sampai di tempat paling belakang adalah orang yang paling tersiksa karena ditusuk tanpa pernah memiliki kesempatan menusuk, meski menusuk pun sebenarnya bukan keinginan salah seorang pun dari mereka. Jika begini, bukankah dua orang yang saling memunggungi, atau saling menusuk sekalipun, lebih baik dibandingkan mata rantai yang akan selalu menarik tumbal-tumbal untuk turut terjalin didalamnya semacam ini?

Dalam Teorema ini, ada tiga posisi dasar. Posisi pertama ialah seseorang yang paling depan, yang tak tahu apa-apa sekaligus tak tahu kalau ada sesuatu yang tak pernah ia perbuat yang membuat orang lain tersakiti olehnya. Posisi pertama ini biasanya sering dialami tanpa disadari. Kedua, posisi tengah sekaligus kunci dari jalinan rantainya. Mengapa kunci? Karena jika ia mengambil langkah besar untuk memutuskan berbalik, ia akan memutus rantai setan yang menjerat orang-orang dalam garis yang sama dengannya. Yang jadi permasalahan mengenai si tengah ini hanya bagaimana ia akan menempatkan perasaannya dan perasaan seseorang di belakangnya dalam sebuah skala prioritas yang akan menentukan kesinambungan rantai tersebut. Yang ketiga, posisi belakang yang paling tak berdaya. Sebenarnya ketika berada dalam posisi ini pun kita memiliki pilihan, yakni untuk tetap bertahan atau berlari menghindar dan melupakan segalanya untuk menemukan kutub magnet baru yang siapa kira bisa saja bersatu baik dengan kutub kita. Tapi sekali lagi, perlu langkah super berani untuk melepas segala ‘sensasi’ yang pernah dirasa untuk mengambil pilihan-pilihan tersebut. Dan selama saya mengalami terlibat dalam Teorema ini, tak sekalipun saya pernah mengambil langkah berani tersebut. Entah kenapa, tapi kemungkinan terhebatnya adalah saya lebih mencintai ‘sensasi’nya daripada kenyataan bahwa saya berada dalam posisi yang tak diuntungkan samasekali itu tadi.

***

Kisah dimana Teorema ini teraplikasi berlanjut ketika kami, tiga variabel ini dipertemukan di sebuah kota baru. Bagai mimpi, apa yang selama ini hanya wacana dalam imajinasi yang sudah menghasilkan sekian banyak luka, terlaksana sedikit demi sedikit secara nyata. Orang pertama yang selama ini hanya memunggungi Orang kedua dalam seribu macam kesunyian, bersedia menoleh untuk kali pertamanya.

Anda tentu bisa membayangkan bagaimana besar makna sebuah perhatian, sekecil apapun itu, bagi seseorang yang sudah menantikannya dengan berdiri susah payah pada sebuah sudut dingin dengan tubuh penuh luka untuk waktu yang tak sebentar. Tapi justru pada saat dimana si Orang Kedua itu tengah terlena oleh perasaan bahagianya, seseorang lain dari belakangnya menawarkan tangan dinginnya untuk mencoba menyembuhkan luka-lukanya. Si Orang Kedua kemudian mematung dalam sejuta kebingungan, ia mematung untuk saat yang lama, sampai kini pun ia hanya mampu diam. Ia takut melangkah terlampau jauh bersama si Tokoh Baru ini, sementara ia tak bisa menjanjikan lebih untuk apa yang ada di depan mereka. Ibarat segala kebaikan si Tokoh Baru adalah emas, bagi seorang penggila romantisme dan sensasi yang idealis ini, respon-respon kecil yang dinantikannya dari Orang Pertama adalah batu mulia yang langka. Dilema terbesar dalam dinamika hidupnya kini adalah haruskah ia melepas mimpi besar yang setelah sekian lama akhirnya mulai tercium wanginya demi sebuah kenyamanan yang masih asing baginya dibanding pedih dari luka-luka lama yang masih menganga?

Suatu saat waktu akan menjawabnya, tapi dari hati terdalamku, Orang Kedua dalam dinamika teorema ini, aku minta maaf kepada yang merasa berada pada posisi yang tak diuntungkan karenaku. Aku tak bisa mengambil langkah untuk saat ini. Mimpi tentang orang pertama yang berdiri tanpa mendengar semua ini disana terlalu tinggi harganya untuk kulepas begitu saja. Sudah cukup luka demi luka yang kutabung selama ini bebas ditukar dengan sesuatu yang lebih berharga darinya kini bukan? Entah apa yang mengganggumu, Orang Pertama, apa semua yang kurasakan terhadapmu memang salah? Jika iya tolong beritahu aku. Agar kau bisa berhenti menyakitiku, agar aku bisa berhenti menyakiti orang lain.

Tapi boleh lah kau tahu, andai kata aku tak bersakit-sakit ria untuk bermimpi akan sebuah kalimat eksekusi menyakitkan darimu.
Aku masih, berada dalam posisi yang sama, seperti sedia kala.

                                                                                               
 Teruntuk objek riset saya yang budiman, Marshella Riyanto
dan Rere Harits Ariyanti yang juga merangkap konsultan saya.
Dan sesama yang terlibat dalam Theorema,
Yuanita Wahyu Pratiwi
25 September 2013

ROMANTIK

Era Romantik, dikutip dari penjelasan dosen salah satu mata kuliah favorit saya, merupakan masa dimana manusia pengecut didewakan pemikirannya. Sebenarnya penjelasan yang baru saja itu hanya interpretasi saya saja, toh pada kenyataannya, Era Romantik menurut devinisi yang sebenarnya tak lebih dari era dimana paham tentang kejayaan masa lalu lah yang meraja. Tapi bukankah tak ada bedanya ?

Saya memahami romantisme tak pernah se-esensi ini sebelumnya. Tentunya, karena romantisme yang kita pahami bersama disini bukanlah dalam devinisi picisan yang umum. Romantik memang eranya para pengecut yang hidup di masa di mana mereka berjaya saja, membuang keburukan dan kepahitan dalam bentuk apapun dari ingatan seolah berkredibilitas untuk membuat dunia ini seindah surga. Padahal, apa yang mereka hadapi selanjutnya justru kelengahan dan stagnanisasi kemajuan oleh keamanan dan kenyamanan dari masa lalu yang semu. Tapi pantas saya akui bahwa dalam sebentangan waktu hidup saya yang baru tak seberapa ini pun, era romantik pernah ada, bukan hanya dalam sejarah peradaban dunia.

Kini ada warna yang mengindikasi bahwa era itu akan tiba lagi. Beberapa kejadian membawa saya untuk melambung tinggi, jauh diatas lembayung yang bergerak pelan di sore hari. Saya tengah menjaga betul kesadaran untuk hidup dalam kenyataan, bukan sekedar romantika yang hampir berkebalikan dengannya. Tapi itu cukup menyakitkan, cukup. Magnet yang digunakan oleh romantika yang menarik saya amat kuat, sampai sampai tangan saya tersayat oleh satu-satunya tali yang saya gunakan untuk tetap berada pada bumi manusia yang penuh pedih dan dilema.

Bahkan untuk memilih sakit pun harus tersakiti terlebih dahulu, benar-benar anti-romantik.


Tapi itulah yang saya pilih untuk menjadi seorang pemenang yang berbahagia suatu saat nanti. Terjebak dalam romantika sekali lagi hanya akan membuat saya mundur dalam dimensi waktu yang tak tentu. Terjebak dalam rasa nyaman semu seperti yang saya katakan di awal tadi. Kini dengan memilih bertahan dalam pedih-perih kenyatan khas dunia, saya berharap apa yang membuat saya bahagia benar akan datang pada saatnya, secara nyata, bukan semu seperti apa yang selama ini ada, dalam romantika saya di waktu yang lalu.

 
Yuanita Wahyu Pratiwi, 15 September 2013

Saturday, September 14, 2013

Dari Sudut Gelap


Aku tak mengenal bahasa bulan,
Sekalipun ia sampaikan jawab atas tanyaku:
“Sedang berputarkan dunia dalam benakmu?”
“Karenakah ia hal yang sama denganku?”

Aku yakin,
seribu waktu dalam sedetik aku meyakini poros-poros yang berkiblat pada rotasimu
Ketika malam menawan seribu bintang dalam kelamnya
Aku menawan seribu keraguan, menelannya dalam kekosongan
Menepis dan menggantikannya oleh kerelaan
Seberkas cahaya untuk hatimu di jauh dalam sana

Sore tadi, sebelum segalanya lekas sekali berakhir,
Ironi menggema di lorong kota
Aku bersamamu, diterpa sejuta kebahagiaan untukku
Tapi seketika aku menangkap pandangan kita bertemu di titik yang sama
Segalanya segera runtuh
BUKAN apa-apa

Seribu maaf kalau Kau mau
Aku tak bisa berhenti menjadi amatir
Aku tak bisa sembuh dari naif
Aku hanya aku
yang tanpa sedikitpun sentrisme,
Berharap…

Tentang bulan yang menyaksikan bagaimana semuanya berlalu sudah,
kecuali yang dihatiku, memoriku, kepingan nafas dalam indah penggalan kisahku

Aku berdoa untukmu
Berbahagialah apapun yang Kau hadapi
Beruntunglah mendapatiku di sini, di sisi yang selalu luput dari pandanganmu
tersenyum untuk setiap kebahagiaanmu
tersenyum untuk setiap lukaku olehmu

Aku bahagia, aku bertahan.




14/s’13

Wednesday, September 11, 2013

Dedikasi, Bukan Sekedar Tradisi


Oke, selamat sore teman-teman, saya Yuanita Wahyu Pratiwi, dari Bekasi. Di SMA jurusan saya IPA—tapi itu karena paksaan dan samasekali bukan kata hati saya—. Alasan saya memilih jurusan Seppfffthh#dibekep
Haha, maap maap, habis dalam otak saya kalimat tersebut memang seperti sudah tercantum gamblang untuk beberapa hari ini. Mau bagaimana lagi? Paragraf inilah yang paling sering orang lain minta ucapkan oleh saya akhir-akhir ini~

Baiklah, maaf lagi untuk opening, atau apapun itu yang membuka forum kita kali ini yang samasekali tak memiliki kredibelitas untuk sekedar dilirik di atas. Oke, kali ini, saya menulis post yang berkaitan dengan tanggal penting. Ada apa pada tanggal ini? Ohohoho, cari lah di google, dijamin, pengeboman WTC lah yang akan muncul. Tapi bagi saya, ada yang lebih penting dan lebih dekat dari sekedar peringatan pengeboman yang jadi salah satu aksi paling berani yang dilancarkan oleh teroris tersebut. Karena ini menyangkut seseorang yang memiliki korelasi erat dengan saya, jauh dibanding WTC yang bahkan tak mengenal nama saya#bah.

Well otak cenahyang saya mengatakan, di Little Netherland sana, ada seorang perempuan rapuh yang menyendiri di tengah momen penting baginya. Pertama, yang saya ingin lakukan adalah mengucapkan selamat, tapi ‘selamat’ ini lebih dari sekedar selamat ulang tahun biasa. Selamat dari saya ini adalah selamat menjadi dewasa.

Momentum-mu ini jauh lebih bernilai dibanding milik saya dan yang lainnya boi. Kau lah salah satu yang dianggap paling dewasa untuk menjalani kesendirian dalam momen pentingmu di tengah atmosfer kos-mu yang dingin dan hanya berisikan selembar koran. Aku tahu pahitnya boi, maka belum tentulah aku sanggup bila diminta menggantikan posisimu saat ini. Aku tahu hidup ini kejam boi, maka jangan salahkan takdir. Salahkanlah keputusan terdahulumu untuk menjinjing map merah ketika memasuki ruang pendaftaran sebuah sekolah menengah atas negeri terkemuka di kota kita boi~

Tapi lihat sisi baiknya. Hidup memang telah terancang sedemikian rupa. Kau yang sekarang menyendiri dalam senyap ini telah menukar map merah itu dengan banyak kebahagiaan, bukan? Maka percayalah bahwa map warna apapun itu, yang kau bawa ketika kau menyerahkan dokumen apapun itu, ketika kau memasuki jurusan di universitasmu yang sekarang kau pijak, adalah map yang juga akan ditukar Tuhan dengan lebih dan lebih banyak lagi kebahagiaan buatmu kedepannya.

Aku tahu, aku rasa aku cukup banyak tahu soal masalahmu. Bagaimana kisah soal bidak-bidak catur yang menari diatas dwiwarna yang terkotak-kotakkan oleh takdir. Bagaimana bidak-bidak tertentu menimbulkan ketergantungan buatmu, bagaimana sebuah bidak memberimu indikasi adanya ketidak seimbangan dalam relasi kalian, dan bagaimana kau bingung memutuskan sesuatu mengenai bidak-bidak lain. Nikmatilah boi, cuma itu yang bisa kuberi sebagai wejangan untukmu. Itu plot indah yang Tuhan hadiahkan pada momen berulangnya hari jadimu yang ketujuh belas ini, yang mestinya lebih indah dari siapapun.

Sebagai seorang yang secara genotipe ‘Jawa’ tapi secara fenotipe ‘Betawi’, dan entah mengapa bisa beraksen ‘Melayu’ di sini, aku mendoakan segalanya untuk kebaikanmu. Apapun, apapun yang terbaik untukmu, entah itu menjadi psikolog handal, IP tinggi, bisa hidup dengan baik di habitatmu yang baru, lulus dalam waktu singkat, S3 di usia muda, atau bahkan menikah di usia muda sekalipun, aku amini untukmu boi~
 Jangan goyah oleh kesendirian boi, berpeganglah erat pada tiang kapal dihadapanmu kala badai menerjangmu dalam ketidak berdayaan. Aku tahu, kami semua, orang-orang yang di waktu yang lalu selalu ada bersamamu akan selalu bersedia mengulur tali kebersamaan sejauh apapun dirimu berada. Bagi kita, mestinya jarak hanya sekedar ilusi yang tak mampu bicara banyak.

Aku tahu betapa heterogennya lingkungan baru, bagaimana akan ada mereka dari tipikal-tipikal yang tak kau suka muncul sebagai hidangan yang ada untuk kau santap di mejamu. Pesanku, jangan makan pisang dengan kulitnya. Jika itu memang kulit, tinggalkanlah, hiraukanlah mereka untuk sampai di dapur, lalu dipakankan ke ternak yang memang menerima mereka sebagai kesukaan. Aku juga tahu, tak mudah bagimu untuk dapat menemukan yang sepertiku disana. Sadarilah, aku ini sedemikian eksklusif untuk dibuat satu unit saja, tak lebih. Tapi sekali kau pernah bersamaku, maka tak ada waktu dimana kau menemukanku menghilang darimu.

Terakhir, tetaplah semangat menerjang tugasmu. Bagaimanapun ini bukan yang pertama bagi kita, dua tahun wajib militer di akselerasi mestinya membuat kita tak kaget lagi dengan yang seperti ini. Ingatlah ketika waktu dan tugas dengan kejamnya dalam saat yang bersamaan memburu kita dan kita saling bahu membahu untuk menyelamatkan diri. Ketika keengganan untuk menjalankan tugas itu menguasaimu, ingat waktu yang lalu, bayangkanlah kami semua ada disana, sedang saling membantu untuk bisa menyelamatkan diri seperti biasa.
Semoga waktu-waktu kedepan menjadi yang membahagiakan untuk kita semua, amin.




 teruntuk Rere Harits Ariyanti
Joyeux Anniversaire, My Beloved Fans~


-The Awesome Me-

Sunday, September 08, 2013

Kebebasan dan Mahasiswa

Disini, saya akan memulai dengan menjawab pertanyaan yang menurut saja muncul di benak anda ketika pertama kali membaca judul yang tertera diatas, khususnya untuk anda sekalian yang telah pernah menikmati tulisan-tulisan saya sebelumnya.

Ialah mengapa saya sering mengangkat dua variabel sebagai judul dan menggunakan konjungsi ‘dan’ diantaranya?  Pertama, karena menurut saya itu keren#dor. Setiap hal yang saya pilih untuk lakukan dalam kehidupan ini berdiri diatas alasan bahwa mereka keren. Tapi keren menurut saya adalah devinisi relatif mengenai selera saya, dan saya rasa kata yang paling mampu menembakkan makna gamblang bagi pendengarnya hanya satu, yakni ‘keren’ itu sendiri. Jadi jangan heran kalau apa yang kita pikirkan soal keren berbeda jauh HAHAHA#dor. 

Yang kedua, tutorialnya. Judul semacam ini akan memberikan penjabaran makna yang hanya berupa opini saya mengenai dua variabel tersebut dan keterkaitan diantaranya. 



Oke, pembahasan dimulai~ Pertama, Kebebasan. Apa itu kebebasan? Ialah Freedom#Iya wan, iya~. Tapi untuk apa saya menulis post sekeren ini jika hanya untuk memberi tahukan informasi luar biasa umum bahwasanya Kebebasan adalah Freedom. Saya suka kata freedom dan kebebasan secara seimbang. Menurut saya, efek yang ditimbulkan oleh hurup ‘b’ dalam kebebasan dan ‘fr’ dalam kata freedom sangat melegakan. Jadi pantas kalau mereka menyandang makna yang melegakan pula. 

Cukup sampai disana, saya akan melanjutkan ke variabel yang kedua. Karena apabila saya bahas sampai dimana makna kebebasan menemui kebuntuannya dalam jalinan rumit serabut syaraf dalam otak saya, tak akan ada habisnya, atau jikapun ada, akan memakan waktu sangat panjang sampai ia ditemukan. 

Variabel yang kedua adalah mahasiswa. Tapi berkebalikan dengan kebebasan yang dapat setara dengan freedom ditelaah dari kesan yang ditimbulkannya, saya tak setuju jikalau variabel mahasiswa disetarakan dengan variabel ‘college student’. Sekarang begini deh, murid SD bahasa inggrisnya apa? Elementary school’s student. SMP? Junior high school’s student. SMA? Mirip lah. Nah mahasiswa masa disetarakan dengan college student? Berasa nggak naik-naik amat tingkatnya. Padahal dalam bahasa persatuan yang kita cintai ini, ada makna yang luar biasa di balik perbandingan antara kata ‘murid SMA’ dan ‘mahasiswa’, yagak? Kata ‘Maha’nya itu loh, gak nahan~#dor. Jadi apabila berbarometerkan bahasa yang kita akui sebagai bahasa internasional tersebut, predikat yang mulai disandang oleh sekian ribu lulusan SMA yang masuk universitas tahun ini, hanyalah ‘murid perguruan tinggi’#dor. Berkaca pada kata ‘Maha’ yang sekarang tersemat pada kita, jangan sampe kita sakit-sakitan karena keberatan nama ya bro sesama angkatan ’13 di universitas manapun di seluruh Indonesia. Semoga kata ‘Maha’ yang kini telah ada benar-benar bisa kita peroleh manfaatnya, dan dapat kita pertanggung jawabkan dengan baik nantinya. 

Sekarang saya mahasiswa, dan saya kira masa transisi dari seorang siswa menjadi mahasiswa adalah hal yang luar biasa penting dan bermakna. Ini terbukti dari acara apa saja yang disiapkan buat kami dan entah berapa kali sesi bimbingan psikologis yang diselenggarakan setelahnya. Saya tak membuang fakta bahwasanya hal tersebut memang benar adanya. Masa transisi yang awalnya saya kira akan sangat sulit dan menyakitkan ini memang betul-betul momentumental. Tapi tak berarti amat sangat sulit kok. Dulu memang ada perasaan takut yang sempat menguasai saya, lalu kemudian saya mendoktrinisasi diri saya seperti ketika akan masuk CI dulu. Doktrinnya pun kurang lebihnya sama, saya berpikiran bahwa jikalau diluar sana ada banyak kakak angkatan yang sukses hidup sebagai mahasiswa yang berbahagia—bahkan berprestasi— mengapa segaris kata start saja harus menghalangi saya? Bukan begitu?#readers:bukan~. Dan ternyata doktrin yang sedemikian simpel itu berhasil. 

Awalnya memang berat bro, saya homesick sampe mewek-mewek cuma gara-gara balado terong dan penggorengan. Apalagi waktu nganter emak, bokap, dan adek saya balik dari nganterin saya. Ketika itu, saya kiranya tahu perasaan sesajen yang di larung ke laut. Dilepas untuk terombang-ambing di samudera yang maha luas sendirian tanpa sebatangpun tongkat untuk berpegang kecuali Tuhan. Tapi kemudian, di tanah perantauan ini saya mendapat banyak pencerahan. Berada jauh dari keluarga yang jadi inang tempat saya membenalu selama ini, membuat saya merasa kecil, sendiri, dan tak berdaya. Ketika itu saya sadar bahwa satu-satunya yang bisa menyelamatkan saya cuma hubungan saya sama Yang Maha Kuasa. Yaa… mudah-mudahan, minimal hal ini bisa membuat saya semakin menjadi individu dengan kualitas yang baik lah. 

Yang kedua, nggak akan ada lagi yang bertanggung jawab secara langsung terhadap saya mulai detik ini. Istilahnya ya, buat ngumpet di bawah ketiak orang tua pun sekarang butuh birokrasi. Oleh karenanya, teman adalah segalanya. Saya mulai mencoba untuk mengurangi keapatisan saya terhadap lingkungan dan membinasakan sedikit demi sedikit dorongan-dorongan untuk mengurungkan niat baik. Sekarang saya mendoktrinisasi diri saya dengan paham baru, yakni itu tadi, untuk tidak mengurungkan niat untuk berbuat sesuatu, dalam situasi apapun, seringan atau sesepele apapun hal tersebut, kalau memang itu untuk kebaikan, baik bagi saya pribadi maupun orang lain. Keputusan ini diambil setelah melalui perundingan yang pelik dengan seorang psikolog belum terkenal yang notabene adalah sahabat saya. 

Oke, sekarang beranjak pada keterkaitan antara dua variabel tadi, antara mahasiswa dan kebebasan. Iya nggak sih kalo mahasiswa itu super duper bebas? Menurut saya iya meski saya baru akan menjalani lingkup hidup resmi sebagai mahasiswa besok. Mahasiswa itu independen, tapi masih dipertanggung jawabkan kepada orang tuanya, baik dari segi biaya hidup maupun urusan lain. Istilahnya ini adalah periode magang dari kehidupan yang sesungguhnya. Kata kakak-kakak pembicara kemarin, jadi mahasiswa itu luar biasa enak. Kita sekolah dibiayai rakyat, dibiayai oleh pedagang-pedagang pasar yang menyisihkan penghasilan mereka yang tak seberapa untuk pajak di samping dibiayai oleh orang tua kita sendiri. Karena enaknya itulah, bahkan banyak yang luar biasa betah sampe empat belas semester jadi mahasiswa. Padahal sebenarnya, dalam periode waktu yang kita habiskan ketika kita menyandang gelar sebagai ‘pemagang’ kehidupan nyata inilah kita menumpuk hutang kepada rakyat. “Jadi segera luluslah, menjadi orang yang berilmulah, dan lunasilah hutang hutang itu kepada bangsa yang tengah menanti kontribusi kita ini,” begitu kata kakak-kakaknya. 

Adalah yang sebenar-benarnya kalau kehidupan sebagai Mahasiswa sarat kebebasan. Tapi dalam paham demokrasi yang kita anut dan benarkan bersama, kebebasan yang bertanggung jawab terbukti sebagai yang paling baik. Mahasiswa boleh ‘bebas’, tapi jangan sampai ‘lepas’. Karena ketika ia sudah ‘lepas’, ia bukan lagi mahasiswa, melainkan hanya seorang penghutang yang akan terus menerus melarikan diri dari kenyataan. 


Yuanita Wahyu Pratiwi
8 September 2013